BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Refluks Laringofaring
Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus.
Refluks asam yang mengenai laring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip
oleh Alberto 2008, mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.
Istilah refluks laringofaring sendiri dicetuskan oleh Koufman pada tahun 1991 Alberto 2008. Refluks
laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux
disease Belafsky Rees 2007. Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif
intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower
Esophageal Sphincter Relaxation TLESR. TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch receptor pada
dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah
esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa.
Hal ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring
terjadi pada postprandial dan posisi upright Andersson 2009.
2.1.1 Kekerapan Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et
al. 2005 ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks laringofaring antara 15 sampai 20. Dan diperkirakan hampir 15 dari
Universitas Sumatera Utara
pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari refluks laringofaring.
Dari penelitian Belafsky et al. 2001 didapatkan rata-rata umur dari pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73 adalah wanita, nilai rata-
rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3 ±8,9. Carrau et al. 2004 mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun
dimana 66,7 adalah wanita. Belafsky et al. 2002 mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56 adalah pria, rata-
rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.
2.1.2 Komponen refluks Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang
berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan
menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6 Andersson 2009. Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan.
Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refleks yang berbentuk
campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks
laringofaring Andersson 2009.
2.1.3 Mekanisme proteksi.
Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik dan esofagus dan gaya gravitasi,
resistensi mukosa esofagus, sfingter atas esofagus Ford 2005.
Universitas Sumatera Utara
Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan
bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus
mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter
bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik. Inervasi otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan
sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat membuktikan adanya neurotransmiter
α adrenergic dan β blocker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade
α adrenergic dan stimulasi
β adrenergic akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam menyebabkan relaksasi
sfingter bawah esofagus Kahrilas 2003. Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus
masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin
menyebabkan penurunan sebesar 80 pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman
lambung dan makanan yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan
sfingter bawah esofagus Kahrilas 2003. Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR merupakan
mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter bawah esofagus yang tidak
berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik. Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi episode refluks
meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal Andersson 2009; Vardouniotis et al. 2009.
Universitas Sumatera Utara
Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah
esofagus yang mengatur TLESR. Distensi abdomen post prandial atau karena pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara merupakan
stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan
terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau
makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing Lipan, Reidenberg Laitman 2006; Andersson 2009
Menurut Lipan, Reidenberg Laitman 2006, episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus, yaitu : 1 tekanan sfingter
bawah esofagus yang rendah, 2 relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan 3 peningkatan sementara tekanan
intraabdomen di lambung atau kombinasi antara 1 dan 2. Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang terdiri
dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan zat asam
intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel.
Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi
basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun duodenum Orlando 2006
Lapisan epitel berada di apical dari membran dan complex junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke interseluler space. Pada keadaan
esofagitis, complex junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H
+
sehingga menyebabkan dilatasi dari interseluller space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap
efek HCO
3 -
didalam sel dan interselular space. Suplai darah berfungsi mengangkut
Universitas Sumatera Utara
ion HCO
3 -
. Ion Na
+
yang berikatan dengan Cl
-
atau ion HCO
3 -
akan bertukar tempat di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel
cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon epidermal
growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam Orlando 2006.
Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa karbonik anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel
esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam
lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang
berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jaringan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik
anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin
mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan
kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda
vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda
sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk
menghindari kerusakan epitel Koufman et al. 2006; Ford 2005 Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil
serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring Lipan, Reidenberg Laitman 2006.
Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesofageal infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang
Universitas Sumatera Utara
dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava Lipan, Reidenberg
Laitman 2006. Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat ruminasi,
regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu
oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior Lipan, Reidenberg Laitman 2006. 2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran
pernafasan atas yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esofagus Ford 2005
Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama
karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus
sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem chronic throat clearing dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal
ini mungkin saling berhubungan. Gejala yang timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem
chronic throat clearing dan batuk Andersson 2009. Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling berbahaya.
Episode refluks asam yang lemah pH 4-7 tidak dideteksi pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, refluks asam lemah ini mungkin melewati esofagus
tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin
yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus Andersson 2009.
Universitas Sumatera Utara
Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al. 2002 menyatakan satu kali
refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat
menyebabkan kerusakan mukosa laring.
2.1.5 Diagnosis penyakit refluks laringofaring
a. Anamnesis Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh Ford
2005 keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing 98, batuk yang terus mengganggu 97,
perasaan mengganjal di tenggorok 95 dan suara parau 95.
b. Gejala Klinis Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks laringofaring,
Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin 2008 membuat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala refluks Reflux Symptom Index =
RSI. RSI mudah dilaksanakan , mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap
komponen bervariasi dari nilai 0 tidak mempunyai keluhan sampai dengan nilai 5 keluhan berat dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai 13 dicurigai
sebagai penyakit refluks laringofaring Tamin 2008.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Reflux Symptom Index RSI Reflux Symptom Index RSI
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita
0 = tidak, 5 = sangat berat
1 Suara serak problem suara
1 2
3 4
5 2
Clearing your throat sering mengeluarkan lender tenggorok mendehem
1 2
3 4
5
3 Mukus berlebih PND Post Nasal Drip
1 2
3 4
5 4
Kesukaran menelan 1
2 3
4 5
5 Batuk setelah makan berbaring
1 2
3 4
5 6
Kesukaran bernafas chocking 1
2 3
4 5
7 Batuk yang mengganggu
1 2
3 4
5 8
Rasa mengganjal di tenggorok 1
2 3
4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan
pencernaan, regurgitasi asam 1
2 3
4 5
Sumber : Belafsky et al 2002
Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari
glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact ulcer, stenosis subglottis Andersson 2009.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring, Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip oleh
Tamin 2008, yaitu Reflux Finding Score RFS. RFS merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat dari
pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur Tamin 2008. Tabel 2.2. Reflux Finding Score RFS
Reflux Finding Score RFS Edema Subglotik pseudosulcus vokalis
0 = tidak ada 2 = ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit Eritema hyperemia
2 = hanya aritenoid 4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat 3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat 3 = berat
4 = obstructing Hipertrofi komisura posterior
1 = ringan 2 = moderat
3 = berat 4 = obstructing
Granula jaringan granulasi 0 = tidak ada
Universitas Sumatera Utara
2 = ada Mukus kental endolaring
0 = tidak ada 2 = ada
Sumber : Belafsky et al 2001 Skala ini bervariasi dari nilai 0 tidak ada kelainan sampai dengan nilai
maksimum 26 nilai yang terburuk dan RFS 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and
intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam
melihat perbaikan dengan terapi anti refluks Tamin 2008. Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi laring posterior
sebesar 85. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al 2001 pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulcus vokalis dimana
edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar.
Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis Pham 2009
Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi Pham 2009
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria. Keadaan lain
seperti ventrikular obliterasi ditemukan sebanyak 80 akibat terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti tampak pada gambar Belafsky
etal. 2002.
Gambar 2.3 Eritemia hiperemia Pham 2009
Gambar 2.4: Edema pita suara Pham 2009
Gambar 2.5 Edema laring Pham 2009
Universitas Sumatera Utara
Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya mengenai aritenoid
mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan
bentuk pita suara sudah tidak halus atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4 Belafsky et al. 2002
Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior Pham 2009
Gambar 2.7 Granuloma Pham 2009
Gambar 2.8 Mukus kental endolaring Pham 2009
Universitas Sumatera Utara
Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan
sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4.
Penilaian terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor 2 Belafsky et al. 2002.
c. Pemeriksaan pH Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat
dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm
diatas sfingter atas esofagus dengan bantuan manometri. Andersson 2009; Merati et al. 2005
Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan
banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya 50-60. Yang kedua, kira-kira 12 dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur
pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas Knight
2005.
d. Tes PPI Terapi empirik dengan proton pump inhibitor PPI disarankan sebagai tes yang
ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI + jika terdapat
perbaikan nilai RSI. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH
metri 24 jam Tamin 2008
Universitas Sumatera Utara
2.1.6 Penatalaksanaan Penderita dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan
menggunakan instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, penderita segera diberi tes terapi empiris dengan proton pump inhibitor PPI disertai perubahan pola
hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara
perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi
selama kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan
transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan Ford 2005.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Association Ford, 2005
Penilaian Awal Pasien dengan refluks laringofaring
Reflux Symptom Index Riwayat Gejala 13 dan Reflux Finding Score Laringoskopi 7
Uji Terapeutik Empiris Pola Hidup
Diet Penilaian selama 3 bulan
Gejala Membaik Peningkatan dosis PPI
Lanjutkan Modifikasi Pola Hidup dan Diet
Gejala Tetap atau Memburuk Gejala Teratasi
Terapi PPI Titrat
Penilaian selama 6 bulan
Gejala Teratasi
Gejala Tidak Teratasi
Terapi PPI Titrat
Penilaian Definitif Monitoring pH Penilaian Reflux
TNE atau EGD Dokumentasi Patologis Manometry Penilaian Etiologi
Barium Swallow
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kerangka Teori