wanita, keterkaitan olahraga wanita dan budaya majemuk, olahraga wanita dan kepentingan budaya, perlindungan terhadap mantan olahragawan wanita, nilai-nilai sosial olahraga wanita
dan sistem demokrasi, dan olahraga wanita dan kesejahteraan keluarga perlu mendapat perhatian lebih komprehensif melalui penelitian yang berkelanjutan.
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan terdahulu semakin jelas bahwa partisipasi wanita dalam olahraga terkait langsung dengan beberapa faktor, dalam hubungan yang sangat kompleks. Pertama-tama
pada tataran makro, faktor politik yang diturunkan dalam kebijakan publik sangat mempengaruhi partisipasi wanita dalam olahraga. Sama halnya seperti disinggung dalam paparan tentang kasus
pembinaan olahraga di Uni Sovyet negara blok sosialis sebelum adanya perubahan menjadi negara yang lebih demokratis. Di negara tersebut terkesan olahraga sebagai alat propaganda
sehingga partisipasi wanita dalam olahraga terutama olahraga kompetitif cenderung memanipulasi keunggulan wanita sebagai alat propaganda untuk menunjukkan keberhasilan
sistem politik negara yang bersangkutan. Dewasa ini kebijakan pemerintah seperti yang tercermin dalam kebijakan publik dan
kecenderungan global, seperti yg disuarakan dalam konvensi internasional cenderung lebih tulus, misalnya partisipasi wanita yang dibungkus dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan wanita
semata-mata dimaksudkan untuk mencapai tujuan, yakni adapula segi positifnya meskipun lebih banyak diarahkan pada wilayah pengembangan aspek budaya, ekonomi, bahkan juga akhir-akhir
ini berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Tentu saja upaya seperti yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya akan sangat
beralasan, karena wanita mewakili separuh dari seluruh sumber daya, masyarakat dan bangsa.
Inilah sebabnya mantan Sekretaris Jendral PBB Copianan menyatakan bahwa tidak ada keberhasilan pembangunan yang lebih efektif dari pada pemberdayaan wanita. Hal yang hampir
sama juga diungkapkan oleh Bung Karno dalam buku Sarinah 1963:14 bahwa ”Perempuan itu tiang negri. Manakala baik perempuan, maka baiklah negri. Manakala rusak perempuan, maka
rusaklah negri.” Itulah sebabnya permasalahan perempuan hendaknya dipecahkan secara bersama-sama dengan kaum laki-laki, karena permasalahan perempuan merupakan bagian dari
permasalahan masyarakat. Dalam pertemuan puncak kepala-kepala negara PBB akhir September 2005 ditegaskan
bahwa kemajuan bagi wanita adalah kemajuan bagi anak. Dengan demikian tindakan-tindakan konkrit memang sangat diharapkan, seperti implementasi dari Piagam Internasional tentang
pendidikan jasmani dan olahraga yang diluncurkan dalam konferensi Paris 1978 yang menyuarakan tentang olahraga sebagai hak azasi, atau lebih tegas lagi dalam konferensi Berlin
1998 yang menyuarakan prinsip inklusif, sehingga prinsip kesetaraan gender dalam olahraga itu benar-benar merupakan cetusan aspirasi masyarakat internasional.
Namun persoalannya, apa yang diinginkan masih jauh dari harapan, dengan kata lain hanya sedikit perubahan yang dicapai dan bahkan dampak jangka pendek yang diharapkan di
Indonesia tampaknya masih memerlukan upaya yang lebih keras; meskipun dalam kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga dengan jelas ditandaskan bahwa pendidikan jasmani dan
olahraga merupakan mata pelajaran wajib bagi semua siswa. Maksudnya kesempatan yang sudah dibuka bagi semua orang tanpa terkecuali tidak dengan sendirinya termanfaatkan.
Beberapa hal yang perlu dicatat dalam sistem keolahragaan nasional telah diadopsi olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga kompetitif prestasi. Tentu dapat
diperbincangkan juga tentang olahraga mana yang dimaksud dalam tiap pembinaan yang
dilakukan. Dalam penelitian ini peneliti lebih condong meneliti perkembangan olahraga prestasi bagi wanita, dengan membagi dalam tiga kelompok cabang olahraga, yakni yudo, angkat besi,
dan senam. Alasan yang dapat dikemukakan seiring dengan pemilihan cabang olahraga yang terkait dengan pemilihan unit analisis adalah adanya satu keinginan untuk mendalami bahwa
baik olahraga yang tergolong masculine sport maupun feminine sport apakah juga dapat dilakukan oleh wanita terkait dengan pencapaian prestasi tinggi. Sesuatu kegiatan yang dianggap
unik karena begitu dekat dengan beberapa bentuk bias atas stereotip yang dikenakan terhadap kaum wanita. Dengan kata lain dalam olahraga kompetitif ini sangat kentara sekali sistem
kepercayaan yang mengarah pada pemahaman bahwa olahraga sebagai perjuangan keras yang memerlukan tenaga besar, bahkan juga ada unsur kekerasan. Dengan begitu maka jenis olahraga
yang demikian itu hanya dipandang sesuai bagi laki-laki dalam rangka mengungkapkan sifat- sifat kelaki-lakiannya itu, yang dalam istilah umum disebut masculine sport. Seperti halnya di
Indonesia dan bahkan juga di bangsa-bangsa lainnya, kasus penonjolan prestasi wanita telah banyak jumlahnya dan menarik perhatian orang, seperti Susi Susanti dalam bulu tangkis, Nadya
Kumenichi pesenam asal Rumania, Asal Saparbaeva dan Luiza Galiulina angkat besi dari Uzbekistan, Yang Xiuli peyudo dari China dan Yalennis Castillo peyudo dari Cuba.
Namun persoalan kesetaraan gender dalam olahraga ini masih belum tuntas penyelesaiannya, dalam arti kata bahwa prestasi gemilang kaum wanita dalam olahraga tidak
cukup untuk menghapuskan bias gender dan stereotip. Stereotip ini masih terjadi dan ditujukan pada kaum wanita yang terjabarkan dalam sikap negatif dan perlakuan yang tidak adil, sehingga
berdampak pada: 1 sempitnya kesempatan bagi kaum wanita untuk berolahraga, dan 2 perlakuan itu berdampak pada kehidupan dan kesejahteraan kaum wanita. Kondisi itu merupakan
faktor penghambat, di mana partisipasi wanita dalam olahraga rupanya terkait langsung dengan
faktor yang lebih mendalam ialah faktor budaya yang dibentuk dan diusung sendiri oleh para anggota keluarga masyarakat secara meluas. Alasan inilah yang mengarahkan studi ini lebih
tertuju pada konsep sosialisasi dalam olahraga sebagai isu sentral. Banyak definisi tentang sosialisasi, salah satu diantaranya dipakai dalam memperkokoh studi Coaklay, 2001:82 dengan
memaparkan bahwa “sosialization is anactive process of learning and social development, which occurs as we interact with one another and become acquainted with the social word in which we
live,” maksudnya adalah sosialisasi sebagai sebuah proses belajar yang aktif yang terjadi manakala berlangsung interaksi antara seseorang dengan yang lain, hingga kemudian kita
terbiasa hidup dalam dunia sosial di mana kita tinggal. Isi dari pada proses interaksi yang dimaksudkan itu mencakup pengalihan nilai,
pembentukan gagasan, sebagaimana halnya manakala seseorang yang lebih dewasa menularkan kebiasaan yang baik, mengalihkan informasi tentang manfaat berolahraga, juga mengenai
manfaat berolahraga ke pada anak yang lebih muda. Dalam proses interaksi itu memang berlangsung hubungan antara subjek dengan subjek, maksudnya adalah seseorang yang
menerima informasi sebagaimana peserta didik dengan kedudukannya bukanlah sebagai seseorang yang pasif, karena di antara keduanya itu terjadi hubungan yang saling mempengaruhi.
Inilah alasan mengapa sosialisasi itu bukan merupakan proses satu arah dalam rangka mengalihkan atau membentuk nilai rujukan yang kemudian disepakati secara bersama.
Proses sosialisasi seperti itu juga terbentuk dalam lingkungan persekolahan, utamanya dalam pembelajaran pendidikan jasmani, dengan harapan tiap siswa dapat saling mengalihkan
informasi positif dari masing-masing siswa dan utamanya dari guru. Selain itu terdidik dan tertanam pula kemampuan dalam memanfaatkan waktu luang dengan aktivitas yang positif
seperti halnya aktivitas olahraga; dalam artian semakin kentara keberfungsian dari pendidikan
jasmani jika ditinjau dari perspektif sosialisasi, di mana setiap orang disiapkan untuk melakoni fungsinya masing-masing.
Pada dasarnya dalam proses sosialisasi ada pihak yang lebih berperan seperti keluarga, dan juga media. Studi ini lebih tertarik pada keluarga, karena persoalan ini terkait dengan
pembentukan diri anak sejak awal terjadi pada kalangan keluarga. Pengalihan nilai dan pembentukan sikap sekaligus, bahkan bisa juga terjadi proses pengawetan yang berlaku secara
turun temurun. Kondisi ini sangat kentara terjadi di Indonesia, yang dikenal dengan budaya patriarkat yang lebih banyak mengunggulkan laki-laki sebagai pembuat keputusan. Meskipun
demikian secara empirik tampaknya peranan media, termasuk juga peranan klub olahraga dan penilaian usia dini penting mendapat perhatian, meski pihak keluargalah terutama ayah atau ibu
bahkan sibling saudara sekandung sangat kuat pengaruhnya, seperti unit analisis angkat besi, di mana internal motivation yang tinggi terjadi akibat dari keberhasilan tiga kakak kandungnya
dalam prestasi olahraga. Dalam proses sosialisasi seperti di atas dapat terbangun ekspektasi, di samping nilai
ekonomi, sehingga lebih kompleks kelihatannya pada olahraga kompetitif dalam memilih sebagai keputusan untuk jalan hidup. Dari banyak bukti-bukti yang ada di lapangan, munculnya
atlet yang dibesarkan oleh keluarga, cenderung menunjukkan indikasi bahwa pihak orang tua ayah atau ibu memegang peranan. Namun demikian peranan lembaga pendidikan formal juga
memberikan pengaruh positif, karena tersusun kurikulum yang terencana untuk pendidikan jasmani. Pengaruh faktor lain seperti media masa yang menonjolkan atlet sebagai modeling ikut
serta memutuskan agar anak melakukan olahraga.
2. Pertanyaan Penelitian