BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipotesis Higiene
Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di
negara-negara industrimaju.
8
Hipotesis higiene yang berkembang pada akhir 1980-an merupakan penjelasan terhadap peningkatan prevalensi asma di
seluruh dunia.
1
Dalam hipotesis tersebut dinyatakan bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan adanya infeksi pada awal kehidupan yang berasal dari
kontak dengan saudara kandung yang lebih tua. Selain itu juga dinyatakan bahwa pada akhir abad ini adanya penurunan jumlah anggota keluarga,
peningkatan kebersihan individual telah menurunkan kesempatan terjadinya infeksi silang dalam keluarga, hal ini akan meningkatkan gejala klinis
atopi.
1,8,9
Pada hipotesis higiene peranan sel T regulator akan mempengaruhi efek paparan terhadap infeksi pada keseimbangan T helper 1 Th1 dan T
helper 2 Th2. Berkurangnya paparan terhadap infeksi setelah kelahiran dapat menggeser respons keseimbangan sel Th menuju Th2. Hasil dari
respons ketidakseimbangan akan menyebabkan respons eosinofil dan IgE yang berlebihan, dimana kedua-duanya berhubungan dengan reaksi alergi
dan atopi.
8
Paparan terhadap mikroba dapat mempengaruhi keseimbangan
Universitas Sumatera Utara
Th1 dan Th2 dengan meningkatkan respons Th1 dan menurunkan respons Th2. Sel Th1 berhubungan dengan respons terhadap infeksi dan produksi
interferon- ∂. Sel Th2 menginduksi produksi IgE dan maturasi sel mast, basofil
dan eosinofil sehingga sel Th2 secara umum berhubungan dengan respons imun atopi.
10
Pada model yang berasal dari Cookson dan Moffatt pada tahun 1997 gambar 1 menunjukkan keuntungan adanya infeksi dalam pencegahan
atopi. Pada model ini atopi terutama berhubungan dengan imunitas terhadap tuberkulosis, yang diukur dengan hipersensitivitas kulit tipe lambat terhadap
tes tuberkulin. Jika individu lebih dominan memiliki Th2, fenotip Th2 akan berinteraksi dengan alergen lingkungan untuk menyebabkan atopi. Infeksi
ditunjukkan secara potensial dapat mengubah keseimbangan antara fenotip Th1 dan Th2. Keseimbangan Th1 dan Th2 dipertahankan oleh kombinasi
sanitasi yang buruk dan lingkungan yang ramai sehingga menghasilkan respons Th1, sementara IgE poliklonal yang dihasilkan sebagai respons
terhadap infeksi cacing akan menurunkan respons Th2 sehingga tercapai keseimbangan Th1 dan Th2. Polusi dapat memperberat asma, sementara
alergen inhalan seperti kutu debu rumah dan bulu binatang dapat memberikan sensitisasi spesifik yang berfungsi sebagai variabel intervensi.
8
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Keuntungan infeksi dalam pencegahan atopi
8
Terdapat beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian alergi yaitu :
1. Imunisasivaksinasi Oleh karena vaksinasi merupakan pemberian mikroorganisme yang
dilemahkan atau dimatikan untuk menginduksi respons imun, hipotesis higiene memprediksi vaksinasi dapat mempengaruhi
kerentanan terhadap terjadinya atopi. Akan tetapi, beberapa studi
Ig E Poliklonal
Infeksi cacing
Polusi
Lingk. padat Sanitasi buruk
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan data yang tidak konsisten mengenai keuntungan atau efek samping vaksinasi terhadap kemungkinan terjadinya atopi.
9
Penelitian di Inggris yang dilakukan terhadap 6811 anak, menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara vaksinasi pertusis
pada bayi dengan peningkatan risiko wheezing atau asma di kemudian hari.
11
Pada penelitian yang dilakukan terhadap 82 anak berusia 0-3 tahun di Jepang, menemukan bahwa vaksinasi DPT memiliki beberepa
efek dalam meningkatkan kejadian atopi, sementara vaksinasi BCG Bacillus Calmette Guerin menghambat perkembangan kejadian atopi
meskipun efek pencegahannya akan berakhir setelah beberapa tahun.
12
Penelitian pada 14.893 anak di lima negara Eropa menunjukkan tidak terdapat hubungan antara vaksinasi campak
dengan penyakit alergi.
13
2. Menyusui Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan akan banyak memberikan
pengaruh pada respons imun. Bermacam-macam antigen yang masuk ke dalam tubuh tidak secara dini dapat merangsang respons imun.
Sistem imun akan berkembang bersamaan dengan tumbuh kembang. Meskipun ASI akan dapat mencegah asma dan atopi, atau kedua-
duanya, tetapi hal ini masih merupakan kontroversi. Pada beberapa penelitian terlihat bahwa ASI eksklusif selama 4-6 bulan akan
Universitas Sumatera Utara
mencegah timbulnya atopi dan asma pada anak.
14
Penelitian di Denmark menunjukkan tidak terdapat efek yang kuat dari menyusui
secara eksklusif atau partial pada dermatitis atopi, meskipun riwayat alergi pada keluarga juga dapat mempengaruhi risiko. Bagaimanapun
juga, efek protektif menyusui pada anak dengan riwayat alergi pada keluarga dapat terjadi.
15
Menyusui merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya dalam berkembangnya
toleransi terhadap alergen terutama karena adanya toleransi oral yang diperantarai oleh jaringan lymphoid yang berhubungan dengan saluran
pencernaan.
8
Lamanya menyusui merupakan faktor yang penting dimana menyusui kurang dari 3 bulan hanya memiliki sedikit efek
protektif atau bahkan tidak dijumpai efek protektif terhadap atopi.
9
Pengaruh menyusui selain berhubungan dengan lamanya menyusui juga berhubungan dengan adanya kombinasi dengan susu sapi dan
adanya predisposisi genetik terhadap atopi.
8
3. Jumlah saudara kandung Strachan, dalam hipotesis higienenya melaporkan adanya suatu
hubungan yang terbalik antara jumlah anggota keluarga dengan berkembangnya kelainan atopi.
9
Penelitian di Australia melaporkan adanya efek protektif dari tiga atau lebih jumlah saudara kandung
Universitas Sumatera Utara
yang lebih tua pada anak usia 3-5 tahun terhadap penyakit asma.
4
Adanya saudara kandung yang lebih tua memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan saudara kandung yang lebih muda, oleh karena itu
faktor-faktor seperti infeksi virus di awal kehidupan dapat mencegah perkembangan sensitisasi alergi.
6
Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko pada
keturunan berikutnya untuk menjadi atopi. Hal ini mengacu pada hipotesis berikut ini :
a. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran hipotesis toleransi induksi. Oleh karena itu toleransi imun maternal yang
ditunjukkan oleh rendahnya kadar IgE penting untuk respons atopi pada anak sehingga ditemukan penurunan dalam IgE serum tali
pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang hidup, hal ini dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE
maternal.
16
b. Penurunan IgE maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan yang hidup dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini
dapat menjelaskan penurunan IgE serum tali pusat dapat dijumpai pada jumlah saudara kandung yang lebih banyak hipotesis
toleransi transmisi.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah penelitian di Inggris dan New Zealand melaporkan bahwa perubahan dalam jumlah keluarga pada tiga puluh tahun
terakhir tidak dapat banyak menjelaskan mengenai peningkatan prevalensi asma dan hay fever.
17
Penelitian terhadap 1456 bayi baru lahir di Inggris menunjukkan kadar IgE tali pusat menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan IgE tali pusat yang diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi
pada usia 4 tahun. Selain itu juga dilaporkan bahwa kadar IgE tali pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode
prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara kandung terhadap kejadian alergi sudah berasal dari uterus.
18
4. Infeksi mikroba Para ahli alergi-imunologi telah melakukan eksplorasi lebih jauh dan
didapatkan bahwa berkurangnya paparan terhadap mikroba merupakan faktor penyebab utama meningkatnya insidens atopi.
8,19
Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan berkurangnya paparan terhadap mikroba diantaranya berkurangnya jumlah kelahiran, air dan
makanan yang bersih, sanitasi, penggunaan antibiotika dan vaksin, dan juga faktor insidental seperti perpindahan tempat tinggal dari
pedesaan ke perkotaan.
8
Universitas Sumatera Utara
Mikroba yang dapat mempengaruhi outcome alergi dan asma dapat dibagi menjadi beberapa kategori:
-
Infeksi bakteri, virus, parasit
20
-
Komponen mikroba seperti endotoksin, Staphylococcus aureus
-
Kolonisasi saluran cerna seperti lactobacillus, bacteroides dan parasit
-
Mikrobiota tanah
-
Hal-hal yang dapat menurunkan jumlah mikroba seperti penggunaan antibiotik, imunisasi, meningkatnya kebersihan
individu. Beberapa faktor yang menentukan outcome akibat infeksi mikroba
adalah jenis mikroba dan komponennya, fenotip penyakit, waktu paparan, jumlah dan kombinasi paparan, genetik serta rute
paparan. Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan adanya efek
protektif agen infeksius tunggal atau multipel dan atau produk mikroba terhadap berkembangnya sensitisasi alergi atau penyakit alergi. Hal
ini mencakup infeksi campak, malaria, infeksi saluran pencernaan seperti virus hepatitis A dan Helicobacter pylori, flora normal usus,
endotoksin lingkungan dan produk mikroba lainnya di lingkungan dan kecacingan.
20
21
Universitas Sumatera Utara
2.2. Uji Tusuk Kulit