Tata cara ritual Ta’no

47

3.3.3.4. Tata cara ritual Ta’no

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis, ada beberapa hal yang didapatkan mengenai tata cara pelaksanaan ritual Ta’no dalam penolakan terhadap PT. Elgary Resources Indonesia di Oenbit, yaitu sebagai berikut: 24 1. Setelah segala kelengkapan yang diperlukan telah disiapkan oleh masyarakat, maka masyarakat akan berkumpul di salah satu rumah sebelum mereka bersama- sama pergi ke gunung Loeram. Rumah yang biasanya dipakai sebagai tempat berkumpulnya masyarakat sebelum melakukan ritual Ta’no di gunung Loeram untuk penolakan terhadap PT. ERI ini ialah di sonaf Ataupah, yang bertempat di kediaman Bapak A.A selaku ketua adat suku Ataupah. 2. Masyarakat yang telah berkumpul kemudian bersama-sama berjalan kaki menuju ke kaki gunung Loeram dengan membawa kurban-kurban untuk ritual dan alat- alat yang akan dipakai dalam ritual tersebut. Perjalanan dari rumah Bapak A.A ke kaki gunung Loeram biasanya memakan waktu 30-45 menit. 3. Setelah tiba di kaki gunung Loeram, maka ritual Ta’no pun dilakukan. Usi Mnasi tua adat atau orang yang dituakan dalam masyarakat ataupun dalam keluarga, biasanya adalah laki-laki yang biasanya berasal dari keluarga atau suku Ataupah akan memimpin ritual Ta’no. 4. Ritual diawali dengan pengucapan Tateab Hanaf 25 oleh tua adat. Tateab Hanaf ini biasanya berupa doa-doa yang ditunjukan kepada nenek moyang, sebagai tanda bahwa mereka meminta izin untuk dapat bertemu dengan nenek moyang mereka guna menyampaikan apa yang menjadi permintaan atau kebutuhan mereka saat itu. 24 Wawancara dengan Ketua Adat Suku Naikofi, di Oenbit 20 Desember 2015. 25 Tateab Hanaf: Doa-doa atau mantera-mantera. 48 5. Setelah Tateab Hanaf dilakukan, maka ritual berikutnya adalah memotong kurban-kurban yang diminta oleh nenek moyang. Kurban-kurban yang berupa hewan, dipotong lehernya dan darahnya diteteskan di seputar kaki gunung Loeram. 6. Setelah darah dari kurban-kurban selesai diteteskan, maka masyarakat akan melepas kepergian dua orang utusan untuk naik ke atas gunung Loeram. 7. Sesampai di atas gunung Loeram, kedua utusan ini pun mulai mempersembahkan korban hewan yang masih hidup. Kurban yang dibawa ke atas gunung itu, biasanya adalah seeokor babi merah, sapi dan beras. Ketua adat suku Ataupah dan ketua suku Naikofi yang biasanya diutus untuk naik ke gunung Loeram, mengatakan bahwa sesampainya di depan sebuah batu keramat bertuliskan Usi Ataupah yang dipercayai merupakan rumah atau kediaman nenek moyang, mereka langsung melepaskan babi yang dibawa tadi, kemudian beras yang dibawa di ra’u 26 dan dibuang di sekeliling puncak gunung. 8. Sambil darah dari hewan kurban diteteskan dan beras ditabur di sekeliling puncak gunung, maka bersamaan dengan itu mereka mengucapkan Tateab Hanaf yang biasanya berisi maksud kedatangan mereka kepada para nenek moyang saat itu. 9. Kemudian, ketua suku Naikofi akan menunggu di depan batu keramat dan salah satu utusan dari suku Ataupah akan pergi menghadap nenek moyang di batu keramat yang masyarakat sebut Funan Abaina, Neno Abaina bulan bisa berubah, matahari bisa berubah karena pada waktu pagi wujudnya bisa berubah menjadi anak kecil, siang pemuda, sore dewasa dan malam menjadi lansia. 10. Utusan dari suku Ataupah itu, akan mendekati batu keramat dan mulai melakukan Tateab Hanaf, dan isi Tateab Hanaf yang disampaikan dengan tutur adat bahasa 26 Ra’u: Diambil dengan kedua belah tangan. 49 dawan pada pertemuan dengan nenek moyang tersebut dirahasiakan, dan biasanya hanya diketahui oleh tua-tua adat. 11. Setelah pertemuan yang membicarakan mengenai tujuan penyembelihan yang dilakukan oleh penduduk diberitahukan kepada nenek moyang, maka utusan itu akan kembali menemui suku Naikofi yang telah menunggu di depan batu keramat tersebut. 12. Setelah keduanya bertemu, maka utusan tersebut akan menyampaikan isi berita yang sudah disampaikannya kepada arwah nenek moyang kepada suku Naikofi yang telah menunggu, apabila permintaan penduduk agar penolakan terhadap PT. Elgary Resources Indonesia sudah disampaikan. Setelah itu, kedua utusan tersebut kembali turun ke kaki gunung Loeram dengan membawa serta hewan yang sudah disembelihkan tadi untuk direbus karena jawaban diterima dapat dilihat dari kurban sembelihan yang akan direbus. Masyarakat mempercayai bahwa apabila dalam rebusan tadi terlihat hati kurban tersebut tidak terbelah dan tidak bercacat maka permohonan mereka sudah diterima oleh leluhur nenek moyang mereka. 13. Setelah kurban sembelihan selesai direbus, mereka masuk ke dalam sonaf untuk mempersembahkan kepada leluhur. Para utusan dari beberapa suku akan memotong daging kurban sembelihan kemudian di ra’u dan diletakkan di atas nyiru atau tempat beras. Setelah pemotongan daging selesai dilakukan maka masyarakat menaikan Tateab Hanaf. Setelah itu, semua perwakilan dari beberapa suku juga diminta untuk masuk ke dalam sonaf. Ketua suku yang telah dipercayai untuk melakukan ritual di atas gunung Loeram tadi langsung memakan bagian paru-paru babi yang mentah dengan dicampur beras mentah. 14. Mereka kemudian mulai berpesta bersama dengan memasak hewan dan beras yang ada, lalu dimakan bersama-sama di atas daun pisang. Pesta makan bersama 50 ini mengungkapkan rasa sukacita dan tanda terima kasih dari mereka kepada roh- roh nenek moyang yang telah menerima permintaan yang mereka sampaikan. Ritual makan bersama dipercayai mampu memberikan berkat dan tanda kemenangan bagi masyarakat Oenbit. 15. Setelah selesai makan bersama, maka hujan pun langsung turun, dan biasanya disebut Ulan Nmof atau hujan. Hujan ini menandakan bahwa permintaan mereka telah didengar oleh nenek moyang. Hal yang menarik dari pelaksanaan ritual Ta’no ini adalah, masyarakat mengawali ritual adat mereka dengan melaksanakan ritual keagamaan secara Katolik terlebih dahulu. Setelah mengadakan misa, baru kemudian masyarakat melaksanakan ritual Ta’no dengan menyembelihkan hewan dan mengeluarkan sumpah adat sebagai bentuk kutukan terhadap PT. Elgary Resources Indonesia. Misa tersebut dipimpin oleh seorang P.K MSF dan diikuti oleh umat yang berasal dari masyarakat suku Naikofi, Ataupah dan suku Taesbenu, bersama aktivis Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi LMND Kefamenanu. Kelompok masyarakat ini kemudian menamakan diri Aliansi Rakyat Peduli Lingkungan Arapel. 27 Gambar 2: Aksi demo yang dilakukan oleh masyarakat Oenbit yang menamakan diri mereka sebagai masa Arapel. 27 Wawancara dengan Aktivis Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi LMND, di Oenbit 23 Desember 2015. 51 Gambar 3: Misa bersama di lokasi penambangan. P. K mengatakan dalam khotbahnya, pihaknya harus yakin bahwa perjuangan warga harus menderita akibat pemimpin yang telah dipilih. “Kita hadir sebagai satu keluarga yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk lestarikan lingkungan ini. Lebih baik kita jadi pelayan daripada pemimpin, karena beban apapun harus diperjuangkan untuk harga diri kita. Hadirnya mangan membawa penderitaan bukan kesejahteraan, hadirkan konflik masyarakat dengan masyarakat, sehingga kita harus hentikan. Kita makan jagung dan ubi, bukan makan mangan. Hari ini mereka keruk semua, apakah besok kita makan mangan.” Sebagai pelaksana sabda Tuhan, lanjut P.K umat harus berani hadapi siapapun. Senjata umat adalah kebersamaan, keluarga, dan itu tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.”Sebagai martir-martir Kristus, kita jangan jadi orang Farisi yang munafik. Kita takut akan Tuhan dan alam kita karena dirusak oleh manusia rakus. Kita tidak punya senjata karena kita punya Alkitab dan tubuh Kristus. Semangat kita untuk mengolah, maka apapun yang terjadi, mau malam sampai besok ini, tetap tanah kita. Hari ini tanggal 3 Maret, di sinilah gereja kita demi alam semesta, bukan ciptaan bupati, PT Elgary Resources Indonesia dan DPRD. Ketika mereka merusak tanah kita, maka mereka setan-setam dan iblis. Mereka bukan Katolik kata P.K. 28 Berdasarkan upaya-upaya yang dilakukan, terlihat bahwa gereja terlibat aktif dalam memperjuangkan hak ulayat masyarakat. Dengan pelaksanaan ritual agama dan adat secara bersamaan ini menunjukkan bahwa terjadi dualisme agama, di mana agama Katolik dan agama suku berjalan bersama dalam menghadapi eksploitasi tanah yang dilakukan oleh PT. Elgary Resources Indonesia. Keterlibatan aktif gereja katolik dalam memperjuangkan hak ulayat masyarakat ini terjadi karena di dalam wilayah Oenbit, mayoritas agama terbesar yang dianut oleh masyarakat adalah Katolik. 28 Wawancara dengan Pater yang berjuang bersama masyarakat Oenbit, di Kefamenanu 26 Desember 2015. 52 Misa yang dilaksanakan berlangsung sekitar 32 menit dan dilanjutkan dengan dialog antara pengunjuk rasa dengan pimpinan PT. Elgary Resources Indonesia yang dimediasi oleh Wakil Kepala Kepolisian TTU Komisaris Polisi D. R. Dalam dialog, pengunjuk rasa meminta agar perusahaan segera menghentikan aktivitas pertambangan. Dalam aksi tersebut, massa membawa sejumlah s panduk protes, beberapa di antaranya adalah “Tangkap dan Adili Mafia Tambang”, “Jangan Rampas Tanah Kami” dan “Kami Juga Butuh Sejahtera.” 29 Sementara itu, pimpinan PT. Elgary Resources Indonesia, D. C mengatakan, pihaknya akan menghentikan aktivitas penambangan sampai hari senin 9 Maret 2015. Namun kegiatan administrasi di kantor PT. Elgary Resources Indonesia akan berjalan seperti biasa. “Kami akan melanjutkan aktivitas setelah ada pertemuan dengan instansi- instansi terkait” jelasnya. 30 Setelah berorasi, mereka kemudian bergerak menuju puncak tambang mangan gunung Loeram untuk melaksanakan ritual adat. Kegiatan ritual adat Ta’no dilakukan dengan menyembelih satu ekor ayam jantan merah dan satu ekor ayam jantan hitam yang digantung di pagar perusahaan oleh salah seorang perwakilan massa, A.A dengan mengeluarkan sumpah: “Siapa yang berani melanggar ini berarti bertanggung jawab atas alam dan tanah ini”. Sumpah demi langit dan bumi, kalau orang ini bukan orang asli di sini mengapa dia memiliki tanah ini. Kalau memang betul bumi ini memiliki kekuatan bahwa bumi ini milik kita, hindarkan orang ini dari sini dan siapa berani bongkar pagar ini berarti bertanggungjawab atas langit dan bumi ini. 31 Kutukan ini secara tidak langsung mengandung ungkapan isi hati masyarakat yang merasa bahwa tanah mereka telah dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, kutukan yang diucapkan juga merupakan ungkapan kekesalan yang sudah tidak dapat 29 Wawancara dengan Aktivis Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi LMND, di Oenbit 23 Desember 2015. 30 Wawancara dengan Aktivis Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi LMND, di Oenbit 23 Desember 2015. 31 Wawancara dengan Ketua Adat Suku Ataupah, di Oenbit 22 Desember 2015. 53 dibendung oleh masyarakat. Hal ini yang mendorong masyarakat berani untuk mengucapkan sumpah dan kutukan keras tersebut. Gambar 4: Pemotongan ayam jantan berwarna merah di lokasi penambangan. Gambar 5: Pengantungan leher dan kaki ayam di pagar lokasi, sebagai tanda larangan. Digantungnya kaki dan leher ayam pada pagar pembatas gambar 5 menjadi tanda larangan terhadap PT. Elgary Resources Indonesia untuk segera menghentikan aktivitas penambangan. Sejak digantungnya leher dan kaki ayam tersebut, PT. Elgary sources Indonesia langsung menghentikan aktivitas penambangan yang dilakukan dan hingga saat ini belum pernah sekalipun mereka melanggar atau melepaskan tanda tersebut. Leher dan kaki ayam tersebut menjadi media sumpah yang sudah diucapkan oleh kepala suku. Masyarakat mempercayai bahwa apabila seseorang melanggarnya maka akan bertanggungjawab terhadap 54 langit dan bumi. Siapapun yang melakukannya, baik itu masyarakat maupun perusahaan akan mengalami kegagalan dalam setiap usaha-usahanya. 32 Gambar 6: Penyembelihan babi merah dalam ritual Ta’no. Ritual adat yang dilakukan diartikan sebagai pemberitahuan kepada leluhur bahwa adanya tambang mangan mengakibatkan kerusakan alam sehingga masyarakat memohon restu untuk berjuang kembali guna mengembalikan kelestarian alam. Setelah melakukan ritual pemotongan ayam merah dan hitam di lokasi penambangan, para tua-tua adat yang sudah diutus dari suku-suku yang ada naik ke puncak gunung Loeram untuk melakukan ritual Ta’no. Seusai melaksanakan ritual adat, massa kemudian membongkar tenda jaga di lokasi tambang mangan PT. Elgary Resources Indonesia, serta mencabut papan plang pemberitahuan lokasi tambang. Massa kemudian berjalan menuju kantor PT Elgary. Saat tiba di depan kantor PT. Elgary, massa langsung merobohkan pagar pintu masuk perusahaan tersebut, lalu masuk ke stock file dan membentangkan spanduk bertuliskan Lokasi Ini disegel oleh Masyarakat Adat.” 33 32 Wawancara dengan Koordinator Umum Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Arapel, di Oenbit 22 Desember 2015. 33 Wawancara dengan Juru Bicara Suku Naikofi, di Oenbit 20 Desember 2015. 55 Menurut kepercayaan masyarakat, apabila dalam pelaksanaan ritual masyarakat tidak sempat ke gunung Loeram, maka bagi mereka yang ingin meminta berkat ataupun memohon perlindungan kepada nenek moyang dapat juga dilakukan di sonaf dengan cara membawa persyaratan seperti sopi, sirih pinang, ayam jantan berwarna merah dan beras sambil mengucapkan permintaan mereka kepada arwah-arwah nenek moyang. Kehidupan masyarakat Oenbit yang masih sangat kental dengan adat dan budaya ini juga berpengaruh pada penerimaan masyarakat terhadap tamu yang datang ke wilayah mereka. Kehadiran orang baru yang berasal dari luar wilayah mereka harus didahului dengan memohon izin kepada para leluhur. Permohonan izin ini dilakukan dengan cara memberikan syarat-syarat seperti sopi, sirih pinang, dan ayam sebagai korban persembahan. Apabila semua persyaratan telah diberikan maka mereka kemudian masuk ke dalam sonaf untuk berdoa guna menyampaikan bahwa ada orang asing yang datang dan ingin mengetahui tentang Oenbit. Lewat penyembelihan ayam di sonaf, masyarakat dapat mengetahui apakah tamu tersebut mempunyai rencana jahat terhadap mereka atau tidak. Bukti tersebut dapat dilihat dari hewan yang disembelih tadi.

3.4. Faktor yang menyebabkan Masyarakat Oenbit masih melakukan ritual Ta’no