Kajian Kesesuaian Karakteristik Ekosistem Terumbu Karang dan Kesesuaian Pemanfaatannya di Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional Kepulauan Seribu

(1)

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA

TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

OLEH

PERSADA AGUSSETIA SITEPU

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU

NOMOR POKOK : 99792

PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KESESUAIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA DI ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)

HARI : SENIN

TANGGAL : 20 JUNI 2005

WAKTU : 09.00 – 10.00 WIB


(3)

UJIAN TESIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU

NOMOR POKOK : 99792

PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA, TAMAN NASIONAL

KEPULAUAN SERIBU

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)

DOSEN PENGUJI : Dr. Ir. UNGGUL AKTANI, MSc.

HARI : RABU

TANGGAL : 26 SEPTEMBER 2007

WAKTU : 09.00 WIB – SELESAI


(4)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang terletak di bagian utara Jakarta. Wilayah ini merupakan kesatuan dari perairan laut dan pulau-pulau kecil sebanyak 110 buah yang tersebar dari arah barat laut ke arah tenggara sekitar Teluk Jakarta (SK Gub. DKI No. 1986 tahun 2000). Sebagai wilayah yang memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan wilayah lain di Jakarta, pengelolaan wilayah Kepulauan Seribu kemudian ditetapkan secara administratif menjadi salah satu Daerah Tingkat II di DKI Jakarta dengan nama Kabupaten Adminitrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2001.

Wilayah ini telah cukup lama dikenal sebagai salah satu alternatif tujuan wisata di wilayah Ibukota Jakarta. Perairan pantai dan masih terdapatnya objrk daya wisata khas perairan laut tropis yaitu terumbu karang, maka pengembangan wilayah Kepulauan Seribu ini terutama ditujukan pada sektor pariwisata. Di dalam wilayah Kepulauan Seribu ini terdapat beberapa kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi yaitu berupa kawasan cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional yang tentu saja dapat menjadi aset berharga dalam rangka meningkatkan sektor pariwisata di wilayah ini.

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu dari kawasan konservasi tersebut, kawasan ini berada di bagian utara wilayah Kepulauan Seribu yang keberadaannya telah ditetapkan sejak tahun 1995 dan terakhir dikukuhkan sebagai taman nasional pada tahun 2002 melalui SK Mehut No. 6310/Kpts-II/2002. Kawasan TNKpS meliputi perairan laut seluas 107.489 ha yang terletak pada posisi 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT (Balai TNKpS, 2002). UU No. 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai suatu “kawasan yang mempunyai ekosistim asli yang dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan penunjang budi daya”. Berdasarkan undang-undang tersebut kawasan TNKpS terbagi dalam empat zona sebagai alokasi peruntukan kegiatan


(5)

di dalamnya yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan Zona Pemukiman.

Zona Pemanfaatan Wisata adalah zona yang di alokasikan untuk kegiatan pariwisata di TNKpS. Zona ini meliputi kawasan perairan laut seluas 62.430 ha dimana keberadaan terumbu karang di perairan ini yang umumnya berupa karang sekitar pulau (fringing reef) atau gosong karang adalah yang menjadi objek utama kegiatan periwisata di kawasan ini.

Di Zona Pemanfaatan Wisata yang merupakan hasil revisi zonasi Balai TNKpS tahun 2004 melalui SK Dirjen PHKA Dephut No. 05/IV-KK/2004 ini, seluruh pulau yang telah dikembangkan menjadi resort wisata seperti Pulau Bira, Pulau Sepa, Pulau Putri dan Pulau Kotok dan pulau-pulau lain yang berdekatan dengan pulau-pulau tersebut dimasukan ke dalam zona ini. Hal ini diharapkan untuk lebih mengefektifkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan untuk kegiatan pariwisata dan pengembangannya yaitu dengan memberikan tata ruang yang jelas bagi para stakeholder.

Tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak TNKpS sebagai pengelola, pengalokasian ruang saja dirasakan belum cukup efektif dalam rangka mengelola zona ini, tetapi diperlukan juga adanya suatu aturan yang lebih spesifik di zona ini sesuai dengan kondisi terumbu karang yang menjadi objek pemanfaatan. Hal ini mengingat aturan yang digunakan dalam pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS saat ini masih sangat umum yaitu mengacu pada ketentuan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional pada UU No. 5 tahun 1990 atau PP No. 68 tahun 1998 yang belum cukup jelas terutama bagi masyarakat atau wisatawan yang memanfaatkannya.

Di zona ini berbagai aktivitas wisata dilakukan oleh para wisatawan seperti menyelam atau snorkeling yang lokasinya terutama berada di sekitar ekosistem terumbu karang. Selain aktivitas wisata bahari tersebut, beberapa kegiatan pemanfaatan lain juga dilakukan di sekitar lokasi ini oleh stakeholder

lain terutama oleh masyarakat (nelayan) untuk memancing, menjaring ikan atau aktivitas menangkap ikan lainnya.

Mengingat bahwa terumbu karang ini adalah merupakan ekosistem yang dinamis dimana kondisinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di perairan dan sekitarnya baik secara langsung maupun tidak, menyebabkan perlu


(6)

diketahuinya kondisi terumbu karang di zona ini yaitu berupa distribusi keberadaan dan kondisi tutupannya agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih efektif, sesuai kondisinya tersebut serta nilai dan potensi pemanfaatannya.

Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaaatan kawasan terumbu karang pada Zona Pemanfaatan Wisata ini diperlukan sebuah kajian yang dapat menganalisis lokasi keberadaan, distribusi tutupan, nilai kawasan terumbu karang dan berbagai aktifitas pemanfaatannya secara komperhensif.

Identifikasi Masalah

Meskipun di wilayah TNKpS telah di alokasikan zona khusus yaitu Zona Pemanfaatan Wisata yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan pemanfaatan pariwisata alam dengan terumbu karang sebagai objek utama dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum cukup banyak diketahui kondisi terumbu karang yang ada di lokasi ini, baik distribusi keberadaannya, tutupan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut.

Belum cukup diketahuinya informasi tersebut di atas menyebabkan belum diketahuinya pula nilai atau potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang yang ada sehingga masih terdapat beberapa aktivitas yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai dan potensinya tersebut. Bahkan beberapa diantaranya dapat berpotensi merusak kawasan terumbu karang di zona ini secara langsung maupun tidak, seperti terinjak atau terkena jangkar kapal wisatawan maupun akibat aktivitas stakeholder lain di luar kegiatan pariwisata seperti menangkap ikan dengan menggunakan jaring dasar (muroami), penggunaan bahan peledak atau bahan kimia berbahaya yang dilaporkan masih terjadi di kawasan terumbu karang di zona ini.

Terjadinya berbagai permasalahan ini terutama diakibatkan karena belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini. Aturan yang digunakan saat ini masih mengacu pada ketentuan dasar pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan taman nasional di Indonesia yang masih sangat umum. Terdapatnya


(7)

potensinya tersebut sangat diperlukan dalam rangka mencapai kelestarian manfaat kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini.

Perumusan Masalah

Dari identifikasi permasalahan di atas dapat dirumuskan permasalahan yang ada sebagai berikut:

1. Masih belum cukup banyak diketahuinya kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS yaitu berupa distribusi keberadaan, tutupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Belum diketahuinya potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS malalui nilai ekologi maupun pariwisata.

3. Belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan-kegiatan pemanfaatan di kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.

Tujuan Penelitian

Dari uraian rumusan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis distribusi lokasi kawasan terumbu karang, persen tutupan karangnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisinya tersebut di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.

2. Menelaah potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS melalui nilai ekologi dan pariwisatanya.

3. Mengidentifikasi arah aturan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS secara spesifik sesuai kondisi dan potensinya.

Kerangka Pemikiran

Zona Pemanfaatan Wisata sesuai fungsinya merupakan kawasan yang dialokasikan untuk mengakomodasi berbagai aktifitas pariwisata dan pengembangannya dalam taman nasional. Berdasarkan hal tersebut, zona ini


(8)

adalah kawasan yang mempunyai objek pemanfaatan yang bernilai secara pariwisata yang potensial dan harus dikelola dengan baik dalam rangka mencapai kelestarian manfaatnya. Aktifitas wisata bahari yang dilakukan oleh wisatawan yang datang ke kawasan ini menjadikan terumbu karang yang ada di zona ini sebagai objek utama berbagai aktivitas pariwisata di kawasan ini selain aktivitas lain diluar kegiatan pariwisata yang juga menjadikan kawasan terumbu karang sebagai objek utama pemanfaatannya.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata di TNKpS ini harus dapat menerapkan suatu konsep pengelolaan yang dapat menyelaraskan antara kelestarian kawasan terumbu karang dengan berbagai kegiatan pemanfaatannya sesuai fungsi zonanya di dalam kawasan taman nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan terciptanya kelestarian manfaat (sustainable use) kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS sehingga kualitas kawasan terumbu karang dapat tetap terjaga dan kegiatan pemanfaatannya yang sesuai dapat terus berlangsung.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada para stakeholder tentang

kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS dan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya.

2. Meletakan dasar survei dan monitoring kawasan terumbu karang secara lebih terarah sesuai kondisi dan potensinya di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS. 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan

pengelolaan yang terkait dengan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS atau wilayah Kepulauan Seribu pada umumnya.


(9)

Survei/Inventarisasi Analisis Citra / GIS

Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Terumbu Karang di Zona Pemanfaatan Wisata,TNKpS

Distribusi & Persentase Tutupan Karang - Habitat sekitar karang

- Komposisi life form karang

- Komposisi genus karang

Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS

Terumbu Karang

Faktor Pembatas Lingkungan:

-Suhu - Salinitas

-Sedimentasi - Hydrodynamics

Sebaran Lokasi Terumbu Karang - Posisi kawasan terumbu karang

- Lokasi terumbu karang

- Luasan

Kegiatan Pemanfaatan

stakeholders di ZPW, TNKpS

Kriteria dan Aturan Kegiatan Pemanfaatan di Taman Nasional

Keterangan: = Analisis = Pengaruh

Kondisi Kawasan Terumbu Karang di ZPW, TNKpS

Nilai Ekologi dan Parwisata kawasan Terumbu Karang di

ZPW, TNKpS


(10)

TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup di perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang komponen utamanya disusun oleh hewan-hewan karang dari Klas Anthozoa, Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono, 2000). Hewan karang adalah hewan sessile

renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral,

hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk ke dalam Phylum Cnidaria

(Coelenterata) (Veron, 2000) dimana klasifikasi dari komunitas hewan-hewan dalam ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terpenting di suatu ekosistem terumbu karang tersebut adalah karang batu (stony coral) yaitu hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun dari rangka kapur (Nontji, 2002).

Tabel 1. Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron, 2002)

Klas Hydrozoa

Ordo Hydroidea (hydroids)

Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)

Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster)

Klas Cubozoa (sea wasps)

Klas Anthozoa

SubKlas Octocorallia

Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)

Ordo Alcyonacea (soft corals, Tubipora, sea fans)

Ordo Pennatulacea (sea pens)

SubKlas Hexacorallia

Ordo Actiniaria (sea anemones)

Ordo Zoanthidia (zoanthids)

Ordo Corallimorpharia (corallimorpharians)

Ordo Scleractinia (stony corals)

SubKlas Ceriantipatharia

Ordo Antipatharia (black corals)


(11)

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA

TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

OLEH

PERSADA AGUSSETIA SITEPU

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SEMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU

NOMOR POKOK : 99792

PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KESESUAIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA DI ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)

HARI : SENIN

TANGGAL : 20 JUNI 2005

WAKTU : 09.00 – 10.00 WIB


(13)

UJIAN TESIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

NAMA : PERSADA AGUSSETIA SITEPU

NOMOR POKOK : 99792

PROGRAM STUDI : PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

JUDUL PENELITIAN : KAJIAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN KESESUAIAN PEMANFAATANNYA PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA, TAMAN NASIONAL

KEPULAUAN SERIBU

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ir. NEVIATY P. ZAMANI, MSc. (KETUA) Dr. Ir. VINCENTIUS P. SIREGAR, DEA. (ANGGOTA)

DOSEN PENGUJI : Dr. Ir. UNGGUL AKTANI, MSc.

HARI : RABU

TANGGAL : 26 SEPTEMBER 2007

WAKTU : 09.00 WIB – SELESAI


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang terletak di bagian utara Jakarta. Wilayah ini merupakan kesatuan dari perairan laut dan pulau-pulau kecil sebanyak 110 buah yang tersebar dari arah barat laut ke arah tenggara sekitar Teluk Jakarta (SK Gub. DKI No. 1986 tahun 2000). Sebagai wilayah yang memiliki karakteristik yang unik yang berbeda dengan wilayah lain di Jakarta, pengelolaan wilayah Kepulauan Seribu kemudian ditetapkan secara administratif menjadi salah satu Daerah Tingkat II di DKI Jakarta dengan nama Kabupaten Adminitrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2001.

Wilayah ini telah cukup lama dikenal sebagai salah satu alternatif tujuan wisata di wilayah Ibukota Jakarta. Perairan pantai dan masih terdapatnya objrk daya wisata khas perairan laut tropis yaitu terumbu karang, maka pengembangan wilayah Kepulauan Seribu ini terutama ditujukan pada sektor pariwisata. Di dalam wilayah Kepulauan Seribu ini terdapat beberapa kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi yaitu berupa kawasan cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional yang tentu saja dapat menjadi aset berharga dalam rangka meningkatkan sektor pariwisata di wilayah ini.

Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) merupakan salah satu dari kawasan konservasi tersebut, kawasan ini berada di bagian utara wilayah Kepulauan Seribu yang keberadaannya telah ditetapkan sejak tahun 1995 dan terakhir dikukuhkan sebagai taman nasional pada tahun 2002 melalui SK Mehut No. 6310/Kpts-II/2002. Kawasan TNKpS meliputi perairan laut seluas 107.489 ha yang terletak pada posisi 5°24´-5°45´ LS dan 106°25´-106°40´ BT (Balai TNKpS, 2002). UU No. 5 tahun 1990 mendefinisikan taman nasional sebagai suatu “kawasan yang mempunyai ekosistim asli yang dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan penunjang budi daya”. Berdasarkan undang-undang tersebut kawasan TNKpS terbagi dalam empat zona sebagai alokasi peruntukan kegiatan


(15)

di dalamnya yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata dan Zona Pemukiman.

Zona Pemanfaatan Wisata adalah zona yang di alokasikan untuk kegiatan pariwisata di TNKpS. Zona ini meliputi kawasan perairan laut seluas 62.430 ha dimana keberadaan terumbu karang di perairan ini yang umumnya berupa karang sekitar pulau (fringing reef) atau gosong karang adalah yang menjadi objek utama kegiatan periwisata di kawasan ini.

Di Zona Pemanfaatan Wisata yang merupakan hasil revisi zonasi Balai TNKpS tahun 2004 melalui SK Dirjen PHKA Dephut No. 05/IV-KK/2004 ini, seluruh pulau yang telah dikembangkan menjadi resort wisata seperti Pulau Bira, Pulau Sepa, Pulau Putri dan Pulau Kotok dan pulau-pulau lain yang berdekatan dengan pulau-pulau tersebut dimasukan ke dalam zona ini. Hal ini diharapkan untuk lebih mengefektifkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan untuk kegiatan pariwisata dan pengembangannya yaitu dengan memberikan tata ruang yang jelas bagi para stakeholder.

Tetapi dalam pelaksanaannya oleh pihak TNKpS sebagai pengelola, pengalokasian ruang saja dirasakan belum cukup efektif dalam rangka mengelola zona ini, tetapi diperlukan juga adanya suatu aturan yang lebih spesifik di zona ini sesuai dengan kondisi terumbu karang yang menjadi objek pemanfaatan. Hal ini mengingat aturan yang digunakan dalam pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS saat ini masih sangat umum yaitu mengacu pada ketentuan pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan taman nasional pada UU No. 5 tahun 1990 atau PP No. 68 tahun 1998 yang belum cukup jelas terutama bagi masyarakat atau wisatawan yang memanfaatkannya.

Di zona ini berbagai aktivitas wisata dilakukan oleh para wisatawan seperti menyelam atau snorkeling yang lokasinya terutama berada di sekitar ekosistem terumbu karang. Selain aktivitas wisata bahari tersebut, beberapa kegiatan pemanfaatan lain juga dilakukan di sekitar lokasi ini oleh stakeholder

lain terutama oleh masyarakat (nelayan) untuk memancing, menjaring ikan atau aktivitas menangkap ikan lainnya.

Mengingat bahwa terumbu karang ini adalah merupakan ekosistem yang dinamis dimana kondisinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di perairan dan sekitarnya baik secara langsung maupun tidak, menyebabkan perlu


(16)

diketahuinya kondisi terumbu karang di zona ini yaitu berupa distribusi keberadaan dan kondisi tutupannya agar dapat dilakukan pengelolaan yang lebih efektif, sesuai kondisinya tersebut serta nilai dan potensi pemanfaatannya.

Untuk mengetahui kesesuaian pemanfaaatan kawasan terumbu karang pada Zona Pemanfaatan Wisata ini diperlukan sebuah kajian yang dapat menganalisis lokasi keberadaan, distribusi tutupan, nilai kawasan terumbu karang dan berbagai aktifitas pemanfaatannya secara komperhensif.

Identifikasi Masalah

Meskipun di wilayah TNKpS telah di alokasikan zona khusus yaitu Zona Pemanfaatan Wisata yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan pemanfaatan pariwisata alam dengan terumbu karang sebagai objek utama dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum cukup banyak diketahui kondisi terumbu karang yang ada di lokasi ini, baik distribusi keberadaannya, tutupan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut.

Belum cukup diketahuinya informasi tersebut di atas menyebabkan belum diketahuinya pula nilai atau potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang yang ada sehingga masih terdapat beberapa aktivitas yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai dan potensinya tersebut. Bahkan beberapa diantaranya dapat berpotensi merusak kawasan terumbu karang di zona ini secara langsung maupun tidak, seperti terinjak atau terkena jangkar kapal wisatawan maupun akibat aktivitas stakeholder lain di luar kegiatan pariwisata seperti menangkap ikan dengan menggunakan jaring dasar (muroami), penggunaan bahan peledak atau bahan kimia berbahaya yang dilaporkan masih terjadi di kawasan terumbu karang di zona ini.

Terjadinya berbagai permasalahan ini terutama diakibatkan karena belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini. Aturan yang digunakan saat ini masih mengacu pada ketentuan dasar pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan taman nasional di Indonesia yang masih sangat umum. Terdapatnya


(17)

potensinya tersebut sangat diperlukan dalam rangka mencapai kelestarian manfaat kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS ini.

Perumusan Masalah

Dari identifikasi permasalahan di atas dapat dirumuskan permasalahan yang ada sebagai berikut:

1. Masih belum cukup banyak diketahuinya kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS yaitu berupa distribusi keberadaan, tutupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Belum diketahuinya potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS malalui nilai ekologi maupun pariwisata.

3. Belum cukup jelas dan spesifiknya aturan yang mengatur kegiatan-kegiatan pemanfaatan di kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.

Tujuan Penelitian

Dari uraian rumusan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis distribusi lokasi kawasan terumbu karang, persen tutupan karangnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisinya tersebut di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS.

2. Menelaah potensi pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS melalui nilai ekologi dan pariwisatanya.

3. Mengidentifikasi arah aturan pemanfaatan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS secara spesifik sesuai kondisi dan potensinya.

Kerangka Pemikiran

Zona Pemanfaatan Wisata sesuai fungsinya merupakan kawasan yang dialokasikan untuk mengakomodasi berbagai aktifitas pariwisata dan pengembangannya dalam taman nasional. Berdasarkan hal tersebut, zona ini


(18)

adalah kawasan yang mempunyai objek pemanfaatan yang bernilai secara pariwisata yang potensial dan harus dikelola dengan baik dalam rangka mencapai kelestarian manfaatnya. Aktifitas wisata bahari yang dilakukan oleh wisatawan yang datang ke kawasan ini menjadikan terumbu karang yang ada di zona ini sebagai objek utama berbagai aktivitas pariwisata di kawasan ini selain aktivitas lain diluar kegiatan pariwisata yang juga menjadikan kawasan terumbu karang sebagai objek utama pemanfaatannya.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan Zona Pemanfaatan Wisata di TNKpS ini harus dapat menerapkan suatu konsep pengelolaan yang dapat menyelaraskan antara kelestarian kawasan terumbu karang dengan berbagai kegiatan pemanfaatannya sesuai fungsi zonanya di dalam kawasan taman nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan terciptanya kelestarian manfaat (sustainable use) kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata TNKpS sehingga kualitas kawasan terumbu karang dapat tetap terjaga dan kegiatan pemanfaatannya yang sesuai dapat terus berlangsung.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada para stakeholder tentang

kondisi kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS dan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya.

2. Meletakan dasar survei dan monitoring kawasan terumbu karang secara lebih terarah sesuai kondisi dan potensinya di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS. 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan

pengelolaan yang terkait dengan kawasan terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS atau wilayah Kepulauan Seribu pada umumnya.


(19)

Survei/Inventarisasi Analisis Citra / GIS

Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Terumbu Karang di Zona Pemanfaatan Wisata,TNKpS

Distribusi & Persentase Tutupan Karang - Habitat sekitar karang

- Komposisi life form karang

- Komposisi genus karang

Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS

Terumbu Karang

Faktor Pembatas Lingkungan:

-Suhu - Salinitas

-Sedimentasi - Hydrodynamics

Sebaran Lokasi Terumbu Karang - Posisi kawasan terumbu karang

- Lokasi terumbu karang

- Luasan

Kegiatan Pemanfaatan

stakeholders di ZPW, TNKpS

Kriteria dan Aturan Kegiatan Pemanfaatan di Taman Nasional

Keterangan: = Analisis = Pengaruh

Kondisi Kawasan Terumbu Karang di ZPW, TNKpS

Nilai Ekologi dan Parwisata kawasan Terumbu Karang di

ZPW, TNKpS


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup di perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang komponen utamanya disusun oleh hewan-hewan karang dari Klas Anthozoa, Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono, 2000). Hewan karang adalah hewan sessile

renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral,

hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk ke dalam Phylum Cnidaria

(Coelenterata) (Veron, 2000) dimana klasifikasi dari komunitas hewan-hewan dalam ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terpenting di suatu ekosistem terumbu karang tersebut adalah karang batu (stony coral) yaitu hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun dari rangka kapur (Nontji, 2002).

Tabel 1. Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron, 2002)

Klas Hydrozoa

Ordo Hydroidea (hydroids)

Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)

Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster)

Klas Cubozoa (sea wasps)

Klas Anthozoa

SubKlas Octocorallia

Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)

Ordo Alcyonacea (soft corals, Tubipora, sea fans)

Ordo Pennatulacea (sea pens)

SubKlas Hexacorallia

Ordo Actiniaria (sea anemones)

Ordo Zoanthidia (zoanthids)

Ordo Corallimorpharia (corallimorpharians)

Ordo Scleractinia (stony corals)

SubKlas Ceriantipatharia

Ordo Antipatharia (black corals)


(21)

Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang umumnya terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1974).

Pembentukan dan Struktur Rangka Kapur Karang

Pembentukan terumbu karang dimulai adanya individu karang (polip) yang hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu (Veron, 2000).

Anatomi polip cukup sederhana, polip karang mempunyai lapisan kulit ganda, kulit luar dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) dan kulit dalamnya yang disebut gastrodermis yang mengandungh tumbuhan alga renik bersel tunggal zooxanthetlae (Nybakken, 1992). Alga ini tumbuh di dalam polip karang dan melakukan fotosintesis. Kegiatan ini memproduksi zat makanan yang di manfaatkan oleh hewan karang. Dalam kegiatan ini karang menyediakan perlindungan dan akses mendapatkan sinar matahari bagi alga. Selain itu zooxanthelae juga memberi warna pada karang (Oliver, 2004 dalam Lesser, 2004). Di bagian bawah terdapat pharynx yang terbagi secara radial oleh mesentrie yang lekatkan tubuh hewan karang dari dalam mangkuk kalsium karbonatnya. Organ ini berguna dalam proses pencernaan, eksresi dan tempat terbentuknya gonad. Tentakel terdapat di sekeliling mulut yang memiliki nematocyst (sel penyengat) yang digunakan untuk mendeteksi dan menangkap makanan (Van Woesik, 2002).


(22)

Walaupun karang adalah hewan meiliki organ yang sederhana, rangka kapur yang dibentuknya seringkali sangat kompleks, dan morfologi dari rangka kapur inilah yang saat ini umumnya digunakan untuk mengidentifikasi jenis karang. Salah satu dasar pengamatan karang yang paling banyak digunakan adalah pengamatan struktur koralit. Di dalam koralit terdapat septa. yang tumbuh keluar dari dasar koralit, septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Nybakken, 1992; Vaughan and Wells 1943 dalam Van Woesik, 2002). Koralit terbuat dari kalsium karbonat, dimana ion kalsium diambil dari perairan sekitar oleh polip, kemudian diproses dalam tubuh hewan karang dan disekresi sebagai kalsium karbonat. Ukuran koralit sangat bervariasi, dari yang seukuran kepala jarum sampai yang sebesar sepatu. Koralit diperbanyak melalui proses yang disebut budding.

Terdapat dua proses budding yaitu intra tentacular dimana polip akan terbagi menjadi dua atau lebih polip dan extratentacular dimana polip baru terbentuk dari sisi polip pertama (Delbeek, 1995). Umumnya ribuan polip yang terbentuk saling berhubungan (interconnected) dalam satu koloni. Koloni karang akan tumbuh dengan mensekresi lapisan kapur di bawah polip, sehingga terumbu makin membesar dan hewan karang terdorong ke atas. Tumbuh di luar koralit terdapat

costae. Pada beberapa karang terdapat bagian yang muncul seperti tiang pada dasar

septa yang disebut paliform lobe dan di bagian tengah koralit terdapat columella. Koralit digabungkan secara horizontal oleh coenesteum (Van Woesik, 2002). Struktur rangka dari koralit karang disajikan pada Gambar 2.


(23)

Gambar 2. Struktur koralit hewan karang (Veron, 2002)

Bentuk dari koralit tergantung dari model pertumbuhannya, bila koralit membentuk dinding sendiri yang pendek disebut plocoid atau yang lebih panjang disebut phaceloid. Bila koralit membentuk diding bersama disebut ceroid, bila membentuk dinding lembah sendiri disebut meandroid dan bila membentuk dinding lembah bersama disebut flabello-meandroid (Veron, 2002). Bentuk-bentuk pertumbuhan koralit dari karang disajikan pada Gambar 3.


(24)

Gambar 3. Bentuk-bentuk pertumbuhan koralit karang (Veron, 2002)

Pertumbuhan Koloni Karang

Bentuk dari pertumbuhan koloni karang tergantung dari karakter dan ukuran dari polip, laju pertumbuhan dan tipe reproduksinya. Pertumbuhan koloni karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar ke semua arah), columnar

(membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat), branching (membentuk percabangan atau menjari), foliaceous/folious (menyerupai daun), laminar

(menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur ini sangat bervariasi, tergantung pada jenis hewan karang dan kondisi lingkungannya, dengan kisaran pertumbuhan umumnya antara 0,3 sampai 10 cm per tahun. (Vaughan and Wells, 1943 dalam Van Woesik 2002). Zooxanthellae merupakan faktor yang esensial dalam proses kalsifikasi atau produksi kapur bagi


(25)

sama untuk setiap species. Species-species tertentu tumbuhnya sangat cepat, yaitu bisa > 2 cm/bulan (umumnya branching corals), namun ada pula species karang (umumnya massive corals) yang tumbuhnya sangat lambat, yaitu hanya < 1 cm/tahun (Goreau, 1959 dalam Supriharyono, 2000).

Umumnya karang batu dibedakan atas karang Acropora dan non-Acropora. Hal ini disebabkan karang jenis Acropora lebih mudah dibedakan dan memiliki jumlah jenis dan penyebaran sangat luas dibandingkan jenis lainnya. Perbedaan

Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora

memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan

non-Acropora hanya memiliki radial koralit (English et.al., 1994 dan Van Woesik, 2002). Beberapa tahun belakangan ini untuk memudahkan pencatatan, banyak penelitian tidak mencatat karang pada tingkat spesies, tetapi yang digunakan mengidentifikasi dengan teknik pendekatan bentuk pertumbuhan (lifeform) yang di mulai di Australian Institute of Marine Science (AIMS) yang kemudian banyak diikuti secara luas di dunia (De Vantier, 1986). Bentuk-bentuk lifeform terumbu karang disajikan pada Gambar 4.


(26)

Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Umumnya karang tumbuh pada daerah terbuka yang menghadap ke laut, keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang hermatypic ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Soeharsono, 1996). Kondisi lingkungan ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor-faktor fisik-kimia yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis, biasanya berupa predator (Suprihayono, 2000).

1. Suhu

Terumbu karang ditemukan dapat tumbuh pada perairan laut dengan suhu antara 18°C – 40°C. (Nybakken, 1992). Tetapi umumnya karang akan tumbuh baik pada kisaran suhu perairan antara 23oC - 29oC, hal ini yang menyebabkan umumnya karang ditemukan tumbuh pada wilayah tropis, karena daerah tropis mempunyai rentang suhu yang kecil, pada karang adanya perubahan suhu yang kecil sekalipun dapat menyebabkan kematian (Fagerstrom, 1987 dalam Van Woesik, 2002). Pada daerah dengan suhu rendah kalsifikasi semakin berkurang sampai batas minimal pada suhu 18 oC. Hal yang sama terjadi akibat peningkatan suhu yang juga dapat menurunkan proses kalsifikasi dan kematian pada karang. Pada kasus El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan pemanasan global pada tahun 1998 dengan suhu berkisar antara 30oC -33oC telah menyebabkan terjadinya karang menjadi memutih (bleaching). Dari peristiwa ini kematian karang dilaporkan secara luas hampir di seluruh dunia (Lesser, 2004). Suhu yang dapat mematikan hewan karang bukan hanya suhu yang ekstrem minimum atau maksimum saja, namun lebih karena terjadinya perubahan suhu secara mendadak dari suhu normal (ambient level). Perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6°C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi


(27)

laju pertumbuhan karang bahkan menghentikannya (Neudecker, 1981 dalam Supriharyono 2000).

2. Cahaya Matahari

Mengingat binatang karang hidupnya bersimbiose dengan alga

(zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya matahari ini sangat dibutuhkan. Bahkan keadaan awan di suatu tempat yang mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari dapat mempengaruhi pertumbuhan karang (Goerou, 1959 dalam Supriharyono, 2000). Intensitas cahaya matahari ini juga berhubungan erat dengan faktor kedalaman perairan dimana kebanyakan karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter (Nybakken, 1992). Intensitas cahaya secara langsung mempengaruhi proses fotosintesis dari zooxanthelae dan kalsifikasi karang, karena cahaya tersebut dibutuhkan oleh zooxanthelae untuk melakukan proses fotosintesis yang kemudian dimanfaatkan oleh hewan karang sebagai sumber energi (McLaughlin, 2002). Proses metabolisme karang akan lebih efisien bila radiasi sinar matahari (terutama gelombang ultra violet) relatif lebih rendah, di alam kondisi ini umumnya terjadi pada saat pagi dan sore hari. Umumnya intensitas cahaya matahari yang dapat ditolerir hewan karang adalah pada panjang gelombang cahaya antara 300-500 nm (Goerou, 1959 dalam Supriharyono, 2000). Sedangkan Lesser (2004) menyatakan intensitas cahaya ultra voilet (UV) di periaran pada panjang gelombang 320 nm-400 nm (UV-A) dan 290 nm – 320 nm (UV-B) dapat menjadi penyebab terjadinya coral bleaching.

3. Salinitas

Salinitas juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang, dimana hewan karang dapat hidup dengan baik pada salinitas normal air laut yaitu pada kisaran 32 percent per thoushand (ppt) – 35 ppt (Nybakken, 1992). Sedangkan kisaran salinitas dimana masih dapat ditemukan karang adalah antara 27-48 ppt (Van Woesik, 2002). Penurunan salinitas di bawah 27 ppt menyebabkan jenis-jenis karang yang cepat tumbuh akan melepaskan


(28)

zooxanthelae-nya, sehingga akan menyebabkan kematian pada karang. Sedangkan karang masif seperti famili Poritidae dan Faviidae memperlihatkan toleransi yang lebih tinggi terhadap perubahan salinitas, daripada karang-karang bercabang seperti pada Famili Acroporidae dan Pocilloporidae. Kematian akibat pengaruh salinitas ini umumnya diakibatkan tidak berjalannya proses pertukaran osmosis di sel epidermis karang (Van Woesik, 1994). Penyebab adanya perubahan salinitas di perairan laut ini sangat bervariasi umumnya tergantung pada faktor alam, seperti run-off sungai, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas dapat berubah drastis (Vaughan dan Wells, 1943 dalam Supriharyono 2000).

4. Sedimentasi

Kondisi perairan yang jernih dengan sedimentasi yang kecil dibutuhkan terumbu karang agar penetrasi cahaya matahari untuk fotosintesis dalam hewan karang tidak terganggu. Penyebab terjadinya sedimentasi dapat berada di laut maupun daratan yang umumnya berhubungan dengan aktifitas manusia seperti pembangunan pantai, pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pertanian dan pembukaan hutan yang dapat membebaskan sedimen ke perairan laut (Suprihayono, 2000). Selain itu ada pula sedimentasi yang berasal dari erosi karang

(bioerosion yang biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan dan bintang laut lainnya. Sedimen karbonat tertinggi dihasilkan oleh bulu babi

(Diadema antilarum) (Land, 1979 dalam Supriharyono, 2000). Kekeruhan yang tinggi di perairan akan menurunkan laju pertumbuhan karang dan menyebabkan kematian karang. Pada dasarnya kebanyakan hewan karang mampu untuk membuang sedimen dari polipnya dengan tingkat kemampuan yang bervariasi, tetapi sedimentasi yang tinggi tentunya tak dapat ditolerir dan akan menyebabkan kematian pada karang. Selain itu sedimentasi ini juga dapat memacu pertumbuhan

macro alga sebagai kompetitor habitat karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen di dasar substrat (Brown, 1990). Kisaran dari besaran sedimentasi ini memiliki pengaruh yang berbeda-beda pada karang (Pastorok dan Bilyard, 1985 dalam


(29)

Supriharyono, 2000). Pengaruh sedimentasi terhadap karang ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan dampak tingkat sedimentasi terhadap komunitas karang (Pastorok dan Bilyard, 1985 dalam Supriharyono, 2000)

Laju Sedimentasi

(mg/cm2/hari) Tingkatan Dampak 1 - 10 KECIL – SEDANG

Mengurangi kelimpahan

Kemungkinan penurunan dalam peremajaan Kemungkinan penurunan jumlah species 10-50 SEDANG – BESAR

Pengurangan kelimpahan secara besar-besaran Penurunan peremajaan

Pengurangan jumlah species Kemungkinan invasi species baru > 50 BESAR

Kelimpahan berkurang secara dratis Komunitas rusak berat

Kebanyakan species musnah Banyak koloni mati

Peremajaan hampir tidak terjadi Regenerasi lambat atau terhenti

Invasi species-species baru

Faktor Pertumbuhan Bentuk Karang

Hanya sedikit karang yang tumbuh pada satu bentuk pertumbuhan koloni hal ini kemungkinan dikarenakan suatu jenis karang tumbuh tidak hanya di satu spesifik habitat. Umumnya bentuk pertumbuhan koloni karang beradaptasi pada faktor-faktor yang ada di lingkungannya sekitarnya (James, 1998). Beberapa faktor penting lingkungan perairan yang dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang adalah cahaya matahari, pergerakan air laut dan sedimentasi dan sub-aerial exposure.

Komposisi komunitas karang diperkirakan mencerminkan hasil respon jangka panjang komunitas tersebut terhadap pengaruh fisik, kimia dan biologi lingkungannya yang diwariskan individu secara internal dan eksternal (Van Woesik, 2001). Struktur dari adanya daya adaptasi ini dapat berupa bentuk, laju pertumbuhan, toleransi terhadap terbatasnya cahaya atau parameter lainnya (Van Woesik dan Done 1997).


(30)

Selain itu karakteristik laju pertumbuhan tiap jenis juga dapat menentukan komposisinya dalam komunitas karang. Dimana karang yang memiliki laju pertumbuhan lebih cepat akan lebih mendominasi komunitasnya. Umumnya karang genus Acropora memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibanding jenis lain. Dari data pertumbuhan transplansi karang di Pulau Seribu laju terhadap 14 genus karang, umumnya pertumbuhan genus Acropora memiliki laju pertumbuhan tertinggi yaitu berkisar antara 4,28 – 5,71 mm/bln (Acropora aspera) (BTNKpS, 2006).

1. Cahaya Matahari

Penetrasi cahaya matahari yang berhubungan dengan kedalaman perairan ini akan membatasi pertumbuhan karang pada daerah yang dangkal dan hal ini yang menjadi dasar pembentukan zonasi karang. Umumnya intensitas cahaya berkurang drastis mulai kedalaman 3-5 m. Pengurangan cahaya ini dapat menurunkan luas tutupan karang dimana komunitas karang menjadi lebih kecil dan terpisah-pisah serta dan ditandai dengan berkurangnya karang bercabang (Van Woesik, 1994). Menurut Chappell (1980) dalam Supriharyono (2000), terdapat kecenderungan bahwa pengaruh pertumbuhan karang terhadap ketersediaan cahaya adalah semakin banyak cahaya yang masuk, maka rasio permukaan karang dengan volume karang akan semakin turun. Sehingga kenaikan intensitas cahaya ini akan merubah dominasi kelompok karang dari bentuk tabulate ke bentuk

globose (massif atau sub-masif ) atau bercabang, demikian juga sebaliknya.

2. Pergerakan Air Laut (Hydrodynamics)

Pergerakan air laut berperan dalam memberi oksigen, nutrien dan plankton, juga dapat untuk membersihkan partikel sedimen yang menempel pada karang. Tidak adanya gelombang atau arus, memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen di tubuh karang dan masukan air segar yang kaya oksigen dan nutrien jadi berkurang (Nybakken, 1992). Perbedaan tekanan akibat arus, gelombang terhadap dinding-dinding dasar laut dapat menyebabkan terjadinya distribusi jenis karang. Pada suatu lokasi, gelombang laut dapat secara kontinyu menghempas karang, sebaliknya ada daerah yang pergerakan perairannya cukup tenang sehingga terdapat


(31)

pengaruh sedimentasi, nutrient perairan, plankton dan larva (Rogers, 1990). Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis atau energi pergerakan air laut, maka bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk masif atau encrusting.

Berdasarkan penelitian Supriharyono tahun 1987 di Jawa Tengah, terdapat perbedaan bentuk karang Porites lutea, dari berbentuk masif di Teluk Penyu, Cilacap yang perairannya relatif tenang menjadi berbentuk encrusting di Jepara yang perairannya kuat (Supriharyono, 2000). Pergerakan air ini juga membantu sirkulasi di perairan karang, umumnya pada daerah yang memiliki sirkulasi perairan yang baik, jenis Acropora akan mendominasi (Veron, 2000).

3. Sedimentasi

Kebanyakan karang hermatipik umumnya tidak dapat bertahan dengan adanya sedimen yang menutupinya, namun ada beberapa spesies yang dapat bertahan terhadap sedimentasi yang tinggi dan ini ditemukan sebagai koloni yang terisolasi (Nybakken, 1992). Karang dengan polip yang besar seperti famili

Faviidae, Mussidae, Fungiidae atau beberapa jenis Gonioporidae umumnya tahan terhadap adanya sedimentasi dengan membersihkan tubuhnya menggunakan tentakel dari polip yang muncul keluar dan aktif. Karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk (Van Woesik 1994). Tetapi perairan yang tingkat sedimentasi sangat tinggi seperti pada kegiatan pengerukan dasar laut, tentu akan dapat membunuh semua jenis karang termasuk karang-karang masif ini. Acropora bercabang adalah jenis karang yang paling sensitif terhadap adanya sedimentasi, karena tidak memiliki kemampuan membersihkan diri (cleaning capability) (Done, 1982 dalam Van Woesik 2002). Terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah ke bentuk masif, dan sub-masif. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang atau tabulate (Chappell, 1980 dalam Supriharyono, 2000).


(32)

Sebuah penelitian yang dilakukan di Pulau Hyman, Australia pada tahun 1986 dan 1988, memperlihatkan terjadi variasi komoposisi jenis karang sesuai jaraknya dari lokasi pembuangan limbah rumah tangga. Pada terumbu karang di lokasi yang terdekat, banyak terjadi kematian jenis Acropora bercabang, sementara hal ini tidak terjadi pada jenis Porites dan karang-karang Faviidae masif yang umum ditemukan (Van Woesik 1992). Pengaruh limbah minyak pada karang juga tergantung pada morfologi karangnya, karang jenis Acpropora

bercabang adalah yang paling rentan terhadap limbah minyak, sementara pada karang masif dengan polip besar seperti karang mussidae dapat membuang minyak yang menempel dalam satu hari (Loya dan Rinkevich 1987 dalam McLaughlin, 2002).

4. Pasang Surut

Subareal exposure adalah daerah karang yang dipengaruhi pasang surut air laut, dimana pada saat-saat tertentu airnya sangat rendah, sehingga banyak karang yang muncul ke permukaan. Lamanya waktu karang muncul di permukaan tergantung dari lamanya waktu pasang-surut. Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pengaruh subaerial exposure, maka semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting (Chappell, 1980 dalam Supriharyono 2000). Karena banyak di antara karang yang tidak bisa bertahan lama hidup pada kondisi ini. Selain itu satu tanda spesifik adanya pengaruh subareal exposure

adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll, terutama pada jenis-jenis karang koloni besar seperti Porites atau karang Famili Faviidae (Hughes, 1994). Kecenderungan bentuk pertumbuhan karang berdasarkan beberapa fakor pergerakan air dan lingkungannya dapat dilihat pada Table 3 dan Gambar 5 di bawah ini :


(33)

Tabel 3. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (James, 1997)

Lingkungan

No. Bentuk Pertumbuhan

Pergerakan air Sedimentasi

1. Rapuh, Bercabang Kecil Rendah

2. Tipis, Rapuh, Tabular Kecil Rendah 3. Membulat, columnar, sub-masif Sedang Tinggi 4. Kokoh, Dendroid, Bercabang Sedang-Besar Sedang 5. Hemisperical, Irregular, Masif Sedang-Besar Rendah

6. Encrusting Besar Rendah

7. Tabular Sedang Rendah

Gambar 5. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (Chappell, 1980 dalam Supriharyono, 2000)

Zonasi Terumbu Karang

Terbentuknya zonasi terumbu karang umumnya bergantung pada kondisi lingkungannya. Terdapat dua tipe dari zonasi karang ini, yaitu karang yang tumbuh di daerah yang sangat perairan terlindung dan karang yang tumbuh di daerah perairan terbuka (Van Woesik, 1994). Menurut McLaughlin (2002), di suatu lokasi, zonasi terumbu karang dibedakan berdasarkan intensitas cahaya yang masuk yang hal ini juga bergantung dari kedalaman dan kekeruhan perairan,


(34)

posisi relatif terhadap laut terbuka, dan pergerakan air laut. Tiap parameter ini berinteraksi sehingga memberikan kondisi akhir berupa zonasi terumbu karang. Parameter paling dominan dalam zonasi terumbu karang adalah intensitas cahaya, yang merupakan sumber utama energi pada karang. Dan karena intensitas cahaya ini berhubungan dengan kedalaman, maka kedalaman juga dapat digunakan sebagai indikator untuk membagi habitat karang (Delbeek, 1995). Menurut Van Woesik (2002), walaupun karang ditemukan tumbuh pada kedalaman yang bervariasi, tetapi kebanyakan karang tumbuh pada kedalaman yang spesifik. Walaupun belum diketahui dengan jelas apakah kompetisi atau preferensi habitat yang lebih berpengaruh dalam keberadaannya, tetapi keduanya saling berpengaruh. Berbagai karang dalam habitatnya akan membentuk suatu karakter zonasi terumbu karang yang dibatasi melalui kompetisi dan kemepuan penyesuaiannya dengan kondisi lingkungan.

Pada daerah perairan dangkal tepian atau rataan terumbu dimana intensitas sinar matahari tinggi dan gelombang perairan besar pertumbuhan karang cenderung didominasi oleh karang bercabang, menjari atau masif. Pada lokasi yang lebih dalam, dengan pengaruh gerakan air dan cahaya berkurang, karang umumnya didominasi oleh bentuk yang lebih tipis percabangannya, flat atau

tabulate untuk meningkatkan luas permukaan yang menerima cahaya (McLaughlin, 2002; Delbeek, 1995). Sedangkan karang yang tumbuh di sekitar puncak terumbu (reef crest) yang sangat dipengaruhi gelombang umumnya dominasi mengarah pada bentuk yang kokoh atau memiliki cabang yang pendek dan kuat untuk mencegah terhanyut gelombang (Van Woesik, 2002).

Pengaruh kualitas kondisi lingkungan di luar faktor alam juga dapat mempengaruhi dominansi jenis terumbu karang. Pada penelitian di La Parguera, Puerto Rico pada tahun 1984, memperlihatkan pada suatu zona karang yang relatif sama, keberadaan karang Acropora relatif terbatas pada perairan yang jernih dengan energi gelombang sedang sampai kuat. Sedangkan pada daerah lain yang mempunyai kejernihan dan gelombang sedikit rendah umumnya terdapat karang campuran dari jenis Acropora dan non-Acropora (umumnya karang masif Porites, Montastrea dan Diploria) ditambah karang soft coral (Morelock, 1993). Zonasi


(35)

dan komunitas ekosistem terumbu karang menurut Delbeek (1995), dapat dibagi menjadi beberapa zona sebagai berikut:

Forereef (Reef Front)

Reef front adalah bagian daerah terumbu karang yang menghadap laut terbuka. Pada daerah ini terdapat lereng (slope) kea rah laut, sehingga di daerah ini terdapat perbedaan intensitas cahaya yang masuk mengikuti kelerengannya. Tetapi pada umumnya karang tumbuh pada lokasi yang cukup banyak mendapat cahaya untuk mendukung pertumbuhannya. Reef front dibagi atas dua sub-zona yaitu reef slope dan upper reef slope.

Upper Reef Slope

Berada di atas reef slope, umumnya pada kedalaman antara 1-5 m, merupakan zona dengan kepadatan karang tertinggi. Di daerah ini terdapat tempat yang dataran, berbukit dan lembah. Pada tempat yang datar dan berbukit umumnya ditemukan karang bercabang, menjari, masif dan encrusting. Pada daerah lembah terutama yang sinar mataharinya terlindung, banyak ditemukan

rubble dan alga. Karang tumbuh dengan berbagai macam bentuk, baik karang batu maupun soft coral. Karang batu umumnya memiliki bentuk yang tidak terlalu kokoh, tetapi tetap untuk memaksimalkan penerimaan cahaya. Jenis-jenis diminan yang ada di daerah ini adalah Acropora, Goniastrea, Favia, Favites, Leptoseria, Lobophyllia, Plerogyra, Pocillopora, Porites, Millepora, Stylophora, Lobophytum, Sarcophyton dan Sinularia.

Lower Reef Slope

Merupakan bagian bawah dari reef front. Di daerah ini spektrum warna biru mendominasi dan jumlah cahaya lebih sedikit dibanding pada bagian atasnya. Karang tumbuh secara horizontal untuk mendapat cahaya sebanyak mungkin. Sehingga karang yang banyak tumbuh adalah berbentuk tabulate. Jenis dominan adalah Acropora, Montipora, Echinopora, Porites dan Turbinaria.

Reef Crest

Daerah ini merupakan zona dengan energi gelobang dan intensitas cahaya tertinggi. Pada bagian tertentu di daerah ini dapat muncul di permukaan laut pada saat surut rendah. Hampir semua bagian karang di daerah ini mendapat cahaya tidak hanya pada bagian atasnya saja. Karang yang tumbuh di daerah ini


(36)

umumnya pendek dan menjari atau masif. Jenis-jenis karang yang umumnya terdapat di zona ini adalah Acropora, Favites, Montipora and Pocillopora, Lobophytum, Sarcophyton and Sinularia.

Reef Flat

Daerah reef flat di belakang reef crest adalah juga daerah dengan lingkungan yang keras, karang yang tumbuh di daerah ini harus dapat bertahan dengan intensitas cahaya matahari yang sangat tinggi yang mengandung sinar ultra violet, kekeringan, salinitas tinggi dan turun naiknya suhu perairan. Selain itu tutupan karang juga dapat diperkecil dengan adanya substrat pasir. Jenis-jenis karang yang umumnya ditemukan di daerah ini adalah Porites, Acropora, anemones dan Alcyonaceans.

Back Reef

Pada daerah ini umumnya agak berlumpur akibat akumulasi sediment dari daerah reef crest atau reef front. Karang muncul dari tumpukan pasir yang ada. Selain gerakan air, keberadaan Holothurioids di daerah ini membantu penyerapan sediment di perairan. Jenis-jenis karang yang umumnya dijumpai di daerah ini adalah karang massif, lembaran dan bercabang seperti Euphyllia, Gonipora, Pachyseris, Favia, Favites, Goniastraea, Pocillopora, Porites, Seriatopora, Heliopora dan Sarcophyton.

Zonasi, komunitas karang dan berbagai faktor yang mempengaruhinya dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Zonasi, komunitas dan faktor yang mempengaruhinya di ekosistem terumbu karang (Chappel, 1980 dalam Supriharyono, 2002)


(37)

Gambar 7. Zonasi dan komunitas ekosistem terumbu karang (Delbeek, 1995)

Tipe Ekosistem Terumbu Karang

Para ahli telah mengklasifikasikan beberapa tipe-tipe pembentukan ekosistem terumbu karang, terdapatnya variasi dalam tipe ekosistem ini umumnya dapat saling berhubungan yang diklasifikasikan berdasarkan sejarah geologinya, bentuk, jaraknya ke daratan dan materi penyusunnya (Veron, 2000). Secara prinsip, Teori Darwin menyatakan tiga tipe formasi pembentukan ekosistem terumbu karang di dunia, yang kemudian dikenal dengan teori penenggelaman (Subsidence Theory) yaitu:

1. Terumbu karang tepi (fringing reef)

dengan daratan terutama pulau-pulau kecil dan tumbuh di sepanjang pantainya yang mengandung sediment non-karbonat dan tidak terlalu terbuka sehingga cukup terlindung dari gelombang (McManus, 1992). Terumbu karang ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka, goba (lagoon) kecil yang terdapat diantara karang dan daratan umumnya berlumpur yang terbawa dari daratan (Veron, 2000).

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini berada jauh dari daratan yang dapat berjarak lebih dari 100 km dari daratan, bergantung dari pengaruh gelombangnya. Goba yang luas di antara terumbu karang dengan daratan ini dapat mencapai kedalaman 40 – 70 m dan mengandung bahan sedimen berkapur yang bersumber dari terumbu karang (Veron, 2000).


(38)

3. Atol

Merupakan diding-dinding terumbu karang berbentuk cincin yang mengelilingi goba di tengahnya. Atol memiliki banyak bentuk dan ukuran, umumnya berupa pulau-pulau sempit yang dapat saja bervegetasi. Terumbu karang ini muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan, sehingga terumbu karang ini dapat terpengaruh oleh arus pasut (Bakus, 1982).

Darwin mengemukakan bahwa formasi awal merupakan fringing reefs

yang terbentuk di sekitar pulau. Jika pulau tersebut mengalami penurunan permukaan secara tektonik, fringing reefs akan berubah menjadi barrier reefs. Apabila proses terus berlanjut, maka atolls akan terbentuk (Veron, 2000).

Manfaat Ekosistem Terumbu Karang

Manfaat ekosistem terumbu karang tidak hanya berasal dari hewan karang, tetapi juga dari berbagai macam penyusun ekositem tersebut yang berkaitan erat dengan hewan karang ini dalam hubungan fungsional dan harmonis (Nontji, 1987). Moberg dan Folk (1999) dalam Caesar (2000) membagi manfaat ekosistem terumbu karang berdasarkan manfaat barang dan jasa yang dihasilkannya. Barang di kategorikan dalam manfaat sumberdaya yang dapat pulih (karang, ikan dll.) dan manfaat penambangan karang (pasir, karang dll.). Jasa di kategorikan kedalam manfaat struktur fisik, biotik, biogeochemical, informasi dan manfaat sosial budaya, seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Manfaat ekosistem terumbu karang (Moberg dan Folk, 1999 dalam Caesar, 2000)

Barang Jasa Biotik Abiotik Struktur fisik Biotik dalam

ekosistem

Biotik antar

ekosistem Biogeokimia Informasi Sosial budaya

Makanan Bahan bangunan

Perlindungan

garis pantai Habitat

Mendukung proses keterkaitan ekosistem Mengikat nitrogen Memonitor dan merekam polusi Pariwisata Obat-obatan Campuran bahan bangunan Membangun

daratan Keanekaragaman

Memberi nutrisi dan produk organik Mengontrol keberadaan CO/Ca Mengontrol iklim Nilai inspirasi estetik dan artistik

Perhiasan Minyak dan gas Membantu pertumbuhan mangrove dan lamun Mengatur proses dan fungsi ekosistem Mengasimilasi limbah Mata pencaharian masyarakat

Dagangan Pembentukan

pasir

Ketahanan biologis

Nilai budaya, religi dan


(39)

Beberapa dari manfaat terumbu karang tersebut seperti pemanfaatan karang untuk perdagangan, bahan bangunan dan pariwisata, bila tidak dikontrol dengan baik akan menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan akan menurunkan manfaat lainnya. Khusus pada pemanfaatan untuk perdagangan, pada dekade terakhir, Indonesia mencatat peningkatan perdagangan karang baik hidup atau mati untuk di ekspor sebagai dekorasi ke luar negeri. Sampai tahun 1990-an Indonesia tercatat memasok 36% – 41% pasar karang dunia dengan nilai sebesar 1,2 juta spesimen pertahunnya (Suhartono dan Mardiastuti, 2003).

Dari data yang diperoleh dari Asosiasi Pengusaha Karang dan Ikan Karang Indoenesia (AKKI), perdagangan karang hampir meliputi seluruh jenis karang yang ada termasuk pasir dan batu karang dan jenis scleractinia yang tidak teridentifikasi. Dari data perdagangan tersebut, diketahui sepuluh genus karang yang paling banyak diperjualbelikan sebagai karang hias baik kondisi hidup atau mati dari Indonesia (Suhartono dan Mardiastuti, 2003). Sedangkan di Australia dari data yang diperoleh bahwa karang yang paling banyak diambil untuk akuarium (ornamental reef) umumnya adalah karang yang berbentuk bercabang dan bentuk mendaun/tabulate (leafy). Khusus yang berbentuk bercabang yang umumnya dari genus Acropora dapat mencapai lebih dari 50% dari total ornamental reef (Harriot, 2005). Data karang yang paling banyak diperjualbelikan dari Indonesia seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Besaran nilai ekspor sepuluh genus karang Indonesia yang paling diminati pasar internasional data CITES tahun 1986 – 1999 (Suhartono dan Mardiastuti, 2003)

No. Nama Genus Nama Komersial Persentase

1. Acropora Karang Tanduk Rusa 9,80 2. Euphyllia Karang Obor 9,04 3. Goniopora Karang Bunga Plot 5,64 4. Pochillopora Karang Bunga Kol 5,55 5. Fungia Karang Jamur 4,68 6. Catalaphyllia Karang Elegan 4,34 7. Trachyphyllia Karang Otak 3,71 8. Heliofungia Karang Cakram pipih 3,22 9. Heliopora Karang Biru 2,92 10. Tubastrea Karang Gurita 2,10


(40)

Pengelolaan Kawasan Taman Nasional

Pembangunan sistem kawasan konservasi di Indonesia pada dasarnya mengacu pada sistem yang dikembangkan oleh IUCN (International Union Conservation of Nature and Natural Resource) dimana tujuan pengelolaan yang dilakukan untuk menghindari terjadinya kepunahan biota yaitu “save it, study it,

dan use it” yang dalam arti luas untuk menyelamatkan suatu spesies atau ekosistem sebelum hilang/rusak, mengkaji/mempelajari manfaatnya untuk peningkatan kesejahteraan hidup manusia secara berkelanjutan (Alikodra 1996).

Pemanfaatan sumber daya alam di taman nasional sebagai salah satu kawasan konservasi dilaksanakan sejalan dengan Strategi Konservasi Dunia yang dikeluarkan oleh IUCN pada tahun 1980, yang kemudian melahirkan Strategi Konservasi Indonesia. Strategi Konservasi Indonesia yang merupakan dasar dari terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang kemudian disebut “misi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya”, adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Implementasi misi tersebut diwujudkan dalam pengalokasian wilayah-wilayah ekosistem tertentu menjadi kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Taman nasional yang merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam didefinisikan sebagai “kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistim asli, dikelola dengan sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi”, diarahkan untuk:

• Menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sistem penyangga kehidupan.

• Melindungi keanekaragaman jenis dan menjadi sumber plasma nutfah;

• Menunjang kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan.


(41)

Dalam penyusunan kawasan konservasi termasuk taman nasional, secara umum IUCN memberikan beberapa kriteria sebagai dasar pertimbangan penunjukan dan pengelolaan kawasan konservasi yaitu kriteria sosial, ekologi, ekonomi, regional dan kriteria pragmatik, dengan beberapa parameter di dalamnya sebagai berikut:

Kriteria Sosial

- Kesepakatan sosial untuk mendapatkan dukungan masyarakat sekitar. - Mendukung ke arah peningkatan kualitas lingkungan dan kesehatan

masyarakat sekitar.

- Kawasan tersebut juga dapat digunakan sebagai wahana rekreasi masyarakat sekitar.

- Pengelolaan kawasan dapat melingkupi nilai agama, budaya dan sejarah setempat.

- Mengandung unsur keindahan alam.

- Menghindari konflik dengan kebutuhan atau aktifitas masyarakat. - Merupakan wilayah yang aman dan tidak berbahaya.

- Kawasan yang mudah dicapai.

- Kawasan dapat bermanfaat bagi penelitian dan pendidikan.

- Dalam pengelolaanya dapat mendukung peningkatan kesadaran masyarakat.

Kriteria Ekonomi

- Merupakan wilayah penting untuk spesies komersial.

- Nelayan banyak bergantung terhadap hasil perikanan di kawasan ini. - Tingkat ancaman terhadap kawasan ini dapat diketahui.

- Dapat mendukung pengingkatan ekonomi masyrakat sekitar dalam jangka panjang.

- Kawasan berpotensi untuk pengembangan pariwisata.

Kriteria Ekologi

- Kawasan kaya dalam ragam ekosistem, habitat, komunitas dan spesies - Kawasan belum terganggu atau rusak.

- Adanya hubungan saling ketergantungan dalam ekosistem atau proses ekologi di dalam kawasan.


(42)

- Kawasan mewakili tipe habitat, proses ekologi atau geologi tertentu. - Kawasan merupakan habitat suatu spesies endemik atau yang langka.

- Terdapatnya kesatuan fungsi unit ekologi yang utuh atau mandiri dan lestari. - Terdapat proses produktif yang bermanfaat bagi manusia dan biota lain. - Kawasan mudah terdegradasi akibat peristiwa alam atau manusia.

Kriteria Regional

- Kawasan dapat mewakili karakter region wilayahnya baik dari bentang alam, proses ekologi atau situs budaya.

- Kawasan dapat menyangga perbedaan pengelolaan yang ada di luar kawasan.

Kriteria Pragmatik

- Dapat dilakukan tindakan cepat bila perlu diperlukan dalam pengelolaan kawasan.

- Memiliki luasan cukup dapat mencakup kebutuhan proses ekologi yang diperlukan.

- Aman dari potensi ancaman eksploitasi atau dampak dari pembangunan. - Cukup sesuai untuk dapat melaksanakan program pengelolaan secara efektif. - Telah berjalannya walau secara tidak langsung suatu embrio model

pengelolaannya.

- Dapat berlangsungnya proses pemulihan secara alami dari kerusakan mengarah ke kondisi semula.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang telah memuat definisi taman nasional, pada tahun1998 dibuat statu Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 yang memuat arahan penetapan dan pengelolaan taman nasional dimana kawasan ini dalam pengelolaannya menggunakan sistem zonasi kawasan yaitu Zona Inti, Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan dan Zona lainnya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi tiap lokasi taman nasional (Departemen Kehutanan, 2002). Arahan pengelolaan zona tersebut adalah sebagai berikut:

1. Zona Inti


(43)

dilindungi, sebagai perwakilan tipe ekosistem yang khas atau habitat biota yang dilindungi.

• Kriteria penetapan:

− Mempunyai komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

− Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum terganggu manusia dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

− Mempunyai potensi keterwakilan tipe ekosistem yang khas, formasi biota tertentu atau unit-unit penyusunnya.

• Kriteria pemanfaatan:

− Penelitian dan pendidikan untuk menunjang ilmu pengetahuan.

− Inventrisasi, pemantauan dan pengamanan potensi kawasan.

− Penunjang budidaya yang tidak bersifat merusak. 2. Zona Perlindungan

Zona Perlindungan adalah wilayah untuk menyangga pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Wisata yang masih merupakan wilayah habitat biota yang dilindungi dengan pemanfaatan wisata yang terbatas.

• Kriteria penetapan:

− Mampu mendukung upaya pelestarian biota biota khas atau dilindungi dalam habitatnya yang memerlukan upaya konservasi.

− Memiliki keanekaragaman yang mempu menyangga pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan Wisata.

• Kriteria pemanfaatan:

− Semua kegiatan yang dapat dilakukan di Zona Inti.

− Pembinaan habitat

− Kegiatan wisata terbatas dengan pengaturan aktivitas, musim, lokasi dan jumlah wisatawan.

3. Zona Pemanfaatan

Zona Pemanfaatan adalah wilayah yang memiliki potensi berupa fenomena ekosistem tertentu untuk pengembangan objek wisata dan aktivitasnya.


(44)

• Kriteria penetapan:

− Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau gejala fenomena alam yang indah dan unik.

− Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif bagi pariwisata dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami.

− Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam dan pelestariannya.

• Kriteria pemanfaatan:

− Semua kegiatan yang dapat dilakukan di Zona Inti.

− Pemanfaatan dan pengembangan obyek daya tarik wisata alam taman nasional untuk kegiatan pariwisata alam dan rekreasi.

4. Zona lainnya

Zona lainnya adalah zona diluar Zona Inti, Zona Perlindungan dan Zona Pemanfaatan Wisata yang dikembangkan sesuai dengan keperluan ditinjau dari aspek kondisi sumber daya alam dan kondisi masyarakat setempat.

• Kriteria penetapan:

− Mempunyai potensi sumber daya yang mampu mendukung kegiatan tradisional masyarakat.

− Mampu mendukung pemukiman masyarakat dan tempat memenuhi kebutuhan hidupnya.

− Merupakan kawasan yang dapat dipulihkan keutuhannya dalam rangka pelestarian manfaat.

• Kriteria pemanfaatan:

− Rehabilitasi potensi dan sumber daya alam kawasan.

− Pemanfaatan sumber daya alam dengan memperhatikan daya dukungnya.

− Budidaya biota asli kawasan.

− Pengembangan lokasi, sarana dan prasaranan pemukiman untuk masyrakat lokal dengan memperhatikan dampak lingkungan.

Dalam penyusunan zonasi taman nasional laut di Taman Nasional Bunaken, Propinsi Sulawesi Utara dilakukan dengan menitikberatkan pada ekosistem


(45)

yang merupakan hasil kerjasama dengan United Stated Agency for International Development (USAID) dilaksanakan pada tahun 1993-1995. Penyusunan dilakukan melalui analisis terhadap nilai pariwisata dan nilai ekologi ekosistem terumbu karang sebagai indikator potensi pengelolaan, dengan parameter yang digunakan sebagai berikut :

Nilai pariwisata (tourism value) :

- Aesthetics diwakili oleh tingginya persentase tutupan karang hidup dan kecerahan perairan laut.

- Safety diwakili oleh kecil atau tidak adanya arus yang kuat dan tidak terdapatnya gangguan dari aktifitas perikanan yang berbahaya di sekitar lokasi seperti adanya jaring dasar atau penggunaan bahan peledak.

- Accessibility ditunjukan melalui jarak dari hotel/penginapan dan kemudahan masuk dengan menggunakan kapal.

- Fishing activity ditunjukan melalui jarak dari pemukiman nelayan.

Nilai konservasi (conservation value)

- Habitat variety diwakili oleh jumlah macam tipe bentuk ekosistem terumbu karang dan ekosistem lainnya (seperti atol, barrier reefs, fringing reef, hutan mangrove atau padang lamun).

- Unique coral habitat menunjukan ada atau tidak adanya habitat karang yang terkait sebagai habitat biota unik yang tidak ditemukan ditempat lain di sekitar Taman Nasional Bunaken.

- Coral cover) ditunjukan oleh besarnya persentase tutupan karang hidup.

- Keragaman (diversity) ditunjukan oleh jumlah genus karang yang ditemukan di satu lokasi ekosistem terumbu karang.

- Intactness ditunjukan melalui perkiraan besaran persentase koloni karang yang telah rusak atau hancur.


(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekitar Zona Pemafaatan Wisata, Taman Nasional Kepulauan Seribu, meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Kelapa dan Harapan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta (Gambar 8). Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari 2004 sampai dengan Februari 2005 yang meliputi tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan penulisan laporan.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kapal motor, peralatan selam SCUBA, rol meter, secchi disk, refraktometer, kertas lakmus, thermometer, global positioning system (GPS),

current meter, sabak, alat tulis, komputer dan perangkat lunak GIS meliputi

ERMapper, ArcInfo dan ArcView.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Kepulauan Seribu Landsat ETM-7 path/row 122/064 tahun 2002, peta Lingkungan Laut Kepulauan Seribu skala 1: 50.000 dari Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL (Dishidros), peta Lingkungan Pantai Kepulauan Seribu skala 1: 50.000 dari Bakosurtanal-Dishidros, perangkat lunak identifikasi karang Coral ID, buku identifikasi karang: Corals of the World (Veron, 2002) dan Field Key to Genera and Species of Corals in Yaeyama (JICA, 2004) dan laporan serta publikasi yang terkait dengan penelitian.

Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengumpulan data dari pengambilan sampel air laut, citra satelit Landsat 7-TM tahun akuisisi 2002 dan survey lapangan.


(47)

(48)

Pengumpulan data perairan kawasan terumbu karang dilakukan melalui pengukuran sampel perairan laut di lokasi penelitian untuk mendapatkan data suhu, salinitas, kecerahan, kecepatan arus dan pH perairan.

Pengumpulan data kawasan terumbu karang menggunakan metode survei transek garis (Line Intercept Trasect/LIT) (English et. al, 1997) untuk melihat penutupan dasar perairan. Garis transek yang digunakan sepanjang 50 m mengikuti kedalaman garis kontur pada bagian upper reef slope pada kedalaman sekitar 3 m dan bagian reef slope di kedalaman sekitar 7 m. Pengukuran dilakukan sampai tingkat ketelitian centimeter.

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran pustaka di berbagai instansi, seperti Balai TNKpS, P2O-LIPI, Dishidros TNI-AL, Bakosurtanal, , Instansi-instansi di lingkup Kepulauan Seribu, IPB, LSM serta tulisan dan publikasi lain yang terkait dengan penelitian ini.

Analisis Kondisi Kawasan Terumbu Karang

1. Sebaran Terumbu Karang

Analisis data citra satelit pada Landsat TM-7 dilakukan untuk mengetahui penyebaran terumbu karang, yaitu berupa letak, posisi dan luasan terumbu karang di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini digunakan analisis klasifikasi terbimbing

(supervised classification) yang didasarkan pada survei lapangan dan peta. Survei lapangan dilakukan dengan menggunakan metode spot check (JCRS, 2004). Analisis data untuk mengetahui pola sebaran kawasan terumbu karang ini menggunakan perangkat lunak ER Mapper dan ArcView.

2. Distribusi Tutupan Karang

Analisis data pola struktur komunitas kawasan terumbu karang dilakukan berdasarkan kategori bentuk tumbuh (life form) karang (English, et. al, 1994) sebanyak 14 kategori bentuk tumbuh karang keras. Selain itu analisis ini juga dilakukan pada data genus karang keras yang dikumpulkan. Rincian pengelompokan data komunitas karang tersebut adalah sebagai berikut:


(49)

1. Habitat karang yang terdiri lima kategori yaitu hard coral (HC), dead scleractinian (DS), alga (TA), other fauna (OT) dan abiotik.

2. Bentuk tumbuh (life form) karang yang terdiri sembilan kategori yaitu

Acropora (Acr), coral branching (CB), coral massive (CM), coral encrusting

(CE), coral submassive (CS), coral foliose (CF), coral mushroom (CMR),

coral millepora (CME) dan coral heliopora (CHL). 3. Genus dan famili karang keras (hard coral).

Pengolahan data kawasan terumbu karang yang diperoleh, dihitung berdasarkan persamaan Gomez dan Yap (1988) dalam English et. al. (1994) dengan persamaan:

Ni = li / L x 100%

Keterangan:

Ni = persen penutupan karang

li = panjang intersep lifeform jenis ke-i

L = panjang tali transek (50 m).

3. Kondisi Terumbu Karang

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi terumbu karang yang ada di lokasi penelitian berdasarkan perkiraan keterkaitan dengan faktor-faktor pembatasnya yaitu kondisi perairan terhadap sebaran dan distribusi tutupan karang. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis statistik komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) antara data kondisi perairan dengan sebaran dan komposis tutupan karang di lokasi penelitian yang telah diperoleh. Analisis ini merupakan gambaran statistik untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi yang terdapat dalam suatu matrik data (Bengen, 2001).

Jarak Euclidean berupa jumlah kuadrat perbedaan antara data individu/baris dan variabel/kolom yang saling berkoresponden pada data. Semakin kecil jarak Euclidean antar variabel, maka semakin mirip karakteristiknya. Sebaliknya, semakin besar jarak Euclidean maka semakin besar perbedaan kondisi tiap lokasi sebarannya. Perhitungan analisis PCA ini dilakukan


(50)

dengan bantuan komputer dengan perangkat lunak microsoft XL-STAT. Matriks analisis kondisi terumbu karang di lokasi penelitian dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai variabelnya disajikan pada dalam Tabel 6.

Tabel 6. Matriks analisis PCA karaktersitik kawasan terumbu karang

Variabel No Observasi

X1 X2 X3 X4 X5 ……… Xn

1 Lokasi 1

2 Lokasi 2

n Lokasi n

Keterangan :

Lokasi 1- n = Lokasi observasi terumbu karang disusun berdasarkan sebarannya

X1-Xn = Variabel-variabel kondisi perairan dan komposisi eksositem terumbu karang

Dalam analisis kondisi terumbu karang ini, bila diketahui adanya kecenderungan pengelompokan data maka akan dilakukan uji t-student untuk mengetahui ada atau tidak adanya beda nyata antara dua kelopok data, dengan perhitungan sebagai berikut:

t =

2 2 2 2 1 1

2 1

) 1 ( ) 1

(n S n S

x x

− + −

Keterangan:

x = Besaran nilai contoh dari tiap populasi n = jumlah contoh

S = Simpangan baku

Hipotesis yang digunakan adalah Ho: “tidak terdapat perbedaan antara dua dua kelompok data” dan lawannya H1: “terdapat perbedaan antara dua kelompok data”. Perhitungan uji t-student ini dilakukan dengan bantuan komputer dengan perangkat lunak minitab.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1996. The implementation of Forest Resource Conservation in Sustainable Forest Management in Indonesia (in) Indonesia’s Efforts to Achieve Sustainable Forestry (Revised Edition). Forum of Indonesian Forestry Scientists.

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta. 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan dalam Himpunan Peraturan Bidang Lingkungan Hidup. Eka Jaya. Jakarta.

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta dan Lembaga Penenlitian ITB. 2001. Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Proyek Pengelolaan dan Pengawasan Lingkungan DKI Jakarta.

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2003. Laporan Kegiatan Pelestarian Penyu Sisik (Erethmocelys imbricata) di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Laut Pulau Seribu. BTNKpS. Jakarta.

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2006. Laporan Kegiatan Transplantasi Terumbu Karang. Proyek Pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Seribu. BTNKpS. Jakarta.

Bakus, G. J. 1982. The Selection and Management of Coral Reef Preserves. Ocean Management Vol. 8. World Bank. Whasington DC.

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Brown, B. E. 1990. Evaluation of the Environmental Impact of Dredging on Intertidal Coral Reefs at Kho Phuket, Thailand, Using Ecological and Physiological Parameters. Marine Ecology: Progress Series, Vol 65.

Caesar, H. S. J. 2000. Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. CORDIO, Departement for Biology and Environmental Science, Kalmar University. Sweden.

Departemen Kehutanan. 2002. Pedoman Penataan Zona di Taman Nasional Perairan Laut. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. PHKA. Bogor.

Dinas Perikanan Propinsi DKI Jakarta dan PKSPL-IPB. 2001. Laporan Akhir. Pemetaan Lokasi dan Kegiatan Prioritas Kelurahan Pulau Panggang.


(2)

Clippord, H.T., and W. Stephenson, 1975. An Introduction to Numerical Clasification. Academic Press. New York- San Francisco-London.

Delbeek, J. Charles. 1995. A Comprehensive Guide to the Identification and Care of Tropical Marine Invertebrates, vol. 1.

English, S, C. Wilkinson dan V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd Edition). Asean-australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Sience. Townsville.

Gomez, E. D. Dan H. T Yap. 1988. Monitoring Reef Condition in Kenchinton R. A. And Brydget E. T. Hudson. Coral Reef Management Handobook 2th edition. UNESCO. Jakarta.

Harriot, V. J. 2005. The Sustanability of Queensland’s Coral Harvest Fishery. Reef Research Centre. Townsville.

Hughes, J. 1994. Catastrophies, Phase Shift and Large Scale Degradation of a Caribbean Coral Reef. Science, Vol. 265.

James, N. 1998. A Symbiotic World: The Significance of Symbiosis in the Fossil Record.

Japan International Cooperation Agency. 2004. Field Key to Genera and Species of Corals in Yaeyama. OIC Centre. Okinawa.

Japan Coral Reef Society. 2004. Coral Reef of Japan. Ministery of the Environment. Tokyo.

Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology Chapter 20 Coral Reefs: limiting factors, morphology, and nutrition of corals Marine Ecology, Prentice-Hall Inc., New Jersey

Kastoro dan S. Birowo. 1977. Hasil Pendahuluan Pengamatan Arus dari Beberapa Tempat di Teluk Jakarta dan Sekitarnya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta.

Kerbs, C. J. 1989. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row Publisher. New York.

Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. 1977. Teluk Jakarta; Sumber Daya, Sifat-sifat Oseanologis serta permasalahannya. Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi-LIPI. Jakarta.

Lesser, M. 2004. Response of Corals to Solar Radiation and Temperature. NOAA Research Special Report. Department of Commerce. Miami.


(3)

McManus, J. W. 1992. Resource Ecology of the Bolinao Coral Reefs System. ICLARM Rev 22. Manila, Philippines.

Morelock, J. dan Kimberly B. 1973. Sediment Stress and Coral Reefs, The ecology of Jamaican coral reefs. II. Geomorphology, zonation, and sedimentary phases. Bulletin of Marine Science, vol. 23.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Nybakken, J. W. 1997. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta.

Rogers, C. S. 1990. Responses of Coral Reefs and Reef Organisms to Sedimentation. Marine Ecology Progress Series, Vol 62.

Salm, R. V. dan John R. C. 2000. Marine and Coastal Protected Area. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland. Switzerland.

Siegel, S. 1986. Statistik Non-Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT. Gramedia. Jakarta.

Suhartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency. Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.

McLaughlin, S. T. 2002, What Controls the Growth Forms of Corals? Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol. 223.

Van Woesik, R. 1989. A preliminary examination of the sedimentology, reef growth, and hydrology of Green Island. Report to the Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville.

Van Woesik, R. dan De Vantier, L.M. 1992. Resource assessment of nearshore coral communities in the Whitsunday Region. Report to the Queensland Department of Environment and Heritage.

Van Woesik R dan Done T. J. (1997) Coral communities and reef growth in the Southern Great Barrier Reef. Coral Reef.s Report to the Great Barrier Reef Marine Park Authority.

Van Woesik, R. 2002. Coral communities and reef growth in the southern Great Barrier Reef. Coral Reefs Report. Florida.


(4)

Veron, J.E.N. 2002. Corals of the World. Australian Institute of Marine Science. Quensland.

Veron, J.E.N. 1974. Southern geographic limits on the distribution of Great Barrier Reef hermatypic corals. Proc 2nd Int Sym Coral Reefs, Brisbane. Wyrtki, K. 1961. Physical Ocenography of the Southeast Asian Waters. Naga

Report Volume 2. The University of California Scripps Institution of Oceanography. California.


(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kondisi sebaran lokasi dan distrubusi tutupan karang kawasan terumbu karang di lokasi penelitian ini diperkirakan merupakan suatu respon adaptasi terhadap pengaruh faktor pembatas yang ada di dua bagian wilayah sebaran. Kawasan terumbu karang di bagian timur umumnya memiliki tutupan karang lebih besar, dominan karang yang berbentuk foliose, genus Acropora dan Montipora yang perairannya dipengaruhi oleh tingkat kecerahan yang lebih tinggi daripada di bagian barat, sedangkan di bagian barat tutupan karang umumya lebih kecil, banyak terdapat karang berbentuk masif, encrusting dan genus Porites yang perairannya dipengaruhi oleh arus laut lebih kuat dan kekeruhan yang lebih tinggi daripada di bagian timur.

2. Kawasan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Gosong Sepa memiliki nilai ekologi paling tinggi, dan lokasi ini bersama dengan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Gosong Laga memiliki nilai pariwisata yang paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya.

3. Prioritas pengelolaan kawasan Zona Pemanfaatan Wisata dalam rangka kelestarian manfaat ekosistem terumbu karang dititikberatkan pada pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata yang memperhatikan aspek konservasi melalui aktifitas yang lebih bernilai bagi pengetahuan dan berdampak eksploitasi kecil.

4. Tindakan pengelolaan yang dapat dilaksanakan di kawasan ini dalam rangka kelstarian manfaat ekosistem terumbu karang adalah “membuat peraturan tentang kegiatan pariwisata bahari di sekitar ekosistem terumbu karang di dalam Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS”, kemudian diikuti tindakan pengelolaan “meningkatkan promosi ekosistem terumbu karang di Zona Pemanfaatan Wisata, TNKpS sebagai destinasi wisata bahari, “melakukan pembinaan dan penyuluhan


(6)

ekosistem terumbu karang di wilayah ini”, “mempercepat peningkatan tutupan komunitas karang di lokasi yang tutupannya rendah” dan “pemasangan mooring buoy di perairan sekitar ekosistem terumbu karang”.

Saran

1. Memperhatikan pengaruh parameter kondisi perairan laut yang lebih detail dan lebih kontinyu pada tiap pengambilan sample air laut mengingat diduga faktor inilah yang banyak membentuk kondisi kawasan terumbu karang di wilayah ini. 2. Memperhitungkan pengaruh keterkaitan ekosistem lain di sekitar terumbu

karang seperti padang lamun atau mangrove dan aktifitas manusia terhadap kondisi terumbu karang di wilayah ini.

3. Menggunakan koreksi atmospheric dalam analisis GIS untuk dapat mengkaji lebih jauh terhadap profil dasar perairan ekosistem terumbu karang.

4. Mengkaji dan menggunakan indikator yang lebih berpengaruh terhadap parameter kerentanan terumbu karang.