pelanggaran HKI disertai penempatan jaminan untuk dipertaruhkan passive action procedure.
Kedua, penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor karena jabatan secara ex officio berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya
pelanggaran HKI active action procedure.
B. Ke te rbatasan dalam Pe laksanaan Pe ran Ke pabe anan di Bidang Me re k
Keterbatasan dalam pelaksanaan peran kepabeanan di bidang Merek adalah tidak diketahui jenis-jenis produk masuk maupun keluar yang memiliki identifikasi merek tertentu, sehingga pihak kepabeanan sering kali menunggu untuk
menindak lanjuti terhadap ditemukannya produk-produk yang teridentifikasi melanggar hak merek. Pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DJBC khususnya di bidang hak merek pada awal perkembangannya memiliki keterbatasan
baik yang bersifat pelaksanaan teknisnya maupun dari segi dampak yang diakibatkannya. Sistem pengawasan dengan memastikan unsur kebenaran pemberitahuan pabean dan pengawasan barang dapat berbenturan dengan fungsi dari sistem
pelayanan. Selain hal tersebut, secara teknis terdapat beberapa kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat dilakukannya system pengawasan yang ada terhadap hak merek. Kondisi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Kondisi geografi Indonesia untuk melaksanakan pengawasan fisik yang efektif. 2. Perkembangan sistem perdagangan internasional yang terus meningkat ke arah
yang lebih efisien dan menguntungkan. 3. Keterbatasan sumber daya manusia dan biaya yang dimiliki DJBC dalam
rangka melaksanakan tugas pengawasan
Namun demikian, peningkatan pengembangan system pengawasan yang terlalu ketat dan kaku sebaliknya dapat mengurangi maupun menghambat fungsi
pelayanan, yaitu peningkatan kelancaran arus barang dan dokumen serta perdagangan internasional. Sehingga dalam rangka mencapai tujuan dan
misinya secara efektif DJBC dituntut untuk melaksanakan kedua fungsi, yaitu fungsi pelayanan dan pengawasan tersebut secara seimbang tanpa mengurangi
maksud dan tujuan masing- masing fungsi.
C. Hal -Hal yang Perlu Diperhatikan Mengenai Ke terlibatan Ke pabeanan dalam Me laksanakan Pe rlindungan
Te rhadap Me re k
Terkait kerangka perlindungan hak merek, tindakan atau kewenangan yang dapat dilaksanakan oleh DJBC adalah tindakan’’penangguhan sementara waktu
pengelu aran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean’ atau yang dalam
TRIPs disebut sebagai ‘suspension of release by customs’.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Tindakan “border measurement” oleh DJBC tersebut dianggap cukup efektif untuk mencegah adanya pelanggaran hak merek. Tindakan pena
ngguhan yang dilaksanakan pada ‘exit’ atau ‘entry point’ di kawasan Pabean ini dapat mencegah barang yang diduga melanggar hak merek, sebelum barang tersebut masuk ke dalam jalur distrbusi komersial di
daerah bebas, dimana pencegahannya akan lebih rumit dan memakan biaya yang besar.
Perlu dicatat bahwa walaupun pejabat DJBC adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS dalam kasus pelanggaran kepabeanan, tetapi PPNS Bea dan
Cukaidi bidang HKI tidak mempunyai kewenangan ‘ex oficio’ karena jabatan, penanganan
kasusnya seterusnya
diserahkan kepada
Kepolisian Republik
Indonesia Polri atau PPNS Direktorat Jenderal HKI, untuk proses hukum lebih lanjut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan,
hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai keterlibatan Kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan terhadap hak merek atau HKI oleh Bea dan Cukai
dapat dilaksanakan berdasarkan dua alasan, yaitu: 1. Penangguhan pengeluaran berdasarkan perintah tertulis dari Ketua Pengadilan
Negeri Setempat Pengadilan Niaga Setempat
Dalam Article 51 TRIPs Agreement diatur bahwa dalam hal pemilik atau pemegang hak memiliki bukti yang cukup untuk menduga adanya impor barang yang melanggar hak merek atau hak cipta, dapat mengajukan permintaan tertulis
kepada pihak yang berwenang administratif atau judicial untuk dilakukannya penangguhan pengeluaran barang tersebut oleh Bea dan Cukai.
TRIPs tidak menentukan kepada pihak mana competent authorities permintaan penangguhan ini harus diajukan, hal ini tergantung pada ketentuan
yang berlaku di masing-masing negara, dengan demikian permintaan tersebut dapat diajukan kepada pihak pengadilan judicial atau kepada instansi-instansi
lain administratif termasuk yang diajukan langsung kepada pihak kepabeanan. Berdasarkan Pasal 54 UU Kepabeanan, maka di Indonesia permintaan oleh
pemilik atau pemegang hak tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Dengan dipilihnya jalur permintaan melalui pengadilan ini, maka
diperlukan adanya Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan penangguhan pengeluaran barang.
Masalahnya adalah
terdapat perbedaan
jurisdiksi pengadilan
yang berwenang menetapkan penangguhan sementara injunction maupun memeriksa
pelanggaran HKI antara UU Kepabeanan menunjuk Pengadilan Negeri dengan perundang-undangan di bidang HKI menunjuk Pengadilan Niaga. Sehingga ada
kemungkinan dua alternatif yang bisa diajukan: a. Memberikan kewenangan.
Memberikan kewenangan
ke Pengadilan
Niaga untuk menetapkan injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HKI, dengan
pertimbangan sebagai upaya penundukan diri kepada rezim HKI sesuai adagium lex posteriori derogate lex priori undang-undang yang berlaku
belakangan mengesampingkan undang-undang yang berlaku terdahulu. Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga,
pemegang hak dapat melakukan upaya mekanisme penangguhan karena jabatan ex oficio.
b. Tetap memberikan kewenangan Tetap memberikan kewenangan ke Pengadilan Negeri untuk menetapkan
injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HKI, dengan pertimbangan untuk menampung ketentuan dalam UU Kepabeanan serta
untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga dibandingkan Pengadilan Negeri yang terdapat hampir di semua border DBJC.
Di beberapa negara, permintaan semacam ini diajukan kepada Bea dan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Cukai tanpa melalui pengadilan. Prosedur pengajuan permintaan kepada Bea dan Cukai ini dalam pelaksanaannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan pengajuan
permintaan kepada Pengadilan Negeri, karena Bea dan Cukai dapat bertindak langsung berdasarkan data-data yang disampaikan pemilik atau pemegang hak
dalam permohonannya.
25
Kewajiban Pejabat Bea dan Cukai atas penerimaan Perintah Tertulis dari Pengadilan Negeri adalah:
a. Memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor
atau ekspornya; b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dari
kawasan Pabean, terhitung tanggal diterimanya Perintah Tertulis. Berdasarkan Pasal 55 UU Kepabeanan, maka permintaan penangguhan
pengeluaran barang kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat, diajukan dengan disertai:
a. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan;
b. Bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan; c. Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor
yang dimintakan penangguhan pengeluaran barangnya agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan
d. Jaminan.
25
Ade Maman Suherman, “Penegakan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23 Nomor 1, 2004, hal 86-91.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Contoh bukti-bukti mengenai adanya pelanggaran merek yang dapat diajukan antara lain:
a. Nama dan alamat importer atau eksportir dan atau penerima barang yang diduga melanggar HKI;
b. Negara asal barang yang diduga melanggar HKI; c. Negara pembuat barang yang diduga melanggar HKI;
d. Nama dan alamat orang atau perusahaan yang terlibat dalam pembuatan dan pendistribusian barang yang diduga melanggar HKI;
e. Cara pengangkutan dan identitas alat pengangkut yang diduga melanggar HKI;
f. Perkiraan pelabuhan dimana pemberitahuan impor ekspor akan diajukan; g. Perkiraan tanggal penyerahan pemberitahuan impor ekspor kepada Bea
dan Cukai; h. Nomor Tarif Pos Harmonized System dari barang yang diduga melanggar
HKI apabila diketahui. Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya peraturan pemerintah
yang mengatur mengenai definisi bukti yang cukup dan besarnya jaminan yang dipertaruhkan tersebut, dapat menimbulkan masalah dilematis terutama bagi para
pihak DJBC dan Ketua Pengadilan Niaga atau Negeri dalam memutuskan perkara ekspor-impor barang hasil pelanggaran HKI tersebut. Bukti permulaan yang cukup
mengenai adanya pelanggaran HKI merupakan syarat mutlak sebelum mengambil keputusan untuk menangguhkan pengeluaran barang dari kawasan pabean, baik
bagi Ketua Pengadilan Niaga Pengadilan Negeri dalam passive action procedure
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
maupun bagi pihak DJBC dalam active procedure. Sementara itu, ketentuan mengenai jaminan yang dipertaruhkan oleh pihak
yang meminta penangguhan pengeluaran barang juga sangat penting dan bersifat mutlak. Hal ini untuk menghindarkan penyalahgunaan tindakan penangguhan
tersebut untuk praktik dagang yang merugikan pihak lain, antara lain untuk melumpuhkan atau melemahkan saingan dagangnya.
Oleh karena itu, pihak yang meminta penangguhan pelanggaran barang wajib menaruh jaminan yang cukup nilainya, yang tujuannya adalah:
a. Melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu;
b. Mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak; dan c. Melindungi pejabat Bea dan Cukaidari lingkungan adanya tuntutan ganti
rugi karena dilaksanakannya perintah penangguhan. Sehingga apabila barang yang diduga melanggar HKI telah ditangguhkan
pengeluarannya oleh Bea dan Cukai, maka pemiliki atau pemegang hak menggunakan kesemmpatan dalam jangka waktu 10 hari kerja dan mungkin
diperpanjang 10 hari kerja lagi untuk melakukan langkah-langkah atau upaya- upaya hukum dalam mempertahankan haknya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, antara lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Kepentingan pemilik barang diabaikan, sehingga dalam keadaan tertentu
misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak, importir, eksportir atau pemilik barang impor atau ekspor, dapat mengajukan permintaan kepada Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Bea dan Cukaiagar mengakhiri penangguhan pengeluaran barang. Dalam pengajuan permintaan ini, pihak-pihak tersebut juga harus menyerahkan jaminan
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d UU Kepabeanan. Selanjutnya apabila hasil pemeriksaan perkara kemudian terbukti bahwa
barang impor atau ekspor yang ditangguhkan ternyata tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau
ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilikpemegang hak yang meminta penangguhan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud diatas diatur dalam
Article 56 the TRIPs Agreement Indemnification of the Importer and of the Owner of the Goods, yaitu pembayaran kompensasi yang memadai atas kerugian yang
terjadi karena penangguhan yang salah. Prinsip yang berlaku dalam perlindungan HKI ialah bahwa pemilik atau
pemegang hak right owner atau right holder harus aktif untuk mempertahankan hak-haknya, sedangkan peranan Bea dan Cukaiadalah membantu terlaksananya
perlindungan HKI. Oleh karena itulah maka dalam prosedur penangguhan berdasarkan Pasal 54 UU Kepabeanan ini, pemilik atau pemegang hak harus aktif
untuk mengumpulkan bukti-bukti, menyiapkan persyaratan yang diperlukan, dan mengajukan permintaan penangguhan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan
pengambilan tindakan
hukum atau
langkah-langkah untuk
mempertahankan hlm. Pemeriksaan dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai.
Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, maka
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan yang digunakan untuk memproduksi
barang tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, perlindungan HKI. Oleh karena itulah maka dalam prosedur penangguhan
berdasarkan Pasal 54 UU Kepabeanan ini, pemilik atau pemegang hak harus aktif untuk mengumpulkan bukti-bukti, menyiapkan persyaratan yang diperlukan, dan
mengajukan permintaan penangguhan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk
kepentingan pengambilan
tindakan hukum
atau langkah-langkah
untuk mempertahankan hlm. Pemeriksaan dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea
dan Cukai. Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, maka
kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan yang digunakan untuk memproduksi
barang tersebut. Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar
untuk mengidentifikasi
atau mencacah
barang yang
dimintakan penangguhan.
Sebagaimana diuraikan diatas, jangka waktu penangguhan pengeluaran barang selama sepuluh dari kerja harus digunakan oleh pihak yang meminta
penangguhan untuk
melakukan tindakan
hukum yang
diperlukan dalam
mempertahankan haknya. Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan dalam jangka waktu sepuluh hari pihak yang meminta
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
penangguhan wajib secepatnya melaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai. Apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja Pejabat Bea dan Cukaitidak
menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan bahwa tindakan hukum telah dilakukan, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memperpanjang secara
tertulis, Pejabat Bea dan Cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang. Selanjutnya barang diprosesdiselesaikan sesuai ketentuan
kepabeanan. Dalam hal tindakan hukum telah diberitahukan dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, Pejabat Bea
dan Cukai mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang. 2. Penangguhan Pengeluaran Barang Karena Jabatan Ex-Officio Action
Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat juga dilakukan karena jabatan oleh Pejabat Bea dan Cukai, apabila terdapat bukti yang
cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta. Pasal 62 UU Kepabeanan
tidak menguraikan pengertian “tindakan penangguhan karena jabatan” ini serta ruang lingkupnya. Pada Penjelasan Pasal 62
UU Kepabeanan hanya dinyatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup, dan tujuannya adalah untuk mencegah peredaran
barang-barang yang melanggar merek dan hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian pada umumnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam hal
diambil tindakan penangguhan karena jabatan, maka berlaku sepenuhnya tata cara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Merek dan Undang-Undang Hak Cipta.
Dalam Article 58 TRIPs Agreement secara sekilas dinyatakan bahwa “ex-officio
action” ini merupakan tindakan penanggugan pengeluaran barang yang
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
dilaksanakan atas inisiatif dari instansi yang berkompeten dalam hal ini Bea dan Cukai.
Dalam action procedure, pejabat DJBC, karena jabatannya ex-officio wajib mengambil inisiatif untuk menangguhkan pengeluaran barang dari Kawasan
Pabean jika bukti yang cukup menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari pelanggaran atas HKI. Untuk selanjutnya pihak Bea dan Cukaiwajib
memberitahukan penangguhan tadi kepada pihak yang berkepentingan, yaitu pemilik atau pemegang hak dan pemilik barang atau kuasanya. Bilamana kemudian
benar-benar terbukti adanya pelanggaran atas HKI, perkaranya akan diselesaikan berdasarkan perundang-undangan bersangkutan, yaitu Undang-Undang Hak Cipta
dan Undang-Undang Merek. Dalam praktiknya, hal ini menjadi suatu kejanggalan bagi para aparat
lapangan, karena ternyata setelah barang tersebut ditegah, kemudian diberitahukan kepada si pemilik hak, maka yang bersangkutan bersikap tidak acuh dan tidak
menghiraukan atas pelanggaran ini. Sehingga sesuai dengan UU Kepabeanan Bab X Pasal 57 Ayat 1 dan 2 penangguhan harus diakhiri.
Pasal tersebut berbunyi pada Ayat 1: “Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu
paling lama sepuluh hari kerja”. Dalam Ayat 2 dijelaskan bahwa “Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, berdasarkan alasan dan dengan syarat
tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sepuluh hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat”. Karena ketidakpedulian si
pemilik hak inilah, maka penangguhan itu pun dihentikan dan barang dapat
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
dikeluarkan. Atas dasar hal tersebut, kewenangan DJBC dari segi active action
procedures perlu kiranya diberikan landasan yang kuat. Walaupun si pemegang hak tidak merasa keberatan dengan pelanggaran atas haknya, maka proses hukum
harus tetap dijalankan atas dasar pelanggarannya terhadap HKI tersebut, bukan atas pengaduan dari si pemegang. Bertolak dari hal itu perlu kiranya ditempuh beberapa
upaya penambahan ketentuan dalam peraturan dimaksud, berupa dimungkinkannya diadakan kerjasama antara pemegang hak dengan pihak DJBC, bahwa dalam hal
active action procedures DJBC dapat melakukan penegahan terhadap barang ekspor
dan impor
sebagai hasil pelanggaran HKI. Atau cara lainnya dimungkinkannya atas tugas Negara, DJBC berhak menegah sementara waktu
untuk memeriksa barang tersebut dengan tanpa jaminan sampai terbukti yang bersangkutan betul-betul melanggar HKI.
Perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan kewenangan kepada Pejabat Bea dan Cukai ex-officio untuk menyita dan memusnahkan barang yang
melanggar HKI atau memerintahkan si importer untuk mengirim kembali barang tersebut. Dalam Pasal 63 Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Kepabeanan, diatur mengenai pengecualian tersebut di atas, dimana ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran HKI,
tidak diberlakukan terhadap jenis-jenis barang sebagai berikut: barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau barang kiriman melalui
pos atau jasa titipan. Syaratnya ialah bahwa barang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
Dalam rangka meningkatkan kelancaran arus barang, maka terhadap barang ekspor prinsipnya dilakukan penelitian dokumen, sedangkan pemeriksaan fisik
hanya dilaksanakan dalam hal-hal tertentu. Terhadap barang impor, pemeriksaan fisik hanya dilaksanakan secara selektif mendasarkan diri pada risk management.
Pemeriksaan fisik atas barang impor hanya dilakukan terhadap importasi barang yang dikategorikan memiliki risiko yang tinggi, misalnya bea masuknya yang
tinggi, berbahaya bagi Negara dan masyarakat, atau pengimporan oleh importer yang mempunyai catatan yang kurang baik.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan pemerintah seperti di atas, maka relatif sempit peluang Bea dan Cukai untuk melaksanakan active action procedures.
Dengan relatif sempitnya peluang untuk bertindak aktif, maka pihak Bea dan Cukai meningkatkan upaya-upaya lain dalam rangka mengefektifkan tugas
penegndalian atas empor-ekspor barang hasil pelanggaran HKI. Misalnya mengadakan pendidikan khusus di bidang HKI bagi para aparat dan pejabat, dan
membangun data base system yang mampu mengakses ke database negara- negara maju dan WTO sehingga mudah memperoleh informasi tentang data-data
pemilikan atau pelanggaran di bidang HKI.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
BAB IV IMPLEMENTASI