Aspek Hukum Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Laut Cina Selatan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adolf, Huala.

Dasar-Dasar, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase,

Cetakan ke-1,

Bandung: Keni Media, 2014.

Asyhadie, Zaini.

Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia

, edisi

revisi, Cet ke 6, Raja Grafindo Presada, Jakarta. 2012

Brierly,JL.

Hukum Bangsa Bangsa suatu pengantara hukum internasional

.

Bhatara, Jakarta, 1996.

Bowett,D.W.

Hukum Organisasi Internasional

. Jakarta, Sinar Grafika, 1991.

Istanto, Sugen.

Hukum Internasional

, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

1998.

Kusuma Atmadja, Mochtar.

Pengantar Hukum Internasional.

, Alumni, Bandung,

2010.

Margono, Suyud.

Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum

, Ghalia

Indonesia, Jakarta. 2004

Marzuki, Peter Mahmud.

Penelitian Hukum,

Kencana.Jakarta 2008.

Muhammad, Burhantsani.

Hukum dan Hubungan Internasional

, Liberty,

Yogyakarta, 1990.

N. Shaw, Malcolm.

Internasional Law

, 5

th

Edition, Cambridge Nuniversity Press,

2004.

Prodjodikoro, Wirjono

Asas-asas Hukum Perdata Internasional,

cetakan kedua,

N.V. Van Dorp & Co, Jakarta, 1994.

Sefriani,

Hukum Internasional Suatu Pengantar

, Rajawali Pers, Depok, 2014.

Soekanto, Soerjono dan Sri

Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat

, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 2011


(2)

Starke, J. G.

Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international

Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja),

Cetakan Kesembilan,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Subekti, R.

Arbitrase Perdagangan

, Bina Cipta, Jakarta, 2001.

Supriyadi, Dedi.

Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi),

Bandung,

Pustaka Setia, 2013.

Usman, Rachmadi.

Hukum Arbitrase Nasional

, Grasindo, Jakarta, 2002.

Peraturan perundang-Undangan

Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982.

Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

(New York, 1958).

Mahkamah Internasional, Statuta Mahkamah Internasional 1945.

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1907.

Makalah/Jurnal/Artikel

Kompas edisi, Rabu 22 Juni 2011, Cina Tantang Vietnam Perang, diakses tanggal

1 November 2016.

Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan

Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002).

Simela Victor Muhamad, Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah

Arbitrase: Tantangan Asean, Vol. VIII, No. 13/I/P3DI/Juli/2016.

Website

Desember 2016.

diakses tanggal 1 Desember 2016.


(3)

1 Desember 2016.

http://www. Tabloiddiplomasi.org/previous-issue/104-agustus-2010/903 “Asean

Maritime Forum Akan Dapat Mengatasi Berbagai Isu Terkait Wilayah

Maritim” , diakses pada 29 Agustus 2016.

2016.

UNCLOS 1982 pada tanggal 21 Desember 2016.

2016

Anonim, Embargo, 25 Desember 2016,

17 Januari 2017.

Rafi Eranda, Analisis Embargo Minyak dari Iran oleh Uni Eropa Tahun 2012,

13 April 2014,

Anonim,

Pengertian

Reprisal,

13

April

2014,

tanggal 21 Januari 2017.


(4)

Desember 2016.

diakses tanggal 11 Januari 2017

diakses tanggal 1 November 2016.

Martin sieff (2012),

“Sengketa nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly

dan Paracel ungkap konflik yang lebih dalam”

, diakses tanggal 29

Oktober 2012,

Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di

Scarborough Shoal, diakses tanggal 1 November2016.

Arsip online citra satelit yang direklamasi oleh China dapat diakses melalui

http://medium.com/satelite-image-analysis//china-s-new-military-

installations-in-the-pratlyislands-satellite-image-update-1169bacc07f9#.h10hqgcpp diakses pada tanggal 2 Desember 2016


(5)

Desember 2016

diakses tanggal 1 Desember 2016

Anonim, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional,

19 Januari 2017,


(6)

A. Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional 1. Sejarah Arbitrase Internasional

Perkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama dipraktekkan. Menurut M. Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times) serta terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan Belanda. Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki perbedaan yang terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase internasional itu sendiri.36

Permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut LBB) mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 LBB menugaskan Dewan untuk

Berdasarkan Konvensi The Haque 1899, disusul konvensi yang sama 1907 didirikan lembaga Arbitrasi yang dinamakan Permanent Court of Arbitration dan berkedudukan di Den Haag. Sebenarnya lembaga Arbitrasi ini didirikan secara tetap, namun ternyata secara praktis lebih bersifat ad hoc sebagaimana yang dikenal sebelumnya. Hanya susunan anggota yang ditunjuk sebagai arbitrator (yang menjadi anggota panel permanent court of arbitration) yang bersifat tetap. Sedang mahkamah arbitrasi yang menangani kasus berakhir setelah adanya putusan arbitrasi. Mahkamah Arbitrasi ditetapkan lagi bilamana terdapat kasus yang menjadi yurisdiksinya. Jadi Mahkamah Arbitrasi dibentuk secara ad hoc kasus demi kasus. Ketua dan anggota Mahkamah Arbitrasi yang dibentuk untuk menangani satu kasus dipilih dari anggota panel Permanent Court of Arbitration.

36

Desember 2016.


(7)

menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh LBB, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional.37

Menurut Pasal 92 Piagam PBB disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan.

Pengangkatan arbitrasi dilakukan oleh negara peserta dan penandatanganan konvensi Den Haag dengan cara masing-masing mengusulkan empat orang yang diakui kemampuannya di bidang hukum international untuk menjadi anggota panel PCA. Jika para pihak bersengketa setuju menyerahkan penyelesaian dengan cara ini, maka para pihak masing-masing boleh memilih dua arbitrator dari anggota panel diatas satu diantara dua pilihannya itu dibolehkan berkewarganegaraan negaranya. Kemudian keempat arbitrator pilihan para pihak bersengketa memilih seorang arbitrator kelima sebagai wasit.

Yurisdiksi Mahkamah tetap arbitrasi bersifat sukarela yaitu meliputi semua kasus yang diserahkan kepadanya oleh negara yang bersengketa, baik melalui perjanjian sebelumnya maupun cara lain yang ditentukan sendiri oleh mereka. Selain "panel arbitrasi" yang bersifat tetap, juga dibuat sebuah Code of Rules of Prosedures yang bersifat tetap untuk dipakai bilamana para pihak gagal memberlakukan peraturan yang telah mereka perjanjikan sebelumnya. Oleh karena Konvensi The Haque 1899 tahun 1907 merupakan konvensi yang menghindari penggunaan perang dalam penyelesaian sengketa maka cara penyelesaian melalui Permanent Court of Arbitration merupakan salah satu cara penyelesaian secara damai tanpa kekerasan.


(8)

Hal serupa dikemukakan juga oleh Brierly, bahwa Mahkamah Tetap Arbitrasi diciptakan oleh Konvensi Den Haag untuk penyelesaian perselisihan antar negara secara damai, yang dibuat dalam tahun 1899, dan diubah di tahun 1907. Arbitrasi memiliki garis sejarah yang panjang.38

a. Arbitor Tunggal,

Dikenal sejak zaman Yunani kuno. Akan tetapi Aritrasi modern sebagaimana yang dikenal sekarang ini dimulai sejak adanya Jay Treaty tahun 1794 yang dibuat oleh Inggris dan Amerika Serikat. Sejak saat itu dikenal tiga tipe arbitrasi ad hoc, yaitu:

b. Komisi Bersama, c. Komisi Campuran.39

2. Pengertian Arbitrase Internasional

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit.40

Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak atau lebih menyerahkan sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter majlis)ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta yang akan menerapkantata cara hukum perdamaian yang telah disrpakati bersama oleh para pihak tersebut untuk sampai pada putusan yang final dan mengikat.

Menuurt Priyatna Abdulrrasyid mengatakan

41

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas

38 Brierly,JL.

Hukum Bangsa Bangsa suatu pengantara hukum internasional. Bhatara, Jakarta, 1996, hal, 229.

39

Bowett,D.W. Hukum Organisasi Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal 327

40

Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, 2002, hal 1

41

Zaini Asyhadie, Hukum Bisni Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, edisi revisi, Cet ke 6, Raja Grafindo Presada, Jakarta, 2012, hal 326


(9)

yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :

1. Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan 2. Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.42

Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.

Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:

1. Persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase; 2. Metode pemilihan panel arbitrase;

3. Waktu dan tempat hearing (dengar pendapat); 4. Batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;

5. Prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan.43

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat. Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketasengketa internasional.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu compromis, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir; atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (clause

42

Burhantsani, Muhammad, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990, hal 211

43


(10)

compromissoire). Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau arbiter (Indonesia).

Pemilihan arbitrator sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbitrator yang dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok sengketa serta disyaratkan netral. Ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan.

Setelah arbitrator ditunjuk, selanjutnya arbitrator menetapkan terms of reference atau 'aturan permainan' (hukum acara) yang menjadi patokan kerja mereka. Biasanya dokumen ini memuat pokok masalah yang akan diselesaikan, kewenangan jurisdiks arbitrator dan aturan-aturan (acara) sidang arbitrase sudah tentu muatan terms ofreference tersebut harus disepakati oleh para pihak.

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin meningkat. Dari sejarahnya, cara ini sudah tercatat sejak jaman Yunani kuno. Namun penggunaannya dalam arti modern dikenal pada waktu dikeluarkannya the Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1989 dan 1907. Konvensi ini melahirkan suatu badan arbitrase internasional yaitu PCA.

C. Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Wilayah

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara damai. Proses ini dilakukan dengan cara menyerahkan penyelesaian sengketa kepada orang-orang tertentu, yaitu arbitrator. Mereka dipilih secara bebas oleh para pihak yang bersengketa. Mereka itulah yang memutuskan penyelesaian sengketa, tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Pengadilan-pengadilan arbitrase semestinya berkewajiban untuk menerapkan hukum internasional. Namun, pengalaman di lapangan hukum internasional menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda. Beberapa sengketa yang menyangkut masalah hukum seringkali diputuskan berdasarkan kepatutan dan keadilan (ex aequo et bono).44

diakses tanggal 11 Januari 2017


(11)

Proses arbitrase ada prosedur tertentu yang harus ditempuh. Bila terjadi sengketa antara dua negara dan mereka menghendaki penyelesaian melalui PCA, maka mereka harus mengikuti prosedur tertentu. Prosedur tersebut harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasional. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Masing-masing negara yang bersengketa tersebut menunjuk dua arbritator. Salah seorang di antaranya boleh warga negara mereka sendiri, atau dipilih dari orang-orang yang dinominasikan oleh negara itu sebagai anggota penel mahkamah arbitrasi.

2. Para arbritator tersebut kemudian memilih seorang wasit yang bertindak sebagai ketua dari pengadilan arbritasi tersebut.

3. Putusan diberikan melalui suara terbanyak. Dengan demikian, arbritase pada hakikatnya merupakan suatu konsensus atau kesepakatan bersama di antara para pihak yang bersengketa. Suatu negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka pengadilan arbritase, kecuali jika mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.45

Jurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di dalam arbitrase. Isu inilah yang pertama-tama akan lembaga arbitrase, mahkamah arbitrase atau majelis arbitrase angkat sebelum memeriksa dan memutus suatu sengketa. Suatu badan arbitrase yang memutuskan bahwa ia memiliki jurisdiksi, akan menentukan kelanjutan dari sesuatu sengketa. Sebaliknya, ketika badan arbitrase memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia akan segera menolak untuk memeriksa sengketa.46

1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;

Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:

2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun

45

Ibid.

46

Huala Adolf. Dasar-Dasar, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, Cetakan ke-1, Keni Media, Bandung, 2014, hal 139


(12)

biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat.47

Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:

1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;

2. Kebiasaan internasional (international custom);

3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;

4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.

Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.

Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).

47


(13)

A. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan Antara Republik Rakyat Cina dengan Philipina

Laut Cina Selatan (LCS) merupakan Kawasan lautan yang memiliki luas sekitar 648.000 persegi yang berada diantara kawasan Tiongkok, Philipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Laut Cina Selatan (LCS) dalam peta konflik dibedakan menjadi dua yaitu bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara laut cina selatan terdapat pulau pratas yang diklaim oleh Tiongkok dan Taiwan, sedangkan kepulauan paracel yang diklaim oleh Tiongkok, Taiwan dan Vietnam.Sebenarnya kepulauan paracel telah diduduki oleh Tiongkok semenjak 1974. Bagian Selatan yang ditandai dengan kepulauan spartly di diperebutkan oleh enam negara sekaligus yaitu Tiongkok, Taiwan, Philipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam.48

Klaim atas LCS oleh beberapa negara memiliki dasar hukum yang jelas yaitu UNCLOS 128.UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan ZEE sejauh 200 mil. Hal ini penting karena negara yang memiliki kedaulatan atas pulau-pulau tersebut juga berhak memiliki sumber daya alam termasuk gas dan minyak bumi. Karena daerah ke-enam negara yang sedang bersengkata ini berdekatan sehingga terjadi tumpang tindih daerah batas laut yang menyebabkan terjadinya konflik.Sementara untuk Tiongkok Klaim diataskan konteks sejarah.

49

Namun perebutan LCS tidak hanya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah kekuasaan saja. Motivasi dari usaha klaim ini beragam namun faktor yang paling menonjol adalah ekonomi. Keuntungan yang akan didapatkan dapat berupa minyak, gas, ikan dan sumberdaya mineral. Cadangan minyak potensial LCS sebanyak 213 milyar barrel dan sumber daya hidro karbon LCS yang sering dilupakan adalah gas alam. Bahkan gas alam diperkirakan sebagai sumber daya

49


(14)

hidrokarbon yang jumlahnya paling banyak. Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60% - 70% hidrokarbon di kawasan merupakan gas alam.50

Di samping itu kebanggan nasional atau national pride kemananan nasional juga menjadi faktor pendukung dari usaha klaim atas LCS. Seperti contohnya Philipina yang menyatakan usaha klaim mereka terhadap pulau yang terletak pada LCS merupakan strategi pertahanan negara dan untuk membantu melindungi nusantara Philipina. Lebih penting, konflik LCS ini berkaitan dengan kebebasan pelayaran dari pedangan dan lalu lintas militer. Keinginan untuk mendapatkan LCS sebagai tempat perdagangan yang strategi, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong usah klaim atas wilayah ini. Jalur ini seringkali disebut sebagai maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Jumlah supertanker yang berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya LCS bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas yang melewati Kanal Suez dan lebih dari lima kali lipatnya kanal Panama.

Sumber Photo : www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus

Dan kepentingan Amerika Serikat dalam konflik ini adalah kebebasan Pelayaran yang tersedia untuk seluruh bangsa.Hal ini pula yang dapat menjadi titik tolak pertikaian bahkan diluar negara-negara yang berusaha klaim teritori.

50


(15)

Sejumlah negara saling berebut wilayah di LCS selama berabad-abad namun ketegangan baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran kawasan ini dapat menjadi pemicu perang dengan dampak global.51

Philipina menyebut Karang Scarborough sebagai Beting Panatag, Bajo de Masinlóc atau Karburo. Cina telah menamakannya sebagai Kepulauan Huangyan sejak tahun 1983. Pada tahun 1947, pemerintah Kuomintang dari Republik Tiongkok menyatakan kedaulatan atas karang tersebut dan menamakannya Minzhu Jiao atau Karang Demokrasi. Nama Baratnya berasal dari kapal dagang Scarborough milik Perusahaan Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa ada yang selamat setelah menabrak karang tersebut pada tahun 1784. Philipina berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23 kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.

Sengketa antara Philipina dan Tiongkok atas klaim yang bertentangan terhadap Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah Philipina mulai menyebut seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Philipina Barat. Dalam layanan Administrasi Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Philipina (PAGASA) bersikukuh bahwa kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Philipina.

Pulau-pulau kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama yang bertentangan, dengan klaim kedaulatan yang bertentangan atas mereka yang sudah terjadi selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai kepulauan Spratly. Tiongkok menyebutnya Kepulauan Nansha.

52

Pada tahun 2012 ini, pemerintah Philipina akan melelang tiga wilayah di LCS untuk eksplorasi minyak dan gas yang juga diklaim oleh Tiongkok. Philipina sangat ingin mengurangi ketergantungan impor energi. Bagaimanapun, perairan yang diklaim oleh sejumlah negara ini, Philipina berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23 kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.

diakses tanggal 1 November 2016.

52

Martin sieff (2012), “Sengketa nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly dan Paracel ungkap konflik yang lebih dalam”, diakses tanggal 29 Oktober 2012, tanggal 1 Desember 2016.


(16)

memiliki sumber energi yang besar. Blok yang akan dilelang berada di dekat Provinsi Palawan province, dekat Malampaya dan Sampaguita yang mengandung gas alam. Wilayah ini dekat dengan Reed Bank, yang juga diklaim oleh Tiongkok. Seluruh wilayah yang ditawarkan berada di 200 mil zona ekonomi eksklusif Philipina sesuai dengan UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB). Upaya Philipina untuk mendapatkan hak kedaulatan ekslusif dan otoritas untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber alam di wilayah itu diluar negara lain. Tidak ada keraguan dan sengketa mengenai hak tersebut. Wilayah LCS yang menjadi sengketa itu mengandung minyak dan gas yang besar. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan antara sejumlah negara menajam, menyusul peningkatan aktivitas maritim Tiongkok di wilayah itu.53

Demi mempertahankan klaim yang diyakininya tersebut, Tiongkok mempertegas klaimnya terhadap LCS pada tahun tahun 2009. Klaim tersebut sebagai bentuk respon terhadap Malaysia, Vietnam dan Philipina ketika melakukan perluasan landas kontinen kepada CLCS sesuai Pasal 4 dalam lampiran II UNCLOS. Protes Tiongkok terhadap kedaulatan maritim yang disertai dengan lampiran sebuah peta nine dash line memunculkan suatu permasalahan baru di LCS. Dukungan peta resmi Tiongkok dalam memperkuat klaimnya tersebut dipandang banyak pihak sebagai klaim yang ilegal. Sebab klaim dalam peta tersebut menyalahi aturan UNCLOS. Sebaliknya, pemerintah Tiongkok percaya bahwa klaim tersebut telah berdasar pada hak historisnya terhadap wilayah ini yang terjamin sepanjang sejarah. Tiongkok dapat dikatakan sebagai negara terakhir yang melakukan reklamasi di kepulauan Spratly.

Konflik terbaru terjadi antara Philipina dengan Tiongkok di Dangkalan Scarborough. Selain itu, Vietnam dengan Philipina pun sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan.

54

53

Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di Scarborough Shoal, diakses tanggal 1 November2016.

Maka dalam posisi ini, pemerintah Tiongkok menganggap dirinya adalah pihak yang paling dirugikan. Karena beberapa negara lain seperti Vietnam, Philipina dan Taiwan telah lebih dahulu melakukan aktifitas pembangunan ilegal di wilayah tersebut tanpa sepengetahuan Tiongkok. Pemerintah Tiongkok menganggap jika aktifitas pembangunan di wilayah tersebut merupakan aktifitas yang ilegal.

54


(17)

Berdasarkan bukti rekaman sejarah Tiongkok, Tiongkok telah memiliki kontrol teritorial terhadap wilayah tersebut sejak lama. Maka, sebelum negaranegara pengklaim di beberapa pulau di LCS melakukan klaimnya seperti saat ini, Tiongkok lebih dulu memiliki hak atas perairan tersebut. Sehingga bagi Tiongkok, tidak benar jika banyak negara yang menuduh aktifitasnya di wilayah tersebut merupakan tindakan yang ilegal. Klaim historis Tiongkok modern terhadap LCS dapat ditemukan pada tahun 1947 ketika berada dibawah pemerintahan Tiongkok pimpinan Chiang Kai-Shek. Klaim yang di dukung oleh peta resmi nasionalnya tersebut, memuat 11 garis putus yang mencakup sebagian besar wilayah LCS. Sedikit berbeda dengan peta yang dikeluarkan pemerintah Tiongkok pada tahun 2009, dua garis lainnya yang terletak di Teluk Tonkin (Gulf of Tonkin) telah di hapus sejak pemerintahan Zhou Enlai. Sehingga pada peta modern Tiongkok diketahui hanya memiliki sembilan garis putus.

Beberapa versi, peta modern Tiongkok sejak 1984 memiliki 10 garis putus. Dimana satu garis yang lain berada di timur Taiwan.55 Dari segi skup wilayah klaim terhadap LCS, tidak ada perbedaan yang signifikan antara klaim teritori dalam peta resmi Tiongkok pada tahun 1947 dengan tahun 2009. Dimana hampir keseluruhan pulau-pulau di LCS berada dalam klaim Tiongkok menurut peta resminya tersebut. Bila mengacu pada peta resmi Tiongkok yang dikeluarkan pada tahun 2009, sembilan garis putus dalam peta tersebut mencakup sekitar 2 juta km2 luas maritim di LCS (sekitar 22% dari luas Tiongkok daratan).56

55

http://www.mackinderforum.org/commentaries/china2019snine-dashed-map-maritime- sourceof-geopolitical-tension/china2019s-nine-dashed-map-maritimesource-of-geopolitical-tension

56

Ibid

Ini berarti wilayah klaim Tiongkok mencakup seluruh pulau-pulau yang berada di area LCS. Seperti Kepulauan Pratas, Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Scarborough Shoal dan pulau-pulau karang lainnya. Klaim tersebut meliputi hampir 80% luas LCS. Kebenaran klaim tersebut juga diperkuat oleh citra satelit yang merekam berbagai aktivitas Tiongkok di LCS. Ia melakukan reklamasi yang cukup masif diperairan tersebut. Selama kurun waktu akhir 2013 hingga 2015, telah ada beberapa titik yang


(18)

menjadi basis reklamasinya. Antara lain Fiery Cross Reef, Mischief Reef, Gaven Reef, Subi Reef, Hughes, Johnson Sout Reef, Eldad Reef dan Cuarteron Reef.57

Pada 2013, Philipina mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas Tiongkok di LCS kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Filipina menuding Cina mencampuri wilayahnya dengan menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau buatan. Filipina berargumen bahwa klaim Tiongkok di wilayah perairan LCS yang ditandai dengan ‘sembilan garis putus-putus’ atau ‘nine-dash-line’ bertentangan dengan kedaulatan wilayah Philipina dan hukum laut internasional.58

Klaim kontemporer Philipina terhadap perairan ini sebenarnya tidaklah seluas klaim Tiongkok. Secara yuridis, klaim yang dilakukan oleh Philipina adalah klaim yang cukup rasional. Sebab secara geografis, klaim yang dilakukan Philipina atas gugusan pulau Spratly didasarkan oleh kedekatan geografis. Dalam sejarahnya, klaim yang didasarkan kedekatan geografis tersebut pada tahun 1956 pernah direspon Tiongkok. Tiongkok meyakini jika Spratly merupakan bagian dari wilayahnya sesuai isi dari Deklarasi Kairo dan Perjanjian Postdam.59

Masyarakat Philipina, sebagai warga dari negara yang mengajukan keberatan atas klaim Tiongkok di LCS, menyambut baik putusan PCA. Sebagian warga menggelar pawai di sejumlah Klaim Philipina di LCS terbatas pada keseluruhan kepulauan Spratly (kecuali Spratly Island sendiri, Royal Charlotte Reef, Swallow Reef dan Louis Reef). Klaim tersebut dihasilkan dari perluasan landas kontinen pulau terluar Philipina yang dilakukan pada tahun 2009. Meskipun sebagian besar wilayah Philipina didasarkan pada gagasan penemuan yang cukup baru, akan tetapi prinsip archipelagic state Philipina dinilai telah sesuai dengan syarat-syarat hukum internasional modern seperti UNCLOS. Dengan demikian, klaim Philipina terbatas pada wilayah yang berada dalam jangkauan 200 mil dari ZEE negaranya. Terlepas dari adanya selisih luas wilayah yang diakui dalam Dekrit Presiden 1596 maupun Perjanjian Paris 1898.

57 Arsip online citra satelit yang direklamasi oleh China dapat diakses melalui

http://medium.com/satelite-image-analysis//china-s-new-military-installations-in-the-spratlyislands-satellite-image-update-1169bacc07f9#.h10hqgcpp diakses pada tanggal 2 Desember 2016.


(19)

tempat di Manila, membawa poster, dan mengibarkan bendera negeri itu. Salah satu poster bertuliskan, “Kedaulatan Philipina, tidak bisa ditawar-tawar”. Menteri Luar Negeri (Menlu) Philipina, Perfecto Rivas Yasay Jr., menyebut putusan Mahkamah Arbitrase itu sebagai keputusan bersejarah yang memberi kontribusi penting pada upaya pencarian solusi damai atas perselisihan teritorial antarnegara di perairan. Menlu Philipina juga menegaskan sikap dan komitmen negaranya untuk mencari penyelesaian secara damai dengan pandangan untuk mempromosikan dan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di kawasan.60

Tanggal 22 Januari 2013, Philipina mengajukan pernyataan kepada Kedubes Tiongkok di Philipina, mengumumkan bahwa mereka akan menyerahkan isu LCS ke Arbitrase. Pada 19 Pebruari 2013, Kedubes Tiongkok dengan tegas menolak untuk mengambil bagian dalam arbitrase yang diajukan Philipina. Tiongkok menganggap Philipina telah melanggar beberapa konsensus diplomatik dan mekanisme negoasiasi yang telah disepakati sebelumnya, jadi Tiongkok tidak bisa menerimanya.

Berbeda dengan Philipina, Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing menyatakan, Tiongkok tidak akan menerima posisi atau aksi apa pun yang didasarkan pada putusan Mahkamah Arbitrase atas pengajuan keberatan Philipina. Namun, Tiongkok tetap akan menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan LCS. Dalam pernyataannya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan putusan Mahkamah itu hampa dan tidak memiliki kekuatan mengikat. “Kedaulatan teritorial dan hak-hak maritim serta kepentingan Tiongkok di LCS tidak terpengaruh keputusan itu. Tiongkok menentang dan tidak akan pernah menerima klaim ataupun aksi yang didasarkan pada keputusan itu”.

61

59

Xu Bu. Op. Cit

60

Simela Victor Muhamad, Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah Arbitrase: Tantangan Asean, Vol. VIII, No. 13/I/P3DI/Juli/2016.

Pada 2013, arbitrase sementara untuk Laut Tiongkok Selatan dibentuk. Lima angggota arbitrase dikonfirmasi. Dari mereka Philipina mengirim angggota dari Jerman untuk Hukum Laut (UNCLOS)-Rudiger Walfrum untuk mewaklili Philipina dalam pengadilan arbitrase. Ilustrasi: Youtube.com Karena Tiongkok tidak menerima dan tidak akan ambil bagian dalam arbitrase, sisa anggota di tunjuk oleh mantan diplomat pengalaman Shunji Yanai yang kemudian


(20)

ditunjuk sebagai Presiden ITLOS dan empat anggota hakim lain: Thomas A. Mesh dari Ghana, Stannishlaw Pawlak dari Polandia, Jean- Pierre Cot dari Prancis, dan Alfred H.A. Soons dari Belanda. Dokumentasi pribadi Pertama-tama, itu bukan ITLOS (the International Tribunal for the Law of the Sea).

Kedua, itu bukan PCA di Den Haag, itu hanya pengadilan sementara arbitrase yang dibentuk dibawah ITCLOS khusus untuk kasus ini. Sikap Tiongkok atas gugatan internasional Philipina tetap jelas dan pasti tidak menerima atau tidak akan berpartisipasi dalam arbitrase, sikap ini tidak akan berubah. Pada 7 Desember 2014, Departemen Luar Negeri Tiongkok secara remi merilis “Paper on Position of the Government of the People’s Republic of China on the Matter of Jurisdiction in the South China Sea Arbitration Initiated by Republic of the Philippines,” (Dokumen resmi tentang Posisi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok Pada Masalah Yuridiksi Arbitrase di LCS yang diprakarsai oleh Republik Philipina). Secara komprehensif dan sistemik menggambarkan sikap resmi pemerintah Tiongkok mengenai masalah yurisdiksi arbitrase di LCS. Bahwa tribunal arbitrase ini tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus LCS yang secara sepihak diajukan oleh Philipina, dan cacat hukum berdasarkan hukum internasional. Dan posisi Tiongkok untuk tidak menerima atau mengambil bagian dalam arbitrase yang diajukan Philipina mempunyai dasar hukum yang kuat berdasarkan hukum internasional. Pada 29 Oktober 2015, tribunal arbitrase LCS membuat keputusan menerima gugatan tersebut, pemerintah Tiongkok dengan segera mengumumkan bahwa setiap keputusan terkait masalah ini tidak efektif dan mengikat. Pada tahun 2006 berdasarkan UNCLOS pasal 298 mengenai kepemilikan bersejarah perbatasan maritim, operasi militer, dan operasi penegakan hukum.

Tiongkok membuat pernyataan mengklasifikasikan sebuah kekecualian, bahwa Tiongkok tidak bisa akan menerima prosedur pemaksaan untuk menyelesaikan masalah apapun tentang batas matitim. Sifat khusus arbitrase Philipina yang melibatkan kasus teritorial dan perbatasan maritim. Seperti diketahui mengenai kedaulatan teritorial, dalam UNCLOS tidak tercakup mengenai sektor dan skala ini. Dan Tiongkok telah menciptakan pengecualian mengenai batas maritim. Isu LCS


(21)

menjadi rumit karena keterlibatan negara utama ekstra-teritorial telah berusaha untuk ikut intervensi. Pada 18 Juni 2016, kapal induk bertenaga nuklir USS Nimitz-Klas: USS John C.62

Beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat bahkan telah melakukan shown-off forces (unjuk kekuatan) beberapa kali, dan mengirim pasukan militer dan kapal perang berkali-kali ke LTS dan perairan terdekat untuk menekan Tiongkok, dan mengekspresikan dukungannya kepada Filipina. Pada 19 April 2016, empat pesawat serbu AU- Amerika Serikat, A-10C dan dua helikopter “Pave Hawk” secara terbuka melanggar wilayah udara dalam radius 100 km dari Pulau Huangyan untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu Amerika Serikat-Philipina.

Stennis dan USS Ronald Reagan membentuk group tempur ganda kapal induk. Dua kapal induk ini melakukan saling lepas landas beberapa jet tempur dan helikopter untuk menampilkan kekuatan militer dari kelompok tempur ganda. Selain itu, “Kyodo” kantor berita Jepang, melaporkan bahwa menurut intelijen AL- Amerika Serikat , Angkatan Laut Amerika Serikat akan mengerahkan tiga kapal induk perusak Klas Arleigh Burke ke LCS, untuk mulai “melakukan operasi pengamanan dan pengintaian” di LCS. Pada akhir Juni 2016, tiga kapal perusak tiba di LCS, AS telah menjadi “tangan tak terlihat” dibalik ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.

Tanggal 30 Januari 2016 sebuah kapal perang Amerika Serikat memasuki wilayah perariran Tiongkok Pulau Zhongjian di Kepulauan Xisha. Pada 10 Mei 2016 kapal perusak USS Williem P. Lawrence memasuki perairan sekitar pulau-pulau tertentu dan terumbu karang di Kepulauan Nansha tanpa otorisasi Tiongkok. Pada Juni 2016, sebuah detasemen khusus empat dari AL-AS - EA-18G Growler pesawat serbu elektronik dikerahkan di Pangakalan Udara Clark di Luzon, Philipina Dari bulan Maret sampai Juni 2016, Kapal Induk Tenaga Nuklir USS John C. Stennis menghabiskan 78 hari di LTS dan melakukan lebih dari 4,000 kali peluncuran dan pendaratan di kapal induk ini.

63

Beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat bahkan telah melakukan unjuk kekuatan (shown-off forces) beberapa kali, dan mengirim pasukan militer dan kapal perang berkali-kali ke LTS dan perairan terdekat untuk menekan Tiongkok, dan mengekspresikan dukungannya kepada

62

Ibid

63


(22)

Philipina. Pada 19 April 2016, empat pesawat serbu AU-Amerika Serikat, A-10C dan dua helikopter “Pave Hawk” secara terbuka melanggar wilayah udara dalam radius 100 km dari Pulau Huangyan untuk menunjukkan dukungan kepada sekutu Amerika Serikat Philipina. Dokumentasi pribadi Kemudian, kapal perang dan pesawat Amerika Serikat melakukan operasi “Kebebasan navigasi” selama beberapa kali waktu sensitif tanapa izin dalam 12 mil laut di pulau tertentu dan terumbu, lebih-lebih di daerah sengketa di LTS. Amerika Serikat dengan menggunakan alasan operasi “kebebasan navigasi” yang kenyataannya untuk mempromosikan aturannya sendiri dan strategi perairan dunia, sehingga Amerika Serikat dapat memperoleh posisi hegemoni maritim. Demkkian pendapat sebagian analis. Pada awal April, dalam rangka untuk berkoordiansi dengan Amerika Serikat dan menciptakan insiden di LTS, Jepang mengirimkan kapal selam “Oyashiao” JMSDF (Pertahanan Bela Diri Maritim Jepang) untuk berkungjung ke Subic Bay di Philipina. Ini menjadi yang pertama kalinya bagi sebuah kapal selam Jepang berlabuh di teluk Philipina dalam 15 tahun. Pada pertengahan April 2016, Jepang juga ambil bagian dalam Latma militer AS-Philipina “Balikatan” untuk pertama kalinya sebagai “pengamat.” Motivasi Jepang tidak perduli tentang isu masalah Tiongkok di LTS, yang penting bisa melibatkan diri untuk mengambil keuntung untuk diri sendiri, dengan melibatkan perselisihan lanjutan di LTS, Jepang berharap berkesempatan untuk meningkatkan kebutuhan negara-negara ASEAN untuk Jepang. Jika dilihat kenyataannya, Jepang telah berketetapan hati untuk melihat seberapa manfaat untuk dirinya sendiri di LTS. Dan hal ini tidak berusaha membantu Philipina keluar dari permasalahannya, bahkan mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan segala sesuatu yang bisa. Pada 2016, Obama mengatakan pada pertemuan informal antara Amerika Serikat dan pemimpin ASEAN bahwa Amerika Serikat akan terus “menjadi kuat” dan akan selalu abadi kehadirannya di Asia,” dan menggunakan kekuatan yang ada untuk “menegakkan ketertiban” di Asia-Pasifik. Media Amerika Serikat “The New York Times” juga menyuarakan dukungan mereka kepada Philipina, sementara juga menuntut Tiongkok untuk menerima dan mengambil bagian dalam arbitrase. Dapat dimengerti bagi Amerika Serikat, bagaimanapun hasil kasus arbitrase tidak penting lagi, karena Amerika Serikat telah campur tangan dalam masalah LTS dengan mengsensasionilkan kasus arbitrase, bersamaan dengan hangatnya kasus ini juga menghembuskan “kebebasan navigasi”, dan


(23)

menggunakan dua alasan ini untuk mendapatkan pijakan di LTS. Maka tidak heran ketika Menlu Tiongkok—Wang Yi diwanwacarai Al Jazeera di Qatar dia mengatakan, serial baru US beroperasi di LTS tidak membantu untuk resolusi masalah ini, hal itu bahkan membuat masalah menajdi lebih rumit, dan membuat siatuasi menjadi tegang. Wang Yi mengatakan: “Saya pikir aksi semacam ini setidaknya menciptakan unsur ketidakstabilan di LTS dan bahkan telah memicu ketegangan lebih lanjut. Ini bukan perilaku konstruktif. Seorang kolumnis “The Standard” terbitan Filipina Rod Kapunan mengatakan jika membicarakan masalah LTS “Philipina yang menarik chestnut AS keluar dari api.” AS sengaja menggunakan perbedaan Filipina dengan Tiongkok dalam isu-isu LTS untuk menemukan alasan untuk dirinya sendiri menggelar pasukan di Philipina dan melaksanakan “patroli maritim secara rutin” di LTS. Sebagian analis berpendapat, jika AS mengerahkan pasukan di Philipina untuk waktu yang lama, hal itu akan membuat Filipina membayar harga yang mahal. Yang sudah jelas sikap Tiongkok bagaimanapun tidak akan menerima rencana paksa dan resolusi sepihak yang dilakukan pihak ketiga.

B. Penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan antara Republik Rakyat Cina dengan Philipina Oleh Badan Arbitrase Internasional

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengharuskan adanya persetujuan dari kedua pihak yang bersengketa untuk membawa sengketanya ke arbitrase. Hal ini harus terpenuhi lebih dulu sebelum arbitrase dapat menjalankan yurisdiksinya.64

Secara Geografi LCS dikelilingi sepuluh negara pantai (Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Philipina). Luas perairan LCS mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan Tiongkok. Kawasan LCS merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan strategis yang sangat penting. Kondisi geografis posisinya yang strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan (SLOT) dan jalur komunikasi internasional (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hal ini telah merubah jalur laut

64 Sefriani,


(24)

Tiongkok selatan menjadi rute tersibuk di dunia, karena lebih dari setengah perdagangan dunia berlayar melewati LCS setiap tahun.65

Sementara kandungan gas alam di LCS mungkin merupakan sumber hidrokarbon yang paling melimpah. Sebagian besar hidrokarbon kawasan LCS dieksplorasi oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Philipina. Perkiraan menurut United States Geological Survey dan sumber lain-lain menunjukkan bahwa sekitar 60% -70% dari hidrokarbon di LCS adalah gas. Selain itu, penggunaan gas alam di wilayah ini diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5% per tahun selama dua dekade mendatang, diperkirakan bisa mencapai sebanyak 20 triliun kaki kubik (Tcf) per tahun lebih cepat daripada bahan bakar lainnya. Namun harus diakui bahwa sengketa LCS adalah persoalan yang tidak mudah serta membutuhkan waktu yang panjang. Bagi Indonesia, meskipun tidak termasuk Claimant State tetapi juga punya kepentingan di LCS, karena konflik klaim wilayah secara tidak langsung dengan Tiongkok telah terjadi sekarang, menyangkut wilayah NKRI yakni Pulau Natuna, Khususnya Natuna Blok A.

Kandungan kekayaan Alam yang ada di kawasan LCS telah menyebabkan terjadinya konflik klaim wilayah antara Tiongkok dan sebagian negara–negara anggota ASEAN yang berada wilayah LCS. Menurut data Kementerian Geologi dan Sumber Daya Mineral Daya Republik Rakyat Tiongkok memperkirakan bahwa wilayah Spratly mempunyai cadangan minyak dan gas alam 17,7 miliar ton (1. 60 × 1010 kg), lebih besar di banding Kuwait, negara yang menempati ranking ke 4 yang mempunyai cadangan minyak terbesar dunia saat ini dengan jumlah 13 miliar ton (1,17×1010kg).

66

Secara matematis kekuatan militer Tiongkok jauh diatas baik dari aspek kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan 5 negara (4 Claimant States dan 1 non Claimant State), meskipun anggaran pertahanan dan kekuatan militer mereka di gabung, tetap masih terjadi ketidakseimbangan kekuatan. Ini bisa dilihat dari besarnya jumlah anggaran pertahanan, man power dan kondisi alut sista Tiongkok terkini vs gabungan anggaran pertahanan dan kekuatan militer 5 negara (4 Claimant States dan 1 non Claimant State). Apabila Tiongkok menggunakan

diakses tanggal 1 Desember 2016


(25)

kekuatan militer untuk memaksakan kehendaknya penguasaan sebagian besar wilayah LCS, maka tidak mustahil akan terjadi konflik militer yang akan melibatkan Amerika Serikat sebagai salah satu negara Super power yang mempunyai kepentingan strategis secara Ekonomi, Politik dan Militer di kawasan LCS. Tiongkok tidak akan menggunakan kekuatan militernya karena kemungkinan Tiongkok sudah mempertimbangkan untung dan ruginya, Tiongkok sangat faham betul apabila dipaksakan penyelesaian secara militer akan kalah serta membuat posisi Tiongkok semakin terpojok.

Sengketa LCS sebenarnya murni masalah hukum, mengenai batas laut antara beberapa negara ASEAN dengan Tiongkok yang menyangkut beberapa wilayah yang berupa gugusan pulau di wilayah LCS. Namun penyelesaian lewat hukum sulit untuk di capai dalam waktu singkat sehingga effort ini harus dilakukan terus menerus sebagai upaya permanen jangka panjang. Sedangkan pendekatan pemecahan permasalahan jangka pendek yang sesuaikan dengan situasi dilapangan terkini melalui kerangka ASEAN adalah solusi masalah lewat jalur Politik dan Diplomatik, karena komitmen ASEAN untuk LCS sangat jelas ialah keinginan menghasilkan pedoman yang mengikat negara yang saling mengklaim wilayah di LCS agar semua masalah bisa dikelola dengan baik, tidak memunculkan konflik yang tidak dikehendaki.

Sesuai dengan pijakan hukum resmi Claimant States terhadap laut cina selatan khususnya 4 anggota ASEAN, mengacu pada Konvensi PBB tentang hukum laut (United Nation Convention Law Of the Sea) yang ditujukan untuk memperjelas ketentuan batas laut suatu negara. UNCLOS ini merupakan konvensi PBB tentang Hukum Laut yang memuat tentang upaya paling komprehensif PBB untuk menciptakan sebuah peraturan terpadu untuk tata kelola hak-hak negara di dunia terhadap lautan. Dengan kata lain, adanya hukum internasional ini sebagai tindakan pencegahan terjadinya perpecahan atau peperangan antar negara yang saling mementingkan kepentingannya masing-masing.

a) Negosiasi

66


(26)

Negosiasi. Jasa-jasa baik (Good offices), mediasi (mediations), konsiliasi (Consiliaions) dan Penyelidikan (Inquiry)

(1) Negosiasi

Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan sengketa internasional. Praktek negara-negara menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketanya.67 Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak untuk mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.68

Keuntungan yang diperoleh ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi antara lain adalah para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya. Kemudian para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian dengan kesepakatan di antara mereka. Para pihak juga dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri. Terakhir, para pihak dapat mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak.69

Kelemahan utama penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah pertama, manakala kedudukan para pihak tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini sering terjadi ketika dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa antara mereka. Kedua, bahwa proses berlangsungnya negosiasi sering kali lambat dan memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan permasalahan antar negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan dengan ekonomi internasional. Selain itu, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi. Ketiga, manakala suatu pihak terlalu keras

67

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 19.

68

Ibid, hal 26

69

Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Pustaka Setia, Bandung, 2013, hal. 199-200.


(27)

dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif.70

(2) Pencarian fakta

Penggunaan pencarian fakta ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing pihak. Cara ini telah dikenal dalam praktik kenegaraan. Selain itu, organisasi-organisasi internasional juga telah memanfaatkan cara penyelesaian sengketa melalui pencarian fakta ini. Negaranegara juga telah membentuk badan-badan penyelidikan baik yang sifatnya adhoc ataupun terlembaga. Pasal 50 Statuta Mahkamah Internasional misalnya mengatakan bahwa Mahkamah dapat “entrust any individual body, bureau, commission or other organization that it may select, with the task of carrying out an inquiry or giving an expert opinion.” 71

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes tahun 1907 Pasal 35, dengan tegas mengatakan bahwa laporan komisi (pencarian fakta) sifatnya terbatas mengungkapkan fakta-faktanya saja dan bukan merupakan suatu keputusan.72 (3) Jasa-jasa baik

Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui atau dengan bantuan pihak ketiga. Pihak ketiga disini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negosiasi. Jadi, fungsi utama jasa baik ini adalah mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama, dan bernegosiasi.73

Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian sengketa dapat terjadi dalam dua cara, yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga itu sendiri yang menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan sengketa. Dalam kedua cara tersebut,

70

Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Depok, 2014, hal. 329

71

Mahkamah Internasional, Statuta Mahkamah Internasional 1945, Pasal 50.

72

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1907, Pasal 35.


(28)

syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak.74 Jasa-jasa baik sudah dikenal dalam praktik kenegaraan. Dalam perjanjian internasional pun penggunaan cara ini tidak terlalu asing. Di samping negara sebagai subjek hukum ekonomi internasional, jasa-jasa baik juga telah dikenal dalam praktik penyelesaian antara pihak-pihak swasta.75 (4) Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut disebut dengan mediator. Mediator dapat merupakan negara, organisasi internasional atau individu. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berusaha mendamaikan para pihak dengan memberikan cara penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi penyelesaian, mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.76

(5) Konsiliasi

Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini adalah negara, tetapi bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak. Komisi konsiliasi yang dibentuk para pihak dapat terlembaga atau bersifat adhoc, yang kemudian memberi persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Akan tetapi, keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini tidak mengikat para pihak.77

The Hague Convention for the Pacific Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907 memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini dibentuk dengan persetujuan bersama kedua belah pihak. Di samping fungsi, terdapat kriteria lain yang membedakan badan ini dengan mediasi. Konsiliasi memiliki hukum

73

Dedi Supriyadi, Op.Cit., hal. 201

74

Huala Adolf, Op.Cit., hal. 21.

75

Ibid.

76


(29)

acara yang lebih formal dibandingkan dengan mediasi. Hukum acara tersebut dapat diterapkan terlebih dahulu dalam perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi.78 b) Arbitrase

Arbitrase adalah salah satu cara atau alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Namun demikian sampai sekarang belum terdapat batasan atau definisi resmi mengenai arbitrase. Sarjana Amerika Latin Podesta Costa dan Ruda mendeskripsikan badan ini sebagai:

“Arbitration is the resolution of internasional disputes through the submissions, by formal agreement of the parties, to the decision of a third party who would be one or several persons by means of contentious proceedings from which the result of definitive judgment is derived”. Podesta Costa mendefinisikan bahwa Arbitrase merupakan sistem penyelesaian sengketa melalui pengajuan permohonan dari para pihak, yang menunjuk satu atau lebih pihak ketiga sebagai penengah dalam perundingan.79

Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commisions) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntaruly accepted.80

Huala Adolf memandang arbitrase sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (badan arbitrase) yang ditunjuk dan disepakati para pihak (negara) secara sukarela untuk memutuskan sengketa yang bukan bersifat perdata dan putusannya bersifat final dan mengikat. Melihat kesimpulan oleh para sarjana tersebut, dapat di simpulkan bahwa arbitrasi merupakan suatu prosedur proses penyelesaian sengketa yang menunjuk pihak ketiga baik suatu badan hukum atau organisasi yang diakui, untuk memutus sengketa dan putusannya bersifat mengikat.81

Penyelesaian melalui arbitrase dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu penyelesaian oleh seorang arbitrator secara terlembaga (institutionalized) atau kepada suatu badan arbitrase ad

77

Dedi Supriyadi, Loc. Cit

78

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 37.

79

Ibid, hal 39

80


(30)

hoc. Badan arbitrase terlembaga adalah badan arbitrase yang sudah berdiri sebelumnya dan memiliki hukum acaranya. Contoh badan arbitrase seperti ini adalah The PCA di Den Haag. Sedangkan badan arbitrase ad hoc adalah badan yang dibuat oleh para pihak untuk sementara waktu dan berakhir tugasnya setelah putusan atas suatu sengketa tertentu dikeluarkan.82

(1) Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih hakimnya (arbitrator) baik secara langsung maupun secara tidak langsung, hal ini berarti para pihak memiliki kepercayaan secara penuh penyelesaian sengketanya diputus oleh pihak ketiga.

Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki beberapa unsur positif:

(2) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan hukum acara atau persyaratan bagaimana suatu putusan akan didasarkan dalam menentukan hukum acara dan hukum yang akan diterapkan pada pokok sengketa, dan lain-lain.

(3) Sifat dari putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.

(4) Persidangan arbitrase dimungkinkan untuk dilaksanakan secara rahasia apabila kedua belah pihak menginginkannya.

(5) Para pihak sendiri yang menentukan tujuan atau tugas badan arbitrase.83

Selain unsur-unsur positif, badan arbitrase internasional publik memiliki kekurangan berikut:

(1) Umumnya negara masih enggan memberikan komitmennya untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan pengadilan internasional, termasuk badan arbitrase internasional.

(2) Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjamin bahwa putusannya akan mengikat (dalam hukum internasional, suatu kesepakatan mengikat para pihak untuk melaksanakan isi kesepakatan tersebut berdasarkan prinsip itikad baik). Hukum internasional tidak menjamin bahwa pihak yang kalah atau tidak puas dengan keputusan yang dikeluarkan akan melaksanakan keputusan tersebut.84

81

Ibid, hal 40

82

Ibid, hal 41

83

Ibid.

84


(31)

Ada dua perbedaan utama antara badan arbitrase internasional publik dengan pengadilan internasional. Pertama, arbitrase memberikan para pihak kebebasan dalam memilih atau menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan, komposisi pengadilan berada di luar pengawasan atau kontrol para pihak. Kedua, arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Misalnya pada Mahkamah Internasional. Mahkamah terikat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya diperbolehkan menggunakan prinsip ex aequo et bono.85

(1) The Hague Convention for the Pacific settlement of International Dispute (tahun 1899 dan 1907)

Sumber hukum internasional penggunaan arbitrase antara lain dapat ditemukan dalam beberapa instrumen hukum berikut:

(2) Pasal 13 Covenant of the League of Nations. Pasal 13 ayat (1) Covenant antara lain mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyerahkan sengketa mereka kepada badan arbitrase atau pengadilan internasional apabila sengketa mereka tidak dapat diselesaikan secara diplomatik.

(3) Pasal 33 Piagam PBB yang memuat beberapa alternatif penyelesaian sengketa, antara lain arbitrase, yang dapat dimanfaatkan oleh negara- negara anggota PBB

(4) The UN Model on Arbitration Procedure, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 1962 (XIII) tahun 1958.86

Persyaratan terpenting dalam proses penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase ini adalah kata sepakat atau konsensus dari negara-negara yang bersengketa. Kesepakatan merupakan refleksi dan konsekuensi logis dari atribut negara yang berdaulat. Kedaulatan negara menyatakan bahwa suatu negara tidak tunduk kepada subjek-subjek hukum internasional tanpa

85

Ibid, hal 42

86


(32)

adanya kesepakatan atau kehendak dari negara tersebut.87

Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara-cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil. Seperti halnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase, penyelesaian sengketa melalui pengadilan juga dimungkinkan apabila ada kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Kesepakatan ini biasanya tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa yang telah disepakati oleh para pihak bersengketa. Dalam kesepakatan tersebut telah ditegaskan apabila timbul sengketa dalam hubungan kerjasama perdagangan, mereka sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada suatu pengadilan tertentu.

c) Penyelesaian yudisial (Judicial Settlement)

88

Masalah yurisdiksi atau kewenangan suatu pengadilan dalam hukum internasional merupakan masalah utama dan sangat mendasar dalam upaya penyelesaian suatu sengketa. Kompetensi suatu mahkamah atau pengadilan internasional pada prinsipnya didasarkan kepada kesepakatan dari negara-negara yang mendirikannya. Berdirinya suatu mahkamah atau pengadilan internasional didasarkan pada suatu kesepakatan atau perjanjian internasional ini.89

Pengadilan-pengadilan yang telah ada saat ini, seperti Mahkamah Internasional, the Inter American Court of Human Right, the Court of European Communities, Dispute Settlement Body WTO, semua badan peradilan tersebut didirikan oleh perjanjian internasional. Mahkamah Internasional didirikan berdasarkan Piagam PBB, the Inter-American Court of Human Right, the Court of European Communities oleh the Treaty of Rome. Biasanya perjanjian internasional ini menentukan pula siapa saja yang berhak menyerahkan sengketanya kepada pengadilan dan sengketa-sengketa apa saja yang bisa diserahkan dan diadili oleh pengadilan.90

Di antara keseluruhan organ pengadilan tersebut di atas, salah satu organ umum

87

Ibid, hal 43

88

Ibid, hal 58

89

Ibid


(33)

badan penyelesaian sengketa secara yudisial yang umum dikenal oleh masyarakat internasional adalah International Court of Justice (ICJ) yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of International Justice. Pengukuhan kedudukan dilaksanakan pada tanggal 18 April 1946, dan pada tanggal tersebut pendahulunya yaitu Permanent Court of International Justice, dibubarkan oleh Majelis Liga Bangsa-Bangsa pada waktu sidang terakhirnya. ICJ terbuka bagi negara-negara (anggota-anggota atau bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa) peserta statuta dan bagi negara-negara lain, dengan syarat-syarat yang ditentukan Dewan Keamanan PBB tunduk pada ketentuan khusus yang dimuat dalam traktat-traktat yang berlaku dan syarat tersebut tidak untuk menempatkan para pihak dalam kedudukan yang tidak sama di hadapan Mahkamah (Pasal 35 statuta ICJ). Yurisdiksi ICJ dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:

(1) Memutuskan Perkara-Perkara Pertikaian (Contentius Case)

Mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap semua perkara yang diajukan oleh para pihak. Ketentuan ini tidak berarti Mahkamah hanya memiliki yurisdiksi apabila proses peradilan diawali dengan suatu penyerahan sengketa secara bersama oleh negara-negara yang bertikai. Suatu penyerahan sepihak dari sengketa kepada ICJ oleh salah satu pihak, tanpa didahului dengan perjanjian khusus sudah dianggap mencukupi apabila pihak atau pihak-pihak lain dalam sengketa tersebut menyetujui demikian. Selain itu pengakuan suatu negara terhadap yurisdiksi Mahkamah atas suatu sengketa dapat terjadi setiap saat sebagai kewajiban ipso facto dan tanpa perjanjian khusus “dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima kewajiban yang sama” yurisdiksi Mahkamah dalam semua sengketa hukum mengenai:

(a) Penafsiran suatu traktat;

(b) Setiap persoalan hukum internasional;

(c) Keberadaan suatu fakta yang apabila ada, akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional;


(34)

suatu kewajiban internasional.91

Mahkamah tidak dapat melaksanakan yurisdiksi atas kehendaknya sendiri, karena salah satu pihak harus memiliki untuk membawa perkara itu kehadapannya, maka pihak lain kemudian terikat untuk menerima yurisdiksi Mahkamah. Kedua pihak tetap bebas dalam setiap tahap untuk menyelesaikan sengketa terkait melalui perjanjian tanpa perlu persetujuan oleh Mahkamah, yang dapat diumumkan begitu saja sebagai pernyataan perkara tersebut dihapus dari daftar perkara (Pasal 88 Rules of Court 1978).

Pasal 41 Statuta ICJ, Mahkamah dapat mengusulkan suatu tindakan sementara yang diperlukan untuk melindungi hak-hak dari masing- masing pihak, tindakan-tindakan sementara ini dapat bersifat perintah, juga keputusan atau larangan yang tujuannya melindungi hak-hak dari masing-masing pihak dalam arti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 41 Statuta Mahkamah. Akibat hukum dari keputusan Mahkamah ditentukan dalam Pasal 56-61 Statuta ICJ. Keputusan Mahkamah tidak memiliki kekuatan mengikat kecuali di antara para pihak dan berkenaan dengan kasus tertentu (Pasal 59). Keputusan tersebut adalah final dan tanpa banding (Pasal 60) tetapi suatu revisi boleh dilakukan atas dasar penemuan suatu faktor yang menguntungkan yang baru, dengan ketentuan bahwa pelaksanaan hal itu dibuat dalam jangka waktu 6 bulan dari penemuan itu serta tidak lebih dari 10 tahun dari tanggal keluarnya keputusan (Pasal 61).92

Opini-opini nasehat yang dapat diberikan oleh Mahkamah hanya dapat diupayakan atas persoalan hukum, sama dengan halnya jenis perkara yang dapat dipersengketakan di ICJ. Kongkret maupun abstrak, dan dalam memberi opini- opini nasihat itu Mahkamah akan melaksanakan fungsi yudisialnya. Suatu opini nasihat tidak melebihi tujuannya, opini tersebut kurang memiliki kekuatan mengikat dibanding suatu keputusan dalam kasus-kasus perdebatan, demikian pula untuk organisasi atau organ-organ organisasi yang memintanya, (2) Memberikan Opini-opini yang bersifat Nasihat (Advisory Opinion)

91

Ibid

92


(35)

meskipun tentunya organisasi atau organ tersebut dapat memilih untuk menganggapnya suatu keputusan yang sifatnya wajib. Mahkamah juga menganggap dirinya wajib memiliki tugas untuk mematuhi pembatasan-pembatasan yudisial yang essensial dalam prosedur opini nasihatnya, sehingga Mahkamah tidak akan mejalankan yurisdiksi hal yang utama atas dasar mana suatu opini yang diminta tersebut menentukan suatu kontroversi antara negara-negara tertentu serta tidak ada satu negara yang tampil di hadapan Mahkamah. Penafsiran ketentuan-ketentuan traktat sesungguhnya merupakan suatu tugas yudisial dan Mahkamah tidak dapat menolak suatu permintaan opini nasihat tentang persoalan demikian, meskipun diklaim bahwa persoalan tersebut dan permintaannya bersifat politis. Setiap peristiwa, Mahkamah tidak akan menolak untuk memberikan suatu opini nasihat, karena dikatakan bahwa berkaitan dengan opini tersebut Mahkamah telah atau dapat diduga akan tunduk pada tekanan politis.93

Mahkamah Internasional apabila diminta oleh para pihak, dapat membentuk kamar-kamar (chambers) untuk menangani suatu perkara khusus dan jumlah hakim yang menyusun kamar tersebut akan ditentukan oleh Mahkamah dengan persetujuan dari para pihak seperti yang dijelaskan pada Pasal 26 ayat (2) Statuta ICJ. Pada bulan Januari 1982, untuk pertama kalinya Mahkamah membentuk kamar khusus untuk menyelesaikan sengketa antar Amerika Serikat dan Kanada mengenai penetapan batas perbatasan maritim di kawasan teluk Maine dan prosedur ini telah diikuti dalam permasalahan-permasalahan berikutnya.94

Apabila negara-negara tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka melalui jalur diplomasi atau damai (bersahabat), maka salah satu cara yang dapat digunakan sebagai jalan keluar penyelesaian sengketa adalah melalui jalur pemaksaan atau kekerasan. Penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan kekerasan secara garis besar dibagi menjadi:

2) Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Kekerasan

95

93

Ibid, hal 77

94

Ibid a) Perang

95

Anonim, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Internasional, Januari 2017,


(36)

Keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian sengketa di mana negara yang ditaklukan tersebut tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan di praktikkan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan berkembangnya teknologi senjata pemusnah massal, masyarakat internasional menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang, karenanya masyarakat internasional sekarang ini tengah berupaya untuk menghilangkan cara penyelesaian ini atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.96

Hukum internasional sebenarnya telah melarang penggunaan kekerasan bersenjata dalam penyelesaian sengketa internasional. Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyebutkan “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security are not endangered”, Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diwajibkan untuk menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai. Kewajiban lainnya yang melarang penggunaan kekerasan dalam Piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri dalam menggunakan cara-cara kekerasan, “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state or in any manner inconsistent with the purpose of the UnitedNations”.97

Penggunaan kekerasan senjata dalam suatu sengketa hanya dapat dimungkinkan pada saat keadaan terdesak untuk melakukan pembelaan diri apabila

96 Dedi Supriyadi,

Op. Cit., hal. 206

97


(37)

terlebih dahulu diserang oleh negara lain. Tindakan ini didasarkan pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations… Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council… ”.98

ekonomi dan penarikan konsesi pajak dan tarif.

Penggunaan perang sebagai alternatif penyelesaian suatu sengketa internasional merupakan pilihan yang harus digunakan dalam situasi tertentu. Penggunaan senjata sebagai media penyelesaian sengketa harus dilakukan untuk alasan pertahanan diri dan bukan sebagai tindakan untuk menekan pihak lain.126 b) Retorsi (Retortion)

Retorsi merupakan istilah untuk melakukan pembalasan oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat, misalnya pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa, penghentian bantuan

99

Reprisal adalah upaya paksa untuk memperoleh jaminan ganti rugi, akan tetapi terbatas pada penahanan orang dan benda. Pembalasan merupakan upaya yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain dengan maksud untuk Keadaan yang memberikan penggunaan retorsi hingga kini belum dapat secara pasti ditentukan karena pelaksanaan retorsi sangat beraneka ragam. Pasal 2 paragraf 3 Piagam PBB ditetapkan bahwa anggota PBB harus menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sehingga tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat oleh ketentuan piagam tersebut.

c) Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)

98

Sefriani, Op. Cit., hal. 358.

99 Sefriani,


(38)

menyelesaikan sengketa yang timbul oleh karena negara tersebut telah melakukan tindakan yang tidak dibenarkan. Perbedaan tindakan repraisal dan retorsi adalah bahwa pembalasan adalah mencakup tindakan yang pada umumnya dapat dikatakan sebagai tindakan ilegal, sedangkan retorsi meliputi tindakan balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum.100

Pembalasan dapat dilakukan dengan bentuk pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu, suatu embargo atau suatu penyanderaan terhadap seseorang. Saat ini pada umumnya bahwa suatu pembalasan hanya dibenarkan apabila negara yang menjadi tujuan tindakan ini bersalah karena melakukan tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Reprisal dapat dilakukan dengan syarat sasaran reprisal merupakan negara yang melakukan pelanggaran internasional, negara yang bersangkutan telah terlebih dahulu diminta untuk mengganti kerugian yang muncul akibat tindakannya, serta tindakan reprisal harus dilakukan dengan proporsional dan tidak berlebihan.101

Blokade secara damai adalah tindakan blokade yang dilakukan pada waktu damai. Tindakan ini pada umumnya ditunjukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mengganti kerugian oleh negara yang melakukan blokade. Blokade secara damai dapat dipandang sebagai suatu prosedur kolektif yang diakui untuk memperlancar penyelesaian sengketa antara negara. Secara tegas tindakan blokade disebut dalam Pasal 42 Piagam PBB sebagai suatu tindakan yang boleh diprakasai oleh Dewan Keamanan demi untuk memelihara kedamaian dunia.

d) Blokade secara damai (Pacific Blockade)

102

Internvensi merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan melakukan tindakan campur tangan terhadap kemerdekaan politik negara e) Intervensi (intervension)

100 Dedi Supriyadi,

Loc. Cit.

101 Sefriani,


(39)

tertentu. Hukum internasional pada prinsipnya menegaskan bahwa suatu negara dilarang untuk turut campur dalam urusan negara lain. Hal ini ditekankan dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (7) Piagam PBB, yang mana melarang negara anggota untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain dalam bentuk apapun. Pengecualian terhadap hal ini diberikan kepada Dewan Keamanan PBB yang mana berhubungan dengan pelaksanaan Bab VII Piagam PBB. Suatu negara dapat melakukan tindakan intervensi dengan beberapa alasan, J.G Starke beranggapan bahwa tindakan intervensi negara atas kedaulatan negara lain belum tentu merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Tindakan tersebut adalah apabila:103

(3) Jika negara yang diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.

(1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam Piagam PBB;

(2) Untuk melindungi hak dan kepentingan serta keselamatan warga negaranya di negara lain;

104

Suatu tindakan intervensi harus dilakukan dengan mendapatkan izin terlebih dahulu melalui Dewan Keamanan PBB. Izin ini berbentuk rekomendasi yang berisikan pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan yang menjadi alasan tindakan intervensi dan apakah tindakan intervensi diperlukan dalam keadaan tersebut.105

Suatu kegiatan internasional baik negara maupun individu mengacu kepada kaidah kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan hukum publik internasional (public international law) maupun ketentuan hukum perdata b. Penyelesaian sengketa internasional privat

102 J.G. Starke,

Op.Cit., hal. 136.

103

Ibid

104

Ibid., hal. 136.

105


(40)

internasional (private international law).106

Perbedaan acuan kaidah hukum tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam penyelesaian sengketa internasional publik dan privat. Metode penyelesaian sengketa privat yakni terletak dalam kontrak kesepakatan yang telah dibuat sebelum melakukan kesepakatan apakah ditempuh dengan menggunakan:

Pengertian di atas menjelaskan bahwa ruang lingkup hukum internasional publik terkait dengan hak dan kewajiban negara dan organisasi internasional dalam urusan internasional yang melibatkan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional baik secara global maupun regional. Hukum internasional privat adalah bagian hukum internasional yang terkait dengan hak dan kewajiban individu sebagai para pihak dan lembaga internasional non pemerintah dalam urusan internasional yang mengacu pada kaidah prinsip-prinsip hukum perjanjian atau kontrak internasional dan konvensi internasional.134

107

Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. Kebebasan memilih ini harus dihormati oleh badan peradilan sebagai contoh yakni, Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.

1) Pilihan hukum

Pada prinsipnya para pihak diberikan kebebasan dalam menentukan hukum mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak. Kebebasan para pihak untuk menetukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).136

108

106

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 18.

107

Ibid

108

Ibid

7

Peran choice of law di sini adalah menentukan hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (peradilan atau arbitrase) untuk:


(41)

a) Menentukan keabsahan suatu kontrak;

b) Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;

c) Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak); dan

d) Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak. 109

Penyelesaian sengketa publik internasional dan perdata internasional tidak memiliki perbedaan jauh, dalam praktik penyelesaian sengketa perdagangan internasional keduanya senantiasa berjalan bersama tanpa terpisah satu sama Hukum yang berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum hukum tersebut ialah:

a) Hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex causae);

b) Hukum yang berlaku dalam persidangan (procedural law). Hukum yang berlaku tergantung kepada kesepakatan para pihak. Hukum tersebut dapat berupa hukum nasional negara tertentu. Biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak.139

2) Pilihan Forum

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar pengadilan. Forum penyelesaian sengketa dalam hal ini pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa internasional pada umumnya (negosiasi, penyelidikan fakta-fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrase) dan penyelesaian melalui pengadilan atau cara-cara yang disepakati dan dipilih para pihak.


(42)

lain.

Embargo adalah salah satu wujud dari reprisal. Reprisal merupakan penyelesaian sengketa internasional dengan menggunakan upaya pembalasan oleh suatu negara terhadap negara lain untuk memperoleh ganti rugi terbatas pada penahanan orang dan barang. Reprisal berarti upaya pemaksaan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena negara (yang dikenai reprisal) telah melakukan tindakan yang ilegal atau tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

110

c. Embargo sebagai bentuk penyelesaian sengketa internasional

Pada perniagaan dan politik internasional, embargo merupakan pelarangan perniagaan dan perdagangan dengan sebuah negara. Embargo umumnya dideklarasikan oleh sekelompok negara terhadap negara lain untuk mengisolasikannya dan menyebabkan pemerintah negara tersebut dalam keadaan yang menyebabkan ekonomi internal negara tersebut mengalami kesulitan. Embargo umumnya digunakan dalam sengketa politik internasional bagi pelanggaran terhadap sebuah kebijakan atau kesepakatan.

111

Salah satu contoh tindakan embargo dalam sengketa politik adalah ketika Uni Eropa (selanjutnya disebut UE) pada tahun 2012 lalu, secara resmi mengembargo impor minyak bumi dari Iran secara resmi yang terhitung secara efektif dimulai pada tanggal 1 Juli 2012. Kebijakan embargo yang dilakukan oleh UE ini, merupakan langkah yang ditempuh atas gagalnya perundingan mengenai penutupan pengembangan proyek nuklir yang dilakukan oleh Iran.

112

Dalam kasus tersebut UE memberikan sanksi embargo terhadap Iran untuk memberikan keadaan yang menyebabkan Iran secara terpaksa mengikuti keinginan

113

109

Ibid

110

Ibid

111

Anonim, Embargo, 112

Ibid

113

Rafi Eranda, Analisis Embargo Minyak dari Iran oleh Uni Eropa Tahun 2012, 13 April 2014, diakses tanggal 17 Januari 2017.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehinggga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripisi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa pula shalawat dan beriring salam kepada baginda Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang diridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan.”Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan di dalam penulisan, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk di masa yang akan datang.

Pelaksana penulisan skripsi ini diakui masih banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam kesempatan ini peunlis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya yang telah membesarkan dan memberikan segalahal yang luar biasa kepada saya hingga saya dapat menempuh pendidikan yang baik di Universitas Sumatera Utara.Terutama kepada Ayahanda saya bapak Ridwan Adam yang telah menjadi panutan dan alas an bagi saya mengejar impian dan semua harapan serta selalu menyadarkan saya untuk mampu meraih kesuksesan di dalam hidup. Ayahlah yang senantiasa


(2)

pencapaian-pencapaian di dalam hidup. Di waktu kelulusan SMA, saya mendapatkan tiket emas untuk dapat mengemban ilmu di universitas terbaik di negeri ini melalui jalur PMP Universitas Sumatera Utara (jalur undangan), itu merupakan hadiah untuknya yang terbaik saya pernah berikan. Kerja keras ayah saya balas dengan usaha dan tekad saya untuk menyelesaikan studi program sarjana saya hingga pada hari penulisan skripsi ini beliau tak pernah membiarkan saya dalam keputusasaan. Sekali lagi terimakasih untuk Ayah terbaik yang sangat saya banggakan. Semoga dengan gelar sarjana ini yang akan bermanfaat untuk diri saya, keluarga dan negara kelak, juga dapat kembali menjadi hadiah yang khusus saya persembahkan kepada ayahanda saya tercinta. Dan juga terimakasih untuk Ibunda tercinta Dewi Astuti yang dengan doanya jualah semua menjadi awal baik untuk disetiap langkah-langkah saya didalam perantauan selama saya menjadi mahasiswi di Universitas Sumatera Utara.

Kemudian terima kasih pula kepada kedua dosen pembimbing skripsi saya Bapak Arif S.H.,M,Hum dan bapak Prof. Dr. Suhaidi. S.H.M,Hum karena telah memberikan waktu dan ilmunya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Serta terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu, membimbing dan memberikan motivasi kepada saya hingga penulisan skripsi ini dapat selesai.yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatia nmoril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis.


(3)

Terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum., selaku Wakil Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, FakultasHukumUniversitas Sumatera Utara.

7. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis seraya minta maaf sekaligus sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan dan kemanfaatannya


(4)

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Tuhan Yang Maha Esa dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Negara Republik Indonesia.

Medan, 20 Januari 2017

Kartika Eka Pratiwi NIM. 090200028


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEDUDUKAN HUKUM PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ... 19

A. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional ... 19

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional ... 23

C. Kedudukan Hukum Putusan Arbitrase Internasional ... 25

BAB III KEWENANGAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA WILAYAH DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 27

A. Sejarah dan Pengertian Arbitrase Internasional ... 27

B. Prosedur Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase Internasional ... 30 C. Kewenangan Arbitrase Internasional dalam Menyelesaikan


(6)

CINA TERHADAP KEPUTUSAN ARBITRASE

INTERNASIONAL DALAM KASUS LAUT CINA SELATAN . 36 A. Latar Belakang Sengketa Laut Cina Selatan Antara Republik

Rakyat Cina dengan Philipina... 36

B. Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan Antara Republik Rakyat Cina dengan Philipina Oleh Badan Arbitrase Internasional ... 50

C. Akibat Hukum Penolakan Republik Rakyat Cina Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Laut Cina Selatan. ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA


Dokumen yang terkait

SENGKETA CINA DAN FILIPINA TERHADAP KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

2 25 122

PERANAN ASEAN DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) DENGAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN TERKAIT PENDAKUAN REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) ATAS SELURUH WILAYAH PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

1 13 19

SKRIPSI PERANAN ASEAN DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) DENGAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN TERKAIT PENDAKUAN REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) ATAS SELURUH WILAYAH PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

1 4 11

PENDAHULUAN PERANAN ASEAN DALAM MENGATASI KONFLIK ANTARA REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) DENGAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASEAN TERKAIT PENDAKUAN REPUBLIK RAKYAT CINA (RRC) ATAS SELURUH WILAYAH PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

0 4 16

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

0 0 9

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

0 0 1

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

0 0 17

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

0 0 6

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan Chapter III V

0 1 44

Aspek Hukum Penolakan Rakyat China Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Laut Cina Selatan

0 0 5