Analisis Statistika

B. Analisis Statistika

Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji Chi Square yang merupakan uji nonparametrik dengan program SPSS 17.00 for windows . Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebesar 28 sampel, maka syarat uji Chi Square yang harus terpenuhi adalah semua nilai harapan > 5. Dari hasil analisis data yang tercantum pada lampiran 7, didapatkan nilai harapan masing-masing sebesar 8.5, 8.5, 5.5 dan 5.5. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat uji Chi Square terpenuhi karena semua nilai harapan > 5.

Tabel 7. Hasil Analisis dengan Uji Chi Square

Value

df p Pearson Chi-Square

3.743 a 1 0.053 Sumber : Data primer 2011 Pada Tabel 7, hasil data dianalisis dengan uji Chi Square dengan menggunakan program SPSS 17.0 for windows untuk mengetahui adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia 3.743 a 1 0.053 Sumber : Data primer 2011 Pada Tabel 7, hasil data dianalisis dengan uji Chi Square dengan menggunakan program SPSS 17.0 for windows untuk mengetahui adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2011 dengan mengukur tinggi badan dan mencatat data frekuensi kontrol pasien talasemia mayor yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Dari

34 pasien talasemia yang ditemui, hanya sebanyak 28 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari hasil penelitian didapatkan sampel dengan kategori sering kontrol berjumlah 17 orang (60.72 %) dan banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun dan 9 - 12 tahun, yaitu sebesar 21.43 %, sedangkan sampel dengan kategori jarang kontrol berjumlah 13 orang (39.28 %) dan paling banyak didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun (14.29 %). Sampel dengan jenis kelamin laki-laki yang tergolong sering kontrol (35.72 %) lebih banyak daripada yang tergolong jarang kontrol (21.43 %). Begitu pula dengan jenis kelamin perempuan, yang tergolong sering kontrol (25 %) lebih banyak dibandingkan dengan yang jarang kontrol (17.85 %).

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan sampel dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 orang (57.14 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang (42.86 %). Meskipun sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, tetapi jenis kelamin tidak berhubungan dengan prevalensi talasemia, karena talasemia diturunkan secara autosomal resesif (Schwartz, 2005).

Dari total sampel sebanyak 28 orang, didapatkan 14 pasien (50%) dengan Dari total sampel sebanyak 28 orang, didapatkan 14 pasien (50%) dengan

49 % dan pasien talasemia dengan kategori pendek sebanyak 51 %. Sampel dengan kategori tinggi badan normal paling banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun, sedangkan sampel dengan kategori tinggi badan pendek paling banyak didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun. Berdasarkan Gambar 3, kategori tinggi badan normal pada laki-laki banyak didapatkan pada rentang umur 3 - 6 tahun (25 %) dan pada perempuan banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun (25 %), sedangkan kategori tinggi badan pendek pada laki-laki banyak didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun (25 %) dan pada perempuan banyak didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun (41.66 %). Saxena (2003) melaporkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia laki-laki lebih sering terjadi pada umur 11 tahun dan pada perempuan umur 12 tahun. Menurut penelitian Hamidah (2008), pasien dengan kategori tinggi badan pendek lebih banyak didapatkan pada pasien dengan umur di atas 10 tahun (83.3 %) bila dibandingkan dengan pasien di bawah umur 10 tahun (16.7 %).

Berdasarkan Tabel 6, didapatkan hasil sampel yang termasuk dalam kategori sering kontrol dengan tinggi badan normal sebanyak 11 orang (39.29 %) dan yang termasuk kategori pendek sebanyak 6 orang (21.43 %), sedangkan sampel yang termasuk kategori jarang kontrol dengan tinggi badan normal sebanyak 3 orang (10.71 %) dan yang termasuk kategori pendek sebanyak 8 orang (28.57 %).

Sesuai dengan analisis perhitungan statistik yang telah dikemukakan (p = 0.053), tidak didapatkan adanya hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan hipotesis dapat dikarenakan beberapa faktor, yaitu: 1. Secara umum, menurut Soetjiningsih (2007), tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: a. Faktor genetik Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula.

b. Faktor hormon Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan hipofisis, hormon pertumbuhan yang dihasilkan kelenjar tiroid dan hormon kelamin.

c. Gizi Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan pembangun tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

d. Sosial ekonomi Sosial ekonomi yang rendah mempengaruhi asupan nutrisi yang didapat.

Seseorang dengan sosial ekonomi yang tinggi lebih dapat memenuhi asupan nutrisi secara lengkap dibandingkan dengan seseorang dengan sosial ekonomi yang rendah.

2. Menurut Spiliotis (1998), penyebab gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia mayor adalah hipotiroidisme, hipogonadisme serta defisiensi hormon pertumbuhan. Hal tersebut disebabkan oleh proses siderosis, penurunan jumlah sel pada kelenjar hipofisis anterior dan kelenjar endokrin serta asupan nutrisi yang buruk, terutama zink.

3. Kadar feritin yang tinggi. Berdasarkan penelitian Hamidah et al. (2008), pasien talasemia mayor dengan kategori tinggi badan pendek (tinggi < 3 rd percentile) memiliki rata-rata kadar feritin > 4000 ng/dl, sedangkan pasien talasemia mayor yang memiliki kategori tinggi badan normal (tinggi > 3 rd percentile) memiliki rata- rata kadar feritin 2000 - 3000 ng/dl. Penelitian oleh Shalitin et al. (2005) juga menunjukkan bahwa rata-rata kadar feritin (> 3000 ng/dl) pada pasien dengan kategori tinggi badan pendek (tinggi < -2 SD) lebih tinggi dibandingkan rata-rata kadar feritin (2000-3000 ng/dl) pasien dengan kategori tinggi badan normal (tinggi > -2 SD). Kadar feritin yang tinggi menandakan bahwa kadar besi yang terdapat di dalam tubuh tinggi. Penatalaksanaan yang diberikan untuk mengurangi kadar besi tersebut adalah dengan pemberian iron chelating agent.

4. Kadar hemoglobin yang rendah. Menurut Saxena (2003), kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan pertumbuhan yang lambat. Hasil penelitian Kattamis (1970) menunjukkan bahwa kadar Hb sebelum transfusi yang rendah (< 8 ng/dl) 4. Kadar hemoglobin yang rendah. Menurut Saxena (2003), kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan pertumbuhan yang lambat. Hasil penelitian Kattamis (1970) menunjukkan bahwa kadar Hb sebelum transfusi yang rendah (< 8 ng/dl)

5. Malnutrisi akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat. Hasil penelitian Fuchs et al. (1996), mengindikasikan bahwa nutrisi yang tidak adekuat merupakan salah satu faktor penting penyebab gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia mayor. Kurangnya asupan nutrisi mempengaruhi sintesis serum Insulin Growth Factors-I (IGF-) yang merupakan mediator utama bagi petumbuhan linier dan maturasi tulang. Nutrisi-nutrisi yang diperlukan bagi pasien talasemia mayor adalah kalsium, vitamin D, asam folat, seng, tembaga, selenium, vitamin C dan vitamin E (Vichinsky et al., 2009).

6. Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi. Terapi utama yang didapat oleh pasien talasemia berupa transfusi sel darah merah dan iron chelating agent. Sebelum melakukan transfusi, kadar Hb pasien harus diukur terlebih dahulu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar Hb mempengaruhi tinggi badan. Apabila kadar Hb sebelum transfusi < 8 ng/dl, kemungkinan untuk terjadinya gangguan pertumbuhan lebih besar. Oleh karena itu, pasien talasemia harus rutin melakukan transfusi untuk mempertahankan kadar Hb dalam keadaan normal. Selain itu, kepatuhan terapi dengan iron chelating agent juga mempengaruhi tinggi badan. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi kadar besi yang berlebih akibat eritropoiesis inefektif dan transfusi berulang. Pada jenis iron chelating agent 6. Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi. Terapi utama yang didapat oleh pasien talasemia berupa transfusi sel darah merah dan iron chelating agent. Sebelum melakukan transfusi, kadar Hb pasien harus diukur terlebih dahulu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kadar Hb mempengaruhi tinggi badan. Apabila kadar Hb sebelum transfusi < 8 ng/dl, kemungkinan untuk terjadinya gangguan pertumbuhan lebih besar. Oleh karena itu, pasien talasemia harus rutin melakukan transfusi untuk mempertahankan kadar Hb dalam keadaan normal. Selain itu, kepatuhan terapi dengan iron chelating agent juga mempengaruhi tinggi badan. Terapi ini bertujuan untuk mengurangi kadar besi yang berlebih akibat eritropoiesis inefektif dan transfusi berulang. Pada jenis iron chelating agent

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tinggi badan dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak hanya frekuensi kontrol. Oleh karena itu tinggi badan pada pasien, baik dengan kategori tinggi badan normal maupun pendek kemungkinan banyak dipengaruhi oleh faktor di luar frekuensi kontrol, sehingga hasil penelitian tidak signifikan.

Penelitian ini mempunyai kelemahan dalam hal lokasi cakupan yang terlalu sempit dan masih banyak faktor-faktor lain yang dapat merancukan hasil penelitian seperti faktor genetik, hormon, gizi, sosial ekonomi, kadar hemoglobin, kadar feritin dan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor (p = 0.053).

B. Saran

1. Pasien talasemia mayor diharapkan memiliki jadwal rutin untuk melakukan kontrol di rumah sakit. 2. Pasien talasemia mayor diharapkan rutin untuk melakukan pengukuran tinggi badan, sehingga gangguan pertumbuhan yang terjadi dapat diketahui secara dini.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lokasi cakupan penelitian yang lebih luas, termasuk juga dilakukannya analisis terhadap faktor-faktor lain yang dapat merancukan hasil penelitian seperti faktor genetik, hormon, gizi, sosial ekonomi, kadar hemoglobin, kadar feritin dan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi, dengan harapan semakin memperkuat simpulan dan semakin memperkecil bias.