Konsep Yang Digunakan
c. Strategi Kelangsungan Hidup
Rumah tangga petani miskin di pedesaan mempunyai strategi bertahan hidup demi kelangsungan hidup anggota keluarganya. Sebelum membahas tentang strategi kelangsungan Rumah tangga petani miskin di pedesaan mempunyai strategi bertahan hidup demi kelangsungan hidup anggota keluarganya. Sebelum membahas tentang strategi kelangsungan
Menurut Evans (1985) konsep rumah tangga lebih ditekankan pada fungsi domestic exchange seperti belanja (expenditures) untuk kebutuhan sehari-hari, dan pendapatan (income) , serta fungsi penyediaan tempat tinggal, sedangkan definisi keluarga lebih berpusat pada hubungan serta proses reproduksi biologis. Tersirat dalan definisi ini pengertian co- residental yang tidak hanya selalu ada keterkaitan darah antar anggota-anggota didalamnya. Namun demikian, dalam banyak kasus rumah tangga merupakan suatu keluarga (Firman, 1990:77).
Kembali pada bahasan strategi kelangsungan hidup, strategi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Tujuan merupakan dasar untuk merencanakan dan menentukan alternatif tindakan seperti dinyatakan oleh Hartini dan G. Saputra dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan yang memberi arti pada kata strategi sebagai : “Suatu siasat dalam menjalankan suatu maksud Kembali pada bahasan strategi kelangsungan hidup, strategi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Tujuan merupakan dasar untuk merencanakan dan menentukan alternatif tindakan seperti dinyatakan oleh Hartini dan G. Saputra dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan yang memberi arti pada kata strategi sebagai : “Suatu siasat dalam menjalankan suatu maksud
Strategi hidup petani menurut Scoot (1983:313) adalah: “Usaha keluarga untuk menjamin persediaan pangan yang memadai dengan meraih kesempatan yang ada. Pilihan usaha tersebut dapat berupa memperkerjakan anggota keluarga, beremigrasi, menderita kemiskinan atau usaha lain yang biasanya meminta pengertian manusiawi yang besar”(Scoot, 1983:313).
Seperti yang telah dijelaskan dimuka, bahwa sebagian besar petani (pertanian) yang paling dominan jumlahnya di Indonesia adalah petani (pertanian) kecil (small peasant farm). Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88% rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha (Kompas, 21 Mei 2002). Pertanian kecil ini juga disebut dengan pertanian subsisten. Ciri dari petani kecil ini adalah keputusan usaha secara ini umum dilakukan secara saling tercampur (intermixing) dengan keputusan keluarga atau rumah tangga. Pentingnya keluarga dan hubungan dekat keputusan produksi dan konsumsi terjadi karena banyak tenaga kerja, manajemen, dan modal berasal dari rumah tangga yang sama. Petani subsisten ini mengkonsumsi sebagian besar produksinya untuk kebutuhan rumah, dan bukan untuk dijual. Jika terdapat Seperti yang telah dijelaskan dimuka, bahwa sebagian besar petani (pertanian) yang paling dominan jumlahnya di Indonesia adalah petani (pertanian) kecil (small peasant farm). Hasil penelitian Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan bahwa 88% rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 ha (Kompas, 21 Mei 2002). Pertanian kecil ini juga disebut dengan pertanian subsisten. Ciri dari petani kecil ini adalah keputusan usaha secara ini umum dilakukan secara saling tercampur (intermixing) dengan keputusan keluarga atau rumah tangga. Pentingnya keluarga dan hubungan dekat keputusan produksi dan konsumsi terjadi karena banyak tenaga kerja, manajemen, dan modal berasal dari rumah tangga yang sama. Petani subsisten ini mengkonsumsi sebagian besar produksinya untuk kebutuhan rumah, dan bukan untuk dijual. Jika terdapat
Keadaan mayoritas petani Indonesia yang memiliki pola hidup subsisten menggambarkan apa yang disebut Geertz (1983) sebagai kemiskinan bersama atau share poverty, yaitu terjadinya pertambahan orang yanga harus makan dari pertanian sementara produksi pertanian menjadi tetap, karena lahan pertanian yang disediakan untuk menyediakan bahan makanan juga tetap bahkan menjadi semakin sempit. Hal demikian oleh Geetz sebagai konsekuensi dari involusi usaha tani, yaitu tingkat produktivitas yang tidak menaik atau bahkan menjadi turun mendorong pembagian rezeki kepada pembagian tingkat nafkah yang rendah bagi semua (Wisadirana, 2004:52).
Petani yang hidup dengan batas subsistensi, memiliki pola hidup subsitensi. Perilaku ekonomi yang khas dari keluarga yang berorientasi subsistensi adalah ia merupakan unit konsumsi dan unit produksi. Agar dapat bertahan sebagai satu unit, keluarga Petani yang hidup dengan batas subsistensi, memiliki pola hidup subsitensi. Perilaku ekonomi yang khas dari keluarga yang berorientasi subsistensi adalah ia merupakan unit konsumsi dan unit produksi. Agar dapat bertahan sebagai satu unit, keluarga
Sangat berbeda dengan pandangan moral ekonominya Scott, Popkin berdasarkan pengamatannya mengenai rumah tangga pedesaan di Vietnam melihat bahwa rumah tangga selain memang selalu berupaya untuk memelihara tingkat subsistensinya, juga bertindak secara sadar untuk meningkatkan kondisi sosial ekonominya melalui rencana ke masa yang akan datang. Atas dasar itu, Popkin mengatakan bahwa pola pokir petani adalah sangat rasional, dan tidak semata-mata mengikuti prinsip safety- firs dan menghindari resiko, seperti yang dikemukakan oleh Scott. Ia percaya bahwa proses modernisasi dan komersialisasi pertanian tidak membahayakan tingkat subsistensi keluarga petani, kendatipun itu mengubah sistem sosial dan ekonomi masyarakat petani.
Pendekatan rural household adaptive strategy (selanjutnya disebut household strategy) merupakan pendekatan yang dirasa tepat untuk meneliti rumah tangga petani miskin di pedesaan karena mengkomodasikan interaksi antara kekuatan-kekuatan
pedesaan secara timbal balik. Fokus analisis household strategy adalah pada upaya-upaya rumah tangga pedesaan untuk mengadaptasi dirinya pada perubahan-perubahan sosial ekonomi, politik serta kekuatan- kekuatan lainnya di luar kolektif rumah tangga tersebut. Pedekatan household strategy secara spesifik dipergunakan oleh Wood dalam menganalisis mobilitas penduduk di Amerika Latin. Analisis menganggap bahwa mobilitas penduduk dapat dipandang sebagai strategi produksi dan demografis. Diharaphan bahwa mobilitas dapat meningkatkan sumber daya yang tersedia bagi rumah tangga, terutama melalui kiriman (remittances), disamping juga pada waktu yang sama dapat mengurangi beban konsumsi bagi rumah tangga ketika anggotanya yang menjadi migran sedang tidak ada di desa. Dalam hal ini, hubungan-hubungan sosial (kinship) merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan akses pada lapangan kerja.
Penelitian-penelitian mengenai reaksi petani pada tekanan penduduk di Jawa dalam skala rumah tangga pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua tema, yaitu pertama, studi mengenai kegatan non pertanian di pedesaan (White, 1976) dan kedua, studi-studi mengenai mobilitas tenaga kerja (Hugo, 1978). Kelompok studi yang pertama pada dasarnya berkesimpulan Penelitian-penelitian mengenai reaksi petani pada tekanan penduduk di Jawa dalam skala rumah tangga pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua tema, yaitu pertama, studi mengenai kegatan non pertanian di pedesaan (White, 1976) dan kedua, studi-studi mengenai mobilitas tenaga kerja (Hugo, 1978). Kelompok studi yang pertama pada dasarnya berkesimpulan
Kelompok studi yang kedua, yang sebenarnya perluasan kelompok studi yang pertama yaitu dengan memasukkan dimensi geografis kedalamnya, menunjukkan bahwa mobilitas penduduk adalah merupakan salah satu strategi rumah tangga pedesaan Jawa untuk mempertahankan tingkat subsistensinya, dan bahkan untuk meningkatkan status ekonomi keluarga. Hal ini dimungkinkan karena aliran uang (remittances) dari para anggota keluarga yang bekerja di tempat lain, terutama di kota-kota besar, walaupun keluarga pedesaan yang harus membuat adaptasi dalam pembagian tenaga kerja untuk pengolahan tanah pertanian di desa (Firman, 1990:80-83).
Tidak jauh berbeda dengan pandangan para ahli diatas, Ahmad Erani Yustika dala bukunya yang berjudul Pembangunan dan Krisis (Memetakan Perekonomian Indonesia) dalam situasi subsisten, rumah tangga petani kecil mengupayakan mencari pendapatan dari banyak sumber. Diversivikasi pendapatan tersebut
pertanian milik sendiri, menjadi petani penggarap atau pekerja yang diupah), migrasi (dalam negeri maupun ke luar negeri, musiman ataupun jangka panjang) dan migrasi bolak balik (remittance) , perpindahan harian ke kota terdekat, kesempatan pekerjaan yang diupah di wilayah lokal (mungkin di sektor bangunan, manufaktur atau kerja publik), bekerja sendiri di sektor perdagangan, pertanian, pertanian yang telah diproses dan jasa lainnya (Yustika, 2002:114-115).
Dilihat dari sosial budaya, kemiskinan dapat diatasi dengan mekanisme prihatin “nrimo ing pandum” (menerima sesuatu apa adanya) Menurut Franz Magnis Suseno (1984) mekanisme tersebut mempunyai arti : “Bagi petani ukuran keberhasilan adalah pengalaman “slamet” (selamat, ketentraman batin yang tenang, ketiadaan ancaman, koflik dan kekacauan. Beberapa sikap khas yang dinilai sebagai tanda kematangan moral yaitu sabar, berarti mempunyai nafas panjang dan kesadaran bahwa pada waktunya nanti nasib baik pun akan tiba. “nrima” berarti menerima segala hal yang terjadi pada kita tanpa protes dan pemberontakan. Ikhlas artinya bersedia untuk melepas individualitas sendiri dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan alam yang sudah ditentukan” (Suseno, 1984:133).
dilakukan keluarga miskin untuk menghadapi masa krisisnya adalah antara lain:
1) Mereka dapat mengikat sabuknya lebih kencang lagi dengan jalan makan hanya sekali dan beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah.
2) Menggunakan alternatif subistensi, yaitu swadaya yang mencakup kegiatan seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang, sebagai buruh lepas atau melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan.
3) Meminta bantuan kepada sanak saudara, kawan-kawan sedesa atau memanfaatkan hubungan dengan pelindungnya (patron) (Suyanto, 1996:55). Strategi dan cara untuk menanggulangi keadaan tersebut
kadang-kadang selain dilakukan secara sendiri-sendiri juga dilakukan secara bersamaan. Sementara itu pola mana yang dipilih dalam menghadapi atau mengatasi masalah itu sangatlah tergantung pada tingkat kerentaan keluarga, besarnya musibah dan masa krisis yang dialami. Semakin tidak seimbangnya tingkat kerentaan dengan masa krisis yang menimpa maka banyak cara dan strategi yang diciptakan serta makin banyak pula waktu, tenaga dan anggota keluarga yang dicurahkan untuk mengatasi keadaan krisis tersebut.
suatu temuan bahwa di kalangan penduduk miskin di pedesaan terdapat beberapa pola strategi adaptasi yang dikembangkan untuk menjaga kelangsungan hidup antara lain :
1) Melakukan beranekaragam pekerjaan untuk memperoleh
penghasilan.
2) Menjalin sistem kekeluargaan dan ketetanggaan.
3) Bekerja lebih banyak meskipun lebih sedikit masukan.
4) Berimigrasi ke kota untuk memantapkan kembali pendapatan
minimal di desa (Kusnadi,2000:8). Berbicara tentang sektor pertanian atau petani tentunya tidak
bisa lepas dari masyarakat pedesaan, mengingat fakta sekia70% areal pertanian berada di pedesaan. Secara umum, dalam kehidupan masyarakat pedesaan kita dapat melihat beberapa ciri kehidupan atau karakteristik yang mereka miliki. Yang ini terutama diperlihatkan oleh Roucek dan Warren antara lain :
1) Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal ini mata pencaharian, nilai-nilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap tingkah laku.
2) Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, sepertinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi 2) Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, sepertinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian ataupun mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi
3) Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada (misalnya katerikatan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya).
4) Hubungan semua anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada di kota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga ini lebih besar / banyak (Leibo, 1990:3).
Apa yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren ini tidak berarti bahwa ciri-ciri tersebut ada atau berlaku di setiap desa. Akan tetapi bisa saja salah satu atau beberapa ciri yang sudah tidak kelihatan, sebagai akibat dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Jadi dengan kata lain ciri-ciri di atas itu dikemukakan sebagai dasar pegangan kita dalam melihat atau mengamati berbagai aspek kehidupan masyarakat desa yang sedang dalam perubahan saat ini.
Karakteristik hubungan sesama anggota masyarakat yang lebih intim dalam kehidupan petani dapat berfungsi sebagai jaminan sosial yang membantu mengatasi kesulitan hidup warganya. Gotong royong yang terbentuk melalui relasi sosial berupa hubungan keluarga, pertemanan, patron klien, gotong royong atau saling menolong, dan sebagainya menunjukkan Karakteristik hubungan sesama anggota masyarakat yang lebih intim dalam kehidupan petani dapat berfungsi sebagai jaminan sosial yang membantu mengatasi kesulitan hidup warganya. Gotong royong yang terbentuk melalui relasi sosial berupa hubungan keluarga, pertemanan, patron klien, gotong royong atau saling menolong, dan sebagainya menunjukkan
Meskipun gotong royong dalam proroduksi pertanian sudah berubah menjadi sistem upah, tetapi aktifitas gotong royong masih tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat yang lain, yaitu:
1) Aktifitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya: menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, dan lain-lain.
2) Aktifitas tolong-menolong antara kaum kerabat dan kadang- kadang beberapa tetangga yang paling dekat untuk menyelenggarakan pesta sunatan, perkawinan, dan lain-lain.