Organisasi Massa Sebagai Komoditi Politik

H. Organisasi Massa Sebagai Komoditi Politik

Sebagai ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkurung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang public yang bebas ( the free public spere ), tempat dimana transaksi Sebagai ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkurung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang public yang bebas ( the free public spere ), tempat dimana transaksi

pengaruh Negara. Lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban, dan juga kelompok-kelompok kepentingan ( interest group ) adalah pengejawantahan kelembagaan civil society . Namun tentu saja tidak semua pengelompokan tersebut lantas memiliki kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan Negara atau mampu mengambil jarak dari kepentingan ekonomi.

Lahirnya Forum Betawi Rempug (FBR) sebagai salah satu perwujudan organisasi masyarakat adalah akibat keresahan-keresahan yang dirasakan oleh masyarakat Betawi. FBR berdiri sebagai organisasi masyarakat yang siap membela kepentingan-kepentingan etnis Betawi di kampung halamannya sendiri. Pelestarian budaya dan dakwah juga menjadi agenda utama dari FBR. Para pendiri FBR terutama Kyai Fadloli El Muhir mempersiapkan FBR untuk menjadi wadah bagi masyarakat Betawi untuk mengekspresikan diri sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dengan sukarela dan dapat menjadi sebuah satuan masyarakat yang tumbuh dengan swasembada dan swadaya serta masyarakat yang mandiri dari negara, dan terikat dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum.

Pada masa awal FBR berdiri, organisasi masyarakat tersebut benar-benar menjaga kemandiriannya dengan tidak mau menerima sumbangan (dana) dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan oleh Kyai Fadloli agar independensi FBR tetap terjaga, sehingga FBR dapat menjadi satuan civil society yang benar-benar menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material. Pendiri FBR beranggapan bahwa, dalam memberdayakan penduduk di suatu daerah, tentu tidak hanya dibutuhkan sebuah kebijakan yang berpihak pada masyarakatnya, namun yang tidak kalah pentingnya, adalah menyiapkan masyarakat di daerah tersebut agar siap berkompetisi secara bebas, dengan nilai- nilai kearifan lokal yang mereka miliki. Sehingga FBR mula-mula dikenal sebagai organisasi masyarakat yang berperan aktif untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Fungsi kontrol yang dilakukan FBR tentunya dalam koridor fungsi civil society .

17 Muhammad As Hikam, op.cit., hlm 3.

Hal ini sepaham dengan apa yang dikatakan Chazan dalam Hadiwinata (2003): “ civil society adalah kelompok-kelompok asosiasi yang bisa berfungsi sebagai pengerem kekuasaan Negara (sehingga dengan sendirinya selalu berseberangan dengan Negara), sebagai perantara yang budiman antara kepentingan Negara dan aspirasi lokal, atau sebagai rangkaian kelembagaan sosial yang saling berinteraksi antarsesamanya dalam suatu struktur formal yang

bisa memfasilitasi atau menghambat tata kelola Negara”. 18 Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha- usaha melalui sebuah gerakan (aktivisme civil society ) yang dilakukan oleh FBR cukup gencar

sehingga hal tersebut secara tidak langsung dirasakan dan diharapkan sebagai pemicu dari terciptanya gerakan sosial dan semakin bertumbuhnya organisasi-organisasi civil society yang menandakan proses demokratisasi terus bertumbuh, terutama di DKI Jakarta. Pertumbuhan dari gerakan-gerakan oleh organisasi civil society tersebut membuat peran dari civil society sebagai penyeimbang Negara dalam mewujudkan good governance sangat penting, terutama dalam proses demokratisasi di era otonomi daerah.

Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme civil society yang khas. Sebagai bentuk aktivisme yang khas, gerakan sosial tersebut dapat didefinisikan sebagai bentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye

bersama. 19 Gerakan sosial juga tidak semata-mata hanya sebuah aksi kolektif terhadap suatu masalah, namun juga harus dapat dengan jelas mengidentifikasikan target aksi tersebut dan

mengartikulasikannya dalam konteks sosial maupun politik tertentu. 20 Gerakan sosial juga tidak bisa direpresentasikan oleh satu organisasi tertentu. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial

melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam actor individu maupun kelembagaan yang mandiri. 21

Organisasi seperti FBR tentu akan sangat mempunyai pengaruh besar dalam mempelopori sebuah gerakan sosial yang tentunya bertujuan untuk kepentingan rakyat di DKI

18 Bs Hadiwinata, The Politics of NGOs in Indonesia: Developing democracy and managing a movement (London: RoutledgeCurzon, 2003), hlm. 35.

19 M Diani dan I Bison, Organisations, coalitions, and movements. Dipartimento di sociologia e Ricerca Sociale (Universita di Torento, 2004), hlm. 4.

20 Ibid, hlm. 4-5. 21 Ibid.

Jakarta maupun cakupan yang lebih luas. Dengan basis massa yang sangat banyak, serta mempunyai tokoh-tokoh intelektual yang mumpuni seharusnya FBR dapat berbuat lebih banyak dalam menopang penguatan civil society sehingga berdampak pada proses demokratisasi yang semakin bertumbuh. Namun realita yang terjadi di lapangan sangat jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan, dimana peran organisasi masyarakat dengan kapasitas yang begitu besar seperti FBR nyatanya justru seperti terpendam. Jauh dari gambaran akan terjadinnya gerakan atau aktivisme sosial. Organisasi masyarakat yang begitu besar seperti FBR nyatanya hanya menjadi sebuah kendaraan bagi kegiatan-kegiatan premanisme yang dibungkus dengan rapih.

Pendiri-pendiri FBR mengatakan pada awalnya merangkul preman agar dapat membawa mereka ke jalan yang benar, namun nyatanya justru para preman yang membawa FBR ke jalan premanisme. Memang tidak semua anggota FBR adalah preman, namun saat ini dalam tubuh organisasi tersebut tidak memiliki suatu kegiatan yang berdampak, jauh dari apa yang dicita- citakan organisasi tersebut atau digambarkan sebagai suatu civil society . Setiap gardu dan korwil FBR tidak lagi mempunyai kegiatan seperti yang menjadi visi misi mereka, yaitu melestarikan budaya Betawi, menyebarkan dakwah, dan lain sebagainya. Walaupun masih ada beberapa gardu yang memiliki kegiatan, namun sebagian besar kegiatan di gardu dan korwil hanya menjaga wilayah (menjaga parkir, memintai jatah keamanan, dan lain-lain). Hal ini yang membuat organisasi sebesar FBR menjadi organisasi yang hampir tidak jelas tujuannya.

Pimpinan FBR pun mengakui bahwa: “banyaknya anggota FBR ini memang bisa menjadi kelebihan sekaligus bisa menjadi kelemahan FBR”. Karena memang benar bahwa dengan begitu banyaknya anggota maka organisasi tersebut akan semakin sulit untuk dikontrol. Dengan pernyataan seperti itu oleh pimpinan FBR, tidak heran jika sering sekali terjadi perkelahian atau bentrok antara FBR dengan ormas lain maupun dengan kelopok-kelompok kedaerahan lain. Nyatanya tidak ada langkah konkret dari pihak pimpinan pusat untuk membenahi budaya yang buruk semacam itu. Dengan tidak adanya tujuan dan kegiatan yang jelas, maka kesempatan ini tentunya tidak akan luput digunakan oleh pemangku kepentingan di dunia politik. Ormas semacam ini yang sudah tidak lagi mempunyai dasar yang kuat tentunya akan sangat mudah dimanfaatkan, terutama dimanfaatkan sebagai Komoditas Politik.

Dengan jumlah massa yang begitu banyak dan terkoordinasi dengan cukup baik antara wilayah, membuat FBR sangat diminati oleh pemangku kepentingan di dunia politik. Massa dari

FBR tersebut sangat baik jika dimanfaatkan dalam proses-proses politik praktis, seperti Pemilu dan Pilkada. Massa tersebut dapat digunakan sebagai mesin-mesin politik yang cukup efektif dan sebagai lumbung suara dalam suatu pemilihan. Seperti yang diungkapkan salah satu anggotanya:

“kita dijanjikan dikasih satu mobil Kijang sama pak Nachrowi waktu Pilgub DKI 2012, itu per gardu satu mobil. Kita juga mewajibkan anggota FBR dan mengarahkan warga di tempat tinggal kita untuk nyoblos Foke- Nara”. Hal semacam ini terjadi pada momen-momen politik praktis, seperti Pilkada, maupun Pemilu. Jika kita tidak sedang terjadi momen-momen politik semacam itu, FBR biasanya dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan politik untuk melaksanakan demonstrasi, atau semacam massa pendemo bayaran. “ya kita beberapa kali disuruh demo menolak kebijakan atau macem-macem sih, dan memang dikasih upah habis demo. Biasanya dari orang-orang politik gitu tapi kan yang ketemu ya ketua, kita ikut- ikut aja kalo disuruh” .

Hal semacam ini menunjukan bahwa organisasi masyarakat seperti FBR yang mempunyai basis massa yang kuat seharusnya dapat berperan besar dalam penguatan peran civil society di Indonesia. Karena, dengan penguatan peran civil society tersebut tentu akan menumbuhkan proses demokratisasi di Indonesia. Organisasi civil society yang diharapkan dapat menjadi lokomotif gerakan-gerakan sosial atau aktivisme sosial, nyatanya malah tidak bertaji. Kekuatan organisasi masyarakat seperti FBR dengan kekuatan massa yang begitu banyak, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, sehingga mereka hanya dimanfaatkan menjadi sebuah komoditas politik belaka oleh para pemanggu kepentingan.