C. Perlindungan Hukum Bagi Terwaralaba untuk Menjaga Kelangsungan Usaha dalam Bidang Makanan
Asas kebebasan berkontrak tidak diterapkan secara sempurna dalam perjanjian waralaba franchise bahkan kehendak bebas tidak dapat terwujud
secara mutlak namun semata-mata hanya untuk mewujudkan kepentingan umum. Dalam perjanjian waralaba franchise Agreement yang tersisa dari penerapan asas
kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan pihak pewaralaba untuk menentukan atau memilih rekan bisnis sebagai terwaralaba, karena kebebasan
menentukan isi dan bentuk perjanjian sudah tidak ada lagi dengan dituangkannya perjanjian waralaba dalam bentuk perjanjian baku.
100
Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam asas-asas dari UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menurut Sutan Remy Syahdeni
antara lain :
101
1. Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan investasi
asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri;
2. Putusan pernyataan pailit seyogianya berdasarkan persetujuan para kreditur
mayoritas; 3.
Permohonan pernyataan pailit seyogianya hanya dapat diajukan terhadap Pewaralaba yang insolven yaitu tidak membayar utangutangnya kepada
kreditur mayoritas;
100
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis Bandung: Alumni. 2005, hlm.40 .
101
http:notariskhairulnas.blogspot.com diakses pada 19 Maret 2015
4. Undang-undang Kepailitan harus mengakui hak separatis dari kreditur
pemegang hak jaminan; 5.
Undang-undang kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan Pewaralaba;
6. Undang-undang Kepailitan seyogianya memungkinkan utang pewaralaba
diupayakan direstrukrisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit;
Asas Kelangsungan usaha ini, bermaksud untuk melindungi kepentingan Pewaralaba Pailit atas kepentingan beberapa Kreditur yang menghendaki segera
diselesaikan utang-utang pewaralaba kepadanya setelah jatuh tempo. Demi hukum sejak Pewaralaba dinyatakan pailit secara otomatis kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurusi kekayaan yang termasuk dalam harta pailit.
102
Bagi pewaralaba perjanjian baku standart form contract karena keinginan penyeragaman uniformnity, kedayagunaan efisiensi dan pengawasan
control yang lebih mudah. Hal ini sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah terwaralaba berdasarkan Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 PP
No. 422007 dibuat dalam bentuk tertulis antara Pewaralaba dan Terwaralaba. Terwaralaba perlu memperoleh perlindungan hukum dari pemutusan
perjanjian secara sewenang-wenang oleh pewaralaba. Jika terjadi pemutusan perjanjian secara sepihak, terwaralaba adalah pihak yang dirugikan, karena sejak
102
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 24.
awal terwaralaba sudah membayar biaya sebagai imbalan, kompensasi langsung saat awal disepakatinya franchise agreement.
Hubungan hukum antara pewaralaba dan terwaralaba ditandai ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar unequal bargaining power.
Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh Pewaralaba. Merupakan syarat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh terwaralaba yang
memungkinkan pewaralaba dapat membatalkan perjanjian apabila dia menilai terwaralaba tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjanjian dicantumkan
kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian seperti: kegagalan memenuhi standar pengoperasian, dan sebagainya.
103
Pewaralaba mempunyai discretionary power untuk menilai semua aspek usaha terwaralaba, sehingga perjanjian tidak memberikan perlindungan yang
memadai bagi terwaralaba dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan pewaralaba untuk memperbaharui perjanjian. Pewaralaba dapat
memanfaatkan kedudukan terwaralaba untuk menguji pasar, setelah mengetahui bahwa kondisi pasarmenguntungkan, maka pewaralaba memutuskan perjanjian
dengan terwaralaba selanjutnya pewaralaba mengoperasikan outlet atau tempat usaha sendiri di wilayah terwaralaba. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab rendahnya pertumbuhan waralaba asing yang beroperasi di Indonesia.
104
Perlindungan hukum terhadap terwaralaba perlu mendapat perhatian karena hal ini akan menumbuhkan waralaba lokal sebagai pola kemitraan antara
103
https:tunjungnamira.wordpress.com20091124waralaba diakses pada 03 Maret 2015
104
Ibid.
usaha kecil dengan usaha menengah dan besar sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dari hubungan antara pewaralaba dan terwaralaba adalah sebagai berikut:
105
4. Motif dari pewaralaba untuk memutuskan perjanjian waralaba
Jika sejumlah bukti menunjukkan bahwa pewaralaba menyalahgunakan demi kepentingan sendiri dengan memutuskan perjanjian waralaba, maka
pemutusan perjanjian tersebut tidak berdasarkan good cause. 5.
Dampak tindakan terwaralaba terhadap nama perusahaan pewaralaba Jika pewaralaba tidak menyalahgunakan kekuasaannya, maka pewaralaba
dapat memutuskan perjanjian berdasarkan good cause, karena terwaralaba melanggar perjanjian dan merugikan nama baik perusahaan pewaralaba.
6. Investasi dan pengharapan terwaralaba
Jika terwaralaba tidak melanggar perjanjian dan tidak merugikan nama perusahaan pewaralaba, maka harus diperhatikan apakah tindakan pewaralaba
memutuskan perjanjian tidak merugikan investasi dan pengharapan terwaralaba. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan, jumlah investasi yang telah dilakukan
terwaralaba, jangka waktu yang sudah dijalani oleh terwaralaba dalam menjalankan usahanya, dan keuntungan yang diharapkan terwaralaba dari
investasinya berdasarkan informasi yang diberikan oleh pewaralaba. Dengan demikian maka pewaralaba dapat memutuskan perjanjian berdasarkan good cause,
apabila hal itu tidak merugikan investasi dan pengharapan terwaralaba.
105
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Pasal 24.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba disebutkan bahwa perjanjian waralaba harus dibuat secara tertulis dalam
bahasa Indonesia. Ketetuan ini adalah suatu konsekuensi logis adanya kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian waralaba. Selanjutnya dalam Pasal 8 disebutkan
bahwa jangka waktu Perjanjian Waralaba sekurang-kurangnya lima tahun. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum kepada terwaralaba sebagai
penerima waralaba, karena dengan demikian pewaralaba tidak dapat memutuskan perjanjian kapan saja. Hal ini dapat dilihat sebagai suatu upaya untuk mencegah
pewaralaba memanfaatkan terwaralaba hanya sekedar untuk mengikuti pasar. Namun juga dicermati klausula-klausula tentang pemutusan perjanjian yang
biasanya tunduk pada penilaian pewaralaba.
106
Selanjutnya dalam Pasal 11 disebutkan bahwa penerima waralaba wajib mendaftarkan Perjanjian Waralaba beserta keterangan tertulis yang dimaksud
dalam Pasal 5 pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba STPUW. Pasal 14
menyebutkan bahwa jika pewaralaba memutuskan perjanjian sebelum berakhirnya masa berlakunya Perjanjian Waralaba dan kemudian menunjuk Terwaralaba yang
baru, maka penerbitan STPUW bagi terwaralaba yang baru hanya diberikan kalau terwaralaba telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat
dari pemutusan tersebut yang dituangkan dalam bentuk Surat Pernyataan Bersama.
107
106
Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba Yogyakarta: Cakrawala, 2007, hlm. 23.
107
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12M-DagPer32006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba Pasal 15.
Jika ada tuntutan ganti rugi dari terwaralaba yang diajukan kepada pewaralaba, maka ganti rugi tersebut harus dibayar lebih dahulu, sebelum
pewaralaba dapat menunjuk terwaralaba yang baru. Tidak tertutup kemungkinan sengketa pemutusan perjanjian dan ganti rugi ini muncul di forum pengadilan.
Jika demikian halnya maka harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa.
Menurut Pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan disebutkan bahwa pewaralaba sebagai pemberi waralaba dan terwaralaba sebagai
penerima Waralaba harus mengutamakan penggunaan barang dalam negeri sebanyak-banyaknya sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang
disediakan dan atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba. Dalam praktik pewaralabalah yang menentukan barang atau bahan-bahan yang harus digunakan
oleh terwaralaba, bahkan seringkali diperjanjikan bahwa barang tersebut harus dibeli dari pewaralaba dengan alasan quality control untuk menjaga mutu barang
dan menjaga reputasi pewaralaba. Perjanjian waralaba seperti itu dapat diglongkan sebagai tying agreement. Dalam hal ini pewaralaba memberikan izin
untuk menjual produk-produk pewaralaba dengan menggunakan identitas pewaralaba, tetapi dengan syarat bahan-bahan untuk membuat produk tersebut
harus dibeli dari pewaralaba.
108
Walaupun saat ini Indonesia belum mempunyai Undang-Undang yang secara khusus mengatur bisnis waralaba, namun keberadaan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba telah cukup memberikan landasan
108
Suharnoko, hukum perjanjian: teori dan analisa kasus Jakarta: Prenada media group, 2004, hlm. 100.
hukum bagi bisnis waralaba di Indonesia. Namun demikian, tentunya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak akan berguna apabila tidak ada upaya
penegakannya, khususnya dalam hal pembinaan dan pengawasan bisnis waralaba.
109
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 14 PP Nomor 422007, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan Waralaba
antara lain berupa pemberian pendidikan dan pelatihan Waralaba, rekomendasi untuk memanfaatkan sarana perpasaran, rekomendasi untuk mengikuti pameran
Waralaba baik di dalam negeri dan luar negeri, bantuan konsultasi melalui klinik bisnis, penghargaan kepada Pemberi Waralaba lokal terbaik, danatau bantuan
perkuatan permodalan. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum
dalam bisnis waralaba adalah sebagai berikut: 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata 2.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259MPPKEP71997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; 3.
Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31M- DAGPER82008 tentang Penyelenggaraan Waralaba;
4. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
6. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
109
Ibid.
Bagi para pihak baik itu pewaralaba maupun terwaralaba jika tidak memenuhi persyaratan dengan tidak memenuhi masing-masing hak dan
kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak dan tetap melaksanakan kegiatan usaha, dikenakan sanksi hukum berdasarkan PP 422007
berupa: peringatan tertulis sebanyak tiga kali jika tidak dilaksanakan dikenakan denda sebesar Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah serta pencabutan surat tanda
pendaftaran waralaba.
110
Apabila timbul persengketaan diantara Pemberi Waralaba pewaralaba dan Penerima Waralaba terwaralaba dapat diselesaikan melalui cara damai atau
jalur pengadilan.
111
110
Kevin Kogin. Op.,Cit. hlm. 77
111
http:baltyra.com20100621perlindungan-hukum-bisnis-franchise diakses pada 01 April 2015
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan