14
3.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pada teknologi budidaya penggunaan pemberian sepenuhnya pakan komersil pada
kolam air tenang teknologi 1 secara teknis pelaksanaan lebih mudah jika dibandingkan dengan teknologi pemberian pakan pengganti berupa limbah RPA
pada kolam air mengalir setelah 30 hari pemeliharaan teknologi 2. Pakan pada teknologi 1 dapat disimpan dalam waktu lama, selain itu pakan dapat langsung
diberikan ke ikan lele. Sedangkan pada teknologi 2 pakan limbah tidak dapat disimpan dalam waktu lama karena kondisi limbah yang basah akan cepat
mengalami pembusukan. Selain itu pemberian pakan pada teknologi 2 memerlukan penanganan sebelum diberikan ke ikan lele, terutama limbah usus
ayam berupa pencacahan terlebih dahulu yang bertujuan agar mudah dimakan oleh ikan.
Penggunaan pakan limbah dapat menyebabkan kolam menjadi kotor akibat sisa-sisa pakan limbah yang tidak termakan oleh ikan, tetapi hal ini tidak terjadi
karena adanya aliran air sebesar 1,2 liter detik pada kolam sehingga kualitas air tidak memburuk. Air yang mengalir berasal dari saluran irigasi alami yang
terdapat di sekitar kolam sehingga tidak menggunakan biaya. Adanya sistem budidaya dengan sistem air mengalir mengakibatkan kandungan oksigen terlarut
pada teknologi 2 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan teknologi 1 Tabel 5. Kandungan oksigen yang tinggi mengakibatkan nafsu makan ikan
menjadi meningkat hal ini terlihat dari jumlah konsumsi pakan JKP yang tinggi pada perlakuan pakan limbah RPA.
Berdasarkan hasil teknis, pemberian pakan limbah RPA lebih baik dibandingkan dengan pemberian pakan komersil Tabel 4. Nilai jumlah konsumsi
pakan JKP teknologi 1 sebesar 1.990±10 kg sedangkan teknologi 2 yaitu sebesar 720±5 kg namun pada saat pakan diganti dengan pakan limbah 25 hari berikutnya
nilai JKP menjadi 3.873±100 kg bobot basah 1.289,7 kg setelah dikurangi bobot air sebesar 66,67. Jika dilihat perbandingan jumlah pakan yang
dikonsumsi antara teknologi 1 dan teknologi 2 tidak berbeda terlalu jauh. Dengan jumlah pakan tersebut limbah RPA mampu memberikan hasil yang lebih baik
SR dan LPH dibandingkan teknologi pakan komersil. Nilai JKP yang tinggi
15 pada teknologi 2 diduga disebabkan oleh kualitas pakan limbah RPA usus ayam,
darah, dan daging giling memiliki kadar protein yang rendah yaitu 8,77 dalam bobot basah Lampiran 1, sementara kebutuhan protein ikan lele menurut NRC
1993 yaitu 25-32. Untuk mencukupi kebutuhan proteinnya ikan tersebut mendapatkannya dengan mengkonsumsi pakan limbah lebih banyak. Hal yang
sama dinyatakan dalam NRC 1993 yang menyatakan bahwa ikan membutuhkan protein untuk tumbuh, jika kebutuhan protein tidak tercukupi pertumbuhan ikan
akan terhenti oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan proteinnya ikan menjadi banyak makan.
Teknologi pemberian pakan yang berbeda limbah RPA dan pakan komersil pada ikan memberikan pengaruh nyata P0,05 terhadap survival rate
SR dan laju pertumbuhan harian LPH Tabel 4. Nilai SR dan LPH teknologi 1 lebih rendah 71±4,75 jika dibandingkan dengan teknologi 2 90,68±4,36,
begitu pula pada nilai LPH-nya secara berturut-turut 3,91±0,11 dan 4,71±0,26. Tingginya nilai SR dan LPH pada teknologi 2 diduga akibat adanya
sistem pergantian air yang menyebabkan kandungan oksigen air meningkat. Hal ini mendukung pertumbuhan yang baik pada ikan. Sedangkan teknologi 1 tidak
terjadi pergantian air selama pemeliharan akibatnya sisa-sisa pakan yang tidak termakan akan mengalami penguraian yang akan mempengaruhi kondisi media
Tabel 5. Salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya yaitu keberadaan oksigen terlarut. Oksigen merupakan faktor penting untuk kehidupan ikan jika
kandungan oksigen baik maka pertumbuhnya pun akan baik pula Effendi, 2003, pernyataan tersebut sesuai dengan kondisi media budidaya pada teknologi 2 lebih
baik karena memiliki nilai oksigen terlarut yang lebih tinggi dibanding teknologi 1 sehingga pertumbuhan dan sintasan ikan teknologi 2 lebih tinggi. Selain itu nilai
TAN teknologi 2 tidak mengalami perubahan yang signifikan jika dibandingkan dengan teknologi 1.
Perubahan nilai TAN teknologi 1 selama pemeliharaan terjadi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,408-1,94 mglCaCO
3
, sementara pada teknologi 2 perubahan nilai TAN masih dibawah batas toleransi yaitu berkisar antara1,37-1,26
mglCaCO
3
Tabel 4, kisaran nilai TAN yang baik untuk budidaya yaitu 1,37-2,2 mglCaCO3 Effendi 2003. Hal ini juga yang dimungkinkan menyebabkan nilai
16 survival rate SR pada teknologi 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
teknologi 1, kadar amonia yang tinggi dan tanpa adanya pergantian air menyebabkan pertambahan bobot yang rendah dan tingginya kematian yang
terjadi pada teknologi 1, hal ini didukung oleh Boyd 1990 yang menyatakan bahwa apabila kadar amonia dalam air meningkat, maka ekskresi amonia oleh
ikan berkurang sehingga kadar amonia dalam darah dan jaringan meningkat yang dapat menyebabkan kematian.
Teknologi 1 dan teknologi 2 memiliki hasil panen yang berbeda Tabel 6. Pada teknologi 1 terdapat 3 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73, Bs
sebanyak 10,16 dan sortiran sebanyak 16,27, sedangkan teknologi 2 terdapat 4 ukuran panen yaitu ukuran daging sebanyak 73,01, Bs sebanyak 10,72 dan
sortiran sebanyak 13,72 dan terdapat bobot yang lebih besar jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu ukuran SS sebanyak 0,35 dari total panen. Hal ini
disebabkan karena kandungan lemak dalam pakan limbah pada kondisi basah terlalu tinggi yaitu 24,36 sehingga ikan menjadi kebanyakan lemak, terlalu
banyak lemak dalam pakan menyebabkan ikan gemuk pada bagian perut dan jaringan otot Webster dan Lim, 2002 dalam Pamungkas, 2009.
Selain itu pada hasil panen teknologi 2 terdapat ikan lele kuning sebanyak 2,20 yaitu ikan lele yang terserang penyakit akibat terlalu banyak memakan
limbah atau kualitas air yang buruk hal ini sesuai dengan Darseno 2010 yang menyatakan bahwa penyakit kuning atau jaundince disebabkan karena malnutrisi,
pakan yang kadaluarsa atau terlalu banyak memakan pakan alternatif seperti jeroan ayam. Ikan kuning memilki daya tahan tubuh yang rendah sehingga ikan
mudah mati, ikan kuning dihargai lebih rendah yaitu Rp 4.500kg. Untuk menyamakan kapasitas produksi antara teknologi 1 dan teknologi 2
maka dikonversi menggunakan luas area 1.000 m
2
. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh teknologi 2 sebesar 2,5 kali dari keuntungan
yang diperoleh teknologi 1 yaitu sebesar Rp 44.765.645 sedangkan teknologi 1 sebesar Rp 17.934.261.
Nilai RC Ratio digunkan untuk melihat besarnya uang yang akan dihasilkan jika menanamkan modal sebesar Rp 1 Rahardi et al., 1998. Semakin besar nilai
RC Ratio maka keuntungan semakin besar pula. Nilai RC tertinggi terdapat pada
17 teknologi 2 yaitu 1,30 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 30, sedangkan pakan komersil sebesar 1,10 artinya setiap penambahan modal sebesar Rp 1 akan mendapatkan keuntungan
sebesar Rp 10. Nilai BEP Rp dan BEP Kg teknologi 1 secara berturut yaitu sebesar Rp
33.193.586 dan 3.111 kg sedangkan teknologi 2 secara berturut-urut sebesar Rp 15.067.162 dan 2.504 kg yang artinya titik impas pada teknologi 1 dicapai pada
saat penerimaan sebesar Rp 33.193.586 dengan produksi ikan sebanyak 3.111 ekor sedangkan titik impas pada teknologi 2 dicapai pada saat penerimaan sebesar
Rp 15.067.162 dengan produksi ikan sebanyak 2.504 ekor. Payback period PP adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui
lamanya waktu pengembalian modal. Nilai PP teknologi 1 selama 1,1 tahun sedangkan teknologi 2 selama 0,4 tahun. Berdasarkan nilai PP tersebut diketahui
bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada teknologi pakan pengganti limbah RPA pada kolam air mengalir.
Berdasarkan tabel 7 diketahui nilai harga pokok produksi HPP teknologi 2 lebih rendah jika dibandingkan dengan teknologi 1 yaitu secara berturut-turut
sebesar Rp 10.163 dan Rp. 8.651. Semakin tinggi selisih nilai HPP dengan harga jual semakin tinggi juga keuntungan yang diperoleh.
Perhitungan biaya, penerimaan dan keuntungan dalam luas area 1.000 m
2
Gambar 1.
Gambar 1. Grafik biaya, penerimaan, dan keuntungan menggunakan luas area 1.000 m
2
.
18 Biaya produksi yang tertinggi terdapat pada teknologi 1 yaitu Rp
174.864.940, sedangkan teknologi 2 sebesar Rp 151.138.313. Penerimaan dan keuntungan teknologi 2 lebih besar yaitu berturut-turut Rp 195.903.958 dan Rp
44.765.645 jika dibandingkan dengan teknologi 1 berturut-turut sebesar Rp 192.799.201 dan Rp 17.934.261.
Biaya pakan dan non pakan yang dikeluarkan untuk skala luas area per 1.000 m
2
didapatkan hasil bahwa teknologi 1 mengeluarkan biaya pakan dan non pakan lebih besar jika dibandingkan dengan teknologi 2 Gambar 2 yaitu secara
berturut-turut sebesar Rp 110.113.333 dan Rp 69.569.394 sedangkan teknologi 2 secara berturut-turut sebesar Rp 98.349.000 dan Rp 57.664.680. Hal ini
menunjukan bahwa teknologi pakan penganti limbah RPA dapat memotong biaya pengeluaran untuk pakan sebesar 11 jika dibandingkan dengan pakan komersil,
sedangkan biaya non pakan yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi.
Gambar 2. Grafik biaya pakan dan non pakan teknologi 1, dan teknologi 2 dalam luas area 1.000 m
2
. Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha diatas diketahui bahwa
penggunaan teknologi pakan pengganti berupa limbah RPA setelah 30 hari pemeliharaan memberikan keuntungan yang terbesar pada usaha pembesaran ikan
lele dumbo.
19
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Teknologi penggunaan pakan pengganti berupa limbah rumah pemotongan ayam RPA pada kolam air mengalir secara hasil teknis dan ekonomis lebih baik
dibandingkan dengan teknologi penggunaan sepenuhnya pakan komersil pada kolam air tenang. Teknologi pakan pengganti limbah RPA memiliki SR 90,68:
jumlah konsumsi pakan 720 kg pakan komersil dan 1.289,7 kg pakan limbah RPA, dan laju pertumbuhan harian 4,71 dan dalam luas area 1.000 m
2
memiliki keuntungan sebesar Rp 44.765.645, RC Ratio 1,3; BEP Rp 15.067.1624 rupiah,
BEP Kg 2.504 kg, payback period 0,4 tahun dan harga pokok produksi 8.651 rupiah. Sedangkan teknologi sepenuhnya pakan komersil memiliki survival rate
71, jumlah konsumsi pakan 1.990 kg, laju pertumbuhan harian 3,91, dan dalam luas area 1.000 m
2
memiliki keuntungan Rp 17.934.261, RC Ratio 1,10; BEP Rp 33.193.586 rupiah, BEP Kg 3.111 kg, payback period 1,1 tahun dan
HPP 10.163 rupiah.
4.2 Saran
Berdasarkan penelitian ini disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengevalusi usaha pembesaran ikan lele menggunakan pakan komersil
pada kondisi air yang mengalir agar diperoleh hasil yang maksimal dan mengevaluasi teknologi budidaya penggunaan pakan limbah RPA dari aspek
sosial dan lingkungan.