Dukungan Informasi Strategi Koping, Dukungan Sosial, dan Kesejahteraan Keluarga di Daerah Rawan Bencana, Kabupaten Bandung

kemiskinan, namun tidak ada satu pun yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Terdapat tiga model untuk mengukur kemiskinan diantaranya model tingkat konsumsi, model kesejahteraan keluarga dan model pembangunan manusia. Model tingkat konsumsi merupakan model yang digunakan oleh BPS dalam menentukan kemiskinan di Indonesia. Model kesejahteraan merupakan model yang digunakan BKKBN dengan menentukan tahapan kesejahteraan masyarakat sedangkan model pembangunan manusia merupakan model yang digunakan United Nation Development Program UNDP dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Mengukur kesejahteraan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan obyektif dan subyektif.

A. Kesejahteraan Obyektif

Kesejahteraan diukur melalui fakta-fakta tertentu yang dapat diamati secara ekonomi, sosial dan statistik lingkungan. Kesejahteraan obyektif diukur secara tidak langsung menggunakan ukuran ordinal. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku seperti pengukuran kesejahteraan yang dilakukan oleh Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN. Ukuran yang dapat dijadikan patokan kesejahteraan obyektif keluarga menurut Badan Pusat Statistik yaitu dengan melihat pendapatan perkapita perbulan keluarga yang diukur berdasarkan Garis Kemiskinan GK. Pendapatan dan variabel sosial-ekonomi lain dapat menjadi variabel penjelas yang nyata bagi kesejahteraan seseorang namun tidak untuk setiap orang. Menurut Rojas 2004 diacu dalam Simanjuntak 2010 bahwa kesejahteraan yang hanya diukur berdasarkan pendapatan dan indikator sosial ekonomi lainnya dinilai kurang tepat. Kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya tanpa melihat penilaian pribadi individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat pendekatan lain dalam mengukur kesejahteraan yaitu dengan pendekatan subyektif yang menilai kesejahteraan berdasarkan kebutuhan kesenangan individu dan kebahagiaankepuasan hidup.

B. Kesejahteraan Subyektif

Miligan et al. 2006 diacu dalam Sunarti et al. 2009 menyatakan kesejahteraan dengan pendekatan subyektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh diri sendiri bukan orang lain. Namun secara operasional, menurut Campbell, Convers dan Rogers dalam Sumarwan dan Hira 1993 diacu dalam Sunarti et al. 2009, variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena dapat lebih mudah melihat gap antara aspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam ilmu psikologi, konsep kebahagiaan memiliki makna yang lebih sempit dibandingkan kesejahteraan secara subyektif. Bruni dan Porta 2007,p. xviii dalam conceição dan Bandura 2008 diacu dalam Simanjuntak 2010 membagi indikator kesejahteraan subyektif menjadi empat komponen, yaitu: 1. Emosi yang menyenangkan 2. Emosi yang tidak menyenangkan 3. Penilaian hidup secara menyeluruh 4. Domain kepuasan perkawinan, kesehatan, kesenangan, dan lain- lain Kesejahteraan secara subyektif menggambarkan evaluasi individu terhadap kehidupannya yang mencakup kebahagiaan, kondisi emosi, dan kepuasan hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari keseimbangan antara pengaruh positif dan negatif sedangkan kepuasan merupakan jarak yang dirasakan seorang individu dari aspirasinya. Dari berbagai konsep dan hasil penelitian tentang kesejahteraan, keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesejahteraan. Syarif Hartoyo 1993 menyatakan bahwa suatu keluarga walaupun tinggal di bawah garis kemiskinan mungkin akan merasa sejahtera karena merasa lebih bersyukur kepada Tuhannya atas apa yang telah dia dapatkan selama ini. Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian tentang keluarga korban bencana telah dilakukan oleh para peneliti di Indonesia. Penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut dilakukan oleh Khasanah pada tahun 2011. Penelitian tersebut dilakukan pada keluarga korban bencana longsor di Kabupaten Bogor dengan melihat aspek permasalahan, kelentingan dan strategi koping. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang diambil secara proportional random sampling. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi oleh keluarga korban bencana yaitu masalah pangan, tempat tinggal, pendapatan dan pekerjaan. Kelentingan keluarga akibat bencana tergolong tinggi karena adanya pemaknaan kondisi krisis dan membentuk pola organisasi keluarga yang tinggi pula. Penelitian ini menggunakan dimensi fokus masalah dan emosi dalam