tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan yang berarti untuk menekan perannya terlalu besar.
3. Memodifikasi sistem kota-kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi
menuju pusat-pusat pertumbuhan, yaitu dengan adanya pengaturan sistem perkotaan telah memiliki hirarkhi yang terstruktur dengan baik dan diharapkan
akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar. 4.
Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah, hal ini muncul dikarenakan akibat kurang memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya
dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan, serta yang berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.
2.3. Konsep Pemekaran Wilayah
Menurut Tarigan 2010, konsep pemekaran wilayah merupakan pembagian kewenangan administratif dari satu wilayah menjadi dua atau beberapa
wilayah. Pembagian tersebut juga menyangkut luas wilayah maupun jumlah penduduk sehingga lebih mengecil. Pada level provinsi menghasilkan satu pola
yakni dari satu provinsi menjadi satu provinsi baru dan satu provinsi induk. Sementara pada level kabupaten terdiri dari beberapa pola yakni, pertama, dari
satu kabupaten menjadi satu kabupaten baru Daerah Otonom Baru dan kabupaten induk. Kedua, dari satu kabupaten menjadi satu kota baru dan
kabupaten induk. Ketiga, dari satu kabupaten menjadi dua kabupaten baru dan satu kabupaten induk.
Secara teoritis, pemekaran wilayah pertama kali diungkapkan oleh Tibout 1956 dalam Nurkholis 2005 dengan pendekatan public choice school. Dalam
Universitas Sumatera Utara
artikelnya ”A Pure Theory of Local Expenditure”, ia mengemukakan bahw
pemekaran wilayah dianalogkan sebagai model ekonomi persaingan sempurna dimana pemerintahan daerah memiliki kekuatan untuk mempertahankan tingkat
pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan mengijinkan setiap individu masyarakatnya untuk mengekspresikan preferensinya untuk setiap jenis
pelayanan dari berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda dengan ”vote with
theirfeet ”.
Selain itu, Swianiewicz 2002 dalam Nurkholis 2005 juga mengungkapkan bahwa komunitas lokal yang kecil lebih homogen, dan lebih
mudah untuk mengimplementasikan kebijakan yang sesuai dengan preferensi sebagian besar masyarakatnya. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam komunitas yang kecil memiliki peluang lebih besar. Kemudian, pemerintahan daerah yang kecil memiliki birokrasi yang rendah, misalnya fungsi
administrasi. Pemekaran juga mendukung adanya persaingan antar pemerintahan daerah dalam mendatangkan modal ke daerahnya masing-masing, dimana hal ini
akan meningkatkan produktifitas. Terakhir, pemekaran mendukung berbagai eksperimenpercobaan dan inovasi.
Pemekaran wilayah di Indonesia sebelum tahun 1999 ditentukan oleh pemerintah pusat dengan tahap persiapan yang cukup lama. Tahapan persiapan
tersebut menyangkut penyiapan infrastruktur pemerintahan, aparatur pemerintah daerah hingga terbangunnya fasilitas-fasilitas umum. Munculnya wilayah
pertumbuhan ekonomi, pemukiman maupun dinamisnya kehidupan sosial politik menjadi penilaian sebelum daerah tersebut ditetapkan menjadi daerah otonom.
Universitas Sumatera Utara
Kewenangan pemerintah pusat yang tinggi justru tidak banyak menimbulkan gejolak sosial politik yang berarti di daerah.
Sementara sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 berlaku, pemerintah daerah dapat mengusulkan pemekaran wilayah asalkan memenuhi kriteria kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah. Kriteria lebih lanjut diatur dalam PP No. 1292000 yang yang diperinci dalam 19 indikator dan
43 sub indikator. Suatu daerah dikatakan “lulus” menjadi daerah otonom apabila daerah induk maupun calon daerah yang akan dibentuk
mempunyai total skor sama atau lebih besar dari skor minimal kelulusan, dan “ditolak” apabila sebagian besar lebih dari separuh skor sub indikator bernilai 1
skor terendah. Aturan diatas menggariskan bahwa daerah akan memiliki kecenderungan
untuk dimekarkan apabila daerah tersebut a terletak di luar Jawa dan Bali; b daerah berstatus Kabupaten; c memiliki rasio Pendapatan Daerah Sendiri
terhadap pengeluaran total yang besar; d bukan daerah baru hasil pemekaran; e memiliki PDRB yang berkontribusi dominan terhadap PDRB total atas dasar
harga berlaku seluruh KabupatenKota dalam satu Provinsi; f mempunyai jumlah penduduk yang besar; g mempunyai wilayah yang cukup luas; h
mendapatkan alokasi DAU yang besar; dan i memiliki nilai PDRB yang relatif kecil, FEUI 2005.
Setelah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 direvisi dengan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 maka pengaturan teknis pemekaran wilayah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang memiliki persyaratan pemekaran wilayah yang lebih ketat dibandingkan Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000. Meskipun PP ini telah berlaku namun tampaknya belum cukup kuat membuat pemekaran lebih baik.
Alasan pemekaran secara umum terdapat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan
Peraturan Pemerintah Nomr 129 Tahun 2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Di sisi lain, ternyata
pemerintah daerah memiliki pendapat yang berbeda. Pemerintah daerah melihat pemekaran wilayah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari keterpurukan
David Jackson et.al., 2008. Khairulan dan Cahyadin 2006, menyatakan bahwa pemekaran wilayah
pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan meningkatkan serta mempercepat pelayanan, kehidupan demokrasi, perekonomian
daerah, pengelolaan potensi daerah, keamanan dan ketertiban, dan hubungan yang serasi antar daerah dan pusat. Pada hakekatnya tujuan pemekarana wilayah
sebagai upaya peningkatan sumberdaya secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antarsektor, memperkuat integrasi
nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup.
2.4. Pembangunan Ekonomi Daerah