4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan data yang telah disajikan terlihat bahwa jenis-jenis yang dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan
pada tingkat pertumbuhan yang lain. Hal ini sesuai dengan penelitian Saslihadi 1994 dalam Wahyu 2002 yang menjelaskan bahwa adanya variasi dari jenis-
jenis yang dominan dan kodominan pada setiap tingkat pertumbuhan memberikan pengertian bahwa jenis dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu
dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Dominannya jenis-jenis pohon seperti yang tersaji pada Tabel 1 dikarenakan jenis-jenis tersebut ditemukan dalam
jumlah yang banyak kerapatannya besar, tersebar merata ke seluruh areal, dan besarnya diameter pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Selain itu, jenis-
jenis dominan tersebut berhasil memanfaatkan sebagian besar sumberdaya yang ada dibandingkan dengan jenis-jenis yang lain. Hal ini dijelaskan oleh
Soerianegara dan Indrawan 1998, bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh habitat dalam hal penyebaran jenis,
kerapatan, dan dominansinya. Pinus yang notabene merupakan jenis yang banyak ditanam di hutan tanaman HPGW mendominasi tingkat pertumbuhan pohon di
hutan alam HPGW karena lokasi penelitian sedikit beririsan dengan hutan tanaman pinus. Untuk jenis yang mempunyai Indeks Nilai Penting INP tertinggi
dan seterusnya hingga terendah, menunjukkan urutan peranan atau penyesuaian jenis dalam persaingan pertumbuhan yang terjadi pada saat ini, sedangkan di masa
mendatang akan sangat tergantung pada sifat-sifat lain semasa pertumbuhan secara keseluruhan. Secara umum, tumbuhan dengan INP tinggi mempunyai daya
adaptasi, daya kompetisi dan kemampuan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan yang lain dalam satu lahan tertentu.
Biodiversitas atau yang biasa dikenal dengan keanekaragaman hayati terdiri atas tiga komponen yaitu kekayaan jenis R, keanekaragaman jenis H
‟, dan kemerataan jenis E Magurran 1988. Berdasarkan ketiga komponen indeks
yang tersaji pada Tabel 4 menunjukkan kekayaan jenis, kemerataan jenis dan keanekaragaman jenis yang ada pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan
pohon relatif sedang sedangkan tingkat pertumbuhan semai relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan hutan alam sedang berada dalam perkembangan
pemulihan atau sedang terjadi suksesi. Resosudarmo et al. 1990 dalam Rahardjo 2003 menyebutkan bahwa suksesi adalah proses perubahan yang terjadi dalam
komunitas meliputi perubahan komposisi jenis dan struktur vegetasi yang berlangsung menuju satu arah secara teratur, yang terjadi sebagai akibat dari
modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Selanjutnya, suksesi pada dasarnya meliputi dua tingkat perubahan, yaitu komposisi jenis dan sifat
sistem seperti keanekaragaman jenis, siklus hara dan produktivitas Manan 1979 dalam Rahardjo 2003. Suatu ekosistem yang telah mengalami gangguan
dipastikan akan mengalami proses suksesi yang relatif bervariasi, tergantung dari faktor lingkungan dan total simpanan jenis. Secara umum, suksesi diawali dengan
pertumbuhan sangat cepat oleh tumbuhan berumur singkat, kemudian diikuti oleh semak dan pohon pionir yang umumnya tidak tahan naungan yang menahan
gangguan lainnya. Informasi Fahutan IPB 1967 dalam Rahardjo 2003 menyebutkan bahwa keadaan hutan di HPGW pada awalnya tahun 1958 adalah
kurang lebih 100 ha berupa hutan tanaman dan sisanya adalah berupa tanah
kosong yang ditumbuhi semak, alang-alang, dan beberapa pohon yang sangat jarang. Pada tahun 1969, HPGW ditunjuk menjadi hutan pendidikan dengan luas
kawasan menjadi 359 ha. Sejak saat itu, pengelolaan hutan diperbaiki sehingga memungkinkan terjadinya suksesi.
Tinggi dan rendahnya keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : jenis tanah, termasuk
bebatuangeologinya, iklim, dan variasi ketinggian tempat berada di ketinggian ± 500 mdpl. Ewusie 1990 menyatakan bahwa curah hujan akan semakin lebat
pada wilayah pegunungan yang lebih rendah, karena udara yang panas akan menjadi dingin pada waktu dipaksa naik mengikuti lerengpegunungan. Selain itu,
faktor gangguan manusia juga dapat menjadi penyebab berkurangnya keanekaragaman hayati yang ada di hutan alam HPGW. Hal ini sesuai dengan
penelitian di Taman Nasional Lore Lindu yang juga mengkaji mengenai komposisi jenis dan struktur tegakan, dimana hutan alam pada ketinggian 500-750
mdpl memiliki keanekaragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan keanekaragaman jenis pada lokasi yang lebih tinggi. Purwaningsih 2004
menyatakan bahwa dekatnya lokasi penelitian dengan kawasan pemukiman menjadi salah satu penyebabnya.
Indeks kesamaan komunitas atau index of similarity IS diperlukan untuk mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara unit sampling atau
antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. Oleh karena itu, besar kecilnya indeks kesamaan
menggambarkan tingkat kesamaan komposisi jenis dan struktur dari dua komunitas, tegakan atau unit sampling yang dibandingkan Indriyanto, 2008.
Kusmana dan Istomo 1993 dalam Wahyu 2002 menyatakan bahwa umumnya suatu komunitas yang dibandingkan mempunyai keadaan yang relatif sama jika
memiliki nilai IS minimal 75, jika nilai IS berada di bawah 75 maka keadaannya berbeda. Suatu komunitas hutan yang dibandingkan makin mendekati
sama bila nilai IS mendekati 100. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa semua komunitas tingkat pertumbuhan relatif berbeda kecuali antara semai-pancang IS
75.2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan maka nilai indeks kesamaan komunitas semakin berbeda, kecuali semai-pancang yang
relatif sama. Perbedaan komunitas ini disebabkan karena adanya perbedaan jumlah jenis antara kedua komunitas yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti kelembaban, pH tanah dan suhu di lingkungan hutan alam HPGW.
Struktur vegetasi terdiri atas tiga komponen utama Kershaw 1964 dalam Mueller-Dombois; Ellenberg 1974 yaitu a Struktur kuantitatif tentang kerapatan
setiap jenis dalam suatu komunitas; b Struktur vertikal stratifikasi tajuk; c Struktur horizontal penyebaran jenis dalam suatu populasi. Gambar 5 dan
Gambar 6 menyajikan hasil perhitungan kerapatan individu Indha yang menggambarkan bentuk kurva J terbalik karena pada lokasi ini jumlah jenis
individu pada tingkat permudaan lebih tinggi daripada jumlah jenis tingkat tiang dan pohon.
Bentuk kurva struktur tegakan horizontal untuk semua jenis mengikuti bentuk umum dari distribusi kelas diameter berbentuk huruf “J” terbalik. Hal ini
berarti bahwa jumlah pohon per satuan luas pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut semakin menurun dengan semakin berkurangnya ukuran
pohon. Fenomena struktur tegakan berbentuk huruf “J” terbalik ini
memperlihatkan bahwa individu pohon yang tumbuh di hutan alam Gunung Walat pada masa awal pertumbuhannya cukup banyak. Semakin bertambahnya waktu,
individu-individu tersebut mengalami pertumbuhan yang memerlukan banyak energi sehingga terjadi persaingan, baik antara individu sejenis maupun beda jenis
dalam mendapatkan sinar matahari yang cukup, mineral dan pertahanan terhadap gangguan luar seperti hama dan penyakit. Persaingan ini terus berlanjut dan
terjadilah proses seleksi alam. Secara alami, persaingan ini mengakibatkan selalu terjadi pengurangan jumlah individu yang bertahan hidup pada setiap tingkat kelas
diameter. Namun, menurut Meyer 1961, tegakan normal dari hutan tidak seumur mempunyai rasio yang konstan antara jumlah pohon per satuan luas dengan kelas
diameter meskipun selalu terjadi pengurangan jumlah individu pada setiap tingkat kelas diameter.
Berdasarkan data pada Tabel 6, pola penyebaran individu jenis yang dominan menunjukkan persebaran yang mengelompok VM 1. Hal ini
didukung oleh Kusmana 1989 dalam Nurdin 2004 yang menyatakan bahwa pola distribusi jenis pohon di hutan hujan pegunungan, baik pada komunitas
pohon yang berdiameter 10 cm maupun yang berdiameter 10 cm adalah mengelompok clumped. Pengelompokan menunjukkan bahwa individu-individu
berkumpul pada beberapa habitat yang menguntungkan, kejadian ini bisa disebabkan oleh tingkah laku mengelompok, lingkungan yang heterogen, model
reproduksi, dan sebagainya Pemberton Frey 1984. Ada faktor pembatas terhadap keberadaan suatu populasi. Faktor yang menyebabkan ini terjadi
kemungkinan adalah topografi yang cukup berat bergelombang-berbukit dan keadaan lapangan di beberapa jalur yang berbatu dengan lapisan top soil yang
tipis serta keadaan tempat tumbuhnya yang agak labil.
Stratifikasi tajuk merupakan cara untuk menjelaskan mengenai struktur vegetasi secara vertikal dalam satu komunitas tumbuhan pada tipe ekosistem
tertentu. Menurut Soerianegara dan Indrawan 1998 stratifikasi dalam hutan tropis adalah sebagai berikut:
1. Stratum A: lapisan teratas, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi total
lebih dari 30 meter, biasanya tajuk diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang tinggi
2. Stratum B: terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20 meter sampai
30 meter, tajuk umumnya kontinu 3.
Stratum C: pohon dengan tinggi 4 – 20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah dan banyak cabangnya.
4. Stratum D: tumbuhan penutup tanah ground cover, perdu dan semak
yang memiliki tinggi 1−4 meter. 5.
Stratum E: tumbuhan penutup tanah ground cover dengan tinggi 0 -1 meter.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang tersaji pada Gambar 7, maka secara umum hutan alam HPGW memiliki 4 strata yaitu strata A, strata B,
strata C dan strata E. Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk mencapai stratum A dan stratum B sangat sulit. Hal ini terbukti dari sedikitnya pohon yang bisa
mencapai stratum A dan stratum B. Keadaan ini disebabkan karena untuk mencapai stratum A dan B dibutuhkan waktu yang cukup lama dan persaingan
yang cukup tinggi, baik untuk memperoleh nutrisi, air tanah, maupun cahaya.