B. PENENTUAN BAHAN PENGKAPSUL
Langkah yang penting dalam mengembangkan produk mikrokapsul adalah pemilihan bahan pengkapsul yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan misalnya
kekuatan mekanik, kesesuaian dengan produk pangan, kesesuaian dengan kondisi termal proses dan pelepasan zat terkapsulkan, ukuran partikel, dan lain-lain Brazel,
1999. Desmawarni 2007 melaporkan bahwa kombinasi maltodekstrin dengan natrium kaseinat sangat baik digunakan dalam mikroenkapsulasi oleoresin jahe
dibandingkan dengan gum arab. Penelitian pada tahap ini menguji beberapa bahan protein lain untuk dikombinasikan dengan maltodekstrin sebagai bahan pengkapsul
oleoresin lada hitam. Hal ini bertujuan mencari alternatif bahan protein selain natrium kaseinat. Bahan protein yang digunakan yakni tepung kacang kedelai,
tepung kacang hijau, dan susu skim bubuk. Perlakuan dan proses pembuatan mikrokapsul pada tahap ini telah
dijelaskan dalam bab metodologi. Emulsi yang telah dibuat, dispray drying dengan kondisi suhu inlet 170
o
C dan laju aliran bahan antara 15-17 mlmenit. Kondisi spray drying
ini dinilai baik untuk proses mikroenkapsulasi karena bila emulsi dispray drying
pada suhu di bawah 160
o
C, mikrokapsul tidak kering sempurna. Sebaliknya jika pengeringan dilakukan pada suhu di atas 170
o
C, produk jadi terlalu kering dan suhu outlet bisa diatas 110
o
C sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerusakan pada produk. Laju alir umpan yang lebih tinggi dari 20 mlmenit menyebabkan produk
masih basah dan lengket sedangkan emulsi tidak dapat tersedot pada laju alir umpan di bawah 15 mlmenit. Mikrokapsul yang dihasilkan diukur rendemen, kadar air,
kadar minyak atsiri dan surface oil-nya.
1. Rendemen mikrokapsul
Variasi jenis bahan protein pengkapsul mempengaruhi nilai rendemen mikrokapsul yang beragam seperti yang terlihat pada Gambar 7. Secara
keseluruhan, mikrokapsul dengan bahan protein pengkapsul susu skim memiliki rendemen yang lebih tinggi dari pada mikrokapsul dengan bahan pengkapsul
yang lain. Rendemen mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim berkisar diatas 70. Mikrokapsul dengan bahan protein susu skim 2 memiliki
rendemen tertinggi di antara mikrokapsul yang lain yakni 72,33. Rendemen
yang paling rendah dimiliki oleh mikrokapsul dengan komposisi bahan pengkapsul tepung kacang hijau 3 yakni 55,56.
Gambar 7. Rendemen mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul
Penggunaan susu skim sebanyak 1 – 3 sebagai bahan protein
pengkapsul tidak memberi pengaruh terhadap rendemen. Namun rendemen mikrokapsul dengan bahan pengkapsul tepung kedelai dan tepung kacang hijau
cenderung menurun seiring peningkatan persentase pemakaian bahan proteinnya. Penggunaan tepung kedelai dan tepung kacang hijau dapat
menurunkan rendemen karena pemakaiannya dapat menaikkan viskositas emulsi seiring dengan peningkatan penggunaan bahan protein pengkapsul sehingga
mempersulit kerja spray dryer. Selain itu suspensi bahan pengkapsul dengan menggunakan tepung kedelai dan tepung kacang hijau juga tidak larut sempurna
dan menghasilkan endapan yang dapat menghambat proses mikroenkapsulasi. Menurut Young et al. 1993, bahan-bahan pengkapsul yang digunakan dalam
spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan
membentuk emulsi. Selain itu, bahan pengkapsul juga harus dapat membentuk lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi tinggi dengan
viskositas rendah. Mikrokapsul dengan bahan pengkapsul kombinasi maltodekstrin dan susu skim lebih baik daripada mikrokapsul dengan tepung
kedelai dan tepung kacang hijau dari segi rendemen.
10 20
30 40
50 60
70 80
1 2
3
R e
n d
e m
e n
Persentase Bahan Protein protein
Rendemen Mikrokapsul
Susu Skim Tepung Kedelai
Tepung Kacang Hijau
2. Kadar Air
Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas produk mikrokapsul yang bersifat kering. Kadar air yang rendah dapat mencegah
tumbuhnya mikroba yang dapat merusak produk. Hasil pengukuran kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat
pada Gambar 8.
Gambar 8. Kadar air mikrokapsul oleoresin lada hitam dengan variasi bahan pengkapsul
Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul dengan tepung kacang hijau 2 dan 3 sebagai bahan protein
pengkapsul, yakni 5,40 dan 5,19. Kadar air mikrokapsul dengan susu skim 1, 2, dan 3 tidak terlalu berbeda satu sama lain yakni di bawah 5. Kadar
air mikrokapsul dengan kacang kedelai juga berada di bawah 5 namun memiliki kecenderungan meningkat bila pemakaian tepung kedelai bertambah.
Kadar air yang tinggi pada mikrokapsul dengan tepung kacang hijau berkaitan dengan ukuran partikel bahan pengkapsul dan emulsi saat dikeringkan.
Ukuran partikel bahan pengkapsul dengan kacang hijau diperkirakan masih cukup besar, terlihat dengan banyaknya endapan pada suspensi mikrokapsul.
Ukuran partikel yang besar menyebabkan ukuran droplet mikrokapsul saat memasuki ruang pengering juga besar. Hal ini menyebabkan pengeringan tidak
optimal, partikel hasil pengeringan menjadi berat, dan kontak bahan dengan udara pengering lebih singkat. Pada proses spray drying, diameter droplet
emulsi sebaiknya antara 1 –100 μm. Sebelum proses spray drying, emulsi harus
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0
1 2
3
Ka d
a r
A ir
Persentase Bahan Protein protein
Kadar Air
Susu Skim Tepung Kedelai
Tepung Kacang Hijau
stabil selama beberapa saat Liu et al., 2001. Viskositas yang tinggi berpengaruh pada tahap atomisasi dan mendorong pembentukan droplet yang
besar yang berefek pada laju pengeringan Rosenberg et al., 1990.
3. Kadar Minyak Atsiri
Kadar minyak atsiri adalah banyaknya minyak atsiri yang terdapat pada produk mikrokapsul baik yang terenkapsulasi maupun yang berada di
permukaan mikrokapsul. Pengukuran kadar minyak atsiri pada produk mikrokapsul oleoresin adalah salah satu pendekatan kuantitatif untuk
mengetahui seberapa banyak oleoresin yang terkapsulkan dengan asumsi meningkatnya kadar minyak atsiri berarti meningkat pula kadar oleoresin yang
dikandung mikrokapsul. Mikrokapsul dinilai baik bila kadar minyak atsirinya tinggi. Gambar 9 berikut memperlihatkan kadar minyak atsiri mikrokapsul
dengan variasi bahan pengkapsul.
Gambar 9. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul.
Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan jenis bahan protein dan komposisi yang berbeda terlihat bervariasi yakni mulai 0,61 sampai 0,82.
Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan susu skim meningkat pada pemakaian susu skim 2 dan konstan nilainya pada pemakaian susu skim 3. Kadar
minyak atsiri mikrokapsul dengan tepung kedelai dan tepung kacang hijau meningkat pada pemakain bahan protein 2 kemudian menurun pada
pemakaian bahan protein sebesar 3.
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
0.9
1 2
3
K a
d a
r M
iya k
A ts
iri B
K
Persentase Bahan Protein protein
Kadar Minyak Atsiri
Susu Skim Tepung Kedelai
Tepung Kacang Hijau
Kemampuan bahan dalam mengemulsi minyak yang terkandung dalam oleoresin diperkirakan menyebabkan kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan
bahan pengkapsul susu skim sedikit lebih tinggi daripada mikrokapsul yang lain. Menurut Reineccius 1988, bahan pengkapsul untuk mikroenkaspulasi dengan
spray drying harus memilki sifat emulsifikasi yang baik dan kemampuan
membentuk film film forming. Susu skim mengandung protein whey yang berfungsi sebagai pengemulsi dan agen pembentuk film Sheu
Rosenberg,1998. Selain kemampuan mengemulsi, ukuran partikel bahan juga mempengaruhi kadar minyak atsiri produk. Tepung kedelai dan kacang hijau
secara visual memiliki ukuran partikel yang lebih besar dan kasar dibanding susu skim. Hal ini menyababkan bahan pengkapsul tidak larut sempurna dan
komponen protein yang dikandungnya tidak dapat berfungsi maksimal. Bahan pengkapsul tepung kedelai menghasilkan mikrokapsul yang
berkadar minyak atsiri lebih tinggi daripada tepung kacang hijau. Kandungan lesitin dalam kedelai menyebabkan proses emulsifikasi berlangsung lebih baik.
Madene et al. 2005 melaporkan bahwa lesitin memiliki salah satu karakteristik utama sebagai bahan pengkapsul. Lesitin komersial juga digunakan sebagai
bahan pengkapsul pewarna Rhodamin 6G Baptista et al., 2003.
4. Kadar Surface oil
Kadar surface oil merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya minyak yang tidak dapat terkapsulkan atau yang melekat di permukaan
mikrokapsul. Nilai surface oil sangat penting untuk diketahui karena dapat digunakan untuk melihat seberapa banyak oleoresin dapat terkapsulkan secara
sempurna. Mikroenkapsulasi bertujuan melindungi bahan inti dari kerusakan dan penguapan. Dengan kata lain minyak atau oleoresin yang tak terkapsulkan akan
lebih mudah mengalami kerusakan, penguapan, dan oksidasi sehingga menurunkan mutu mikrokapsul Shahidi Han, 1993. Kadar surface oil
mikrokapsul dengan variasi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 10 dan Lampiran 2.
Gambar 10. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai variasi bahan
pengkapsul Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari mikrokapsul dengan bahan
tepung kedelai 1 yakni 2,74. Nilai ini kemudian menurun pada pemakaian tepung kedelai 2 dan 3 yakni 1,95 dan 1,05. Pada penggunaan tepung
kacang hijau dan susu skim kecenderungannya sama yakni menurun. Tetapi penurunan kadar surface oil mikrokapsul dengan susu skim lebih tajam
dibanding mikrokapsul dengan tepung kacang hijau. Kadar surface oil terendah bahkan diperoleh dari mikrokapsul dengan susu skim 3 yakni 0,58.
Susu skim yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar protein 22,84 sedangkan tepung kedelai dan tepung kacang hijau yang digunakan
mengandung protein sebesar 38,25 dan 22,32. Namun jumlah protein yang terkandung dalam bahan pengkapsul bukanlah penyebab perbedaan kadar
surface oil karena pemakaian bahan protein pengkapsul telah diperhitungkan
berdasarkan kadar proteinnya, sehingga jumlah protein dianggap sama untuk setiap perlakuan.
Perbedaan kadar surface oil ini lebih berkaitan dengan sifat dan jenis protein dalam bahan pengkapsul yang digunakan. Kadar surface oil mikrokapsul
dengan susu skim lebih rendah dari pada yang lain. Hal ini karena protein dalam susu lebih bebas keberadaannya daripada protein dalam bahan lain. Protein
dalam tepung kedelai dan tepung kacang hijau keberadaannya terikat oleh komponen lain terutama karbohidrat pati yang terkandung di dalamnya.
Kandungan protein yang bebas pada susu skim menyebabkan protein mudah
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
3.00
1 2
3
Ka d
a r
S ur
fa ce
Oi l
B K
Persentase Bahan Protein protein
Kadar Surface Oil
Susu Skim Tepung Kedelai
Tepung Kacang Hijau
larut dalam sistem emulsi sehingga lebih mudah pula berinteraksi dengan minyak dari oleoresin.
Susu skim mengandung protein kasein dan whey. Kandungan protein kasein yang tinggi dalam susu skim menurunkan tegangan permukaan antara dua
fase sehingga dapat menstabilkan sistem emulsi. Kasein terdapat pada susu dalam bentuk partikel koloidal yakni misel. Kasein menyusun 76-86 dari total
protein susu skim Thompson, et. al, 1965. Protein whey juga dapat menjadi bahan pengkapsul yang baik bila digunakan dalam bentuk konsentrat dan isolat
Young et al., 1993. Meskipun bukan dalam bentuk konsentrat maupun isolat, kandungan whey dalam susu skim setidaknya cukup banyak yakni sekitar 14-
24 Roginski et al., 2003 sehingga dapat membantu pengkapsulan oleoresin. Bila dicermati lebih jauh, kadar surface oil dapat pula dihubungkan
dengan kadar minyak atsiri pada Lampiran 2. Hampir semua kadar surface oil pada setiap perlakuan lebih tinggi daripada kadar minyak atsirinya. Hanya
mikrokapsul dengan susu skim 3 yang kadar surface oil-nya lebih rendah daripada kadar minyak atsirinya. Bahkan kadar surface oil mikrokapsul dengan
kedelai 1 mencapai 3,5 kali kadar minyak atsirinya. Hal ini menunjukkan bahwa heksana yang digunakan dalam analisis surface oil tidak hanya
mengekstrak minyak atsiri pada produk mikrokapsul tetapi juga turut mengekstrak komponen oleoresin lainnya. Ini menunjukan bahwa pengkapsulan
berjalan kurang sempurna sehingga mikrokapsul yang dihasilkan tidak mampu melindungi oleoresin yang ada.
Secara keseluruhan, tepung kedelai dan tepung kacang hijau dinilai kurang baik sebagai bahan pengkapsul bila dibandingkan dengan susu skim dari segi
rendemen, kadar minyak atsiri, dan kadar surface oilnya. Susu skim dinilai lebih berpotensi sebagai bahan pengkapsul sehingga nantinya akan digunakan sebagai
bahan protein pengkapsul pada penelitian utama.
C. PENENTUAN KOMPOSISI BAHAN PENGKAPSUL