PENDAHULUAN Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma untuk pengembangan klon unggul anggrek Spathoglottis plicata Blume aksesi Bengkulu.

anggrek S. plicata yang belum dilepas sebagai varietas baru dilanjutkan penelitiannya untuk melihat keragaan karakter kualitatifnya. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pemulia di Balithi menunjukkan adanya dominansi warna hasil persilangan dari tetua yang memiliki warna bunga yang berbeda. Urutan dominansi warna bunga Spathoglottis hasil persilangan adalah kuning, ungu tua, ungu muda, merah kecoklatan, pink, dan putih. Persilangan dengan tetua yang telah lanjut akan menghasilkan keturunan yang lebih variatif Kartikaningrum et al. 2007 Persilangan antar hibrida maupun persilangan antar genus masih dapat dilakukan, karena ada beberapa spesies dan genus yang masih dapat dilakukan hibridisasi. Di alam penyerbukan anggrek Spathoglottis biasanya terjadi dengan bantuan serangga penghisap nektar seperti lebah, kupu-kupu dan beberapa spesies burung yang berukuran kecil Bechtel et al. 1981, Cribb dan Tang 1982, Davis dan Stiener 1982 Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik yang luas pada Spathoglottis, seperti karakter panjang daun, lebar daun, diameter tangkai bunga, panjang bibir dan lebar bibir Handoyo dan Prasetya 2006. Karakter pertambahan jumlah anakan, lebar daun, diameter tangkai bunga, panjang daun, lebar bibir, panjang tangkai bunga, ratio panjang-lebar bibir, lebar bunga, panjang bunga, dan panjang bibir mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sedangkan karakter rasio panjang-lebar bunga, rasio panjang-lebar daun, dan jumlah kuntum mempunyai nilai heritabilitas sedang. Hal ini membawa implikasi karakter ukuran daun, ukuran bunga dan bibir, serta pertambahan jumlah anakan memiliki keragaman genetik yang luas dan nilai duga heritabilitas yang tinggi, sehingga seleksi akan efektif bila ditujukan hanya pada karakter tersebut dan karakter tersebut akan diwariskan ke generasi selanjutnya Kartikaningrum et al. 2005; Kheawwongjun dan Thammasiri 2003. Anggrek Spathoglottis dapat berkembang biak dengan cepat melalui pemisahan anakan. Penanaman kormus tidak boleh seluruhnya terbenam di dalam tanah, separuhnya harus berada diatas permukaan tanah Holtum 1972. Perkembang biakan melalui biji juga dapat dilakukan, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama, dan biasanya keberhasilannya akan tinggi bila melalui teknik kultur jaringan, karena biji anggrek tidak memiliki endosperm sehingga di alam hanya dapat bertahan hidup sekitar 1-5 saja, kecuali bila biji jatuh ketempat-tempat yang terdapat mikoriza yang bersimbiosis dengan anggrek Spathoglottis sp. Engle 1993, Hawkes 1970. Kartikaningrum et al. 2004 telah melakukan karakterisasi anggrek Spathoglottis sp. Koleksi Spathoglottis yang ada sekarang baru mengarah pada tetua-tetua yang memiliki keragaman karakter panjang tangkai bunga dan warna bunga. Beberapa nomor aksesi genus Spathoglottis yang sudah dikarakterisasi, terdapat keragaman karakter kualitatif pada bunga terutama bentuk sepal dan petalnya, sedangkan karakter-karakter pada daun tidak terdapat keragaman. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa aksesi Spathoglotis diperoleh tingkat keragaman karakter-karakter morfologi sebesar 26. Nilai keragaman karakter tersebut tergolong kecil. Peningkatan keragaman morfologi perlu dilakukan, misalnya dilakukan persilangan dengan genus-genus lain yang cocok, seperti Calanthe sp., Phaius sp. dan BletilaBletia sp. Warna bunga Spathoglottis dapat dikelompokkan menjadi empat warna dasar yaitu ungu, kuning, pink dan putih. Namun masing-masing warna memiliki gradasi warna dan keragaman yang luas. Perbanyakan Mikro Tanaman Anggrek Metode propagasi cepat sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi permintaan pasar yang semakin meningkat. Metode propagasi berbagai jenis anggrek secara in vitro sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti, diantaranya oleh Martin dan Madassery 2006, Kuo et al. 2005, Nayak et al. 2002 dan Park et al. 2002. Panduan untuk mempercepat pembungaan pada beberapa kultivar anggrek Dendrobium untuk mengatasi masa juvenil yang panjang sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti, diantaranya Sim et al. 2007, Ferreira et al. 2006, Wang et al. 1997. Penggunaan sitokinin sangat penting untuk perbanyakan in vitro berbagai jenis anggrek termasuk anggrek S. plicata. Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat berperan dalam proses proliferasi sel Ramirez-Parra 2005, menginduksi pembelahan sel serta pembentukan dan perkembangan tunas Mok 1994, mengaktifkan pucuk tunas lateral yang dorman Napoli et al. 1999 serta memperlambat senescence Gan dan Amasino 1995. Umumnya anggrek sudah dapat tumbuh baik tanpa penambahan sitokinin pada medium tanamnya, namun dengan penambahan sitokinin dapat memacu multiplikasi plb dan planlet menjadi lebih cepat. Multiplikasi plb dan planlet anggrek Dendrobium cv. Thampomas tercepat dan tertinggi didapat pada Media MS dengan penambahan 3 ppm BAP Romeida dan Susanti 2004, sedangkan untuk anggrek Dendrobium silangan cv. Thampomas x cv. Jaq. Hawaii di dapat pada media MS dan Media Knudson C dengan penambahan 2 arang aktif dan 5 ppm BAP Romeida dan Hidayanti 2005. Jumlah planlet terbanyak anggrek Dendrobium Chao Praya Smile dihasilkan pada medium MS dengan penambahan 4.4 µM BA Hee et al. 2009. Seeni dan Latha 1992, melaporkan bahwa regenerasi eksplan daun anggrek Red Vanda Rhenanthera imschootiana pada medium Mira dengan penambahan 44.4 µM BA, 17.7 µM NAA, 2 g L -1 sukrosa dan 2 g L -1 pepton menghasilkan kalus mulai dari 10 sampai 12 minggu setelah tanam. Perkembangannya membentuk plb baru terjadi pada medium yang diperkaya dengan 10 air kelapa dan 35 g L -1 bubur buah pisang pada umur 12 minggu setelah sub kultur. Plb yang berkembang menjadi tunas juga dihasilkan setelah 12 minggu. Jumlah tunas tertinggi multiplikasi tunas tertinggi dihasilkan pada anggrek Blue Vanda yang mampu mencapai 40 tunas per eksplan juga dihasilkan pada medium yang sama dengan medium untuk Red Vanda hanya konsentrasi air kelapa ditingkatkan menjadi 15 Seeni dan Latha 2000. Pertumbuhan tunas tertinggi anggrek Vanda spathula dihasilkan pada medium Mitra dengan penambahan kombinasi 44.4 – 66.6 μM BA dengan 28.5 - 40 μM IAA menggunakan explan buku tangkai bunga yaitu sebanyak 12.6 tunasbuku Decruse et al. 2003. Penggunaan medium MS dengan modifikasi vitamin medium menggunakan B5 telah pula dilakukan untuk meningkatkan multiplikasi dan meningkatkan ketegaran tanaman sebelum diaklimatisasi. Ahmad et al. 2007 menyatakan bahwa penggunaan 30 g L -1 sorbitol dapat meningkatkan proliferasi tunas, akar, dan mampu meningkatkan berat basah akar pada batang bawah peach G 677. Kenyo 2002, melaporkan bahwa medium ½MS dengan penambahan 60-90 g L -1 sukrosa mampu mempertahankan pertumbuhan optimum Lili kultivar Avignon dan Bergamo, tanpa menyebabkan pertumbuhan abnormal selama percobaan in vitro. Pembentukan rimpang mikro jahe Gajah dapat pula distimulasi dengan pemberian 4.61 ppm BAP dan 30 g L -1 sukrosa Marlin 2005. Pemuliaan Mutasi Secara umum mutasi didefinisikan sebagai perubahan materi genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Van Harten 1998, menyatakan bahwa mutasi adalah perubahan sifat secara tiba-tiba dan perubahannya bersifat baka dan menurun atau perubahan genetik yang bersifat mendadak. Ilmu pemuliaan mutasi adalah ilmu pemuliaan berbasis individu sel yang berperan efektif secara genetik Genetically Effective Cell = GEC. Pada pemuliaan mutasi, pemulia bekerja dengan beberapa GEC. Jadi berbeda dengan pemuliaan silangan cross breeding , pemulia hanya bekerja dengan satu GEC Albert et al. 1994 Akibat mutagen akan terjadi perubahan pada DNA baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom Poespodarsono 1988. Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan ‘sequence’ nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan embrio. Mutasi berperanan penting dalam proses evolusi. Akibat mutasi terjadi keragaman materi genetik sebagai ‘bahan baku’ dalam pekerjaan program pemuliaan tanaman. Tanaman yang mempunyai serbuk sari yang steril atau tanaman apomiktik obligat, mutasi merupakan sumber pencipta keragaman. Brock 1979 menyatakan, untuk meningkatkan frekuensi kejadian mutasi alami, dilakukan mutasi buatan atau mutasi induksi induced mutation dengan menggunakan mutagen. Mutagen adalah wahana yang digunakan untuk menciptakan mutasi buatan. Menurut Simmonds 1979 dan Boerjes 1972, secara umum mutagen bisa dibedakan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen fisik adalah radiasi pengion seperti radiasi sinar alpha, sinar neutron, sinar X dan sinar gamma. Poespodarsono 1988 mengelompokkan mutagen dalam tiga golongan, yaitu 1 mutagen kimia, seperti EMS ethylene methane sulfonate, dES diethyl sulfonate , BU bromo urea, NMU nitrosomethyl urea, NTG nitrosoguanidine, acridines dan hydroxylamine, 2 mutagen fisik iradiasi, seperti sinar X, sinar α, sinar dan sinar , fast neutron, ion beam dan electron beam 3 mutagen fisik non- radiasi, seperti sinar UV. Sinar –X, sinar gamma dan sinar beta tidak menghasilkan materi radioaktif pada materi yang diradiasi Ismachin 2007. Sinar gamma energi tinggi sangat efektif, efisien dan paling banyak digunakan Human 2003. Mutagen fisik non-radiasi berdaya tembus rendah, sehingga umumnya digunakan untuk mutasi mikroorganisme. Mutagen kimia bekerja dengan cara mengubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah urutan genetik pada kromosom, sedangkan mutagen fisik iradiasi menyebabkan mutasi karena sel yang teradiasi dibebani tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia; akibatnya, susunan kromosom pun berubah. Perubahan sujumlah gen atau struktur kromosom akibat iradiasi sinar gamma, umumnya disebabkan oleh karena terjadinya delesi segmen kromosom, duplikasi, inversi parasentrik maupun perisentrik, translokasi dan insersi yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah kromosom seperti aneuploidi, haploidi dan poliploidi van Harten 2002. Beberapa elektron yang dilepas mampu menghasilkan energi yang cukup untuk mengionisasi partikel mereka sendiri. Proses ionisasi menghasilkan radikal ion positif dan elektron bebas. Elektron akan terjebak di dalam lingkungan polar di dalam sistem biologi yang banyak mengandung air, sehingga cukup waktu bagi ion radikal yang labil dan aktif untuk bereaksi dengan molekul lain atau masuk ke dalam susunan jaringan yang lebih dalam. Elektron bebas dapat mempolarisasikan sejumlah molekul air menjadi elektron berair e - aq . Radikal bebas yang terbentuk dalam larutan lambat laun akan menggabung sehingga membentuk produk yang stabil. Adanya molekul oksigen satu biradikal akan bereaksi dengan radikal bebas yang terbentuk karena radiasi, menjadi radikal –peroksida. Ini berarti bahwa adanya oksigen akan mengubah dan memperbanyak produk sistem iradiasi van Harten 2002. Materi biologi selalu mengandung jumlah air yang cukup banyak, oleh karena itu penyerapan sinar pengion, disamping berperan dalam proses fisika maka peran proses kimiapun perlu diperhitungkan sebagai penyebab kerusakan genotipe Van Harten, 1998. Reaksi kimia berantai yang terjadi adalah : H 2 O  H 2 O + + e - H 2 O +  H + + OH o e -  e - eq e - eq  H o + OH - Sedangkan kombinasi radikal bebas akan menghasilkan produk berikut : e - eq + e - eq  H 2 + 2OH - H o + H o  H 2 OH o + OH o  H 2 O 2 peroksida Broertjes dan van Harten 1988 menyatakan bahwa sinar gamma lebih sering digunakan karena mempunyai daya tembus yang lebih tinggi sehingga peluang terjadinya mutasi akan lebih besar. Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah ditemukannya sinar Alpha dan Beta oleh Rutherford dan Soddy van Harten 1998. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar X, yang berarti dapat menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Tingkat iradiasi energi sinar gamma yang dihasilkan dari reaktor nuklir mencapai lebih dari 10 MeV. Daya tembusnya ke dalam jaringan sangat dalam, bisa mencapai beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya Micke et el. 1987; van Harten 1998. Radiasi sinar gamma biasanya diperoleh dari disintegrasi radioisotop- radioisotop 137 Cs atau 60 Co. Menurut van Harten 1998 60 Co memiliki dua puncak spektrum energi radiasi, yaitu pada 1.33 dan 1.17 MeV, dengan waktu paruh 5.27 tahun. Sumber harus diamankan dalam lapisan logam yang tebalnya 2-5 cm, tergantung pada jenis isotop yang digunakan, karena sangat berbahaya bagi kesehatan bila terpapar langsung iradiasi sinar gamma. Radiosensitivitas Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas tanaman terhadap radiasi van Harten 1998. Banyak hal yang dapat mempengaruhi radiosensitivitas. IAEA 1977 menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas yaitu 1 faktor lingkungan, seperti oksigen, kandungan air, penyimpanan pasca iradiasi, dan suhu, serta 2 faktor biologi, yaitu volume inti dan volume kromosom saat interfase, serta faktor genetik Micke dan Donini, 1993. Keragaman yang timbul akibat mutasi fisik iradiasi, sangat tergantung pada tingkat radiosensitivitas. Studi mengenai radiosensitivitas biasanya mengarah pada pemahaman terhadap mekanisme aksi dari ionisasi radiasi. Studi semacam ini sangat bermanfaat untuk menginduksi keragaman genetik, yang menyebabkan terjadinya aberasi kromosom, kerusakan fisik dan sterilitas, dan pada saat yang sama dapat dikontrol untuk memproduksi mutasi yang diinginkan van Harten 1988. Secara visual tingkat sensitivitas materi genetik yang diradiasi dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun lethal dose 50 LD 50 . LD 50 adalah dosis yang menyebabkan kematian 50 dari populasi yang diradiasi. Umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD 50 . Perlakuan iradiasi terhadap kalus umumnya menggunakan dosis sekitar LD 30 , yaitu dosis yang menyebabkan kematian 30 atau menjadi LD 25 pada perlakuan chronic irradiation Human 2003. Dosis optimum untuk menghasilkan mutan yang diinginkan, selain dipengaruhi oleh teknik iradiasi dan jenis tanaman, juga dipengaruhi oleh jenis radioisotop dan bentuk bahan tanaman yang diradiasi. Ada 3 macam teknik iradiasi dalam pemuliaan mutasi Broertjes dan van Harten 1988 yaitu : 1. Radiasi akut adalah teknik iradiasi dengan laju dosis yang tinggi, sehingga waktu iradiasi hanya dalam hitungan detik, menit atau beberapa jam saja. Teknik ini lebih sesuai untuk meradiasi bijibenih, stek, kalus atau individual sel GEC. 2. Radiasi kronik adalah teknik meradiasi dengan laju dosis yang rendah atau sangat rendah, sehingga waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama bahkan dapat dilakukan untuk paling tidak 1 siklus tanaman. Teknik ini dilakukan bila ada gamma room atau gamma gardengamma field. 3. Radiasi berulang adalah pelaksanaan iradiasi dilakukan berulang beberapa kali dengan dosis yang kecil sampai dosis yang diinginkan tercapai. Besarnya laju dosis dose-rate tergantung besarnya aktivitas jenis radioisotop sebagai sumber pengion. Cobalt-60 adalah radioisotop yang memancarkan sinar gamma. Makin tinggi aktivitas jenis Cobalt-60, makin tinggi juga laju dosisnya. Laju dosis adalah jumlah dosis terserap per satuan waktu kraddetik atau Gydetik. Dosis terserap adalah jumlah energi yang diserap per berat massa benda yang diradiasi. Satuan dosis terserap adalah rad atau Gray Gy, 1 krad = 1000 rad = 10 Gy Naumann et al. 1975. Perlakuan iradiasi sinar gamma yang optimum pada kalus jagung berada pada kisaran 20-25 gray Sutjahjo et al. 2007. Sementara hasil penelitian Herison et al. 2008 mendapatkan pola respon awal benih dan radiosensitivitas galur jagung terhadap iradiasi sinar gamma bervariasi antar galur. Nilai LD 50 galur-galur jagung yang diuji berkisar antara 97 Gy hingga 424 Gy. Keragaman karakter jumlah daun, panjang daun dan lebar daun meningkat antara 30-80, sedangkan tinggi tanaman meningkat 250-1 300 akibat iradiasi pada LD 50 . Pemuliaan Mutasi pada Tanaman yang Berbiak secara Vegetatif Keuntungan dari perbanyakan secara vegetatif antara lain adalah secara genetik seragam dan tetap bersifat seperti tanaman aslinya, terutama pada tanaman yang tidak dapat berbuah ataupun tidak dapat menghasilkan biji, baik karena adanya kendala genetik maupun akibat adanya kendala fisik, atau tanaman yang mampu menghasilkan biji dengan cara apomiksis. Selain itu adapula tanaman yang mampu menghasilkan biji tapi bijinya tidak mempunyai endosperma seperti yang terjadi pada anggrek, sehingga di alam, persentase biji yang mampu tumbuh dan berkembang menjadi tanaman sangat rendah, karena adanya kendala-kendala tersebut maka pembiakan dengan cara vegetatif akan sangat membantu dan lebih menguntungkan Chahal dan Gosal 2003.