Simpulan SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

8.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama 79.8 gagal panen selain OPT 15.6 dan banjir 5.6. Kekeringan bisa berlangsung selama 1-8 bulan. Petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan 32. Bulan Juni merupakan bulan dimana petani paling sering mengalami kekeringan 32.2. Puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada musim Gadu yaitu Bulan Juni- Agustus. 2. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus 2005-September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1602,5 Ha, dengan rata-rata 406 Ha, dengan jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian dan rata-rata 4 kejadian kekeringan. 3. Klasifikasi tingkat endemik kekeringan menghasilkan 4 kelompok, yaitu : wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi meliputi Kecamatan : Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan : Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari. 4. Peta endemik kekeringan, karakteristik khusus dan diskripsi wilayah dapat dijadikan dasar dalam memberikan pilihan teknologi pengelolaan risiko iklim untuk meminimalkan risiko kekeringan. 5. Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry FS menghasilkan sebaran yang beragam. 6. Untuk stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar 7.7 dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45. Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata 0.35. Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3, yaitu Bangodua, Gabus Wetan, Jatibarang dan Krangkeng. Untuk stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5. Nilai FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi 53.8, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya, Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan, Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh, Tamiang dan Bantarhuni.Untuk stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara 0.002 hingga 0.41, dengan rata-rata 0.11. Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya. 7. Petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia produktif 15-55 tahun dalam melaksanakan usahataninya 71.3. Pendidikan responden sebagian besar 49 tamatan SD. Lahan yang dimiliki sebagian besar petani 40 adalah seluas 0.5-1 Ha. Pola tanam dominan adalah padi- padi-bera. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 tonha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 tonha. Pada MK di lahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 tonha dan pada tadah hujan 3 tonha. Tipe petani yang paling banyak dijumpai adalah petani yang masih mengeluarkan biaya input rendah dan produksi juga relatif rendah tipe 3. 8. Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 jutaHa MH dan Rp. 8.9 jutaHa MK. Pada lahan tadah hujan sebesar Rp. 8.7 jutaHa MH dan Rp. 7.9 jutaHa MK. Analisis usahatani pada MH menghasilkan RC 0.9 hingga 3.4, dengan rata-rata 2.1. Pada MK 0.6 hingga 3.2 dengan rata-rata 1.8. Nilai BC pada MH berkisar antara -0.07 hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1, dan pada MK diperoleh kisaran nilai BC -0.41 hingga 2.15 dengan rata-rata 0.84. Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya. 9. Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani 82.5 bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Kesanggupan petani membayar premi yang paling dominan adalah 200-300 ribu rupiah per musim per hektar. Faktor utama yang berpengaruh terhadap WTP adalah jumlah anggota keluarga. 10. Sekitar 68 responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjanjikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank 52. Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi 32. 11. Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. 12. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34 fase 1, 0.43 fase 2 dan 0.23 fase 3. Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. 13. Pada nilai RC=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kgha. Peluang terjadinya threshold2711 kgha selama periode 1981-2009 adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun. 14. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm fase 1, 136 mm fase 2, 119 mm fase 3 dan 439 mm untuk seluruh fase pada MK.

8.2. Saran