Development of climate index insurance model for improving rice farmers resilience to cope with climate change

(1)

PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS

IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN

PETANI PADI DALAM MENGHADAPI

PERUBAHAN IKLIM

WORO ESTININGTYAS

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada penguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2012

Woro Estiningtyas G261080011


(3)

ABSTRACT

WORO ESTININGTYAS. Development of Climate Index Insurance Model for Improving Rice Farmers Resilience to Cope with Climate Change. Under direction of RIZALDI BOER, IRSAL LAS and AGUS BUONO.

Agriculture, particularly the rice farming system (SUT) is very vulnerable to weather and climate related shocks. Crop failure due to these events will be amplified by climate change. As rice is main staple food in Indonesia, these shocks often lead to food insecurity, debt and the destructive of productive assets which can push farmers into persistent poverty. Therefore, it is to develop protection system for farmers from the impact of climate shocks. One of the potential protection system for farmer is Climate Index Insurance. Climate Index Insurance is a promising tool for facilitating adaptation to climate risk. It can help enhance productivity for farmers in normal years by protecting them from the risks of the worst years. This index is very different from conventional crop insurance. The Climate Index Insurance provides payments to the policy holders when the unexpected climate shocks occurred which is called as Climate Index. Thus when the index is met, the policy holders will get insurance claim without any evidence of crop failure. This study aimed to design climate index insurance model for rice farming system at Cikedung of Indramayu district, a district which is prone to drought risk. The study suggests that the seasonal rainfall can be used as climate index for the rice farming. Rainfall index obtained for rice planted in dry season is 183 mm for phase 1 (0-45 days after planting), 136 mm for phase 2 (46-80 days after planting), 119 mm for phase 3 (81-110 days after planting) or 439 mm for the entire phases. Based on interview with farmers, majority of farmers (82%) are in preference to the climate index insurance. However, they willingness to pay the premium varied. Most farmers are willing to pay premium of not more than 200-300 thousand rupiah per season per hectare. This study suggests that the implementation of climate index insurance policy is very potential for protecting and assisting farmers in managing climate risk.

Key Words : Climate change, rice farming system, drought, climate index insurance


(4)

RINGKASAN

WORO ESTININGTYAS. Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, IRSAL LAS, dan AGUS BUONO.

Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim yang pada umumnya membawa dampak berupa banjir dan kekeringan. Kekeringan merupakan dampak kejadian iklim ekstrim yang paling banyak terjadi dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Sifat kejadian kekeringan yang perlahan dan dalam jangka waktu lama seringkali tidak disadari sehingga ketika kekeringan itu terjadi dampaknya sudah cukup parah.

Sektor pertanian, khususnya usahatani padi merupakan sektor yang paling rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Produktivitas pertanian dapat terhambat oleh risiko akibat bencana terkait iklim. Bencana iklim seperti kekeringan sering menyebabkan kerawanan pangan, kemiskinan dan rusaknya aset yang produktif seperti hewan ternak dan sebagainya.

Petani sebagai ujung tombak pelaku pertanian menerima dampak yang cukup besar akibat kejadian iklim ini. Meskipun petani telah melakukan berbagai upaya untuk menekan risiko iklim, tetapi usaha tersebut belum cukup. Oleh karena itu perlu adanya proteksi formal bagi petani untuk membantu mengurangi dampak cuaca dan iklim ekstrim yang dapat berpengaruh pada kehidupan dan mata pencaharian.

Proteksi formal yang ditawarkan dari penelitian ini adalah melalui Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) untuk kekeringan. Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian karena sebagai salah satu sentra produksi padi yang cukup dominan di Propinsi Jawa Barat tetapi sangat rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu gangguan terhadap produksi padi akibat perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi petani. Asuransi indeks iklim adalah sistim asuransi yang memberikan pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (yang dinyatakan dengan indeks iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang diasuransikan ialah indeks cuaca/iklimnya dan bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan berdasarkan indeks seperti curah hujan yang dapat diukur pada stasiun cuaca lokal yang ditetapkan pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan.

Model asuransi indeks iklim dikembangkan berdasarkan hubungan antara curah hujan dan produksi tanaman. Curah hujan yang tidak menentu merupakan masalah bagi petani. Jika lahan tidak mendapat hujan yang cukup pada saat yang tepat, maka tanaman akan layu dan mati. Asuransi indeks iklim untuk kekeringan adalah salah satu cara untuk melindungi petani terhadap kemungkinan kerugian yang terkait dengan curah hujan di bawah rata-rata.

Untuk menyusun model asuransi indeks iklim, dilakukan survey lapang dan wawancara petani guna mengetahui usahatani padi khususnya pada lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Survey tentang kesediaan membayar (Wilingness to Pay) juga dilakukan untuk mengetahui kesediaan petani dalam membayar premi asuransi. Kelayakan usahatani padi dinyatakan melalui nilai Revenue Cost Ratio


(5)

v

threshold produksi padi, yaitu pada saat R/C=1. Nilai threshold produksi selanjutnya digunakan untuk menentukan trigger curah hujan dan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar klaim asuransi. Skenario klaim dan premi asuransi disusun berdasarkan studi kasus di Kecamatan Cikedung. Berdasarkan peta endemik kekeringan Kabupaten Indramayu, Kecamatan Cikedung tergolong sebagai salah satu kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi. Untuk mengetahui wilayah cakupan indeks, maka dilakukan analisis Fuzzy Similarity terhadap seluruh stasiun hujan di kabupaten Indramayu dengan mengambil 4 stasiun referensi yaitu Cikedung, Kandanghaur, Lelea dan Terisi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%) gagal panen selain OPT (15.6%) dan banjir (5.6%). Kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Kekeringan yang paling sering terjadi adalah selama 6 bulan (32%). Bulan Juni merupakan bulan dimana petani paling sering mengalami kekeringan (32,2%). Puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada Bulan Juni-Agustus. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus 2005-September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1603 Ha, dengan rata-rata 406 Ha, dengan jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian dan rata-rata 4 kejadian kekeringan.

Klasifikasi tingkat endemik kekeringan menghasilkan 4 kelompok, yaitu : wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi meliputi Kecamatan : Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan : Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari. Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim, peta endemik kekeringan dapat dijadikan dasar dalam penentuan wilayah prioritas penanganan kekeringan melalui program asuransi indeks iklim. Pilihan teknologi pengelolaan risiko iklim untuk meminimalkan risiko iklim disesuaikan berdasarkan tingkat endemik kekeringan,. karakteristik khusus dan diskripsi wilayah.

Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry

(FS) menghasilkan sebaran yang beragam. Stasiun referensi dipilih berdasarkan staiun hujan yang berada di lokasi survey yaitu di Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Untuk stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar 7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45.

Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata 0.35. Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan, Jatibarang dan Krangkeng. Untuk stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar


(6)

vi lebih dari 0.5. Nilai FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya, Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan, Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh, Tamiang dan Bantarhuni. Untuk stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara 0.002 hingga 0.41, dengan rata-rata 0.11. Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya.

Hasil survey dan wawancara menunjukkan petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia 41-50 tahun (33.8%). Pendidikan responden sebagian besar tamatan SD (49%). Lahan yang dimiliki sebagian besar petani seluas 0.5-1 Ha (40%). Pola tanam dominan adalah padi-padi-bera (83.4%). Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Produksi padi pada MK di lahan irigasi ujung sekitar 4 ton/ha dan tadah hujan 3 ton/ha.

Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta/Ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/Ha (MK). Pada lahan tadah hujan sebesar Rp. 8.7 juta/Ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/Ha (MK). Analisis R/C menghasilkan nilai 1.94 (MH) dan 1.70 (MK), dengan asumsi harga padi Rp. 3000/kg (MH) dan Rp. 3400/kg (MK). Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya.

Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Kesanggupan petani membayar premi yang paling dominan adalah 200-300 ribu rupiah per musim per hektar. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%).

Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode 1981-2009 adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun sekali. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk seluruh fase pada MK. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten Indramayu berpotensi dan layak untuk dijadikan lokasi pengembangan model asuransi indeks iklim.


(7)

vii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

viii

PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS

IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN

PETANI PADI DALAM MENGHADAPI

PERUBAHAN IKLIM

WORO ESTININGTYAS

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

ix Judul Disertasi : Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim.

Nama : Woro Estiningtyas

NIM : G261080011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Irsal Las. MS Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Klimatologi Terapan

Dr. Ir. Tania June, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

x Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

(Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB)

2. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, MEng

(Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

(Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB)

2. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, MEng

(Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian)


(11)

xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang penuh kasih atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, atas perkenannya kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar.

2. Dr. Muhrizal Sarwani, Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) atas perkenan dan ijinnya kepada penulis untuk melanjutkan studi S3.

3. Dr. Haris Syahbuddin, DEA, Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT) atas ijin dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S3.

4. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, atas kesediaannya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, saran dan masukannya juga pembelajaran yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Selain itu penulis juga menghaturkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis bisa ikut serta dalam kegiatan IM-HERE IPB serta kegiatan penelitian lainnya di CCROM-SEAP yang menambah wawasan dan pengetahuan penulis terkait dengan topik penelitian.

5. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS. Penulis haturkan terima kasih atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Saran, masukan serta dorongan semangat yang Bapak berikan memotivasi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.


(12)

xii 6. Dr. Ir. Agus Buono, MS, M.kom, atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Penulis menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, saran dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini.

7. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS, selaku Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi. Penulis haturkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji di luar komisi serta dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian sehingga penulisan dapat menyelesaikan disertasi ini.

8. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, M.Eng. Penulis sampaikan terima kasih atas perkenannya menjadi penguji luar komisi serta segala saran, masukan dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

9. Daniel Osgood (Lead Scientist, Financial Instrument Sector Tim, IRI, Columbia University) atas perhatian dan bantuan yang diberikan sehingga penulis mendapatkan bahan serta wawasan tentang asuransi index iklim. 10. Andrea Diane Basche, Dan Hubber, Jessica Miriam Rosen, Geoff dan Jessica

(IRI, Columbia University) yang telah bekerjasama di lapang serta

memberikan bahan-bahan dan training terkait dengan asuransi indeks iklim. 11. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T)

DIPA TA 2010-2011, atas dukungan dana selama penelitian berlangsung. 12. Dr. Ir. Impron M.Sc (Departemen Geofisika dan Meteorologi) dan

Mushthofa, S.Kom, M.Sc (Departemen Ilkom, IPB) atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini.

13. Bapak/Ibu peneliti, teknisi dan staf di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, secara khusus Prof. Istiqlal Amien, Dr. Eleonora Runtunuwu, MS, Drs. Ganjar Djayanto, Dr. Aris Pramudia, MS, Dr. Nani Heryani, MS, Ir. Erni Susanti, M.Sc, Ir. Elza Surmaini, MSi, Pak Slamet Effendy, M. Wahyu Trinugroho S.T dan Aris Dwi, SE. Penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan, bantuan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.


(13)

xiii 14. Rekan-rekan peneliti, teknisi dan staf di Center for Climate Risk and

Oportunity Management in Southeast Asia and Pasific (CCROM-SEAP),

secara khusus Adi Rakhman, Gito, Bu Pipit, Ani, Sisi, Diva, Ria, Prima, Ikhsan, Andria, Wari dan mas Nandang atas kerjasama dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.

15. Bapak Kusnomo Tamkani atas segala saran dan masukannya selama penulis melakukan penelitian di Kabupaten Indramayu hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.

16. Pak Mio, Pak Taukid di Indramayu dan adik-adik Iwan, Nanang, Ike, Rudin, Daniel, Tamara dan Fitriya, terima kasih atas segala bantuannya selama pengumpulan dan entri data lapang sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini.

17. Rekan-rekan bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, Dr. Indah Prasasti dan Dr. Suciantini, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan disertasi.

18. Pak Jun, Bu Inda, Mbak Wanti, Pak Pono, Mas Aziz, Mas Nandang dan Pak Udin di Departemen Geomet atas bantuannya dalam berbagai aktifitas akademik.

19. Ayahanda Setyomihardjo dan Ibu Sri Sulasih (alm), mbak Yayuk, mbak Yanik, Mas Koko dan mbak Sestu, terima kasih atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 20. Bapak dan Ibu mertua, Ir. Iman Satoto Dermoredjo dan Sumarah Iman

Satoto, serta kakak-kakak semua, mas Yanu, Mbak Ira, mas Wawid dan mas Totok, terima kasih atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

21. Suamiku dan anak-anakku tercinta, Ir. Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, MS, Dani Lukmito Utomo dan Karin Manuela Adiningtyas, terima kasih atas doa, dukungan, kesabaran, pengertian dan kasih sayangnya selama penulis melaksanakan penelitian hingga disertasi ini dapat diselesaikan.


(14)

xiv 22. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah membantu dan berpartisipasi mendukung penulis selama penelitian hingga selesainya disertasi ini.

Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, November 2012


(15)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1967 sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari ayah Setyomihardjo dan ibu Sri Sulasih (alm). Pendidikan dasar dan menengah penulis tempuh di SD Negeri Kauman Utara Nganjuk lulus tahun 1980, SMP Negeri I Nganjuk lulus tahun 1983 dan SMA Negeri 2 Nganjuk lulus tahun 1986. Pada tahun yang sama, penulis diterima melalui program PMDK di IKIP Negeri Surabaya jurusan matematika. Tahun 1987, penulis mengikuti ujian tulis dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2002, penulis diterima pada Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menyelesaikannya pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh pada tahun 2008 pada Program Studi Klimatologi Terapan melalui beasiswa dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Penulis menikah dengan Ir. Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, M.Si dan dikaruniai dua orang anak, yaitu : Dani Lukmito Utomo dan Karin Manuela Adiningtyas.

Sejak tahun 1992, penulis bekerja sebagai Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang Agroklimat. Terkait dengan bidang profesi, penulis juga ikut serta dalam kepengurusan pusat pada Himpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).

Hasil penelitian dalam disertasi ini, beberapa bagian telah diterbitkan dan diterima dalam jurnal. Penelitian yang berjudul “Delineasi Risiko Iklim dan Evaluasi Model Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi dalam Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) pada Sistim

Usahatani Berbasis Padi” telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) Volume 16 No. 3 Desember 2011, ISSN : 0853-4217. Penelitian


(16)

xvi

Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu” telah diterima di Jurnal Meteorologi dan

Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan direncanakan terbit pada Bulan November 2012. Selain itu, penelitian yang

berjudul “Analisis Usahatani Padi untuk Mendukung Pengembangan Asuransi

Indeks Iklim (Climate Index Insurance) : Studi Kasus di Kabupaten Indramayu”

telah diterima di Jurnal Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BBP2TP), Badan Litbang Pertanian.


(17)

xvii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... xvii

DAFTAR TABEL... xx

DAFTAR GAMBAR... xxi

DAFTAR LAMPIRAN………... xxv

DAFTAR SINGKATAN………. xxvi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Kerangka Pemikiran... 6

1.4. Tujuan Penelitian... 8

1.5. Manfaat Penelitian... 8

1.6. Kebaruan (Novelty)... 9

1.7. Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja Penelitian... 9

1.8. Sistimatika Penulisan... 12

II.TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian……... 14

2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi ... 19

2.3. Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Indramayu……... 26

2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim... 32

2.5. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi... 37

2.6. Model Simulasi Tanaman DSSAT... 39

2.7. Asuransi Pertanian di Indonesia………... 42

2.8. Asuransi Indeks Iklim (Climater Index Insurance)... 46

2.9. Keunggulan dan Kelemahan Model Asuransi Tradisional dan Asuransi Indeks Iklim... 55 2.10.Regulasi Asuransi Indonesia... 57

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM. ... 61

3.1. Pendahuluan………... 61

3.2. Metodologi……….. 3.2.1. Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan... 3.2.2. Survey dan Wawancara Tentang Kekeringan ... 62 62 64 3.3. Hasil dan Pembahasan………... 3.3.1. Kekeringan di Kabupaten Indramayu…... 3.3.2. Penyebaran Tingkat Endemik Kekeringan di Kabupaten Indramayu…... 3.3.3. Implikasi Terhadap Pengelolaan Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu... 65 65 69 74 3.4. Simpulan ………... 78


(18)

xviii IV. PENETAPAN CAKUPAN WILAYAH INDEKS HUJAN UNTUK

PENERAPAN ASURANSI IKLIM………... 4.1. Pendahuluan………... 4.2. Metodologi………... 4.2.1. Analisis Kemiripan Data dengan Fuzzy Similarity... 4.2.2. Penyusunan Peta Cakupan Wilayah Indeks Iklimi...

80 80 82 82 86 4.3. Hasil dan Pembahasan ... 86 4.4. Simpulan ... 97 V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG

PENYUSUNAN INDEKS IKLIM... 5.1. Pendahuluan……... 5.2. Metodologi………... 5.2.1. Survey Lapang dan Wawancara ... 5.2.2. Analisis Usahatani Padi ... 5.3. Hasil dan Pembahasan………... 5.3.1. Karakteristik Petani dan Usahatani Padi ... 5.3.2. Kelayakan Usahatani Padi ... 5.3.3.Kesediaan Membayar (Willingness to Pay, WTP)………...….

5.4. Simpulan ………...

98 98 100 100 102 103 103 110 121 124 VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI

SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM... 6.1. Pendahuluan………... 6.2. Metodologi………... 6.2.1. Data ... 6.2.2. Pembangkitan Data Iklim ... 6.2.3. Simulasi Tanaman dengan Model DSSAT ... 6.2.4. Penentuan Indeks Iklim ... 6.3. Hasil dan Pembahasan………...

6.3.1. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan 6.3.2. Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi………….. 6.3.3. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi

6.3.4. Threshold Produksi Padi... 6.3.5. Penentuan Indeks Iklim ... 6.3.6. Desain Premi dan Klaim Asuransi... 6.3.7. Model Asuransi Indeks Iklim... 6.4. Simpulan ………...

126 126 127 127 128 129 131 131 131 135 136 138 139 141 143 146 VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS

IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan... 7.1. Pendahuluan………... 7.2. Metodologi………... 7.3. Model Asuransi Indeks Iklim di Kabupaten Indramayu………….. 7.4. Potensi………... 7.5. Tantangan………...

149 149 150 150 154 155


(19)

xix VIII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI………... 8.1. Simpulan………...

8.2. Saran………... 8.3. Rekomendasi Pengembangan Asuransi Indeks Iklim Pada

Usahatani Berbasis Padi...

159 160 161 162

DAFTAR PUSTAKA... 166 LAMPIRAN………... 177


(20)

xx DAFTAR TABEL

1 Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis (%) dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008) ……….

17

2 Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (Ha).... 23 3 Keunggulan dan Tantangan Asuransi Tradisional………... 56 4 Keunggulan dan Tantangan Asuransi Indeks Iklim………. 57 5 Beberapa opsi pengelolaan risiko iklim berdasarkan

tingkat endemik kekeringan... 76 6 Hasil analisis FS untuk seluruh stasiun di Kabupaten

Indramayu………. 95 7 Daftar lokasi wawancara petani pada survey

pertama... 100 8 Daftar lokasi wawancara petani pada survey

kedua... 101 9 Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan

musim (Ton/Ha)... 108 10 Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan

produksi... 113 11 Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian... 118 12 Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH (Kg/Ha).. 119 13 Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung... 140 14 Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di


(21)

xxi DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir tahapan penelitian... 11 2 Diagram alir keterkaitan antara bab... 13 3 Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan

menurut tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data

OFDA/CRED International Disaster Database (Boer dan

Perdinan 2007)... 15 4 Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah

tropis akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim

(Sumber : Tschirley 2007)... 17 5 Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten

(Sumber: Boer 2010)... 22 6 Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak

kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten

(1989-2006) (Sumber : Road Map BBSDLP 2009)……… 23 7 Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di

Indonesia dalam periode 1989-2010 (Sumber : Boer 2008b).... 24 8 Sistim penggolongan air dan pola tanam di Indramayu

(Sumber : Boer 2002)... 27 9 Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah

hujan (modifikasi dari Piggin et al. 1998 diacu dalam Pane et

al. 2008)... 28 10 Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan

palawija pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah

hujan di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011)... 29 11 Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada

musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan tahun 1997

dan 2003 di Indramayu (Boer et al. 2008)... 31 12 Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan (Sumber

: Boer 2010)... 32 13 Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh tanaman

(Sumber : Vergara 1976)... 38 14 Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan awal

MH (Sumber : Naylor et al. 2007)... 39 15 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak

pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi

dalam DSSAT V3.5 (Sumber : Jones et al. 2003)………. 41 16 Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI 2009)... 50 17 Konsep pembayaran asuransi indeks iklim ... 52 18 Tahapan dalam aplikasi asuransi indeks iklim (Sumber :

Martirez 2009)... 55 19 Pembagian kuadran untuk klasifikasi endemik kekeringan... 63 20 Persentase responden untuk jenis pekerjaan utama (a) dan


(22)

xxii 21 Persentase penyebab gagal panen (a), lamanya kekeringan (b),

bulan kejadian kekeringan (c) dan kejadian kekeringan 2005-2011 (d)...

67

22 Luas kekeringan dan jumlah kejadian kekeringan rata-rata per kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Agustus 2005–

September 2011... 68 23 Kejadian kekeringan, luas tanam dan curah hujan rata-rata

kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Oktober 2006 –

September 2008... 69 24 Pembagian tingkat endemik kekeringan berdasarkan kuadran.. 69 25 Peta tingkat endemik kekeringan di Kabupaten Indramayu…. 70 26 Karakteristik luas kekeringan dan anomalinya (a) dan

frekuensi kejadian kekeringan dan anomalinya (b) di

Kabupaten Indramayu... 71 27 Peta Irigasi Kabupaten Indramayu (Sumber : Dinas

Sumberdaya Air dan Pertambangan dan Energi Kabupaten

Indramayu 2009)... 72 28 Peta endemik kekeringan dan jaringan irigasi di Kabupaten

Indramayu……….. 72

29 Diagram alir analisis Fuzzy Similarity untuk wilayah cakupan indeks iklim……… 30 Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Cikedung... 87 31 Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Cikedung

dengan stasiun Losarang... 87 32 Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Cikedung... 88 33 Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Lelea... 89 34 Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Lelea dengan

stasiun Bangodua... 89 35 Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Lelea... 90 36 Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Terisi... 91 37 Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Terisi dengan

stasiun Patrol... 91 38 Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Terisi... 92 39 Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Kandanghaur... 93 40 Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Kandanghaur

dengan stasiun Kertasemaya... 93 41 Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan

referensi stasiun Terisi... 94 42 Perbandingan pola curah hujan antara stasiun referensi dengan


(23)

xxiii 43 Lokasi penelitian di kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan

Kandanghaur (Sumber peta : Dinas PU Pengairan Kabupaten

Indramayu 2009)... 102 44 Persentase usia (a), pendidikan (b) dan pekerjaan utama (c)

responden... 104 45 Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan

petani... 105 46 Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani... 105 47 Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan

MK... 106 48 Persentase kepemilikan lahan... 106 49 Produksi padi pada setiap tipe lahan... ... 107 50 Persentase penyebab gagal panen (a) dan lama kekeringan (b). 109 51 Persentase akses terhadap kredit (a) dan sumber kredit (b)…... 109 52 Persentase usia (a) dan pendidikan (b) responden………. 111 53 Persentase luas kepemilikan lahan (a) dan luas tiap jenis lahan

(b) ……….. 111

54 Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK… 113 55 Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi

dan anomalinya (b) pada MH ... 113 56 Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi

dan anomalinya (b) pada MK ... 114 57 Hubungan produksi padi dan R/C pada MH dan MK... 119 58 Hubungan produksi padi dan B/C pada MH dan MK... 120 59 Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam

usahataninya... 121 60 Persentase akses kredit petani (a) dan sumber kredit (b) dalam

usahatani padi... 122 61 Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani... 123 62 Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten

Indramayu... 124 63 Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT…....

130 64 Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan

observasi di lahan tadah hujan... 132 65 Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan

observasi………. 133

66 Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah

hujan………... 134

67 Produksi padi dan kejadian El-Nino... 134 68 Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan

observasi di lahan irigasi... 135 69 Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum

(b) di Stasiun Cikedung... 137 70 Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung... 137 71 Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711

kg/ha di Kecamatan Cikedung... 139 72 Penentuan trigger hujan di Cikedung... 140


(24)

xxiv 73 Periode ulang produksi < threshold2711 kg/ha……… 143 74 Diagram alir model asuransi indeks iklim... 145 75 Contoh konsep pembayaran premi dengan bantuan


(25)

xxv DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripisi varietas Padi Ciherang ………... 178

2 Deskripisi varietas Padi IR 64 ………... 179

3 Peta Administrasi dan Plot Stasiun Hujan Kabupaten

Indramayu ... 180 4 Hasil Regresi Terboboti ………. 181 5 Lembar Kuesioner ... 182


(26)

xxvi DAFTAR SINGKATAN

AP3I Asosiasi Petani Padi dan Palawija Indonesia AWS Automatic Weather Station

B/C Benefit Cost Ratio

BAPEPAM-LK Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan BPS Badan Pusat Statistik

BRI Bank Rakyat Indonesia CLIMGEN Climate Data Generator ENSO El Nino Southern Oscillation FS Fuzzy Similarity

GDP Gross Domestic Product

GP3K Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi HBA Historical Burn Analysis

HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

IBSNAT International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer IDR Indonesian Rupiah

IFC International Finance Corporation IPCC International Panel on Climate Change

IRI International Research Institute for Climate and Society KUR Kredit Usaha Rakyat

MH Musim Hujan

MIS Managemen Information System MK Musim Kemarau

MPCI Multi-Peril Crop Insurance

MUSRENBANG Musyawarah Rencana Pembangunan OPT Organisme Pengganggu Tanaman P3A Perhimpunan Petani Pengguna Air

P4S Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya PDB Produk Domestik Bruto

PEDUM Pedoman Umum

PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat POKJA Kelompok Kerja

PPOPT Petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman R/C Revenue Cost Ratio

SLI Sekolah Lapang Iklim SOP Standar Operasional WII Weather Index Insurance

WIIET Weather Index Insurance Education Tool WMO World Meteorological Organization WRSI Water Requirement Satisfaction Index WSI Water Satisfaction Index


(27)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti pada sektor pertanian maupun tidak langsung. Dampak negatif perubahan iklim yang dialami negara berkembang diperkirakan lebih besar dibandingkan negara maju (IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap dampak negatif dari perubahan perilaku iklim (Yohe and Tol 2002, Stern

et al. 2006).

Di Indonesia, salah satu sektor yang cukup rentan terhadap perubahan iklim adalah sektor pertanian. Usaha pertanian memiliki karakteristik usaha berisiko tinggi terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia yang memiliki peran penting dan startegis. Menurut Sanim (2009) sektor pertanian menyumbang 14.02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II 2009) dan merupakan sumber PDB terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu berdasarkan data BPS 2006-2007 tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi 40% terhadap total tenaga kerja.

Risiko iklim yang cukup dominan terkait dengan sistim usaha tani berbasis padi adalah akibat kekeringan. Sistim usahatani padi yang sangat mengandalkan air akan terkena dampaknya ketika pasokan air baik melalui hujan maupun irigasi mengalami defisit dari kebutuhan yang seharusnya. Selain itu usahatani padi ini masih dominan dalam memasok kebutuhan pangan di Indonesia, sehingga goncangan terhadap usahatani akibat kejadian iklim ekstrim yang pada umumnya berupa banjir dan kekeringan tentu berdampak besar terhadap ketahanan pangan.

Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara normal (Hadi 2000). Pasaribu (2010) juga menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi banjir dan kekeringan karena kerusakan alam dan perubahan iklim di


(28)

2

berbagai sentra produksi padi hendaknya merupakan peringatan bagi para pengambil keputusan untuk melindungi kepentingan petani.

Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100 tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Nino

dapat mencapai 80 mm per bulan, sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El-Nino lebih serius dibanding La-Nina (Boer 2002). Artinya kekeringan yang seringkali merupakan akibat dari kejadian El- Nino membawa dampak yang relatif lebih besar dibandingkan dengan banjir sebagai salah satu wujud fenomena La-Nina. Fakta lain juga dikemukakan oleh Ditlin (2009) yang menyatakan bahwa kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama, sementara banjir mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek. Kekeringan merupakan proses yang berlangsung secara perlahan sehingga seringkali tidak disadari kejadiannya, dan begitu diketahui atau dirasakan maka kejadiannya sudah cukup parah sehingga sulit ditangani. Oleh karena itu, kekeringan perlu mendapat porsi perhatian yang lebih untuk dikaji dan diteliti, tanpa mengabaikan kejadian banjir maupun bencana lainnya.

Menurut Irianto (2005) kekeringan merupakan salah satu dampak negatif langsung dari model pendayagunaan sumberdaya iklim dan air yang tidak berkelanjutan, serta merupakan masalah sistemik, menahun dan selalu berulang. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan secara langsung menyebabkan kerusakan tanaman, penciutan luas area tanam/panen yang pada akhirnya akan menurunkan produksi. Secara tidak langsung, kondisi ini menyebabkan kurang optimalnya atau rusaknya jaringan irigasi, jalan, dan prasarana pertanian lainnya. Jadi secara langsung maupun tidak langsung, hal ini telah menyebabkan areal yang terancam puso meningkat. Dampaknya adalah terancamnya masa depan ketahanan pangan serta kesejahteraan petani. Semakin besar bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim berupa meningkatnya kejadian iklim ekstrim, maka risiko dan ketidakpastian yang harus dihadapi dalam usahatani juga semakin besar. Dalam hal ini risiko yang terkait dengan kejadian


(29)

3

iklim ekstrim adalah risiko yang bersifat katastropik atau bencana yang menyebabkan kerusakan hebat sehingga terjadi kegagalan panen seperti kekeringan.

Petani sebagai pelaku budidaya pertanian menerima dampak yang paling besar akibat perubahan iklim. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar petani di Indonesia kepemilikan lahannya kurang dari 0.5 Ha (Ilham et al. 2007). Beberapa strategi yang diterapkan petani dalam mengatasi risiko iklim dirasakan belum cukup. Meskipun keragaman iklim saat ini bisa diperkirakan atau diprediksi namun pengelolaan tanaman masih belum memanfaatkan informasi iklim ini (Hidayati et al. 2011). Terkait dengan masalah tersebut, maka diperlukan upaya untuk membantu petani mengatasi kesulitan karena risiko yang harus ditanggung akibat kekeringan. Salah satu bentuk adaptasi yang bisa dilakukan petani adalah melalui asuransi indeks iklim.

Asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru. Asuransi indeks iklim adalah asuransi yang dihubungkan dengan indeks ilmiah (scientific index) seperti curah hujan, suhu, kelembaban atau hasil panen, bukan kerugian aktual. Indeks iklim sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara kejadian iklim dengan kehilangan hasil tanaman. Korelasi yang tinggi dapat diketahui dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap beberapa model yang menghubungkan kejadian iklim yang direpresentasikan melalui curah hujan dengan hasil tanaman. Indeks iklim yang dihasilkan merupakan masukan penting dalam pengembangan model asuransi indeks iklim. Dipilihnya padi karena sistim agribisnis padi masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional (Simatupang dan Rusastra 2004).

Terkait dengan asuransi pertanian, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian) telah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen dengan SK Menteri Pertanian tahun 1982, 1984 dan 1985. Kemudian pada tahun 1999 dibentuk Tim Pengembangan Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Pertanian nomor KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999, namun belum berjalan efektif (Hadi 2000). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian


(30)

4

telah membentuk Pokja Asuransi Komoditas Pertanian melalui surat keputusan nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012. Pokja ini mempunyai tugas melakukan: 1) identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi komoditas pertanian, 2) perumusan model asuransi komoditas pertanian, serta 3) pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas pertanian. Pokja yang sudah terbentuk ini perlu diperkuat dengan hasil-hasil penelitian terkait seperti asuransi indeks iklim ini.

Penelitian ini dirancang dengan beberapa tujuan yang dicapai secara bertahap. Penelitian di lakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan salah satu sentra padi di Propinsi Jawa Barat dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kabupaten Indramayu juga termasuk kriteria salah satu kabupaten yang sangat rawan terhadap kekeringan (Diperta Jawa Barat 2006). Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model asuransi indeks iklim pada sisitim usahatani berbasis padi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dan diaplikasikan di lapang dalam rangka meningkatkan ketahanan petani padi terhadap perubahan iklim.

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu bukti adanya perubahan iklim ditunjukkan oleh meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Kejadian iklim ekstrim terutama kekeringan merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan semakin meningkat. Selain itu wilayah yang terkena bencana iklim juga semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa bencana kekeringan ini akan terus berulang terjadi dan tentu akan membawa dampak yang merugikan pada usahatani padi.

Dampak kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan sangat dirasakan oleh sektor pertanian tanaman pangan khususnya padi. Kekeringan seringkali menjadi penyebab utama turunnya produksi pangan di Indonesia. Pada musim kemarau 1994, luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290,457 ha dan propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kahar 1995). Hal ini diduga karena


(31)

5

tingkat kewaspadaan petani terhadap bahaya kekeringan terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu masih kurang, terutama pada sawah yang sebagian besar diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan perilaku curah hujan serta informasi iklim lainnya.

Petani sebagai pelaku budidaya tanam di lapangan merasakan dampak yang paling besar akibat kekeringan. Hal ini sangat terkait dengan ketidakpastian hasil yang diperoleh akibat kejadian kekeringan baik dari aspek luas lahan yang terkena kekeringan maupun intensitas kejadian. Untuk mengatasi masalah ini petani telah menerapkan berbagai cara atau strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse behavior). Namun cara yang diterapkan petani untuk menghindari risiko belum cukup dan perlu sistem proteksi formal dan sistimatis dalam bentuk asuransi.

Di Indonesia, asuransi pertanian untuk usaha pertanian rakyat belum berjalan lancar. Sejak tahun 1982 – 1998 telah tiga kali (1982, 1984, dan 1985) dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) “Persiapan Pengembangan Asuransi Panen”, tetapi tidak berlanjut. Tahun 1999 upaya untuk mengembangkan asuransi pertanian dicanangkan kembali. Berbagai pembahasan yang lebih serius telah dilakukan, akan tetapi untuk melangkah ke tahap implementasi masih memerlukan sejumlah pertimbangan yang sangat matang. Perlu masukan informasi lain untuk merumuskan kebijakan, program, perintisan, dan berbagai instrumen kelembagaan yang sesuai dengan strategi pengembangan. Belum lancarnya program asuransi pertanian ini disebabkan oleh : 1) program asuransi masih bersifat baru bagi petani, 2) model asuransi masih konvensional sehingga sulit untuk merumuskan pembayaran premi, serta 3) masih kurangnya dukungan regulasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang model asuransi iklim yang merupakan produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim sebagai salah satu opsi adaptasi terhadap perubahan iklim.


(32)

6

1.3. Kerangka Pemikiran

Bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas. Bencana ini sering mengakibatkan kerugian bagi petani. Berkurangnya luas tanam dan panen akibat puso dan terkena kekeringan menyebabkan hasil yang dipanenpun berkurang dan bahkan tidak ada sama sekali. Berdasarkan data runut waktu yang cukup panjang, kejadian bencana terkait iklim seperti kekeringan dapat diidentifikasi serta didelineasi tingkat risikonya untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki risiko iklim tinggi dan wilayah mana yang relatif aman. Informasi ini penting untuk menentukan wilayah prioritas penanganan bencana akibat kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan.

Petani sebagai pelaku kegiatan usahatani menerima dampak yang cukup besar akibat kekeringan. Pada kenyataannya petani telah menerapkan berbagai strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu untuk menghindari risiko, petani menerapkan beberapa cara, salah satunya adalah dengan kredit informal. Namun cara ini belum cukup. Kenyataannya, petani tetap mengalami kesulitan ketika bencana yang terkait iklim tersebut datang. Petani masih terus dihadapkan pada risiko yang harus ditanggung akibat bencana yang terjadi. Oleh karena itu perlu adanya suatu opsi untuk membantu petani meminimalkan dampak perubahan iklim.

Salah satu bentuk adaptasi yang berpeluang untuk diterapkan adalah dengan asuransi pertanian. Di Indonesia, asuransi pertanian telah beberapa kali di coba untuk diterapkan, namun belum berhasil (Hadi 2000). Asuransi iklim yang merupakan salah satu produk asuransi pertanian yang berbasis indeks iklim menawarkan suatu bentuk baru yang diharapkan dapat membantu petani dalam mempercepat penerimaan terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian aplikasi yang menghubungkan antara aspek iklim/cuaca dengan asuransi pertanian yang berbasis usaha tani padi melalui pengembangan model Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance).


(33)

7

Asuransi indeks iklim ini merupakan penelitian yang baru dan berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia (Hadi 2000, Nurmanaf 2007 dan Pasaribu 2009). Hasil penelitian Hadi et al. (2000) tentang identifikasi faktor-faktor mengindikasikan bahwa asuransi pertanian untuk usahatani padi sangat dibutuhkan. Pertanian (padi) layak untuk didukung dengan asuransi pertanian (Nurmanaf 2007). Hasil penelitian Pasaribu (2009) dengan studi kasus di Sumatera Utara dan Bali menunjukkan bahwa prospek pengembangan asuransi di Indonesia cukup besar, hal ini ditunjukkan oleh respon petani yang menyambut baik rencana tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka asuransi iklim berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia.

Penggunaan indeks iklim ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara peristiwa iklim dan kerugian tanaman. Oleh karena itu, hasil penelitian tentang indeks iklim yang ditetapkan berdasarkan korelasi yang kuat antara parameter iklim (dalam hal ini curah hujan) dan hasil padi menjadi salah satu dasar penetapan indeks iklim yang merupakan parameter utama dalam asuransi indeks iklim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu baik dari sisi petani, pemerintah maupun pihak swasta dalam mengaplikasikan asuransi iklim di Indonesia. Dari sisi petani, tujuan utama asuransi pertanian adalah memberikan proteksi terhadap kerugian ekonomi yang dialami petani sebagai pemegang polis asuransi pertanian karena suatu kejadian berisiko, sedangkan di sisi lain pihak asuransi juga perlu diyakinkan berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi tentang dampak dari risiko iklim serta hasil analisis sehingga secara ekonomi fisibel bagi perusahaan asuransi itu sendiri.


(34)

8

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah dihasilkannya suatu model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Secara spesifik ada 5 tujuan yang akan dicapai , yaitu :

(1) Menyusun peta endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. (2) Menyusun peta cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. (3) Mengkaji usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks

iklim.

(4) Mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim.

(5) Menyusun rekomendasi model pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi.

1.5. Manfaat Penelitian

Peta endemik kekeringan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui penyebaran wilayah endemik kekeringan berdasarkan luas dan frekuensi kejadian kekeringan. Data dan informasi ini penting untuk membantu dalam penentuan wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan

Peta cakupan wilayah indeks dapat digunakan untuk menentukan stasiun pewakil terutama di wilayah-wilayah yang tidak ada stasiun hujannya.

Manfaat lain dari penelitian ini adalah dihasilkannya indeks iklim. Indeks iklim merupakan kunci penting untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Asuransi indeks iklim ini merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim yang berpotensi dikembangkan di Indonesia.

Keberhasilan penerapan asuransi berdasarkan indeks iklim akan sangat membantu petani dalam mengurangi risiko akibat kejadian iklim ekstrim serta mempercepat adopsi teknologi terkait iklim bagi usaha tani padi yang dikelolanya khususnya terhadap bencana kekeringan.


(35)

9

1.6. Kebaruan (Novelty)

Penelitian asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan penelitian baru di bidang aplikasi klimatologi dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Pengembangan asuransi indeks iklim yang telah dilakukan di Indonesia masih terbatas pada komoditas jagung di beberapa lokasi saja. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam bidang klimatologi terkait dengan aspek asuransi.

Metode analisis dan delineasi wilayah endemik kekerirngan dengan klasifikasi berdasarkan luas dan frekuensi kejadian kekeringan merupakan keluaran baru dan bersifat sederhana sehingga mudah dipahami oleh para pengguna khususnya pemerintah daerah untuk membantu pengelolaan risiko iklim.

Metode Fuzzy Similarity yang digunakan untuk menentukan wilayah cakupan indeks iklim ini merupakan keluaran baru untuk aplikasi di bidang klimatologi.

1.7. Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Indramayu sebagai salah satu pusat produksi padi di Jawa Barat dan sangat rentan terhadap variabilitas iklim. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka akan dilakukan berbagai kegiatan seperti pengumpulan data lapang untuk melengkapi dan memperbarui data sebelumnya serta konsultasi dan diskusi dengan instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.

Data yang dikumpulkan antara lain : data iklim harian (curah hujan harian, suhu udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dll), data kekeringan (terkena dan puso), data sifat fisik dan kimia tanah, data tanaman, data sosial ekonomi yang terkait dengan sistim usaha tani padi, serta peta-peta dan data pendukung lainnya. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data melalui questioner yang dilakukan dengan wawancara ke beberapa pihak, yaitu petani, pemerintah daerah dan Bank lokal di daerah.

Konsultasi dan diskusi dengan pemerintah daerah (PEMDA) serta instansi terkait lainnya akan dilakukan untuk menghimpun data dan informasi lapang,


(36)

10

seperti dengan Dinas Pertanian, Dinas Sumberdaya Air, Pertambangan dan Energi dan Badan Ketahanan Pangan. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 8 titik pewakil berdasarkan sebaran jenis tanahnya. Data tanah ini digunakan untuk simulasi tanaman dengan model Decision Support System for Agrotechnology

Transfer (DSSAT). Survey lapang dan wawancara petani dilakukan untuk

menghimpun data tentang karakteristik petani, kelayakan usahatani padi dan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP). Data dan informasi usahatani padi ini digunakan untuk penghitungan indeks iklim. Keterkaitan antar bab secara keseluruhan disajikan dalam pembahasan umum, potensi dan tantangan serta diakhiri dengan simpulan, saran dan rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi.

Analisis dibagi dalam beberapa tahap untuk mencapai setiap tujuan. Analisis yang akan dilakukan antara lain : 1) identifikasi dan pemetaan wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim, 2) penetapkan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim, 3) analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim, 4) analisis hubungan antara iklim dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim, dan 5) identifikasi potensi dan tantangan serta penyusunan rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi (Gambar 1).


(37)

11

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian

Klasifikasi tingkat endemik kekeringan Data iklim/ curah hujan Data kekeringan Data tanaman hujan

Data hasil survey dan wawancara petani Data tanah Peta sebaran wilayah endemik kekeringan Analisis usahatani padi (R/C) dan WTP Simulasi tanaman DSSAT Penentuan threshold produksi padi Estimasi produksi

padi pada beberapa skenario tanggal tanam Penyusunan indeks iklim untuk pengembangan asuransi iklim Identifikasi dan karakteristik petani dan usahatani padi Pembangkitan data dgn CLIMGEN

Potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim

Pola hubungan curah hujan dan produksi padi Analisis cakupan wilayah indeks dgn metode Fuzzy Similarity Penentuan trigger curah hujan Peta cakupan wilayah indeks iklim

Desain premi dan klaim asuransi indeks iklim Peta

administrasi kecamatan

Rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani


(38)

12

1.8. Sistimatika Penulisan

Disertasi ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi antara lain : latar belakang, kerangka pemikiran, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang lingkup dan sistimatika penulisan. Bab 2 berisi tinjauan pustaka. Untuk Bab 3 sampai dengan Bab 7 merupakan rangkaian bab yang saling terkait dimana didalamnya masing-masing memuat pendahuluan, tujuan, metodologi dan simpulan. Bab 3 tentang analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Bab 4 tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Bab 5 tentang analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Bab 6 membahas tentang hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk menyusun indeks iklim. Bab 7 berisi pembahasan umum yang difokuskan tentang potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Simpulan, saran dan rekomendasi disajikan dalam Bab 8.

Setiap bab yang disusun memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Bab 1 menyajikan secara umum latar belakang penelitian, perumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang lingkup dan kerangkan kerja penelitian serta sistimatika penulisan. Didukung dengan tinjauan pustaka pada bab 2 yang merupakan sintesa dari hasil-hasil penelitian yang terkait dengan topik disertasi. Selain itu juga menyajikan perkembangan terkini tentang penelitian-penelitian yang dapat dijadikan masukan dalam penulisan disertasi. Bab 3 menyajikan tentang analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Hasil analisis yang tertuang dalam Bab 3 ini digunakan sebagai dasar dalam penentuan wilayah prioritas pengelolaan risiko iklim terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim. Selain itu, dalam aplikasi asuransi indeks iklim, diperlukan hasil penelitian tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pada luasan sejauh mana suatu indeks iklim bisa digunakan. Topik ini akan disajikan dalam Bab 4. Hasil penelitian yang disajikan dalam Bab 4 ini menjadi masukan yang penting dalam pembahasan umum pada Bab 7. Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim disajikan dalam Bab 5. Hasil dari Bab 5 merupakan masukan penting


(39)

13

untuk melakukan analisis hubungan antara parameter iklim khususnya curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim yang disajikan pada Bab 6. Selanjutnya keseluruhan hasil analisis tersebut di atas dikemas dalam Bab 7 yang berisi tentang pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan. Bab 8 merupakan simpulan keseluruhan hasil, saran dan rekomendasi. Keterkaitan antar bab tersebut secara sederhana disajikan dalam diagram alir Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir keterkaitan antar bab. Keterangan :

Bab 1 : Pendahuluan Bab 2 : Tinjauan pustaka

Bab 3 : Analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim

Bab 4 : Penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim Bab 5 : Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks

iklim

Bab 6 : Analisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim

Bab 7 : Bab 8 :

Pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan

Simpulan, saran dan rekomendasi

Bab. 3

Bab. 5

Bab. 6

Bab. 2 Bab. 1

Bab. 4

Bab. 7


(40)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian

Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan Meira Filho, 1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah terjadi secara gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri, telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara, pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan ketidakmenentuan (uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan air laut dan robb (gelombang pasang laut).

Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana (hazard) merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius, misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a).

Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data

OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode 1907-2006

bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345 kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam (Gambar 3). Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin


(41)

15

kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi dan intensitas kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Sivakumar 2005).

Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan menurut tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED International Disaster Database (Sumber : Boer dan Perdinan 2008c) Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan berdampak terhadap peningkatan transpirasi, peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji sehingga mempengaruhi mutu hasil, perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pergeseran pola dan jenis tanaman. Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan pertanian di sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan salinitas tanah disekitar pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa tanam atau awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah hujan pada musim hujan (MH) (banjir) dan penurunan curah hujan pada musim kering (MK) (kekeringan) berdampak pada penciutan luas area tanam/panen akibat banjir dan kekeringan.

Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) yang pada umumnya membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada wilayah yang pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal

108

38 27

10 9 8

2 0 20 40 60 80 100 120 Floo ds Land slid es Wat er o

r Vec tor B

orne d D

isea ses

Win d st

orm /Cyc

lone Fore

st F ire

Dro ught

Hig h Ti

de/S urge F re q u e n c y 0 2 4 6 8 10 12 14

1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005

N u m b e r o f C li m a te -R e la te d . H a za rd s


(42)

16

kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola: (1) akhir musim kemarau mundur dari normal, (2) awal masuk musim hujan mundur dari normal, (3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan (4) deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian timur.

Hasil penelitian Boer dan Las (2003) menunjukkan bahwa wilayah yang terkena bencana iklim (banjir, kemarau panjang, angin besar) sudah semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Meningkatnya suhu juga diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas pangan seperti padi. Penelitian KP3I (Boer 2008b) menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan hasil tanaman. Jika

diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat kabupaten diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga 72,500 ton.

Menurut Cline (2007) diacu dalam Boer (2010b), penurunan produktivitas komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat pemanasan global berkisar antara 15-25%. Tschirley (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan khususnya di daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik melebihi 4oC. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2oC tetap akan berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu sekitar 10% untuk jagung dan 5% untuk padi (Gambar 4).

Hasil penelitian Handoko et al. (2008) memperlihatkan bahwa kenaikan suhu 2oC akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9%. Apabila curah hujan turun sebesar 246 mm/tahun maka diperkirakan produksi gabah turun 4.6%. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi sekitar 38% (Tabel 1).


(43)

17

Gambar 4. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber : Tschirley 2007).

Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis (%) dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008).

Komoditas Suhu naik 2oC CH turun 246 mm/th

Kombinasi keduanya

Padi -36,9 -4,6 -38,0

Jagung -440,0 -20,0 -450,0

Kedelai -285,7 -65,2 -952,0

Tebu/gula -300,0 -17,1 -328,0

Kelapa sawit -314,2 -21,4 -343,0 Menurut Handoko et al. (2008) dampak kenaikan suhu udara terhadap tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1) penurunan luas areal panen akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya evapotranspirasi, 2) penurunan produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek (cepat matang) dan 3) meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen padi sawah akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 3.3% di Jawa dan 4.1% di luar Jawa dari luas panen padi saat ini.

Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian khususnya tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah perubahan curah hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim hujan mundur

Jagung Padi

Per

u

b

h

an

Hasil (

%)


(44)

18

1-3 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan variabilitas curah hujan pada musim hujan (Las 2007). Sementara luas areal tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun 2000, 2004 dan 2008, berturut-turut: 97.221 ha, 190.307 ha dan 423.284 ha. Jumlah kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama tercatat 201.148 ton, 410.034 ton dan 984.188 ton (GKG) (Pasaribu 2009b). Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani (Boer 2002c).

Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. (2011a) secara garis besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dapat dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang lebih luas (broader context). Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada sumberdaya pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya lahan, dinamika dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya genetik/biodiversity. Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan iklim. Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan menyebabkan kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang tertuang dalam RAN-GRK, perpres 61 tahun 2011 yang berpengaruh terhadap produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi dan sosial ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin pembukaan hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program perluasan areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional, harga pangan dan sebagainya (Tim Road Map 2011). Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) dampak yang bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah pola tanam dan indeks penanaman. 2) dampak yang bersifat diskontinu seperti meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim


(45)

19

(banjir, kekeringan, angin kencang dll) dan meningkatnya gagal panen akibat munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3) dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut.

2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi

Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. US Weather Bureau diacu dalam Chow (1964) mendefinisikan kekeringan sebagai kondisi kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga mengakibatkan adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan mengakibatkan berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal cukup untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai belahan dunia. Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan selama 6 hari berturut-turut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak terjadi hujan selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak terjadi banjir sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan merupakan suatu hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. Menurut Irianto (2005) secara faktual kekeringan lebih menakutkan dibandingkan banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana dengan


(46)

20

baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan temporal tentang wilayah-wilayah endemik kekeringan.

Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi dua, yaitu (i) secara alamiah dan (ii) karena ulah manusia (antropogenik). Secara alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) kekeringan meteorologis, 2) kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan 4) kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan Antropogenik adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada aturan terjadi. Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1) kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/penggunaan air, serta 2) kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia (www.bakornaspb.go.id).

Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis


(47)

21

bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi rusak/mengering. Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara gradual/lambat, sehingga jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak urbanisasi (www.bakornaspb.go.id).

Chow (1964) mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk kejadian alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim El-Nino. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan fenomena ENSO

(El-Nino Southern Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844, dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan dengan kejadian El‐Nino (www.bakornaspb.go.id). Data curah hujan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa di Indonesia pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925, 1929, 1935, 1948, 1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan 1997. Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun 1951, 1953, 1957, 1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991, 1992, 1993, 1994, 1997. Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian kemarau panjang, 11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim El-Nino atau ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian penyimpangan iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia. Banyak tanaman pangan yang mengalami cekaman air (water stress) sehingga menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih basah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif tinggi.

Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama adalah curah hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika salah satu dari


(1)

196

Kurangnya akses ke input Lainnya

3. Apa risiko iklim yang spesifik yang berpengaruh terhadap produksi? (lihat tabel)

Jenis Risiko Bulan apa terjadi Berapa lama

Kekeringan s/d

Curah Hujan berlebih/ekstrim s/d

Suhu s/d

Lainnya s/d

4. Apabila petani mengalami risiko iklim, bagaimana mereka mengatasinya ? ... 5. Dalam 10 tahun, berapa kali hasil padi menurun akibat kekeringan? ... 6. Tahun berapa dalam 10 tahun terakhir yang anda ingat yang memiliki cuaca/iklim yang paling menguntungkan untuk produksi ?


(2)

197 7. Tahun berapa dalam 10 tahun terakhir yang anda ingat yang memiliki cuaca/iklim yang paling merugikan untuk produksi ?

Tahun Luas lahan Hasil (yield) Mengapa

VI. RAINFALL CONTRACT PARAMETER (if drought or excessive rain risks apply) :

1. Apakah petani melakukan tanam pada lahan kering atau menunggu hujan? ... 2. Bagaimana petani menilai bahwa curah hujan sudah cukup untuk tanam? ... 3. Apa yang petani lakukan jika curah hujan tidak cukup untuk tanam? (1) Menanam dengan tanaman yang berbeda atau (2) menanam di lain

tempat? (3) Menunggu hujan turun

Apakah mereka pernah tidak tanam jika curah hujan tidak baik? ... 4. a – Periode tanaman mana yang paling kritis terhadap curah hujan untuk keberhasilan panen? (lihat tabel)

Vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan malai)

Reproduktif (pembentukan malai sampai pembungaan)

Pematangan (pembungaan sampai gabah matang)


(3)

198

b - Apakah ada periode selama musim pertumbuhan dimana hujan terlalu banyak sehingga panen hancur atau rusak? Vegetatif (awal pertumbuhan sampai

pembentukan malai)

Reproduktif (pembentukan malai sampai pembungaan)

Pematangan (pembungaan sampai gabah matang)

KEY: Not important, somewhat important, very important, and critical

5. a. Pada tahun-tahun kering, tahap pertumbuhan mana yang paling terkena dampak?

Fase Tahun Tahun Tahun Tahun

Vegetative Reproduktif Pematangan

b. Pada tahun-tahun curah hujan berlebih, tahap pertumbuhan mana yang paling terkena dampak?

Fase Tahun Tahun Tahun Tahun

Vegetative Reproduktif Pematangan

6. Apakah curah hujan di stasiun ...mencerminkan pola curah hujan di daerah tersebut? ... Apakah ada bagian dari daerah tersebut yang memiliki pola curah hujan yang berbeda?...


(4)

199

VII. AKSES PEMBIAYAAN (ACCESS TO FINANCE) :

1. Bagaimana petani pada umumnya membiayai biaya input

2. Apa jenis pembiayaan? (1) simpan pinjam, dll ... 3. Berapa kali per tahun menerima pembiayaan?... Berapa tahun pembiayaan yang diperlukan?... 4. Jenis jaminan apa yang mereka biasanya berikan?... 5. Pada Bulan apa yang mereka harapkan untuk membayar kembali pinjaman?... 6. Apakah ada pengalaman dengan penjadwalan kembali ? ... Jika ada kapan dan mengapa?...

Tidak membeli input

Biaya sendiri Pinjam BANK Pemberi Pinjaman (money lender)

Sumber lainnya

Tertarik pembiayaan tetapi tidak ada akses


(5)

200

VIII. KESEDIAAN UNTUK MEMBAYAR (Willingnes to Pay) UNTUK ASURANSI INDEKS IKLIM

(1) Apa jenis retribusi yang biasa Anda bayarkan? (misal untuk retribusi air, menjaga tanaman dan pintu air, anggota koperasi, dll). ... (2) Berapa banyak yang biasa Anda bayar dan berapa lama jangka waktu pembayaran (bulanan, musiman, tahunan?)... (3) Dalam hal Anda memiliki panen yang baik dan mendapatkan lebih banyak pendapatan, apakah Anda biasanya menyimpan uang Anda?

Jika Ya, berapa proporsi pendapatan yang anda simpan? ...

(4) Untuk mengelola risiko iklim seperti banjir atau kekeringan, Anda biasanya memberikan kontribusi (dalam bentuk uang)? Misal, menyewa pompa air dll...

(5) Apa Anda biasa meminjam uang atau mendapatkan kredit ? ...Jika ya, apakah Anda dapat membayar uang pinjaman sesuai yang disepakati? ...

(6) Apa jenis pembayaran yang biasa Anda lakukan? ... (7) Jika petani mendapat asuransi indeks iklim (seperti penjelasan dan contoh tersebut di atas) dan harus membayar premi, berapa

kesanggupannya untuk membayar premi tersebut ? (terlebih dahulu jelaskan konsep utama asuransi indeks iklim dan berikan contoh besarnya pembayaran)...


(6)

201

IX. AKSES TERHADAP KREDIT

(1) Apakah anda memiliki pengalaman dalam mendapatkan kredit / pinjaman? ... (2) Jika ya, berapa kali Anda mendapat kredit dalam 5 tahun terakhir? (1) Setiap musim, (2) setiap tahun, (3) hanya sekali / dua kali, atau (4)

kadang-kadang...

(3) Dari siapa Anda dapatkan kredit / pinjaman? (1) Bank, (2) uang pinjaman, (3) koperasi, (4) saudara, (5) pemerintah, dll. ...

(4) Jika anda memiliki pengalaman mendapatkan kredit dari berbagai sumber, yang mana yang membutuhkan banyak persyaratan ? ... (5) Apa jenis persyaratan yang sulit bagi Anda ? ... (6) Apakah dengan memiliki akses ke beberapa bentuk asuransi akan meningkatkan akses petani terhadap kredit?...