telah  membentuk  Pokja  Asuransi  Komoditas  Pertanian  melalui  surat  keputusan nomor  1136KptsOT.16042012.  Pokja  ini  mempunyai  tugas  melakukan:  1
identifikasi  permasalahan  dan  upaya  pemecahannya  dalam  asuransi  komoditas pertanian, 2 perumusan model asuransi komoditas pertanian, serta 3 pemantauan
dan  evaluasi  atas  pelaksanaan  perlindungan  usaha  komoditas  pertanian.  Pokja yang  sudah  terbentuk  ini  perlu  diperkuat  dengan  hasil-hasil  penelitian  terkait
seperti asuransi indeks iklim ini. Penelitian  ini  dirancang  dengan  beberapa  tujuan  yang  dicapai  secara
bertahap.  Penelitian  di  lakukan  di  Kabupaten  Indramayu  yang  merupakan  salah satu  sentra  padi  di  Propinsi  Jawa  Barat  dan  sangat  rentan  terhadap  perubahan
iklim.  Kabupaten  Indramayu  juga  termasuk  kriteria  salah  satu  kabupaten  yang sangat  rawan  terhadap  kekeringan  Diperta  Jawa  Barat  2006.  Tujuan  utama
penelitian ini adalah menyusun model asuransi indeks iklim pada sisitim usahatani berbasis  padi.  Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  dikembangkan  dan
diaplikasikan  di  lapang  dalam  rangka  meningkatkan  ketahanan  petani  padi terhadap perubahan iklim.
1.2. Perumusan Masalah
Salah  satu  bukti  adanya  perubahan  iklim  ditunjukkan  oleh  meningkatnya kejadian  iklim  ekstrim.  Kejadian  iklim  ekstrim  terutama  kekeringan  merupakan
bencana  yang  paling  sering  terjadi  di  Indonesia.  Frekuensi  kejadian  kemarau panjang  atau  kekeringan  semakin  meningkat.  Selain  itu  wilayah  yang  terkena
bencana  iklim  juga  semakin  luas  dengan  tingkat  kehilangan  produksi  yang semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa bencana kekeringan ini akan terus
berulang terjadi dan tentu akan membawa dampak yang merugikan pada usahatani padi.
Dampak  kejadian  iklim  ekstrim  berupa  kekeringan  sangat  dirasakan  oleh sektor pertanian tanaman pangan khususnya padi.  Kekeringan seringkali menjadi
penyebab  utama  turunnya  produksi  pangan  di  Indonesia.  Pada  musim  kemarau 1994, luas wilayah di  pulau Jawa  yang terkena kekeringan  mencapai  290,457 ha
dan propinsi Jawa Barat  berada pada urutan  yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur  Kahar  1995.  Hal  ini  diduga  karena
tingkat kewaspadaan petani terhadap bahaya kekeringan terutama terhadap risiko menanam  padi  pada  musim  gadu  masih  kurang,  terutama  pada  sawah  yang
sebagian besar diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan perilaku curah hujan serta  informasi iklim lainnya.
Petani  sebagai  pelaku  budidaya  tanam  di  lapangan  merasakan  dampak yang paling besar akibat kekeringan. Hal ini sangat terkait dengan ketidakpastian
hasil  yang  diperoleh  akibat  kejadian  kekeringan  baik  dari  aspek  luas  lahan  yang terkena  kekeringan  maupun  intensitas  kejadian.  Untuk  mengatasi  masalah  ini
petani telah menerapkan berbagai cara atau strategi walaupun dalam kenyataannya risiko  dan  ketidakpastian  itu  tidak  dapat  dihilangkan  sepenuhnya.  Secara  teoritis
sikap petani adalah ingin menghindari  risiko risk-averse behavior. Namun cara yang  diterapkan  petani  untuk  menghindari  risiko  belum  cukup  dan  perlu  sistem
proteksi formal dan sistimatis dalam bentuk asuransi. Di  Indonesia,  asuransi  pertanian  untuk  usaha  pertanian  rakyat  belum
berjalan  lancar.  Sejak  tahun  1982 – 1998 telah tiga kali 1982, 1984, dan 1985
di bentuk Kelompok Kerja POKJA “Persiapan Pengembangan Asuransi Panen”,
tetapi  tidak  berlanjut.  Tahun  1999  upaya  untuk  mengembangkan  asuransi pertanian  dicanangkan  kembali.  Berbagai  pembahasan  yang  lebih  serius  telah
dilakukan,  akan  tetapi  untuk  melangkah  ke  tahap  implementasi  masih memerlukan  sejumlah  pertimbangan  yang  sangat  matang.  Perlu  masukan
informasi  lain  untuk  merumuskan  kebijakan,  program,  perintisan,  dan  berbagai instrumen  kelembagaan  yang  sesuai  dengan  strategi  pengembangan.  Belum
lancarnya  program  asuransi  pertanian  ini  disebabkan  oleh  :  1  program  asuransi masih  bersifat  baru  bagi  petani,  2  model  asuransi  masih  konvensional  sehingga
sulit  untuk  merumuskan  pembayaran  premi,  serta  3  masih  kurangnya  dukungan regulasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang model
asuransi  iklim  yang  merupakan  produk  asuransi  pertanian  berbasis  indeks  iklim sebagai salah satu opsi adaptasi terhadap perubahan iklim.
1.3. Kerangka Pemikiran