Analisis pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

(1)

Oleh FABYA H14104029

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

Perkembangan sektor keuangan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perekonomian. Turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Pendapatan dari minyak menurun dan pemerintah membutuhkan mobilisasi dana dari dalam negeri untuk membiayai pembangunan. Hal ini kemudian melatarbelakangi deregulasi pada berbagai sektor perekonomian termasuk sektor keuangan.

Melalui deregulasi tersebut diharapkan sektor keuangan mampu menyerap dana dari masyarakat dan akhirnya dapat mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Usaha tersebut kemudian mendatangkan hasil karena Indonesia dapat kembali menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan seiring dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, sektor keuangan di Indonesia juga mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan yang pesat tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah bank maupun kantor bank, aset, dan jumlah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat.

Penelitian ini memiliki dua tujuan: 1) menganalisis pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2) menganalisis variabel perkembangan sektor keuangan yang paling dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series kuartalan dari Maret 2002 sampai Maret 2010. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) tingkat monetisasi (M2Y), 2) tabungan (LGT), 3) kredit swasta (LGK), 4) GDP riil (LGGDP).

Hasil yang didapat dari penelitian ini berdasarkan estimasi OLS adalah pertumbuhan sektor keuangan positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tabungan (LGT) mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar 0,253518 persen. Nilai kredit swasta (LGK) mempunyai hubungan yang positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar 0,021647 persen. Sedangkan tingkat monetisasi (M2Y) mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar -0,113023 persen. Variabel dari perkembangan sektor keuangan yang dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) Indonesia adalah variabel tabungan (LGT).

Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan berupa dorongan menjalankan fungsi intermediasi bank-bank yang ada di Indonesia. Bank Indonesia sebaiknya menghimbau perbankan agar lebih aktif dalam mendukung transaksi pembayaran non tunai. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi


(3)

(4)

Oleh FABYA H14104029

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

Nomor Registrasi Pokok : H14104029

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D NIP. 19451216 196902 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu ekonomi

Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003


(6)

BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA” ADALAH KARYA SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

Bogor, Agustus 2011

Fabya H14104029


(7)

Edman Mara dan Ewat Sucitawati. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari SDI Yasma PB Sudirman, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 102 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 39 Jakarta dan lulus pada tahun 2004.

Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis berkecimpung dalam organisasi KOPMA IPB dan dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan seperti FEMily Day dan Banking Goes To Campus (BGTC).


(8)

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pengaruh Perkembangan Sektor Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang teramat dalam, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, masukan, saran dan kritik yang sangat membantu dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya.

2. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan, atas kesediaannya menguji skripsi ini.

3. Kedua orang tua yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang, membimbing, mendidik dan selalu mendoakan penulis dari lahir hingga saat ini.

4. Adik-adikku (Meita dan Farah) atas dukungan dan pengertiannya.

5. Saudara-saudara dan keluarga besar penulis atas semangat dan dukungannya. 6. Sahabat-sahabatku (Yanita, Ellis, Feny, Ulfa, Ery, Fitri, Nurie, Neni) atas

motivasi, persahabatan dan kebersamaannya.

7. Teman-teman satu bimbingan (Dwi, Septi, Novi) atas kerjasama dan motivasinya.

8. Teman-teman IE 41 atas kebersamaan, persahabatan dan silaturahminya. 9. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuannya.


(9)

karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2011

Fabya H14104029


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... ..vi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar ... 9

2.3. Teori Pertumbuhan Neoklasik (Solow-Swan)...10

2.4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter...12

2.5. Sektor Keuangan...14

2.5.1. Pengertian Sektor Keuangan...14

2.5.2. Fungsi Lembaga Perantara Keuangan...14

2.5.2.1. Memobilisasi tabungan...14

2.5.2.2. Mengelola resiko...15

2.5.2.3. Memperoleh informasi tentang peluang-peluang investasi...16

2.5.2.4. Memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan...17

2.5.2.5. Memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan jasa...17

2.5.3. Perkembangan Sektor Keuangan...18

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu...20


(11)

2.8. Hipotesis Penelitian...27

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data...28

3.2. Deskripsi Variabel Penelitian...28

3.3. Model Penelitian...29

3.4. Metode Analisis Data dan Asumsi Model Regresi OLS... 30

3.5. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik...33

3.5.1. Uji t (Uji Parsial)...33

3.5.2. Uji F (Uji Serempak)...34

3.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)...34

3.6. Uji Ekonometrika... ...32

3.6.1. Heteroskedastisitas...35

3.6.2. Autokorelasi...35

3.6.3. Multikolinearitas……...……...………..36

3.7. Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)... 37

IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 4.1. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Tahun 1983…………...…39

4.2. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Krisis Moneter 1997...40

4.3. Perkembangan Sektor Keuangan Selama Periode Penelitian…...…..43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Uji Kriteria Statistik...45

5.2. Uji Ekonometrika...46

5.3. Analisis Hubungan antara Perkembangan Sektor Keuangan dengan Pertumbuhan Ekonomi…...48

5.3.1. Kredit Swasta (LGK)...48

5.3.2. Tabungan (LGT)...49

5.3.3. Tingkat Monetisasi (M2Y)...49

5.4. Pembahasan Ekonomi...50

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 54


(12)

DAFTAR PUSTAKA...56 LAMPIRAN...58


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank Umum (1978-2007)...2

1.2. Tabel Pertumbuhan GDP Riil Indonesia (1971-2009)...3

2.1. Penelitian Terdahulu………...…………...……22

3.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data…….………...…………28

4.1. Jumlah Aset Berdasarkan Kelompok Bank, 2002 -2010 (miliar Rp)……43

4.2. Kredit yang Disalurkan dalam Rupiah dan Valuta Asing Berdasarkan Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)………...…...44

5.1. Hasil Estimasi Variabel Dependen LGGDP………...46


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Uji Persamaan Regresi……...………...59

2. Uji Heteroskedastisitas...59

3. Uji Autokorelasi ...59

4. Matriks Korelasi antar Variabel Bebas...59


(16)

Indonesia sebagai negara sedang berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan negara sedang berkembang lainnya. Karakteristik perekonomian tersebut yaitu tingkat pertumbuhan penduduk dan pengangguran yang tinggi, tingkat produktivitas dan kualitas hidup rendah, ketergantungan pada sektor pertanian atau primer, pasar dan informasi tidak sempurna, tingkat ketergantungan pada angkatan kerja tinggi, dan ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas primer. Pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses pembangunannya dihadapkan pada permasalahan dalam keterbatasan modal untuk membiayai investasi pembangunan.

Perkembangan sektor keuangan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perekonomian. Turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Pendapatan dari minyak menurun dan pemerintah membutuhkan mobilisasi dana dari dalam negeri untuk membiayai pembangunan. Hal ini kemudian melatarbelakangi deregulasi pada berbagai sektor perekonomian termasuk sektor keuangan.

Kebijakan deregulasi sektor keuangan yang penting pada dasawarsa 1980-an adalah Paket Juni (PAKJUN) 1983 d1980-an Paket Oktober (PAKTO) 1988. PAKJUN 1983 menitikberatkan pada pemberian kebebasan bagi bank-bank untuk menetapkan suku bunga deposito dan kredit, sedangkan PAKTO 1988 menitikberatkan pada usaha untuk meningkatkan kompetisi pada sektor keuangan


(17)

dengan mengurangi hambatan dalam pendirian bank baru. Kedua regulasi tersebut kemudian melatarbelakangi perkembangan sektor keuangan di Indonesia.

Perkembangan tersebut misalnya dapat dilihat dari perubahan jumlah bank maupun kantor bank. Sebelum tahun 1988 jumlahnya tidak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Namun sejak tahun 1988 jumlah bank maupun kantor bank mengalami peningkatan yang cukup signifikan seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank Umum di Indonesia (1978-2010)

Kelompok Bank

Bank Pemerintah BPD BUSN Bank

Asing/Campuran Jumlah Bank Jumlah Kantor Jumlah Bank Jumlah Kantor Jumlah Bank Jumlah Kantor Jumlah Bank Jumlah Kantor

1978 5 685 26 140 83 270 11 20

1988 5 815 27 262 63 559 11 21

1997 7 1772 27 812 144 4887 44 99

1998 7 1875 27 822 130 4858 44 106

1999 5 1853 27 825 92 3581 44 93

2000 5 1736 26 826 81 3837 49 110

2001 5 1807 26 857 80 3988 39 113

2002 5 1885 26 909 76 4093 34 114

2003 5 2072 26 1003 76 4529 34 126

2004 5 2112 26 1064 72 4635 31 128

2005 5 2171 26 1107 71 4822 30 136

2006 5 2548 26 1217 71 5154 29 191

2007 5 2765 26 1205 71 5472 28 238

2008 5 3134 26 1310 68 6071 25 353

2009 5 3854 26 1358 65 7157 26 468

2010 4 4189 26 1413 67 7739 25 499

Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (1978-2010)

Usaha pemerintah melalui serangkaian deregulasi pada sektor riil dan keuangan untuk mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi dari minyak ternyata tidak sia-sia. Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1982, mulai tahun 1987 perekonomian Indonesia telah memasuki masa pemulihan. Mulai tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan rata-rata


(18)

pertumbuhan ekonomi pada periode tahun 1987-1992 telah mencapai 6,5 persen per tahun, yang berarti mendekati pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai selama periode boom minyak, 1971-1981. Begitu pula setelah periode krisis ekonomi 1997-1998 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan kenaikan secara bertahap (Tabel 1.2.).

Tabel 1.2. Tabel Pertumbuhan GDP Riil Indonesia (1971-2010)

Tahun (Persen) Tahun (Persen)

1971-1981 7,90 2003 4,14

1982-1986 4,35 2004 5,00

1987-1992 6,50 2005 5,60

1993-1997 6,95 2006 5,50

1998 -13,1 2007 6,30 1999 0,80 2008 6,10

2000 4,90 2009 4,50 2001 3,30 2010 6,10 2002 3,70

Sumber: Badan Pusat Statistik (1971-2010)

Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih tepatnya, sektor keuangan mampu memobilisasi tabungan. Sektor keuangan menyediakan para peminjam berbagai instrumen keuangan dengan kualitas tinggi dan resiko rendah. Hal ini akan menambah investasi dan akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, terjadinya asymmetric information, yang dimanifestasikan dalam bentuk tingginya biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya informasi dalam pasar keuangan dapat diminimalisasi, jika sektor keuangan berfungsi secara efisien.

Dalam ruang lingkup kebijakan makroekonomi, sektor keuangan menjadi alat transmisi kebijakan moneter. Dengan demikian, shock yang dialami sektor


(19)

keuangan juga mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Inggrid (2006) mengidentifikasikan beberapa dampak yang dihasilkan dari shock dalam pasar keuangan terhadap transmisi kebijakan moneter. Pertama, gejala monetization (proses pengkonversian surat berharga menjadi mata uang yang dapat digunakan untuk membeli barang dan jasa) dan sekuritization (proses pembentukan aset yang tidak likuid atau sekelompok aset melalui mekanisme keuangan menjadi surat-surat berharga) dalam bentuk inovasi produk-produk keuangan, menyebabkan definisi, cakupan dan perilaku jumlah uang beredar mengalami perubahan. Gejala ini berpeluang menciptakan ketidakstabilan hubungan antara harga (inflasi), uang beredar dan mengurangi kemampuan bank sentral dalam mengendalikan besaran moneter. Kedua, semakin berkembangnya sektor keuangan mendorong kecenderungan terjadinya pelepasan keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil (decoupling). Konsekuensinya, kausalitas antara variabel-variabel moneter dan berbagai variabel di sektor riil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Fungsi permintaan uang yang dipergunakan sebagai salah satu alat manajemen moneter kurang stabil perilakunya.

Levine (1997) membuktikan bahwa perkembangan sektor keuangan akan berpengaruh terhadap perekonomian, khususnya dalam mendorong proses pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena sektor keuangan dapat menurunkan resiko, memobilisasi tabungan, menurunkan biaya transaksi dan informasi, dan mendorong terjadinya spesialisasi. Namun demikian tetap terdapat perdebatan bagaimana peranan sektor keuangan terhadap perekonomian. Perdebatan mengenai hubungan antara sektor keuangan dan pertumbuhan


(20)

ekonomi terletak pada arah hubungannya. Perdebatan berfokus pada pertanyaan apakah sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (supply-leading) ataukah pertumbuhan ekonomi yang mendorong perkembangan sektor keuangan (demand-following).

Menurut Graff (2001) terdapat empat kemungkinan hubungan yang dapat terjadi antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang dapat terjadi adalah tidak adanya hubungan antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang mendorong perkembangan sektor keuangan, dan perkembangan sektor keuangan (meskipun dalam jangka pendek) justru akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Mengetahui bagaimana peranan sektor keuangan adalah suatu hal yang penting bagi pengambil keputusan. Jika sektor keuangan dianggap mempunyai pengaruh yang penting, maka pemerintah harus mempromosikan perkembangan sektor keuangan yang meliputi pengembangan sektor perbankan, lembaga keuangan nonbank, dan pasar modal dalam rangka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun jika sektor keuangan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi maka akan menyebabkan pemborosan sumber daya jika pemerintah menitikberatkan tujuan pada pengembangan sektor keuangan. Dana pembangunan tentu akan lebih berguna jika dialokasikan untuk tujuan-tujuan lain, seperti untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan pengembangan teknologi.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Tujuan kebijakan ekonomi makro adalah pertumbuhan ekonomi yang tingi dan berkesinambungan, tingkat pengangguran yang rendah, fluktuasi pertumbuhan ekonomi dan pengangguran yang rendah (meredam siklus bisnis), dan tingkat inflasi yang rendah (Mankiw, 2003). Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui berbagai kebijakan.

Menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kesulitan pendanaan pada awal tahun 1980-an yang disebabkan oleh turunnya harga minyak mendorong pemerintah untuk memobilisasi dana dari masyarakat melalui kebijakan deregulasi pada sektor keuangan. Melalui deregulasi tersebut diharapkan sektor keuangan mampu menyerap dana dari masyarakat dan akhirnya dapat mendorong kembali pertumbuhan ekonomi. Usaha tersebut kemudian mendatangkan hasil karena Indonesia dapat kembali menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan seiring dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, sektor keuangan di Indonesia juga mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan yang pesat tersebut dapat dilihat dari perkembangan jumlah bank maupun kantor bank, aset, dan jumlah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat.

Tidak berbeda dengan perkembangan perekonomian di berbagai negara, Indonesia juga mengalami perkembangan ekonomi yang fluktuatif, yang mencapai puncaknya ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Sektor keuangan disebut sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis tersebut. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara perkembangan sekor keuangan dengan pertumbuhan


(22)

ekonomi di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

2. Variabel apakah dari perkembangan sektor keuangan yang paling dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, adapun tujuan dari penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Menganalisis variabel dari perkembangan sektor keuangan yang paling dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas maka manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, sebagai salah satu media latih untuk meningkatkan kemampuan

dan keterampilan sesuai disiplin ilmu yang dipelajari.

2. Bagi peneliti dan mahasiswa, sebagai data dasar dan tolok ukur bagi penelitian-penelitian selanjutnya sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


(23)

3. Bagi para pengambil kebijakan, sebagai masukan dalam mengambil kebijakan dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat segala keputusan.


(24)

Menurut Todaro (2004), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi berupa sumber alam, sumber daya manusia, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi. Faktor nonekonomi berupa faktor sosial, budaya dan politik bersama-sama faktor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses dimana Produk Domestik Bruto riil per kapita meningkat secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (Salvatore, 1997). Sasaran berupa kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan riil per kapita merupakan tujuan utama yang perlu dicapai melalui penyediaan dan pengerahan sumber-sumber produksi.

2.2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Setiap perekonomian pada dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau


(25)

menggantikan barang-barang modal yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).

Teori Harrod-Domar (Todaro, 2004) menganalisis hubungan antara tingkat investasi dan tingkat pertumbuhan dengan menyimpulkan adanya hubungan ekonomi langsung antara besarnya stok modal keseluruhan (K) dengan GNP (Y), yang diformulasikan sebagai rasio modal terhadap output (capital/output ratio = COR). Semakin tinggi peningkatan stok modal, semakin tinggi pula output yang dapat dihasilkan.

Secara sederhana, teori Harrod-Domar dapat diformulasikan sebagai berikut:

k s Y

Y

= Δ

(2.1)

tingkat pertumbuhan GNP (∆Y/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k). Tingkat pertumbuhan pendapatan nasional akan berbanding lurus dengan rasio tabungan dan berbanding terbalik terhadap rasio modal-output dari suatu perekonomian. Agar bisa tumbuh dengan pesat maka setiap perekonomian haruslah menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari GNP-nya.

2.3. Teori Pertumbuhan Neoklasik (Solow-Swan)

Teori pertumbuhan ini dikembangkan oleh Robert Solow dan Trevor Swan (Mankiw, 2000). Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan


(26)

akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini didasarkan pada analisis klasik, bahwa perekonomian akan tetap mengalami kesempatan kerja penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu.

Selanjutnya menurut teori ini, rasio modal terhadap output (capital/output ratio = COR) dapat berubah dan bersifat dinamis. Untuk menciptakan sejumlah

output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit, sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu.

Teori pertumbuhan Solow-Swan dapat dituliskan dalam persamaan berikut:

b t t a t

t T K L

Q = . . (2.2)

Keterangan:

Qt = tingkat produksi pada tahun t

Tt = tingkat teknologi pada tahun t

Kt = jumlah stok barang modal pada tahun t

Lt = jumlah tenaga kerja pada tahun t


(27)

b = penambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu unit tenaga kerja

Nilai Tt, a dan b bisa diestimasi secara empiris, tetapi pada umumnya nilai

a dan b ditentukan besarnya dengan menganggap bahwa a + b = 1 yang berarti bahwa a dan b nilainya sama dengan produksi batas dari masing-masing faktor produksi tersebut. Dengan kata lain, nilai a dan b ditentukan dengan melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam menciptakan output.

2.4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter

Mekanisme transmisi kebijakan moneter menjelaskan bagaimana kebijakan moneter berpengaruh terhadap sektor riil. Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat terjadi melalui jalur moneter langsung, jalur suku bunga, jalur nilai tukar, jalur harga aset, jalur kredit dan jalur ekspektasi. Sektor perbankan memegang peranan penting dalam proses transmisi kebijakan moneter tersebut, khususnya pada jalur kredit. Jalur kredit ini merupakan mekanisme transmisi yang berkaitan dengan adanya masalah informasi yang tidak simetris.

Menurut Warjiyo dan Solikin (2003) terdapat dua jalur utama yang berkaitan dengan jalur kredit, yaitu:

1. Bank lending channel (jalur pinjaman bank) yang menitikberatkan pengaruh kebijakan moneter terhadap neraca perbankan, tidak hanya melalui sisi kewajiban, tetapi juga melalui sisi aset dari neracanya. Kebijakan moneter yang ekspansif akan meningkatkan cadangan yang dimiliki oleh sektor perbankan. Meningkatnya cadangan ini kemudian akan meningkatkan


(28)

ketersediaan dana dan kredit (loanable fund) yang dapat disalurkan kepada investor. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan investasi dan selanjutnya mendorong peningkatan output.

2. Balance sheet channel (jalur neraca perusahaan) yang menitikberatkan pengaruh kebijakan moneter terhadap kondisi keuangan perusahaan yang selanjutnya akan mempengaruhi akses perusahaan dalam memperoleh kredit dari bank. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku bunga di pasar uang akan turun sehingga meningkatkan harga saham. Dengan peningkatan tersebut maka nilai bersih perusahaan (networth) akan meningkat, yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan

moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini meningkatkan pemberian kredit oleh bank, selanjutnya meningkatkan investasi, dan pada akhirnya meningkatkan output.

Berkaitan dengan balance sheet channel, menurut Mishkin (2001) masalah

adverse selection terjadi semakin rendah aset yang dimiliki oleh perusahaan berarti akan semakin rendah pula jaminan terhadap utang, dan menyebabkan semakin besarnya potensi kerugian. Hal ini kemudian akan menyebabkan rendahnya penyaluran dana untuk membayar investasi perusahaan. Masalah moral hazard terjadi karena semakin rendah aset maka pemilik perusahaan akan mempunyai insentif yang semakin besar untuk mengerjakan proyek-proyek investasi yang beresiko tinggi. Semakin tinggi resiko investasi maka menyebabkan semakin tinggi pula resiko kegagalan membayar utang. Dengan demikian semakin rendah aset perusahaan akan menyebabkan semakin rendahnya


(29)

tingkat kredit yang disalurkan oleh bank dan kemudian menyebabkan semakin rendahnya investasi.

2.5. Sektor Keuangan

2.5.1. Pengertian Sektor Keuangan

Menurut DFID (Department For International Development) (2004) sektor keuangan adalah seluruh perusahaan besar atau kecil, lembaga formal dan informal di dalam perekonomian yang memberikan pelayanan keuangan kepada konsumen, para pelaku bisnis dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Dalam pengertian yang lebih luas, meliputi segala hal mengenai perbankan, bursa saham (stock exchanges), asuransi, credit unions, lembaga keuangan mikro dan pemberi pinjaman (money lender).

2.5.2. Fungsi Lembaga Perantara Keuangan

DFID (2004) mengidentifikasi lima fungsi dasar dari lembaga perantara keuangan, yaitu memobilisasi tabungan, mengelola risiko, memperoleh informasi tentang peluang-peluang investasi, memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan, memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan jasa.

2.5.2.1. Memobilisasi tabungan

Adanya fasilitas tabungan memungkinkan rumah tangga untuk menyimpan uang mereka di tempat yang aman, dan menyalurkan uangnya untuk kegiatan produktif (dipinjamkan kepada orang lain atau perusahaan untuk membiayai


(30)

investasi) sehingga akan meningkatkan akumulasi modal dan memacu perkembangan sektor swasta.

Kurangnya akses terhadap fasilitas tabungan menyebabkan seseorang menyimpan dalam bentuk aset fisik seperti perhiasan, atau menyimpan tabungannya di rumah. Cara menyimpan seperti ini menyebabkan tabungan tidak dapat digunakan secara produktif, padahal tabungan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi. Return on investment dapat menciptakan tingkat pengembalian yang positif untuk penabung, yang akhirnya dapat meningkatkan jumlah tabungan.

Dengan memobilisasi tabungan akan meningkatkan ketersediaan kredit. Kredit juga diperuntukkan untuk membiayai investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan akumulasi sumber daya manusia. Oleh karena itu, mobilisasi tabungan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan adanya peningkatan investasi, produktivitas dan sumber daya manusia.

2.5.2.2. Mengelola risiko

a. Risiko likuiditas. Banyak perusahaan membutuhkan modal jangka menengah sampai jangka panjang, sedangkan banyak investor (saver) lebih memilih untuk melakukan penarikan tabungan atau memindahkan ke peluang investasi lainnya, maka sewaktu-waktu timbul kebutuhan mereka untuk mencairkan tabungannya. Bank dan lembaga perantara keuangan yang lain memegang banyak tabungan milik rumah tangga, dan karena investor biasanya tidak akan mau menarik uangnya pada saat yang bersamaan, maka hal ini memungkinkan lembaga


(31)

perantara keuangan untuk menyediakan modal untuk investasi jangka panjang dan likuiditas untuk investor.

b. Diversifikasi risiko. Berinvestasi hanya di satu proyek akan lebih berisiko daripada berinvestasi di bermacam-macam proyek . Pada umumnya investor tidak menyukai risiko, maka lembaga perantara keuangan memfasilitasi diversifikasi risiko (bank dan bursa saham) sehingga memungkinkan investasi dialokasikan ke proyek yang lebih berisiko dengan tingkat pengembalian keseluruhan yang lebih tinggi. Hal ini turut meningkatkan tingkat pengembalian investasi (return) secara keseluruhan dan meningkatkan alokasi modal, sehingga pada akhirnya berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jadi sistem keuangan dapat mengurangi diversifikasi risiko sehingga dapat mempercepat perubahan teknologi dan pertumbuhan ekonomi.

2.5.2.3. Memperoleh informasi tentang peluang-peluang investasi

Informasi tentang investasi dan alokasi sumber daya sangat penting bagi seorang investor. Seorang investor tidak mungkin memiliki waktu, kapasitas, maupun cara mengumpulkan dan melakukan proses informasi terhadap semua peraturan perusahaan, manajer dan kondisi perekonomian. Sebagai akibatnya biaya informasi yang tinggi mampu menyimpan aliran modal yang nilai manfaatnya sangat tinggi. Kemampuan memperoleh serta memproses informasi mungkin memilki implikasi yang sangat penting terhadap pertumbuhan.

Pemantauan manajemen dan pengendalian perusahaan di samping pengurangan biaya perolehan informasi sebelumnya, perjanjian keuangan, pasar dan para perantara, dengan mengetahui informasi yang lengkap akan mengurangi


(32)

suatu aktifitas pemantauan dari manajer maupun perusahaan terhadap kebijakan yang telah dilakukan. Sebagai contoh, pemilik perusahaan akan membuat suatu aturan pengelolaan keuangan dengan maksud untuk mendorong para manajer untuk mengelola lebih baik demi kepentingan perusahaan. Sebagai perbandingan, dengan pemahaman yang sederhana, hal ini penting sebagai informasi tentang perusahaan sehingga pihak luar mengetahui berapa tingkat pengembalian proyek tersebut (Return On Invesment).

2.5.2.4. Memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan

Kemampuan lembaga perantara keuangan untuk memonitor kinerja dari suatu perusahaan (yang menyangkut kepentingan dari banyak investor) dan untuk menggunakan kontrol perusahaan, dapat menjamin bahwa para investor menerima tingkat pengembalian yang mencerminkan kinerja dari perusahaan tersebut (menjamin bahwa mereka tidak ditipu oleh manajer perusahaan karena keterbatasan informasi yang dimiliki para investor), serta menciptakan hak insentif bagi para manajer dari perusahaan untuk bekerja dengan baik. Oleh karena itu, pengaturan keuangan yang meningkatkan kontrol perusahaan dapat meningkatkan akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (melalui perbaikan alokasi kapital).

2.5.2.5 Memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan jasa

Sektor keuangan memfasilitasi transaksi dalam perekonomian, baik secara fisik melalui penyediaan jasa lalu lintas pembayaran, dan melalui pengurangan biaya informasi. Kemudahan pertukaran barang dan jasa keuangan serta biaya


(33)

transaksi yang rendah dapat meningkatkan spesialisasi, inovasi, teknologi, dan pertumbuhan ekonomi.

2.5.3. Perkembangan Sektor Keuangan

Menurut DFID (Department For International Development) (2004) sektor keuangan disebut berkembang jika memenuhi beberapa kondisi. Pertama, Efisiensi dan kekompetitifan sektor keuangan semakin meningkat. Kedua, cakupan pelayanan keuangan yang tersedia semakin meningkat. Ketiga, diversifikasi lembaga keuangan semakin meningkat. Keempat, jumlah uang yang diperantarakan melalui sektor keuangan semakin meningkat. Kelima, tingkat pengalokasian modal oleh lembaga keuangan kepada badan usaha swasta dengan merespon sinyal pasar (dibanding pinjaman langsung pemerintah dari bank pemerintah) semakin meningkat. Keenam, peraturan dan stabilitas sektor keuangan semakin meningkat

Menurut Mukhlis (2005), perkembangan dalam rasio aset keuangan terhadap PDB menunjukkan pendalaman keuangan (financial deepening). Perkembangan yang semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara. Sebaliknya semakin besar dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dalam sektor keuangan suatu negara. Dalam hal ini semakin besar rasio jumlah uang beredar terhadap GDP menunjukkan semakin efisien sistem keuangan dalam memobilisasi dana untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin besar penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin besar serta semakin meluas


(34)

kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang. Ukuran financial deepening

suatu negara ditunjukkan oleh rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan dengan uang (financial asset) dengan pendapatan nasional. Semakin tinggi rasionya mempunyai arti bahwa penggunaan uang dalam perekonomian suatu negara semakin dalam. Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin besar penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin besar serta semakin meluas kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang. Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Indikator financial deepening (M2/PDB) mengukur peranan sistem keuangan dalam memobilisasi tabungan. Financial deepening juga dikenal dengan istilah tingkat monetisasi.

Menurut Lynch (1996) terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan. Beberapa indikator tersebut seperti indikator kuantitatif, indikator struktural, indikator harga sektor keuangan, indikator skala produk dan indikator biaya transaksi. Di antara indikator-indikator tersebut, indikator kuantitatif merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan suatu negara. Berkaitan dengan indikator kuantitatif untuk melihat perkembangan sektor keuangan dalam pembangunan, maka perkembangannya dapat diukur dengan menggunakan rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap GDP (seperti rasio M1/GDP, M2/GDP, M3/GDP, M4/GDP).


(35)

Berkaitan dengan perkembangan sektor keuangan, menurut Levine (1997) terdapat empat tahap perkembangan sektor keuangan. Pertama, sektor keuangan mulai mengalami perkembangan. Kedua, sektor perbankan semakin memegang peranan penting dalam penyaluran kredit dibandingkan dengan bank sentral. Ketiga, semakin berkembangnya sektor keuangan nonbank, seperti asuransi, dana pensiun dan lembaga pembiayaan, dan keempat, semakin berkembangnya bursa saham.

2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Kar dan Pentecost (2000) meneliti hubungan antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Turki dengan menggunakan uji kausalitas Granger dalam kerangka analisis kointegrasi dan Vector Error Correction Model

(VECM) selama periode tahun 1963-1995. Proksi dari perkembangan sektor keuangan yang digunakan adalah rasio monetisasi, rasio tabungan terhadap GDP, rasio kredit yang disalurkan kepada sektor swasta terhadap GDP, dan rasio kredit domestik terhadap GDP. Hasil penelitiannya terdapat hubungan kausalitas dua arah dalam jangka panjang dan jangka pendek antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mempunyai hubungan kasualitas dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap rasio tabungan terhadap GDP dan rasio kredit domestik terhadap GDP, dan hanya mempunyai hubungan kausalitas dalam jangka panjang terhadap rasio kredit yang disalurkan kepada sektor swasta terhadap GDP.


(36)

Penelitian Hasiholan (2003) menganalisis kausalitas terhadap hubungan antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan dan volatilitas ekonomi di Indonesia selama periode 1983.2-2000.4. Volatilitas ekonomi menggunakan standar-deviasi dari pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Uji kausalitas dilakukan dengan menggunakan uji kausalitas Granger dalam kerangka analisis kointegrasi dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas Granger dua arah antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Serta hubungan kausalitas Granger dari perkembangan sektor keuangan ke arah volatilitas ekonomi dalam jangka pendek.

Penelitian yang dilakukan oleh Abdurahman (2003) menguji kembali peran sektor perbankan sejak periode liberalisasi perbankan tahun 1983 hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 dalam mendorong kinerja perekonomian Indonesia. Penelitiannya menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kredit yang disalurkan kepada sektor swasta berpengaruh signifikan terhadap GDP riil, berhasilnya reformasi keuangan sejak 1983 dibuktikan oleh peningkatan yang besar dalam rasio tabungan, kredit dan investasi terhadap GDP. Hasil penelitian ini adalah perkembangan sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi ( supply-leading).

Penelitian yang dilakukan Inggrid (2006) menganalisis pengaruh perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama


(37)

kurun waktu 1992:2-2004:4. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan kausalitas dua arah di antara pertumbuhan ekonomi dan volume kredit serta kausalitas satu arah yang berasal dari spread suku bunga menuju pertumbuhan ekonomi, maka sistem keuangan dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan di Indonesia. Analisis ekonometrika dengan Vector Error Correction Model (VECM) mendukung hipotesis signifikansi peranan sektor keuangan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, melalui kenaikan ketersediaan kredit, baik dari segi

volume maupun harga.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

Peneliti dan Tahun Penelitian

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian Metode Penelitian Kesimpulan

Kar dan Pentecost (2000) Financial Development and Economic Growth in Turkey: Further Evidence on the Causality Issue Meneliti hubungan antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Turki

Vector Error Correction Model

(VECM)

Terdapat hubungan kausalitas Granger dua arah dalam jangka panjang dan jangka pendek antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Hasiholan (2003) Hubungan Antara Perkembangan Sektor Keuangan Dengan Pertumbuhan dan Volatilitas Ekonomi di Indonesia, 1983.2-2000.4: Suatu Analisis Kausalitas Mengetahui hubungan kausalitas antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dan volatilitas ekonomi di Indonesia

Vector Error Correction Model

(VECM)

dan Generalized

Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH) Ada hubungan kausalitas Granger:

• dua arah antara perkembangan sektor keuangan dengan

pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang

• dari

perkembangan sektor keuangan ke arah volatilitas ekonomi dalam jangka pendek Abdurahman

(2003)

The Role Of Financial

Menguji kembali peran sektor

Ordinary Least

Square (OLS)

Berhasilnya reformasi keuangan


(38)

Development In Promoting Economic Growth: Empirical Evidence Of Indonesian Economy perbankan sejak periode liberalisasi perbankan hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi dalam mendorong kinerja perekonomian Indonesia

di Indonesia sejak 1983 dibuktikan oleh peningkatan yang besar dalam rasio tabungan, kredit dan investasi terhadap GDP. Hasil

penelitian ini adalah perkembangan sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi ( supply-leading). Inggrid (2006) Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM) Menganalisis peranan sektor keuangan dalam memacu pertumbuhan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia Vector Error Correction Model (VECM) Uji kausalitas Granger menunjukkan kausalitas dua arah di antara

pertumbuhan ekonomi dan volume

kredit serta kausalitas satu arah yang berasal dari

spread suku bunga

menuju pertumbuhan ekonomi, maka sistem keuangan dapat menjadi mesin penggerak

pertumbuhan di Indonesia.


(39)

2.7. Kerangka Pemikiran

Pergeseran di dalam pasar barang dan jasa menimbulkan ketidakseimbangan dalam pasar yang ditandai dengan adanya biaya dalam melakukan transaksi dan memperoleh informasi, sehingga menimbulkan insentif bagi munculnya sektor keuangan dalam perekonomian berupa pasar keuangan dan lembaga perantara keuangan. Kemudian kemunculan sektor keuangan memainkan fungsi yang penting di dalam perekonomian. Secara spesifik, sektor keuangan berfungsi untuk memobilisasi tabungan, mengelola resiko, menurunkan biaya dalam memperoleh informasi mengenai proyek-proyek investasi yang potensial, melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek investasi, memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan, memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan jasa.

Kemudian karena fungsi-fungsi dari sektor keuangan tersebut, maka akan menyebabkan perkembangan sektor keuangan. Selanjutnya sektor keuangan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui saluran pertumbuhan. Saluran pertumbuhan ini terbagi dua yaitu akumulasi modal dan inovasi teknologi. Saluran pertumbuhan akumulasi modal dalam penelitian ini terbagi menjadi tabungan dan jumlah kredit yang disalurkan kepada pihak swasta. Saluran pertumbuhan akumulasi modal akan mempengaruhi motivasi masyarakat untuk menabung sehingga mempengaruhi tingkat tabungan yang akan mendorong investasi dan akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kemudian melalui kredit swasta, maka penyaluran kredit ini merupakan aktivitas sektor keuangan yang sangat penting, yaitu dalam hal penyaluran dana dari masyarakat yang kelebihan


(40)

dana kepada pihak investor yang kekurangan dana. Penyaluran kredit swasta akan mempengaruhi investasi dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan saluran pertumbuhan melalui inovasi teknologi bidang keuangan diwakili oleh tingkat monetisasi di dalam perekonomian, yang mencerminkan ukuran kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang dan inovasi dalam produk-produk keuangan. Tingkat monetisasi yaitu rasio jumlah uang beredar (M2) terhadap Gross Domestic Product (GDP). Tingkat monetisasi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.


(41)

Fungsi sektor keuangan

Saluran pertumbuhan Sektor Keuangan: Pasar Keuangan dan

Lembaga Perantara Keuangan

Pertumbuhan Ekonomi

Kredit Swasta Tingkat Monetisasi

Tabungan

Akumulasi Modal Inovasi Teknologi

Bidang Keuangan Perkembangan

sektor keuangan

Investasi

Pergeseran Pasar Barang dan Jasa:

• Biaya informasi

• Biaya transaksi


(42)

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu serta variabel-variabel yang dijelaskan dalam penelitian ini untuk menguji apakah terjadi hubungan antar variabel, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis, yaitu:

1. Kredit swasta memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

2. Tabungan memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

3. Tingkat monetisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.


(43)

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series kuartalan dari kuartal pertama Maret 2002 sampai kuartal pertama Maret 2010. Sumber data berasal dari Bank Indonesia (BI), internet, buku dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini. Pengolahan data pada penelitian kali ini akan menggunakan software Eviews 4.1

dan Microsoft Excel 2003.

Tabel 3.1 Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data

Variabel Satuan Simbol Sumber

Gross Domestic Product Riil Miliar Rupiah GDP Bank Indonesia

Tingkat monetisasi Persen M2Y Bank Indonesia

Kredit perbankan kepada sektor swasta

Miliar Rupiah K Bank Indonesia

Tabungan Miliar Rupiah T Bank Indonesia

3.2. Deskripsi Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi (GDP)

Variabel ini diperoleh dari Gross Domestic Product (GDP) riil dengan menggunakan tahun dasar 2000. GDP merupakan penjumlahan total terhadap barang-barang dan jasa akhir.


(44)

2. Tingkat monetisasi (M2Y)

Variabel ini merupakan rasio antara jumlah uang beredar (M2) terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Y nominal. Jumlah uang beredar (M2) terdiri dari uang primer (M1) ditambah dengan tabungan dan deposito berjangka. 3. Kredit perbankan kepada sektor swasta (K)

Variabel ini merupakan total kredit perbankan yang disalurkan kepada sektor-sektor ekonomi swasta. Menurut Bank Indonesia kredit perbankan merupakan tagihan perbankan pada sektor swasta domestik karena pemberian pinjaman kepadanya.

4. Tabungan (T)

Variabel ini merupakan total simpanan masyarakat pada bank umum.

3.3. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model sebagai berikut:

i

i M Y LGK LGT e

LGGDP01 2 +β23 + (3.1)

Keterangan:

GDPi : Pertumbuhan ekonomi (miliar Rp) M2Y : Tingkat monetisasi (persen)

K : Kredit perbankan kepada sektor swasta (miliar Rp) T : Tabungan (miliar Rp)

βn : Parameter yang diduga (n = 1,2,3, …) e : error


(45)

3.4. Metode Analisis Data dan Asumsi Model Regresi OLS

Penelitian ini menggunakan metode analisis Ordinary Least Square

(OLS). Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Eviews 4.1

dan Microsoft Excel.

Formula atau rumus regresi diturunkan dari suatu asumsi data tertentu. Dengan demikian tidak semua data dapat diterapkan regresi. Jika data tidak memenuhi asumsi regresi, maka penerapan regresi akan menghasilkan estimasi yang bias. Jika data memenuhi asumsi regresi maka estimasi (β) diperoleh akan bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Hasil estimasi yang bersifat BLUE adalah:

1. Best artinya yang terbaik, dalam arti garis regresi merupakan estimasi atau ramalan yang baik dari suatu sebaran data. Garis regresi merupakan cara memahami pola hubungan antara dua seri data atau lebih. Garis regresi adalah

best jika garis itu menghasilkan error yang terkecil. Error itu sendiri adalah perbedaan antara nilai observasi dan nilai yang diramalkan oleh garis regresi. Jika best disertai sifat unbiased maka estimator regresi disebut efisien.

2. Linear. Estimator β disebut linear jika estimator itu merupakan fungsi linear dari sampel.

Rata-rata

(

x x xn

n X n

X = 1

= 1 1+ 2 +...+

)

(3.2) Adalah estimator yang linear, karena merupakan fungsi linear dari nilai-nilai X. Nilai-nilai OLS juga merupakan klas estimator yang linear.


(46)

3. Unbiased. Suatu estimator dikatakan unbiased jika nilai harapan dari estimator

β sama dengan nilai yang benar dari β. Rata-rata β = β

Bias = Rata-rata β – β

Metode OLS (Ordinary Least Square) yang dirumuskan di atas merupakan klas penaksir yang memiliki sifat BLUE. OLS akan memiliki sifat BLUE jika memenuhi asumsi-asumsinya, dari mana penurunan formula OLS diturunkan. Menurut Gujarati (1997) ada 10 asumsi yang menjadi syarat penerapan OLS. 1. Model regresi merupakan hubungan linear dalam parameter.

Y = a + b X + e (3.3)

Untuk model regresi:

Y = a + b X + c X2 + e (3.4)

Walaupun variabel X dikuadratkan tetap merupakan regresi yang linear dalam parameter, sehingga OLS masih dapat diterapkan.

2. Nilai X adalah tetap dalam sampling yang diulang-ulang. Tepatnya bahwa nilai X adalah nonstokastik(tidak random).

3. Variabel pengganggu e memiliki rata-rata nol. Ini berarti garis regresi pada nilai X tertentu tepat di tengah-tengah sehingga rata-rata error yang di atas regresi dan di bawah garis regresi kalau djumlahkan hasilnya nol.

4. Homoskedastisitas atau variabel pengganggu e memiliki varian yang sama sepanjang observasi dari berbagai nilai X. Ini berarti data Y pada setiap nlai X tertentu memiliki rentangan yang sama.


(47)

E (e Xi ) (e Xj) = 0 (3.5) Jika korelasi et dan et-1 rendah maka berarti tidak terdapat autokorelasidari e. 6. Variabel X dan variabel pengganggu e tidak berkorelasi. Ini berarti kita data

memisahkan pengaruh X atas Y dan pengaruh variabel e atas Y. Jika X dan e berkorelasi maka pengaruh keduanya akan tumpang tindih (sulit dipisahkan pengaruh masing-masing atas Y). Asumsi ini pasti terpenuhi jika X adalah variabel nonstokastik.

7. Jumlah observasi atau besar sampel n harus lebih dari jumlah parameter yang diestimasi. Bahkan untuk menjamin terpenuhinya asumsi yang lain, sebaliknya n besar sampel harus cukup besar.

8. Variabel X harus memiliki variabilitas. Jadi tidak bias dilakukan regresi jika nilai X selalu sama sepanjang observasi.

9. Model regresi secara benar terspesifikasi. Tidak ada spesifikasi yang bias. Artinya, kita sudah memasukkan variabel yang direkomendasikan oleh teori dengan tepat. Atau juga kita tidak memasukkan variabel yang sembarangan yang tidak jelas kaitannya. Spesifikasi ini juga menyangkut bentuk fungsi apakah parameter linear, dan juga bentuk X linear (pangkat 1) atau kuadratik (berbentuk kurva U), atau kubik (bentuk S).

10.Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas X1, X2 dan Xn. Jelasnya korelasi antar variabel penjelas tidak boleh sempurna atau sangat tinggi.

Dari asumsi-asumsi di atas tidak semuanya perlu diuji. Sebagian cukup hanya diasumsikan sedangkan sebagian yang lain memerlukan tes. Untuk memenuhi


(48)

asumsi-asumsi di atas estimasi regresi dilengkapi dengan uji asumsi klasik atau uji ekonometrika.

3.5. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik

Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik. Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan uji kriteria statistik dilakukan dengan uji t (uji parsial), uji F (uji serempak), dan uji koefisien determinasi (R2).

3.5.1. Uji t (Uji Parsial)

Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya (dependent variable).

Uji Dua Arah

H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0

H1 : minimal ada salah satu bi≠ 0

Tolak H0 jika thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf nyata α.

Uji Satu Arah

H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0 H1 : bi > 0 atau bi < 0


(49)

Tolak H0 jika thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata positif atau negatif pada taraf nyata α.

3.5.2. Uji F (Uji Serempak)

Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas (independent variable) secara serentak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya (dependent variable). Apabila uji F diterima (lebih kecil dari taraf nyata α) hal ini menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya pada taraf nyata α. H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0, maka variabel independen secara bersama-sama tidak

mempengaruhi variabel dependen.

H1 : bi ≠ 0, maka variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen.

Tolak H0 jika Fhitung > Fα(k, n-k-1) k : banyaknya variabel bebas

3.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikatnya. Ada dua sifat R2 yaitu:


(50)

2. Batasnya adalah antara 0 dan 1, jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebasnya.

3.6. Uji Ekonometrika 3.6.1. Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi bila adanya pelanggaran pada asumsi regresi. Hal tersebut ditandai dengan varian variabel pengganggunya tidak tetap. Pelanggaran ini akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heteroscdasticity Test (Gujarati, 1997). Nilai probabilitas Obs*R-squared

dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0 : homoskedastisitas. Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0

Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0

Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga dengan sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.

3.6.2. Autokorelasi

Dalam model regresi akan terjadi autokorelasi apabila terjadi bentuk fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model terjadi interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi first degree dapat digunakan nilai Durbin-Watson (DW) dari hasil regresi (Gujarati, 1997).


(51)

Namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi digunakan Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier Test (LM). Apabila adanya hubungan korelasi antara error maka akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Probabilitas Obs*R-squared dijadikan untuk menolak atau menerima

H0 : tidak ada autokorelasi

Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0 Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0

Apabila H0 ditolak maka terjadi autokorelasi, begitu juga dengan sebaliknya apabila terima H0 maka tidak terjadi autokorelasi.

3.6.3. Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan memperhatikan nilai probabilits t-statistik hasil regresi (Gujarati, 1997). Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada model. Kemudian cara lain dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi


(52)

dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan varaiabel bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut.

Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas. Salah satunya menurut Gujarati (1997) yaitu:

”Melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.”

Cara yang lainnya yaitu:

”Melalui correlation matric dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi multikolinearitas.”

Apabila terjadi nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 |, maka menurut Uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya.

3.7. Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)

Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai ketika mengunakan data cross section. Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode Ordinary Least Square

(OLS) dengan mengunakan data time series (Sarwoko, 2005) antara lain:

1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten dan terprediksi sebelum variabel lain ditentukan kemudian. Jika suatu variabel mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama


(53)

tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hampir dapat dipastikan bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.

2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan variabel-variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.

3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada waktu itu.

4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.

5. Sulit untuk menemukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teori kurang jelas, maka akan muncul dilema. 6. Sulit untuk menemukan model persamaan mana yang lebih baik.

7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.


(54)

4.1. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Tahun 1983

Memasuki awal periode 1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran dunia dan berlanjutnya resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian dalam negeri. Daya saing produk Indonesia menurun karena nilai rupiah over valued akibat tingginya laju inflasi dibandingkan dengan negara pesaing atau negara rekanan dagang utama Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi semakin menurun tajam dan defisit neraca pembayaran cukup besar. Untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia, maka ditempuh beberapa kebijakan pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar.

Pada bulan Juni 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi sektor keuangan yang tujuannya adalah untuk memobilisasi dana dari dalam negeri serta untuk meningkatkan tingkat efisiensi dan persaingan pada sektor keuangan. Isi dari deregulasi tersebut adalah pelepasan pagu kredit, menghilangkan pembatasan suku bunga perbankan, peningkatan suku bunga tabanas, dan pelonggaran atas pajak deposito.

Deregulasi pada sektor keuangan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi pada bulan Oktober 1988 yang isinya adalah menghilangkan hambatan bagi investor untuk mendirikan bank baru, memberikan keleluasaan bagi perbankan untuk membuka kantor-kantor cabang, menurunkan rasio cadangan wajib, dan mendorong perkembangan pasar uang dan pasar modal. Kemudian untuk


(55)

menyesuaikan kondisi perbankan dengan perkembangan perekonomian, pada tahun 1992 pemerintah mengeluarkan UU nomor 7 tahun 1992 sebagai pengganti atas UU nomor 14 tahun 1967 mengenai pokok-pokok perbankan.

Kedua deregulasi sektor keuangan pada tahun 1980-an melatarbelakangi perkembangan sektor keuangan di Indonesia. Setelah deregulasi-deregulasi tersebut banyak perubahan yang terjadi. Jumlah bank maupun kantor bank juga menunjukkan peningkatan yang pesat. Sebelum tahun 1988, jumlah bank maupun kantor bank tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Bahkan jumlah bank swasta selama periode tahun 1978-1988 justru mengalami penurunan dari 83 bank menjadi hanya 63 bank. Jumlah kantor bank swasta maupun pemerintah hanya mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 107 persen dan 18,9 persen. Pertumbuhan ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan setelah tahun 1988. selama periode tahun 1988-1997, jumlah kantor bank swasta dan pemerintah masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 642 persen dan 87 persen. Selama periode tersebut jumlah bank swasta meningkat menjadi 144 bank (Tabel 1.1).

4.2. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Krisis Moneter 1997

Menurunnya nilai rupiah secara tajam yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan tingginya tekanan inflasi. Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah mengurangi jumlah uang yang beredar dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang kemudian berdampak pada meningkatnya suku bunga tabungan dan suku


(56)

bunga kredit. Meningkatnya suku bunga tabungan menyebabkan meningkatnya dana masyarakat yang mengalir ke sistem perbankan. Namun di lain pihak, meningkatnya suku bunga kredit menyebabkan menurunnya kredit yang disalurkan oleh sektor perbankan.

Kemudian pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut dengan mengucurkan dana kepada sistem perbankan dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selanjutnya pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada bulan Januari 1998 melalui Keppres RI nomor 27 tahun 1998. Menurut keppres tersebut, tugas BPPN adalah untuk melaksanakan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada bank umum, melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat, dan melakukan tindakan hukum dalam rangka penyehatan bank. Bersamaan dengan itu pemerintah juga mengeluarkan Keppres RI nomor 25 tahun 1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum. Pemberian jaminan kepada para nasabah tersebut dilakukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan nasional.

Restrukturisasi perbankan kemudian dilanjutkan kembali dengan menutup, mengambil alih maupun melakukan rekapitalisasi terhadap bank-bank yang bermasalah. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah bank dan kantor bank setelah krisis moneter. Pada akhir tahun 1997 jumlah bank dan kantor bank masing-masing adalah 222 bank dengan 6.308 kantor. Namun pada tahun 1999 jumlah bank berkurang menjadi 173 bank dengan 5.807 kantor (Tabel 1.1).


(57)

Untuk memperketat regulasi dan pengawasan terhadap sektor perbankan, dan untuk menyesuaikan kondisi perbankan dengan perkembangan perekonomian, maka pemerintah mengeluarkan UU nomor 10 tahun 1998 sebagai pengganti UU perbankan nomor 7 tahun 1992 tentang pokok-pokok perbankan. Kemudian undang-undang tersebut diikuti pula dengan dikeluarkannnya berbagai regulasi mengenai prinsip kehati-hatian bank, seperti regulasi yang berkaitan dengan bats maksimum pemberian kredit, dan ketentuan mengenai capital adequacy ratio (CAR) minimum.

Selanjutnya sejak tahun 1999, sebagai respon terhadap krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997-1998 maupun untuk memfasilitasi transisi sektor keuangan Indonesia untuk lebih berkembang, maju, dan lebih terintegrasi dengan lingkungan keuangan internasional, Indonesia telah mengimplementasikan reformasi sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan Indonesia dilaksanakan secara berkesinambungan untuk menciptakan sektor keuangan yang kuat, terdiversifikasi, dalam, likuid serta mampu melakukan fungsi intermediasi secara efisien dan efektif yaitu mampu memobilisasi tabungan yang diperoleh dimanapun dan dengan besaran apapun serta menyalurkannya untuk mendukung investasi dan aktivitas produksi untuk menciptakan pertumbuhan. Pasar keuangan yang makin berkembang akan memfasilitasi alokasi sumber daya dan manajemen resiko secara lebih efisien dan lebih baik.


(58)

4.3. Perkembangan Sektor Keuangan Selama Periode Penelitian (2002-2010)

Aset perbankan mengalami pertumbuhan yang pesat yang menunjukkan semakin berkembangnya sektor keuangan di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya aset perbankan nasional, maka proporsi aset Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) semakin mengalami peningkatan (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Jumlah Aset Berdasarkan Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)

Kelompok Bank

Bank Persero

BPD BUSN Bank Asing dan

Campuran

Total

2002 516.557 58.178 414.901 122.568 1.112.204 2003 556.125 66.418 461.708 129.267 1.213.518 2004 518.975 78.487 517.481 157.138 1.272.081 2005 565.585 106.411 597.514 200.318 1.469.827 2006 621.212 159.476 692.659 220.504 1.693.851 2007 741.988 170.012 807.742 266.758 1.986.501 2008 847.563 185.252 925.937 351.805 2.310.557 2009 979.078 200.542 1.014.311 340.177 2.534.106 2010 1.115.519 239.141 1.281.855 372.337 3.008.852 Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (2002-2010)

Semakin besarnya peranan sektor swasta dalam industri perbankan juga dapat dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan ke sektor-sektor perekonomian. Seperti dapat dilihat pada Tabel 4.2, penyaluran kredit yang dilakukan oleh sektor perbankan menunjukkan trend yang semakin meningkat, dan pada tahun 2006 penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank-bank swasta telah mencapai nilai yang lebih tinggi daripada penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank-bank pemerintah.


(59)

Tabel 4.2. Kredit yang Disalurkan Dalam Rupiah dan Valuta Asing Berdasarkan Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)

Kelompok Bank

Bank Persero

BPD BUSN Bank Asing dan

Campuran

Total

2002 150.633 21.496 137.292 44.623 354.044 2003 177.137 28.348 174.485 60.535 440.505 2004 222.855 37.232 224.277 75.107 559.471 2005 256.413 44.930 294.433 99.873 695.648 2006 287.910 55.955 334.371 114.062 792.298 2007 356.151 71.880 431.607 142.376 1.002.011 2008 470.665 96.386 551.406 189.221 1.307.678 2009 544.870 120.754 591.317 179.508 1.437.930 2010 642.718 143.766 767.397 212.024 1.765.905 Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (2002-2010).


(60)

Berdasarkan Lampiran 1, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

LGGDP = 4.1776 + 0.0216LGK + 0.2535LGT - 0.1130M2Y (0,1252) (0,0384) (0,0488) (0,0183)

Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Lampiran 1, persamaan pertumbuhan ekonomi (GDP) tersebut memiliki variabel penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0.990838. Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan secara linier oleh variabel independen di dalam persamaan sebesar 99.0838 persen, dan sisanya 0.9172 persen djelaskan oleh faktor-faktor di luar persamaan. Mengacu pada probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.000000, maka persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (LGGDP) pada taraf nyata lima persen.

Selanjutnya untuk melakukan pengujian terhadap masing-masing faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikan terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probabilitas masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan. Nilai probabilitas lebih dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Berdasarkan nilai statistik


(61)

uji-t menunjukkan bahwa ada dua variabel yang berpengaruh secara nyata dan signifikan pada tingkat kepercayaan lima persen. Variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah tabungan (LGT) dan tingkat monetisasi (M2Y). Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan adalah kredit swasta (LGK).

5.2. Uji Ekonometrika

Estimasi parameter regresi dengan menggunakan Ordinary Least Square

(OLS) haruslah memenuhi asumsi-asumsi model regresi OLS. Untuk melihat apakah asumsi-asumsi klasik itu terpenuhi, perlu dilakukan pengujian setelah perhitungan dan uji hipotesis dilakukan yang meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik tersebut. Bila terjadi pelanggaran maka akan diperoleh hasil yang tidak valid.

Tabel 5.1. Hasil Estimasi Variabel Dependen LGGDP

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.177615 0.125235 33.35808 0.0000

LGK 0.021647 0.038477 0.562602 0.5780

LGT 0.253518 0.048820 5.192950 0.0000

M2Y -0.113023 0.018304 -6.174783 0.0000

R-squared 0.991696 F-statistic 1154.499

Adjusted R-squared 0.990838 Prob(F-statistic) 0.000000

Durbin-Watson stat 1.545147 Prob. Obs*R-squared (LM test) 0.051012

Prob. Obs*R-squared (White Heteroscedasticity)

0.978188 Keterangan: Taraf Nyata α = 0,05 (5%)

Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa pada uji heteroskedastisitas persamaan pertumbuhan ekonomi ini memiliki nilai probabilitas Obs*R-squared


(62)

probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen. Jadi dapat disimpulkan bahwa probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata sehingga persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas pada taraf nyata lima persen.

Pada uji autokorelasi, persamaan ini memiliki probabilitas Obs*R-squared

(LM Test) dengan nilai sebesar 0.051012. Sementara taraf nyata yang dipakai dalam penelitian ini sebesar lima persen. Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi karena nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen.

Pada uji multikolinearitas, persamaan ini menggunakan Uji Klein dan tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada

correlation matrix (Lampiran 4). Sekalipun pada correlation matrix tersebut terdapat nilai korelasi yang lebih besar dari | 0,80 |, yaitu antara kredit swasta dan tingkat tabungan sebesar 0.986972, antara kredit swasta dan tingkat monetisasi sebesar 0.939423, serta antara tingkat tabungan dan tingkat monetisasi sebesar -0.904200 (Lampiran 4), namun karena pada uji multikolinearitas ini menggunakan Uji Klein sehingga multikolinearitas masih bisa diabaikan apabila nilai korelasi-korelasi antar variabel tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya. Pada analisis ini menunjukkan bahwa nilai Adjusted R-squared-nya diperoleh sebesar 0.990838, sedangkan korelasi yang terbesar yang terjadi antar variabel adalah


(63)

0.986972, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala multikolinearitas.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan persamaan ini tidak mengalami gangguan ekonometrika, baik itu heteroskedastisitas, autokorelasi dan multikolinearitas.

5.3. Analisis Hubungan antara Perkembangan Sektor Keuangan dengan Pertumbuhan Ekonomi

5.3.1. Kredit Swasta (LGK)

Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel kredit swasta (LGK) sebesar 0.021647, artinya kenaikan satu persen pada nilai kredit swasta menyebabkan peningkatan sebesar 0.021647 persen terhadap pertumbuhan ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari nilai kredit swasta ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar 0.021647 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan nilai kredit swasta ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi .

Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel kredit swasta (LGK) sebesar 0.5780. Karena probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata lima persen maka hal ini menunjukan bahwa kredit swasta mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua.

Jadi, kredit swasta berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Maka hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua.


(64)

5.3.2. Tabungan (LGT)

Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel tabungan (LGT) sebesar 0.253518, artinya kenaikan satu persen pada nilai tabungan menyebabkan peningkatan sebesar 0.253518 persen terhadap pertumbuhan ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari nilai tabungan ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar 0.253518 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan nilai tabungan ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel tabungan (LGT) sebesar 0.0000. Karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata lima persen maka hal ini menunjukan bahwa tabungan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil estimasi bahwa tabungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jadi, tabungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Maka hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua.

5.3.3. Tingkat Monetisasi (M2Y)

Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel tingkat monetisasi (M2Y) sebesar -0.113023, artinya kenaikan satu persen pada nilai tingkat monetisasi menyebabkan penurunan sebesar 0.113023 persen terhadap pertumbuhan ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari nilai tingkat monetisasi ini akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi


(65)

sebesar 0.113023 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa tingkat monetisasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel tingkat monetisasi (M2Y) sebesar 0.0000. Hal ini menunjukan bahwa tingkat monetisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil estimasi bahwa tingkat monetisasi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

Jadi, tingkat monetisasi selama periode penelitian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Maka hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa tingkat monetisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

5.4. Pembahasan Ekonomi

Nilai kredit swasta mempunyai hubungan yang positif namun tidak signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan nilai kredit swasta ini mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Nilai kredit swasta berpengaruh positif namun pengaruhnya kecil terhadap pertumbuhan ekonomi, hal ini dikarenakan jumlah kredit yang disalurkan bank bertambah tetapi jumlah investasi tidak dapat mengimbangi peningkatan kredit, sehingga pada akhirnya kurang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga disebabkan oleh terkonsentrasinya penyaluran kredit pada kegiatan konsumsi dan bukannya pada kredit investasi.


(66)

Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam usaha mendorong investasi menyebabkan perkembangan sektor keuangan, melalui kenaikan penggunaan kredit sebagai alternatif pembiayaan. Hal ini, selanjutnya membawa ekspansi pada sektor perbankan dan jasa-jasa keuangan lain, guna memfasilitasi investasi dan akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan aktivitas ekonomi memerlukan lebih banyak modal yang disuplai oleh institusi-institusi keuangan dan memicu munculnya produk-produk keuangan yang beraneka ragam.

Oleh karena itu dibutuhkan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia agar dapat memberikan sinyal yang jelas serta mengurangi informasi asimetrik mengenai kondisi individu pelaku dunia usaha. Sehingga pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang kondusif baik menyangkut pemberantasan ekonomi biaya tinggi, kepastian hukum, infrastruktur maupun keamanan agar dapat menarik penanaman modal baru. Namun yang terpenting adalah implementasi di lapangan dan efektivitas pemantauan dari kebijakan-kebijakan tersebut agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih tinggi.

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5.1, menunjukkan bahwa tabungan mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata sebesar lima persen. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar yang mengatakan bahwa tabungan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak tabungan maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat.


(67)

Sejak ditetapkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang pokok-pokok kebijakannya berisi antara lain untuk mengerahkan dana dari masyarakat dengan cara memudahkan pembukaan kantor cabang baru, pendirian bank swasta baru, keleluasaan penyelenggaraan tabungan, dan perluasan kantor cabang bank. Setelah adanya PAKTO 88 ini, maka semakin mudah bank didirikan dan semakin bervariasi juga bentuk-bentuk tabungan yang ditawarkan oleh bank-bank yang sudah terbentuk baik swasta maupun pemerintah. Semenjak saat itu, tabungan nasional mulai meningkat drastis.

Sedangkan tingkat monetisasi mempunyai hubungan yang negatif dan signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena selama periode penelitian dari kuartal pertama tahun 2002 sampai dengan kuartal pertama tahun 2010 tingkat monetisasi mengalami penurunan seperti dapat dilihat pada grafik data di Lampiran 5. Tingkat monetisasi yang menurun terutama disebabkan karena peningkatan Gross Domestic Product (GDP) yang jauh melampaui pertumbuhan jumlah uang beredar (M2).

Tingginya penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran tergambar dari tingkat monetisasi. Tingkat monetisasi merupakan tingkat aktivitas ekonomi yang menggunakan instrumen keuangan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan dapat juga dijelaskan sebagai tingkat pembiayaan ekonomi dari instrumen keuangan yang dimiliki masyarakat.

Tingkat monetisasi juga merupakan sebuah tanda modernisasi suatu perekonomian yang ditandai dengan less-cash transaction. Tingkat monetisasi diukur dengan pendekatan rasio total jumlah uang beredar (M2) terhadap Gross


(1)

55

mendukung transaksi pembayaran nontunai. Pihak perbankan diharapkan dapat menjalin kerja sama kepada pelaku usaha terutama dalam pembayaran nontunai, memperbanyak jaringan ATM dan kantor cabang untuk mempermudah akses dalam transaksi nontunai, mengurangi biaya transaksi untuk penggunaan kartu kredit atau kartu debet, dan melakukan sosialisasi efektifitas dan efisiensi penggunaan kartu debet atau kredit serta produk-produk transaksi pembayaran nontunai lainnya sebagai alat transaksi.

2. Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan berupa dorongan menjalankan fungsi intermediasi bank-bank yang ada di Indonesia. Intermediasi perbankan memegang peranan penting dalam perkembangan sektor keuangan dan berhubungan langsung dengan jumlah uang beredar sehingga berdampak pada tingkat monetisasi. Dalam menjalankan intermediasinya, sektor perbankan sebaiknya didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit terutama untuk kegiatan investasi yang produktif. Salah satu usaha yang dapat dilakukan agar penyaluran kredit efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah mendorong perbankan meningkatkan kredit untuk investasi dan menurunkan porsinya untuk kredit konsumsi.

3. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan peran masyarakat melalui tabungan. Produk tabungan yang ada harus merangsang masyarakat, khususnya kelompok kecil, untuk menabung. Tabungan merupakan modal potensial dalam perekonomian, agar potensi ini dapat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi, maka perlu disalurkan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan modal untuk membiayai kegiatan yang produktif.


(2)

Abdurahman. 2003. “The Role Of Financial Development In Promoting Economic Growth: Empirical Evidence Of Indonesian Economy”. Jurnal Keuangan dan Moneter, 6: 84-96.

Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, 1978-2010. Bank Indonesia, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, 1971-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Department For International Development (DFID). 2004. “The Importance of Financial Sector Development for Growth and Poverty Reduction”. Policy Division Working Paper.

Graff, M. 2001. “Financial Development and Economic Growth in Corporatist and Liberal Market Economies”. 30th Annual Conference of Economists, Perth.

Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Hasiholan, R. M. 2003. Hubungan Antara Perkembangan Sektor Keuangan Dengan Pertumbuhan dan Volatilitas Ekonomi di Indonesia, 1983.2-2000.4: Suatu Analisis Kausalitas [tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Mukhlis. 2005. “Analisis Financial Deepening di Indonesia Tahun 1975-2000”. Ekofeum Online. Jurnal Ekonomi Pembangunan. FE UM.

Inggrid. 2006. ”Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Fakultas Ekonomi UK Petra, 8:40-50

Kar, M. dan E.J. Pentecost. 2000. “Financial Development and Economic Growth in Turkey: Further Evidence on the Causality Issue”, Economic Research Paper, 00(27), Loughborough University.

Levine, R. 1997. “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda”. Journal of Economic Literature, 35: 688-726.

Lynch, David. 1996. ”Measuring Financial Sector Development: A Study of Selected Asia-Pasific Countries”. The Developing Economies, XXXIV-1.


(3)

57

Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Edisi ke-5. Erlangga, Jakarta.

Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. 6th Edition, Addison Wesley Longman, New York.

Pasaribu, S. H., D. Hartono dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta.

Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke-8. Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Warjiyo, P. dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia, Seri Kebanksentralan, No. 6. Bank Indonesia, Jakarta.

Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. YKPN, Yogyakarta.


(4)

(5)

59

Lampiran 1. Uji Persamaan Regresi Dependent Variable: LGGDP

Method: Least Squares Date: 05/19/10 Time: 14:54 Sample: 2002:1 2010:1 Included observations: 33

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 4.177615 0.125235 33.35808 0.0000

LGK 0.021647 0.038477 0.562602 0.5780

LGT 0.253518 0.048820 5.192950 0.0000

M2Y -0.113023 0.018304 -6.174783 0.0000

R-squared 0.991696 Mean dependent var 5.657394

Adjusted R-squared 0.990838 S.D. dependent var 0.056810

S.E. of regression 0.005438 Akaike info criterion -7.477639

Sum squared resid 0.000858 Schwarz criterion -7.296244

Log likelihood 127.3810 F-statistic 1154.499

Durbin-Watson stat 1.545147 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 2. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test:

F-statistic 0.202661 Probability 0.987557

Obs*R-squared 2.088209 Probability 0.978188

Lampiran 3. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 4.608159 Probability 0.018976

Obs*R-squared 8.397830 Probability 0.051012

Lampiran 4. Matriks Korelasi antar Variabel Bebas

LGK LGT M2Y

LGK 1.000000 0.986972 -0.939423

LGT 0.986972 1.000000 -0.904200


(6)

Lampiran 5. Grafik Data 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2 6.3

02 03 04 05 06 07 08 09

LGT 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2

02 03 04 05 06 07 08 09

LGK 5.56 5.60 5.64 5.68 5.72 5.76

02 03 04 05 06 07 08 09

LGGDP 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0

02 03 04 05 06 07 08 09