Akibat Konflik Peran Konflik Peran

2. Adanya pertentangan antara nilai-nilai hidup dengan peran yang dimiliki. Indikator adalah adanya tekanan dan merasa pelaksanaan peran yang satu akan mempengaruhi hasil pelaksanaan peran lain.

2.2.5 Akibat Konflik Peran

Konflik peran yang tidak mampu diatasi dengan baik akan menimbulkan dampak yang merugikan baik bagi organisasi maupun individu didalamnya. Menurut Hardjana 1994:19 konflik tak selalu diungkapkan secara terbuka dan dengan nada tinggi. Oleh karena itu konflik selalu dapat dilihat dan ditunjuk adanya dan yang nampak bukanlah konflik itu sendiri, tetapi hanya gejala- gejalanya. Hardjana 1994:19-22 menjelaskan bahwa individu yang mengalami konflik peran memiliki gejala-gejala yang dapat diamati, gejala-gejala konflik tersebut yaitu : 1. Abseteism atau mangkir kerja atau tidak masuk kerja dan kuliah, baik itu dengan perijinan ataupun tanpa ijin pihak atasan ataupun pihak kampus. 2. Mengasingkan diri yaitu membatasi pembicaraan atau pergaulan dengan orang-orang di tempat kerja maupun orang lain. Ada kecenderungan untuk mengasingkan diri. 3. Psikomatis yaitu penyakit atau kesehatan yang menurun dan terus merosot tetapi penyebab penyakit tidak ditemukan, dikarenakan pemikiran yang terbebani. 4. Kehilangan semangat kerja yaitu merasa tidak memiliki tenaga untuk melakukan suatu pekerjaan. 5 Perilaku agresif atau menyerang orang yang menjadi sumber pertentangannya atau merusak peralatan kerja atau merusak fasilitas kerja yang ada. Penjelasan lain dikemukakan oleh Winardi 1994:28, konflik internal yang paling simpel, yaitu frustasi. Frustasi terjadi apabila kemampuan seseorang untuk mencapai sesuatu tujuan dihalangi oleh adanya penghalang atau kendala tertentu. Selanjutnya Winardi 1994:29-30 menjelaskan bahwa usaha yang telah dilakukan tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka timbullah gejala frustasi dan akibatnya adalah individu yang bersangkutan akan mengikuti pola perilaku yang kurang produktif diantaranya yaitu: 1. Penghalang atau kendala tersebut diserang secara fisik atau simbolik. Frustasi ditransformasi menjadi agresi dan impuls-impuls tersebut disalurkan terhadap penilaian atau terhadap atasan yang menilai. Bentuk agresi tersebut berkisar tindakan merobek formulir penilaian, sampai menjelek-jelekan atasan. 2. Displaced Aggression. Terjadi jika penghalang aktual secara fisikal, psikologikal, atau sosial sulit diserang, maka agresi diganti hingga pihak luar yang tidak berdosa tetapi yang “lemah” menjadi sasaran. Bentuk agresi tersebut seperti orang yang senang memaki-maki teman atau bahkan anak dan istrinya, kemudian senang menganiaya binatang seperti kucing atau anjing. 3. Terjadinya Deteriosasi Dalam kondisi adanya frustasi, perilaku mungkin beralih pada cara-cara yang digunakan sebelumnya yang bersifat adaptif, dengan menunjukkan kinerja yang tidak produktif seperti sabotase atau menurunkan hasil kerjanya secara sengaja sebagai tindakan pembalasannya. 4. Fixate Frustasi apabila disertai dengan adanya hukuman, dapat menyebabkan perilaku yang sangat kaku dan tidak adaptif sekali, yang mungkin akan berlangsung terus, sekalipun kendala telah ditiadakan agar tujuan lebih mudah dicapai. Orang yang frustasi dapat terpatri pada perilaku yang ada, inilah yang disebut fixate. Perilaku yang muncul adalah seperti orang yang mengalami frustasi dapat terus mempertahankan perilaku tidak produktifnya, dengan sikap mengacuhkan efektivitasnya. 5. Melarikan Diri dari tujuan Frustasi yang berkelanjutan dan berkepanjangan, dapat menyebabkan pihak yang bersangkutan “melarikan” diri dari tujuan, dan bukan bertepur demi tujuan. Sikap yang muncul dari frustasi yang berkelanjutan dan berkepanjangan adalah sikap apatis dan sikap bermusuhan. Dari beberapa pendapat ahli diatas, peneliti menyimpulkan bahwa konflik peran yang tidak ditangani dengan baik akan memunculkan berbagai gejala diantaranya : 1. Gejala psikosomatis, yaitu penyakit atau kesehatan yang menurun dan terus merosot tetapi penyebab penyakit tidak ditemukan, dikarenakan pemikiran yang terbebani atau terjadi akibat satu kombinasi dari faktor organis dan psikologis. 2. Gejala psikis berupa adanya tekanan, frustasi, merasa memiliki sumberdaya terbatas, dan merasa pelaksanaan peran yang satu akan mempengaruhi peran yang lain. 3. Gejala perilaku berupa abseeism membolos atau mangkir, membatasi diri dalam pergaulan mangasingkan diri, dan perilaku agresif.

2.2.6 Penyebab Konflik Peran