Efektifitas Rimpang Jeringau (Acorus calamus L) Dalam Membunuh Nyamuk Aedes Aegypti

(1)

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (Acorus calamus L)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes aegypti

SKRIPSI

Oleh :

NIM : 041000299 JAYANTI SIMANJORANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (Acorus calamus L)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes aegypti

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM : 041000299 JAYANTI SIMANJORANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (

Acorus calamus L

)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK

Aedes aegypti

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

JAYANTI SIMANJORANG NIM. 041000299

Telah Diuji dan Dipertahankan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 16 September 2008 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

dr. Devi Nuraini Santi, MKes dr. Taufik Ashar, MKM

NIP. 132206389 NIP. 132303367

Penguji II Penguji III

Ir. Evi Naria, MKes Dr.Dra. Irnawati Marsaulina, MS

NIP. 132049787 NIP. 132089428

Medan, September 2008 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

dr. Ria Masniari Lubis, MSi NIP. 131124053


(4)

ABSTRAK

Salah satu vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan adalah nyamuk Aedes aegypti yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam upaya mengatasi penyakit demam berdarah dengue tersebut perlu adanya pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung zat pestisida sebagai insektisida hayati seperti tanaman jeringau (Acorus calamus L). Jeringau adalah tanaman yang mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri dapat digunakan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan (0% sebagai kontrol, 6%, 12%, 18%, 24%, dan 30%) dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian pada masing-masing konsentrasi dengan tiga kali ulangan selama 10 menit pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada konsentrasi 6% tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti sebesar 57,78% ; konsentrasi 12% sebesar 75,55% ; konsentrasi 18% sebesar 86,67% ; konsentrasi 24% sebesar 91,11% dan konsentrasi 30% sebesar 97,78% serta pada kontrol tidak terjadi kematian nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan hasil uji statistik Uji Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% diperoleh bahwa F hitung (12,76) > F tabel (3,11) yang berarti bahwa ada pengaruh perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti. Hasil uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi yang berbeda nyata dengan BNT 5% yaitu konsentrasi 6%. Konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi 6%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak rimpang jeringau mengandung zat pestisida yang dapat digunakan dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi efektif pada konsentrasi 6%. Diharapkan tanaman jeringau dapat menjadi suatu alternatif untuk mengendalikan serangga seperti nyamuk Aedes aegypti.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti ... 8

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk ... 8

2.1.2. Ciri Morfologi ... 9

2.1.3. Perilaku dan Siklus Hidup ... 10

2.1.4. Pengendalian Vektor Nyamuk ... 12

2.1.5. Suhu (Temperatur) ... 14

2.1.6. Kelembaban ... 14

2.2. Tinjauan Umum Tentang Insektisida Nabati ... 14

2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati ... 14

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati ... 15

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati ... 17

2.2.4. Cara Masuk Insektisida ... 18

2.2.5. Toksisitas Insektisida ... 19

2.3. Tinjauan Umum Tentang Jeringau (Acorus Calamus L) ... 21

2.3.1. Deskripsi Tumbuhan... 21

2.3.2. Klasifikasi Jeringau ... 22

2.3.3. Bagian Tumbuhan Yang Digunakan ... 23

2.3.4. Kandungan Aktif ... 23

2.3.5. Kegunaan dan Hama Yang Dikendalikan ... 24

2.4. Tinjauan Umum Tentang Minyak Atsiri ... 26

2.4.1. Pengertian Minyak Atsiri ... 26

2.4.2. Ciri-ciri Minyak Atsiri... 27

2.4.3. Beberapa Minyak Atsiri Penting ... 28

2.5. Kerangka Konsep ... 29

2.6. Hipotesa Penelitian ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

3.1. Jenis dan Rancangan Percobaan ... 30


(6)

3.1.2. Rancangan Penelitian ... 30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.3. Objek Penelitian ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4.1. Data Primer ... 31

3.4.2. Data Sekunder ... 31

3.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 31

3.5.1. Alat Penelitian ... 31

3.5.2. Bahan Penelitian ... 32

3.6. Defenisi Operasional ... 32

3.7. Prosedur Penelitian ... 33

3.7.1. Cara Mendapatkan Nyamuk Aedes aegypti Dewasa ... 33

3.7.2. Cara Mendapatkan Ekstrak Minyak Rimpang Jeringau ……. 34

3.7.3. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi Minyak rimpang Jeringau ... 34

3.7.4. Cara Melakukan Percobaan ... 35

3.8. Pengolahan Data ... 36

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 39

4.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti ... 39

4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 0% (Kontrol) ... 39

4.1.2. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 6% ... 40

4.1.3. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 12% ... 40

4.1.4. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 18% ... 41

4.1.5. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 24% ... 42

4.1.6. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 30% ... 42

4.1.7. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit ... 43

4.1.8. Rata-rata Dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit ... 44

4.1.9. Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Saat Lethal Dose 50 Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan ... 45

4.2. Analisa Statistik ... 46

4.2.1. Hasil Uji Anova ... 46

4.2.2. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil ... 47

4.3. Suhu Ruangan Penelitian ... 48


(7)

BAB V. PEMBAHASAN ... 49

5.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti ... 49

5.2. Suhu Ruangan Penelitian ... 52

5.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian ... 52

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

6.1. Kesimpulan ... 53

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Rancangan Acak Percobaan

Lampiran 2. Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Selama 30 Menit Pengamatan Dengan Interval Waktu Setiap 5 Menit

Lampiran 3. Perhitungan MenggunakanUji Barlett

Lampiran 4. Perhitungan Menggunakan Uji Anova Satu Arah Lampiran 5. Perhitungan Uji Beda Nyata Terkecil

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara Ruangan Penelitian Lampiran 7. Tabel Nilai Kritis Uji Barlett

Lampiran 8. Tabel Nilai Kritis Distribusi F

Lampiran 9. Tabel Daftar Nilai Baku Uji Beda Nyata Terkecil Pada Taraf Nyata 5% Lampiran 10. Surat Permohonan Izin Peninjauan Riset/Wawancara/On The Job

Training di Provinsi Sumatera Utara

Lampiran 11. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Daftar Istilah Toksisitas……….20 Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 0% (Kontrol)………..………39 Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 6%...40 Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 12%...40 Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 18%...41 Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 24%...42 Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 30%...42 Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan

Selama 30 Menit………....43 Tabel 4.8. Rata-Rata dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan

Selama 30 Menit………44 Tabel 4.9. Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat

Lethal Dose 50 (LD 50) Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan……….45 Tabel 4.10.Transformasi Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat


(9)

Tabel 4.11. Hasil Uji Anova Satu Arah Pada Kematian Nyamuk Aedes aegypti Selama 10 Menit Pengamatan……..………46

Tabel 4.12. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Terhadap Kematian Nyamuk

Aedes aegypti Pada Lima Perlakuan Dengan Tiga Kali Ulangan


(10)

ABSTRAK

Salah satu vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan adalah nyamuk Aedes aegypti yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam upaya mengatasi penyakit demam berdarah dengue tersebut perlu adanya pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung zat pestisida sebagai insektisida hayati seperti tanaman jeringau (Acorus calamus L). Jeringau adalah tanaman yang mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri dapat digunakan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan (0% sebagai kontrol, 6%, 12%, 18%, 24%, dan 30%) dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian pada masing-masing konsentrasi dengan tiga kali ulangan selama 10 menit pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada konsentrasi 6% tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti sebesar 57,78% ; konsentrasi 12% sebesar 75,55% ; konsentrasi 18% sebesar 86,67% ; konsentrasi 24% sebesar 91,11% dan konsentrasi 30% sebesar 97,78% serta pada kontrol tidak terjadi kematian nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan hasil uji statistik Uji Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% diperoleh bahwa F hitung (12,76) > F tabel (3,11) yang berarti bahwa ada pengaruh perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti. Hasil uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi yang berbeda nyata dengan BNT 5% yaitu konsentrasi 6%. Konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi 6%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak rimpang jeringau mengandung zat pestisida yang dapat digunakan dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi efektif pada konsentrasi 6%. Diharapkan tanaman jeringau dapat menjadi suatu alternatif untuk mengendalikan serangga seperti nyamuk Aedes aegypti.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama disadari. Bahkan telah lama pula disinyalir, bahwa peran lingkungan dalam meningkatkan derajat kesehatan sangat besar. Sebagaimana dikemukakan Blum (1974) dalam planning for health, development and application of social change

theory, bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Sebaliknya, kondisi kesehatan masyarakat yang buruk, termasuk timbulnya berbagai penyakit menular, andil faktor lingkungan sangat besar. Faktor perilaku, pelayanan masyarakat dan keturunan, memiliki kontribusi yang lebih kecil dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Memang tidak selalu lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi maupun memperberat penyakit yang telah ada (Anies, 2006).

Keadaan lingkungan yang kurang bersih dapat merupakan tempat yang sangat baik untuk berkembangbiaknya berbagai vektor penyakit. Vektor penyakit ini diantaranya adalah serangga (Nurcahyo, 1996).

Insecta (serangga) merupakan kelas terpenting dari artropoda karena selain

dapat menimbulkan banyak penyakit serangga juga dapat menularkan berbagai macam penyakit menular yang penting, baik dengan bertindak sebagai vektor maupun sebagai tuan rumah. Peranan serangga yang terpenting dalam bidang


(12)

Kelompok serangga yang dapat berperan sebagai penyebar penyakit antara lain : nyamuk, lalat, kecoa, pinjal dan lain–lain. Serangga yang dianggap cukup besar peranannya dalam bidang kesehatan masyarakat adalah nyamuk (Soedarto, 1989).

Vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan khususnya di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti

merupakan serangga yang banyak terdapat di daerah perumahan dan dapat bertindak sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) (Depkes RI, 2004).

Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang

mengandung virus dengue dalam tubuhnya. Nyamuk ini mendapat virus dengue pada waktu menghisap darah dan disimpan dalam darahnya. Jika nyamuk ini menggigit orang lain, maka virus dengue akan berkembang biak dalam tubuh orang itu selama 4 sampai 7 hari sehingga dapat menjadi sumber penularan. Dalam waktu satu minggu setelah digigit nyamuk tersebut, orang tersebut akan dapat menderita penyakit demam berdarah dengue yang dapat menimbulkan kematian.

Demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas (Depkes RI, 2005).

Data kasus demam berdarah dengue di Indonesia tahun 2008 dari bulan Januari hingga April mencapai 62.157 kasus dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 482 orang. Di kota-kota besar seperti DKI Jakarta tahun 2008 dari bulan Januari hingga April juga, mencapai 12.256 kasus dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 11 orang, di Surabaya terdapat 10.508 kasus dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 106 orang, di Sumatera Utara terdapat 879 kasus


(13)

dan penderita yang meninggal sebanyak 3 orang (termasuk di kota Medan sebanyak 621 kasus dengan 3 orang penderita meninggal) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2008).

Dalam mengatasi penyakit demam berdarah salah satunya dengan cara kimia yaitu dengan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun waktu 40 tahun terakhir semakin meningkat baik dari kualitasnya maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan insektisida sintetis tersebut mudah digunakan, lebih efektif dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida Dalam Nursal, 2005).

Penggunaan zat kimia sebagai insektisida untuk mengendalikan serangga pertama kali dilakukan pada tahun 1942. Zat kimia yang digunakan seperti : DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), metal karbamat, organophospor serta zat kimia

lain sehingga mengakibatkan menurunnya populasi serangga pengganggu secara drastis (Azwar, 1995).

Pada saat ini, sebagai akibat dari penggunaan insektisida yang kurang bertanggung jawab, maka timbul masalah baru yakni terjadinya resistensi pada serangga tersebut dan muncul pula sebagai akibat sampingan lainnya, yakni dengan ikut matinya binatang lain yang terkena (Azwar, 1995). Dilain pihak dengan penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (khususnya yang bersifat sintetis) sering merugikan terhadap lingkungan, termasuk pencemaran air, bahan pangan dan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia secara langsung atau dalam jangka waktu yang panjang. Bahaya insektisida sintetis dapat menimbulkan kanker, gangguan saraf dan reproduksi dan keracunan pada umumnya (Kusnaedi, 1997).


(14)

Untuk menghindari dampak negatif tersebut, maka perlu dikembangkan cara – cara baru dalam pengendalian serangga yang aman dan efektif. Pengendalian serangga dengan pemanfaatan tanaman yang mengandung zat pestisidik sebagai insektisida hayati, diperkirakan mempunyai prospek dimasa yang akan datang (Kardinan, 1999).

Secara umum, insektisida nabati (hayati) diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami / nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam

sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat “pukul dan lari”

(hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu

dan setelah serangga terbunuh, maka residunya akan cepat menghilang di alam (Kardinan, 2004).

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tumbuhan yang mengandung bahan aktif tertentu yang dapat mengendalikan nyamuk Aedes aegypti. Tambunan

(2007) dengan menggunakan hasil ekstrak daun tembakau (Nikotiana tabacum) 2%

yang disemprotkan pada nyamuk Aedes aegypti dewasa dan diamati selama 30 menit

dengan interval waktu 5 menit menunjukkan total jumlah nyamuk yang mati sebanyak 80 ekor (100%). Penelitian lainnya oleh Simanjuntak (2006) terhadap hasil maserasi bunga krisan, pada konsentrasi 0,4% dapat membunuh nyamuk Aedes

aegypti sebanyak 100% yang dilihat dari 5 kotak pengamatan yang masing - masing


(15)

Insektisida hayati lainnya adalah tanaman jeringau (Acorus calamus L).

Rimpang jeringau mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai insektisida untuk mengendalikan beberapa serangga pengganggu di sekitar kita (Kardinan, 2004).

Jeringau (Acorus calamus L) adalah tanaman yang mengandung bahan kimia

aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung ataupun minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri. Tumbuhan ini mudah tumbuh dan dikembangbiakkan serta tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional banyak digunakan sebagai obat sakit perut dan penyakit kulit, serta dipercaya dapat mengusir pengaruh roh jahat terutama untuk bayi dan balita (Rismunandar, 1988).

Hasil penelitian tentang pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau terhadap kecoa dilakukan oleh Onasis (2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dosis minyak atsiri 15 ml/50ml pelarut Etanol 96% yang disemprotkan pada jarak 10 cm dari kecoa menunjukkan kematian kecoa 30% pada 1 jam pertama, bertambah menjadi 75% pada jam kedua dan menjadi 100% pada jam ketiga.

Begitu juga dengan hasil penelitian oleh Hidayatulfathi, dkk (2003) menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jeringau dalam bentuk lilin padat efektif mengendalikan nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi 6,21 mg/cm² menunjukkan

kematian 56% pada jam pertama, 76% pada jam kedua dan 96% pada jam ketiga. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti efektifitas rimpang jeringau (Acorus calamus L) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.


(16)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian adalah bagaimana pengaruh destilat minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk

Aedes aegypti.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk

Aedes aegypti.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan etanol 70% tanpa campuran minyak rimpang jeringau

(Acorus calamus L) (sebagai kontrol), diamati selama 30 menit dengan

interval waktu setiap 5 menit.

2. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 6%, diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

3. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 12%, diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

4. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 18%, diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.


(17)

5. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 24%, diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

6. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 30%, diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

7. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti dengan

berbagai perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau.

8. Untuk mengetahui konsentrasi paling efektif dari minyak rimpang jeringau untuk membunuh nyamuk Aedes aegypti.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam memanfaatkan insektisida nabati yang aman dan mudah didapat dalam upaya pengendalian nyamuk

Aedes aegypti

2) Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan mahasiswa khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan tentang insektisida nabati yang berasal dari rimpang jeringau.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti

Musibah Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF) di tanah air telah mencengangkan semua pihak. Banyaknya jumlah korban

yang berjatuhan membuat publik tersadarkan betapa penyakit infeksi yang tergolong tua ini masih dan bahkan kian membahayakan. Bukan itu saja, daerah – daerah yang semula jarang atau tidak pernah kejangkitan, kini bermasalah dengan DBD.

Semula yang di beberapa daerah dianggap sebagai penyakit dengan siklus lima tahunan, kini cenderung menimbulkan ledakan setiap tahun. Penyakit DBD karena virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit

itu dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak, serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit ini terjadi karena virus dengue yang dibawa dan disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti (Anies, 2006).

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus

penyebab penyakitAedes aegypti juga

merupakan pembawa virusyellow fever) da

Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia. Sebagai pembawa virusAedes aegypti merupakan pembawa utama

(primary


(19)

masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara - cara mengendalikan jenis nyamuk ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit dengue (Wikipedia, 2008).

Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai

berikut (Soegijanto, 2004) : Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diphtera Suku : Culicidae Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti L

2.1.2. Ciri Morfologi

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh

berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggun melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Wikipedia, 2008).


(20)

Nyamuk Aedes aegypti hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan

di tempat umum dan mampu terbang sampai 100 meter. Umur nyamuk Aedes aegypti

rata – rata 2 minggu, tetapi sebagian diantaranya dapat hidup 2 – 3 bulan (Depkes RI, 2004).

2.1.3. Perilaku dan Siklus Hidup

Aedes aegypti bersifat aktif pada pagi hingga sore hari. Penularan penyakit

dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah. Demam berdarah dengue kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini.

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku yang mengarah pada peningkatan menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam menghisap darah, berulang kali menusukka mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya, risiko penularan virus menjadi semakin besar.

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di

lingkungan perumahan, dimana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat


(21)

sylvan

areas). Beberapa tempat pembiakan nyamuk Aedes aegypti adalah :

1. Dalam Rumah, seperti : Akuarium, perangkap semut, vas bunga, timba, tempayan, bak mandi

2. Luar Rumah, seperti : Tayar buruk, tempurung kelapa, botol/gelas pecah yang mengandung air, saluran air hujan, tempayan, yang tersekat.

Nyamuk Aedes aegypti seperti halny

permukaan air bersih secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 6 bulan

dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva. Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah (Wikipedia, 2008).


(22)

2.1.4. Pengendalian Vektor Nyamuk

Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk demam berdarah dengue tidak akan berjalan jika tidak dilakukan secara simultan dan terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpartisipasi, lingkungan tersebut bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha–usaha pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan sebagai berikut (Kardinan, 2007) :

a. Pencegahan

Usaha ini dilakukan dengan menggunakan repellent atau pengusir, misalnya

lotion yang digosokkan ke kulit sehingga nyamuk takut mendekat. Banyak bahan

tanaman yang bisa dijadikan lotion anti nyamuk. Hal lain yang dapat dilakukan untuk

mengusir nyamuk adalah menanam tanaman yang tidak disukai serangga, termasuk nyamuk Aedes aegypti. Tanaman ini bisa diletakkan di sekitar rumah atau di dalam

ruangan.

b. Pengendalian 1. Secara Kimia

Cara ini dilakukan dengan menyemprotkan insektisida ke sarang–sarang nyamuk, seperti ruangan rumah. Banyak sekali jenis insektisida anti nyamuk yang saat ini beredar di pasaran. Selain penyemprotan, dilakukan penaburan insektisida butiran ke tempat jentik atau larva nyamuk biasa bersarang, seperti tempat penampungan air, genangan air, atau selokan yang airnya jernih. Penggunaan obat nyamuk bakar juga digolongkan ke dalam pengendalian secara kimia karena mengandung bahan beracun, misalnya piretrin.


(23)

2. Secara Mekanis

Pengendalian secara mekanis yang bisa dilakukan adalah pemasangan kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk, baik menggunakan cahaya, lem atau raket pemukul.

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan mengendalikan populasi dan penyebaran vektor. Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M+1T yaitu menguras, menutup, mengubur, dan telungkupkan (Wikipedia, 2008).

1) Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak mandi

2) Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki akses ke tempat itu untuk bertelur

3) Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur

4) Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan dijadikan tempat nyamuk bertelur.

3. Secara Biologi

Cara ini bisa dilakukan dengan memelihara ikan yang relatif kuat dan tahan, misalnya ikan mujair di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga bisa menjadi predator bagi jentik dan pupa nyamuk.

Beberapa cara alternatif lain yang pernah dicoba untuk mengendalikan vektor dengue ini, antara lain mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva nyamuk


(24)

Toxorhyncites sp. Aedes sp ini ternyata kurang efektif dalam

mengurangi penyebaran virus dengue.

Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai jenis serangga lain yang bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida juga akhirnya memunculkan masalah resistensi serangga sehingga mempersulit penanganan dikemudian hari (Wikipedia, 2008).

2.1.5. Suhu (Temperatur)

Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Suhu minimum adalah 15º C, suhu optimum 25º C, dan suhu maksimum 45º C (Jumar, 2000).

2.1.6. Kelembaban

Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah sekitar 60% sampai 89% (Jumar, 2000).

2.2. Tinjauan Umum Tentang Insektisida Nabati 2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga

tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat “pukul dan lari” (hit and


(25)

run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu dan

setelah serangganya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam.

Penggunaan insektisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan menganggap tabu penggunaan insektisida sintetis, tetapi hanya merupakan suatu cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada insektisida sintetis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan insektisida sintetis dapat diminimalkan sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun diharapkan dapat dikurangi pula (Kardinan, 2004).

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati

Cara pembuatan insektisida nabati dari berbagai jenis tumbuhan tidak dapat dijelaskan secara khusus atau distandarisasi karena memang sifatnya tidak berlaku secara umum. Pembuatan insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana atau secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan dengan penggunaan ekstrak sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak dilakukan. Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih. Hal tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal. Hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama.

Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan teknik sebagai berikut :

1. Penggerusan, penumbukan atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta


(26)

3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil insektisida nabati. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya belum dilakukan dengan maksimal. Beberapa tumbuhan penghasil insektisida nabati adalah : Piretrum (Chrysanthemum

cinerariaefolium Trev), Aglaia (Aglaia odorata L), Babadotan (Ageratum conyzoides

L), Bengkuang (Pachyrrhyzus erosus Urban), Bitung (Barrinftonia acutangula BL),

Jeringau (Acorus calamus L), dan lain - lain (Kardinan, 2004).

Untuk mengendalikan serangga - serangga yang terbang (seperti nyamuk

Aedes aegypti), insektisida yang diperlukan untuk menyemprot adalah insektisida

yang mengandung racun perut atau racun kontak. Penyemprotan dengan hand spray

harus diarahkan pada sasaran yang akan disemprot pada jarak 30–50 cm. Untuk mendapatkan distribusi semprotan yang sama harus dilakukan secara merata, baik dari atas atau memutar dari samping (Djojosumarto, 2000).

Interval (jarak taraf) perlakuan harus memberi peluang kepada peneliti untuk mendapatkan perlakuan terbaik yang memberikan pengaruh maksimum. Semakin tinggi derajat ketelitian yang diinginkan dan semakin heterogen lingkungan / kondisi percobaan, jumlah ulangan harus lebih banyak. Secara umum, ulangan minimal untuk percobaan harus 3 (Tiga) (Hanafiah, 2005). Pada suatu penelitian dibutuhkan hewan percobaan paling sedikit 10 ekor dengan kontrol sebesar 0% dan rentang dosis paling sedikit adalah 3 (0-100 satuan) (Mukono, 2000).


(27)

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan yaitu sebagai berikut (Naria, 2005) :

I. Keunggulan

1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman daripada insektisida sintetis/kimia

2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran

3. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana

4. Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah 5. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.

II. Kelemahan

Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut. Kelemahannya antara lain :

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida nabati adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering diaplikasikan

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active


(28)

3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat bervariasi.

2.2.4. Cara Masuk Insektisida

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi 3 kelompok sebagai berikut (Djojosumarto, 2000) :

a. Racun Lambung (Racun Perut/Stomach Poison)

Racun lambung atau racun perut adalah insektisida - insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang mematikan (misalnya ke susunan saraf serangga). Oleh karena itu, serangga harus terlebih dahulu memakan umpan yang sudah disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga sasaran akan mati bila bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut.

c. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga sasaran akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup.


(29)

Kebanyakan racun pernapasan berupa gas atau bila asalnya padat atau cair yang segera berubah atau menghasilkan gas.

Sedangkan dilihat dari cara kerjanya, insektisida dibedakan atas (Wudianto, 1999) :

a. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi, yaitu keluarnya cairan tubuh dari dalam tubuh serangga

b. Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh serangga

c. Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim pernapasan.

Simpson dan Simpson (1990) menjelaskan bahwa apabila terjadi perubahan nutrisi pada serangga karena adanya senyawa kimia dalam makanannya, maka serangga akan melakukan suatu respon kompensasi. Respon ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupannya, yaitu dengan cara mengubah laju konsumsi dan efisiensi pencernaan serta metabolismenya. Pengaruhnya akan terlihat pada pertumbuhan, lama perkembangan dan mortalitas serangga, menurunkan fekunditas. Pada akhirnya, akan mempengaruhi jumlah populasi serangga tersebut di alam (Nursal, 2005).

2.2.5. Toksisitas Insektisida

Dalam mengukur toksisitas insektisida dikenal istilah LD 50, LC 50, ED 50, RL 50, EC 50 dan TLM dengan penjelasan sebagai berikut :


(30)

Tabel 2.1. Daftar Istilah Toksisitas

ISTILAH KETERANGAN

LD 50

(Lethal Dossage)

Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan binatang percobaan untuk mematikan 50% dari populasinya. Diberikan melalui oral, dermal dan respirasi, diambil dari insektisida murni.

LC 50

(Lethal Consentration)

Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan binatang percobaan untuk mematikan 50% dari populasinya mengunakan fumigant. Diberikan

melalui oral, dermal dan respirasi. ED 50

(Effective Dossage)

Berapa mg insektisida untuk tiap volume spon yang tidak tumbuh setelah diberi perlakuan fungisida dengan dosis tertentu pada medium buatan pada waktu tertentu.

RL 50

(Residu Life)

Memperhatikan periode sejak terjadinya deposit insektisida sampai separuh deposit tersisa sehingga suatu insektisida aktivitasnya berkurang 50%.

EC 50

(Effective Concentration)

Kepekatan bahan uji pada taraf 50% populasi hewan uji dalam keadaan tidak aktif/lumpuh. pada waktu tertentu.

TLM

(Tolerance Limited Medium)

Toksistas insektisida yang diukur pada pengairan (kolam).


(31)

2.3. Tinjauan Umum Tentang Jeringau (Acorus calamus L) 2.3.1. Deskripsi Tumbuhan

Jeringau merupakan herba menahun dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan ini biasa hidup di tempat yang lembab, seperti rawa dan air pada semua ketinggian tempat. Batang basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor. Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar 5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang 20–25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Perbanyakan dengan setek batang, rimpang, atau dengan tunas–tunas yang muncul dari buku–buku rimpang. Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut (Kardinan, 2004).

Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk cabang ke kanan atau ke kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam keadaan segar kira–kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya berwarna putih tetapi jika dalam keadaan kering berwarna merah muda.

Bentuk rimpang berbentuk agak petak bulat beruas, dengan panjang ruas 1–3 cm, sebelah sisi akar batang agak menajam, sebelah lagi beralur tempat keluar tunas cabang yang baru. Banyak dikelilingi akar serabutnya yang panjang. Kebanyakan dari akar ini tumbuh pada bagian bawah akar batangnya. Bila umur tanaman lebih dari 2 tahun, akarnya dapat mencapai 60–70 cm. Bau akar sangat menyengat (keras) seperti bau rempah atau bumbu lainnya. Jika diletakkan di lidah rasanya tajam, pedas dan sedikit pahit tetapi tidak panas. Jika rimpang dimemarkan akan keluar bau yang lebih keras lagi karena rimpang jeringau mengandung minyak atsiri (Onasis, 2001).


(32)

2.3.2. Klasifikasi Jeringau

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocoiyledonae Bangsa : Arales

Suku : Araceae Warga : Acorus

Jenis : Acorus calamus L

Beberapa nama daerah dari Acorus calamus L adalah sebagai berikut :

Aceh : Jeurunger Gayo : Jerango Batak : Jerango Minangkabau : Jerianggu Nias : Sarango Sunda : Daringo Jawa tenah : Dlingo Madura : Jharango Bali : Jangu Flores : Kaliraga Sasak : Jeringo Makassar : Kareango Minahasa : Kalamunga Bugis : Areango


(33)

Ambon : Ai wahu Buru : Bila Malaysia : Jerangau

Dengan mengetahui berbagai nama daerah ini, diharapkan kita mampu mengenali tanaman jeringau tersebut dan dapat memanfaatkannya sebagai insektisida nabati (Anonimous, 2000).

2.3.3. Bagian Tumbuhan Yang Digunakan

Rimpang jeringau mengandung minyak yang bernilai serba guna seperti campuran dalam industri makanan dan minuman, bahan penyedap, pewangi, deterjen, sabun, dan krem kecantikan. Jeringau yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah pada akarnya (rimpang), karena mengandung minyak atsiri. Salah satu cara pengolahan rimpang jeringau menjadi minyak atsiri adalah melalui penyulingan dengan metode Destilasi (Onasis, 2001).

Rimpang jeringau dapat digunakan dalam 2 bentuk, yaitu berbentuk tepung dan minyak. Untuk membuat tepung, rimpang jeringau diiris – iris, dikeringkan, lalu ditumbuk (Kardinan, 2004).

2.3.4. Kandungan Aktif

Kandungan bahan kimia terpenting dalam rimpang jeringau adalah minyak atsiri. Tinggi rendahnya kualitas minyak atsiri tergantung pada daerah asal jeringau itu sendiri (Onasis, 2001). Komposisi minyak rimpang jeringau terdiri dari asarone (82%), kolamenol (5%), kolamen (4%), kolameone (1%), metil eugenol (1%), dan eugenol (0,3%) (Kardinan, 2004).


(34)

Rimpang dan daun jeringau mengandung saponin dan flavonoida, disamping rimpangnya mengandung minyak atsiri (Anonimous, 2000). Formula rimpang Jeringau sebagai insektisida dapat dibuat secara sederhana maupun secara laboratorium (Naria, 2005).

2.3.5. Kegunaan dan Hama Yang Dikendalikan

Rimpang jeringau dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa serangga pengganggu di sekitar kita. Rimpang yang ditumbuk halus (bentuk tepung) dapat digunakan untuk mengendalikan rayap dan membunuh kutu kepala (Cimex

lectularis). Serangga lain yang dapat dikendalikan adalah nyamuk dan kecoa (Naria,

2005).

Tumbuhan ini, terutama bagian rimpangnya mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai bahan insektisida yang bekerja sebagai repellent (penolak

serangga), antifeedant (penurun nafsu makan), dan antifertilitas/chemosterilant

(pemandul). Tepung rimpang jeringau dapat digunakan untuk melindungi hasil panen yang disimpan di gudang, yaitu dengan mencampurkannya pada biji–bijian dengan konsentrasi 1–2 % atau 1–2 kg tepung jeringau dicampur dengan 100 kg biji–bijian.

Tepung rimpang jeringau dengan konsentrasi 3–5% berpengaruh terhadap mortalitas serangga sitophilus sp. Rimpang jeringau sering digunakan sebagai

insektisida di berbagai negara. Sebagai contoh, di Tiongkok dan India rimpang jeringau ini dimanfaatkan untuk membasmi beberapa jenis kutu, di Malaysia dimanfaatkan untuk membasmi rayap, dan di Filipina untuk mengusir walang sengit (Kardinan, 2004).


(35)

Pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau dalam mengendalikan kecoa dilakukan oleh Onasis (2001) dengan dosis 5 ml/50 ml, 10 ml/50 ml, 15 ml/50 ml, dan 20 ml/50 ml dengan menggunakan pelarut Etanol 96% yang disemprotkan pada jarak 10 cm dari kecoa, menunjukkan bahwa dosis yang efektif adalah dosis 15 ml/ 50 ml dapat membunuh kecoa sebanyak 30% pada jam pertama, bertambah menjadi 75% pada jam kedua dan menjadi 100% pada jam ketiga.

Pemanfaatan ekstrak rimpang jeringau dalam bentuk lilin padat juga pernah dilakukan oleh Hidayatulfathi, dkk (2003) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti

dengan konsentrasi 0,02 mg/cm² ; 0,12 mg/cm² ; 2,48 mg/cm² ; 6,21 mg/cm² ; 12,42

mg/cm² diamati selama 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan interval waktu setiap

10 menit. Konsentrasi yang efektif adalah 6,21 mg/cm² dapat membunuh nyamuk

Aedes aegypti sebanyak 56% pada jam pertama, menjadi 76% pada jam kedua dan

menjadi 96% pada jam ketiga.

Secara tradisional tanaman jeringau banyak digunakan sebagai obat sakit perut dan penyakit kulit (Rismunandar, 1988). Ada juga kebiasaan yang berkembang di masyarakat yaitu pada ibu yang mempunyai bayi, disediakan sejenis bungkusan kecil yang berisi jeringau dan rempah ini dipercaya dapat menghindarkan bayi dari mahkluk halus dan binatang–binatang (Naria, 2005).

Dalam dosis rendah jeringau dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat karena senyawa asaron memiliki struktur kimia mirip senyawa golongan amfetamin dan ekstasi. Namun, jika digunakan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan aktivitas mental (psikoaktif) bahkan potensial sebagai


(36)

karsinogen jika antibodi yang ada di dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek karsinogen jeringau (Agusta, 2008).

2.4. Tinjauan Umum Tentang Minyak Atsiri

Salah satu bentuk insektisida adalah berupa minyak atsiri yang dihasilkan dari tumbuh–tumbuhan. Minyak atsiri yang terdapat dalam tumbuhan mempunyai sifat mudah menguap pada suhu kamar dan bila diteteskan pada kertas saring tidak meninggalkan bekas.

Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk jenis tumbuhan yang mempunyai bahan aktif untuk dikembangkan sebagai insektisida nabati. Ketersediaan ini merupakan potensi besar. Tentunya sangat diperlukan berbagai penelitian dan penggunaan teknologi sederhana untuk mengembangkan penggunaan insektisida nabati (Naria, 2005).

2.4.1. Pengertian Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak

esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik adalah kelompok besar sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan,

Para ahli yang biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh mempertahankan ruang hidup. Walaupun


(37)

bau-bauan (seperti dari beberapa 2008).

Minyak atsiri dapat diproduksi melalui beberapa metode. Namun, sebagian besar minyak atsiri diperoleh melalui metode penyulingan. Cara lain yang perlu diketahui yaitu metode ekstraksi dengan mengunakan pelarut dan juga metode pengempaan (Lutony, 2000).

2.4.2. Ciri-ciri Minyak Atsiri

Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat mempengaruhi Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri dan campurannya dapat menghasilkan bau yang berbeda.

Minyak atsiri bukan merupakan zat kimia murni (Lutony, 2000). Secara kimiawi, minyak atsiri tersusun dari campuran yang rumit dari berbagai senyawa, namun suatu senyawa tertentu biasanya bertanggung jawab atas suatu aroma tertentu. Sebagian besar minyak atsiri termasuk dalam golongan senyawa organi

Mutu minyak atsiri merupakan faktor penentu yang sangat penting. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya mutu minyak atsiri adalah pengadaan bahan baku, penanganan pascapanen, dan proses produksi (Lutony, 2000).


(38)

Beberapa minyak atsiri penting

Minyak atsiri terdapat pada dan diperoleh dari bagian tertentu tanaman yang mengandung minyak atsiri. Bagian ini antara lain akar, biji, bunga, daun, kulit kayu, ranting, dan rimpang atau akar tinggal. Bahkan ada tanaman yang seluruh bagiannya mengandung minyak atsiri. Meskipun demikian, kandungan minyaknya tidak selalu sama antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, kandungan minyak atsiri yang terdapat pada kuntum bunga cengkih berbeda dengan pada bagian tangkai bunga maupun daun (Lutony, 2000).

Ada beberapa minyak atsiri yang penting untuk diketahui, yaitu (Wikipedia, 2008) :

1. fennel /foenicoli oil

2. sandalwood oil

3. euganol oil

4. leaf clove oil

5.

6. ylang-ylang oil

7.

8.

9.

10.


(39)

2.5. Kerangka Konsep

2.6. Hipotesa Penelitian

Ho : Tidak ada perbedaan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap

perlakuan (penyemprotan) dengan destilat rimpang jeringau.

Ha : Ada perbedaan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap perlakuan

(penyemprotan) dengan destilat rimpang jeringau.

Jumlah Nyamuk

Aedes aegypti

 Suhu

 Kelembaban

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti yang mati Konsentrasi destilat rimpang jeringau

yaitu : 0%, 6%, 12%, 18%, 24%, 30% diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Percobaan

3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk

melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau (Acorus

calamus L) terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti.

3.1.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Dimana percobaan dilakukan dengan enam (lima perlakuan dan satu kontrol) perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi minyak rimpang jeringau 0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30% serta 3 kali pengulangan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Laboratorium Uji Mutu Lembaga Penelitian Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2008.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang di ambil dari

kotak pemeliharaan dengan ukuran 50cm x 50cm x 50cm (p x l x t), dan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan berukuran 25cm x 25cm x 25cm (p x l x t) sebanyak 6 kotak. Masing – masing kotak berisi 15 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa.

Jumlah nyamuk Aedes aegypti yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak


(41)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Laboratorium Uji Mutu Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (USU).

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan literatur – literatur yang mendukung penelitian ini.

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat Penelitian

1. Alat penyemprot 2. Aspirator

3. Beaker glass 4. Hygrometer

5. Jam untuk mengukur waktu

6. Kotak pemeliharaan sebanyak 1 buah berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm (p x l x t) yang ditutupi dengan kasa dengan alas terbuat dari triplek

7. Kotak perlakuan sebanyak 6 kotak berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm (p x l x t) yang ditutupi dengan kasa dengan alas terbuat dari triplek

8. Lup

9. Masker penutup hidung 10. Pipet

11. Pisau 12. Saringan


(42)

13. Termometer 14. Timbangan

15. Wadah tempat larva / baskom

3.5.2. Bahan Penelitian

1. Air gula 2. Aquadest 3. Etanol 70 %

4. Jentik nyamuk Aedes aegypti

5. Kloroform

6. Nyamuk Aedes aegypti dewasa

7. Rimpang jeringau (Acorus calamus L)

3.6. Definisi Operasional

1. Jumlah nyamuk Aedes aegypti adalah jumlah nyamuk Aedes aegypti

sebanyak 270 ekor yang belum disemprot dengan beberapa konsentrasi minyak rimpang jeringau

2. Destilat rimpang jeringau adalah banyaknya hasil penyulingan dengan metode destilasi yang akan disemprotkan terhadap nyamuk Aedes aegypti

yaitu : 0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%

3. Suhu adalah temperatur yang diukur selama penelitian dilakukan dengan menggunakan alat thermometer, dinyatakan dalam derajat celcius

4. Kelembaban adalah kelembaban udara di tempat penelitian yang diukur dengan menggunakan alat hygrometer, dinyatakan dalam persen


(43)

5. Jumlah nyamuk Aedes aegypti yang mati adalah banyaknya nyamuk Aedes

aegypti yang mati setelah dilakukan perlakuan penyemprotan hasil beberapa

destilat rimpang jeringau yang diamati selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit yang ditandai dengan nyamuk tidak bergerak, dan tidak dapat terbang.

6. Keefektifan minyak rimpang jeringau adalah konsentrasi minyak rimpang jeringau yang paling rendah yang dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti

sebanyak 50% hewan percobaan (LD50).

3.7. Prosedur Penelitian

3.7.1. Cara Mendapatkan Nyamuk Aedes aegypti Dewasa

Untuk mendapatkan nyamuk Aedes aegypti dewasa dilakukan dengan

memelihara larva nyamuk Aedes aegypti dengan cara sebagai berikut :

1. Siapkan kotak pemeliharaan nyamuk dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm 2. Sediakan baskom kecil yang berisi air bersih

3. Kemudian masukkan larva nyamuk Aedes aegypti ke dalam baskom kecil

yang berisi air bersih dan letakkan di dalam kotak pemeliharaan

4. Atur suhu dan kelembaban yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk di dalam kotak pemeliharaan

5. Amati kotak pemeliharaan dan apabila jentik telah berubah menjadi kepompong, lalu masukkan air gula/madu ke dalam kotak pemeliharaan untuk makanan nyamuk setelah keluar dari kepompong


(44)

6. Setelah nyamuk tersebut keluar dari kepompong, nyamuk tersebut ditangkap dengan aspirator dan dipindahkan ke kotak perlakuan masing–masing sebanyak 15 ekor sebagai sampel penelitian

7. Pada akhir penelitian, nyamuk yang masih hidup dibunuh dengan menggunakan kloroform.

3.7.2. Cara Mendapatkan Minyak Rimpang Jeringau

Untuk mendapatkan minyak rimpang jeringau dilakukan dengan cara sebagai berikut(Onasis, 2001) :

1. Siapkan 10 kg rimpang jeringau yang telah disortir dan dirajang halus

2. Lakukan pengeringan dengan tidak langsung berada di bawah sinar matahari sampai kadar airnya 10 – 25 %

3. Lakukan penyulingan dengan alat suling yang menggunakan metode destilasi 4. Pisahkan minyak rimpang jeringau dari air

5. Minyak rimpang jeringau siap digunakan untuk perlakuan pada objek penelitian

6. Minyak rimpang jeringau hasil sulingan yang digunakan dalam perlakuan terhadap nyamuk Aedes aegypti adalah yang dicampurkan dengan Etanol

70 % dengan konsentrasi perlakuan 0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%.

3.7.3. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi minyak rimpang Jeringau

Untuk mendapatkan beberapa konsentrasi minyak rimpang jeringau untuk perlakuan percobaan dengan menggunakan rumus :


(45)

Keterangan : M1 = konsentrasi tetap (100%) V1 = Volume hasil destilasi M2 = Konsentrasi yang diketahui V2 = Volume etanol 70% (50 ml)

Berdasarkan rumus di atas, cara untuk mendapatkan masing–masing konsentrasi minyak rimpang jeringau adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan konsentrasi 0%, maka yang digunakan adalah etanol 70% sebanyak 50 ml tanpa penambahan hasil destilasi rimpang jeringau

2. Untuk mendapatkan konsentrasi 6%, maka ditambahkan 3 ml hasil destilasi rimpang jeringau dengan etanol 70 % sebanyak 47 ml

3. Untuk mendapatkan konsentrasi 12%, maka ditambahkan 6 ml hasil destilasi rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 44 ml

4. Untuk mendapatkan konsentrasi 18%, maka ditambahkan 9 ml hasil destilasi rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 41 ml

5. Untuk mendapatkan konsentrasi 24%, maka ditambahkan 12 ml hasil destilasi rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 38 ml

6. Untuk mendapatkan konsentrasi 30%, maka ditambahkan 15 ml hasil destilasi rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 35 ml.

3.7.4. Cara Melakukan Percobaan

1. Masing–masing 15 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa diambil dari kotak

pemeliharaan dengan menggunakan alat aspirator dan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan yang telah diberi label, yaitu : kotak A untuk perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi 0% sebagai kontrol ; kotak B untuk


(46)

konsentrasi 6% ; kotak C untuk konsentrasi 12% ; kotak D untuk konsentrasi 18% ; kotak E untuk konsentrasi 24% ; kotak F untuk konsentrasi 30%

2. Kemudian lakukan penyemprotan sesuai dengan konsentrasi minyak rimpang jeringau dengan jarak 30 cm dari masing – masing kotak perlakuan

3. Amati dan catat nyamuk Aedes aegypti yang mati selama 30 menit dengan

interval waktu setiap 5 menit.

4. Lakukan 3 kali pengulangan untuk masing – masing perlakuan serta kontrol 5. Untuk kotak perlakuan dilakukan pencucian kemudian dijemur setiap akan

dilakukan pengulangan kecuali untuk kotak kontrol tidak perlu dilakukan pencucian.

3.8. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil percobaan dianalisa menggunakan metode statistik uji Anova dan membandingkannya dengan tabel F. Apabila ada pengaruh akan dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple Range Test pada taraf nyata 5 %

untuk mengetahui pada dosis berapa jumlah nyamuk Aedes aegypti yang paling

banyak mati (Hanafiah, 2005).

Uji Anova Satu Jalur

a. Mencari Faktor Korelasi (FK)

FK =

k r TIJ

. 2

Keterangan : Tij² = Jumlah kuadrat seluruh pengamatan dalam baris ke i =


(47)

r = Jumlah ulangan k = Jumlah perlakuan b. Mencari Jumlah Kuadrat Total (JKT)

JK = T (Yij²) – FK

FK

Y

Y

Y

Y

+ + + IJ+ + RT− 2 2

2 11 2

10 ... ...

c. Mencari Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP)

JKP = FK r

TPj

2

= FK r

TP TPj k

− +

+ 2

2 ...

TP2j = Jumlah Kuadrat Perlakuan ke j = 1, 2, 3,… e. JK Acak = JK Total – JK Perlakuan

f. KTPerlakuan =

dbp JKP

g. KTAcak =

dba JKA

h. db = k.r - 1 i. dbp = k - 1 j. dba = k.r – k

k. Fhitung =

KTAcak n KTperlakua


(48)

m. Kriteria penilaian : Fh > Ft berarti Ho ditolak ; Fh < Ft berarti Ho diterima. Jika Ho ditolak maka dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple Range

Test untuk mengetahui pada konsentrasi berapa jumlah nyamuk Aedes


(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Hasil penelitian dengan menggunakan berbagai konsentrasi minyak rimpang

jeringau yang disemprot dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti yaitu dari

6 konsentrasi (5 perlakuan dan 1 kontrol) dengan 3 kali pengulangan selama 30 menit pengamatan menunjukkan hasil seperti pada tabel-tabel berikut. Dalam penelitian ini menggunakan nyamuk Aedes aegypti sebanyak 15 ekor dalam masing-masing

perlakuan.

4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)

Tabel 4.1

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 0%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 0 0 0 0

10 Menit 0 0 0 0

15 Menit 0 0 0 0

20 Menit 0 0 0 0

25 Menit 0 0 0 0

30 Menit 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat kematian nyamuk Aedes aegypti selama 30 menit pengamatan.


(50)

4.1.2. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 6%

Tabel 4.2

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 6%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 6%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 7 7 8 7,33

10 Menit 8 9 9 8,67

15 Menit 9 10 10 9,67

20 Menit 10 11 11 10,67

25 Menit 11 12 11 11,33

30 Menit 11 13 12 12

Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 6% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 8 ekor terjadi pada ulangan ketiga. Kematian nyamuk Aedes aegypti

tertinggi terjadi selama 30 menit pengamatan yaitu sebanyak 13 ekor.pada ulangan kedua.

4.1.3. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 12%

Tabel 4.3

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 12%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 12%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 9 10 10 9,67

10 Menit 11 12 11 11,33

15 Menit 12 13 13 12,67

20 Menit 14 14 14 14

25 Menit 15 15 15 15

30 Menit * * * *


(51)

Berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 12% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 9 ekor terjadi pada ulangan pertama. Kematian seluruh nyamuk Aedes

aegypti pada tiga kali ulangan terjadi setelah 25 menit pengamatan.

4.1.4. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 18%

Tabel 4.4

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 18%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 18%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 12 10 11 11

10 Menit 13 13 13 13

15 Menit 14 15 14 14,33

20 Menit 15 * 15 15

25 Menit * * * *

30 Menit * * * *

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 18% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 10 ekor terjadi pada ulangan kedua. Kematian seluruh nyamuk Aedes


(52)

4.1.5. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 24%

Tabel 4.5

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 24%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 24%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 11 12 12 11,67

10 Menit 12 15 14 13,67

15 Menit 14 * 15 14,67

20 Menit 15 * * 15

25 Menit * * * *

30 Menit * * * *

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 24% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 11 ekor terjadi pada ulangan pertama. Kematian seluruh nyamuk

Aedes aegypti paling cepat terjadi pada ulangan kedua setelah 10 menit pengamatan.

4.1.6. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 30%

Tabel 4.6

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 30%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 30%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 13 12 13 12,67

10 Menit 15 14 15 14,67

15 Menit * 15 * 15

20 Menit * * * *

25 Menit * * * *


(53)

Berdasarkan tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 30% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 12 ekor terjadi pada ulangan kedua. Kematian seluruh nyamuk Aedes

aegypti paling cepat terjadi pada ulangan pertama dan ulangan ketiga setelah

10 menit pengamatan.

4.1.7. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Tabel 4.7

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Konsentrasi Kematian nyamuk Aedes aegypti

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit 30 menit

A. 0 % 0 0 0 0 0 0

B. 6 % 22 26 29 32 34 36

C. 12 % 29 34 38 42 45 *

D. 18 % 33 39 43 45 * *

E. 24 % 35 41 44 45 * *

F. 30 % 38 44 45 * * *

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.7. di atas dapat dilihat bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti menunjukkan konsentrasi tertinggi dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti

adalah konsentrasi 30% dimana seluruh nyamuk telah mengalami kematian setelah 15 menit pengamatan. Sedangkan pemaparan yang paling lama dari seluruh konsentrasi adalah konsentrasi 6% dengan kematian hampir seluruhnya setelah 30 menit pengamatan. Pada kontrol yaitu konsentrasi 0% tidak terjadi kematian.


(54)

4.1.8. Rata-rata Dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Dari seluruh perlakuan dan pengamatan pada semua konsentrasi dapat diketahui rata-rata dan persentase kematian nyamuk Aedes aegypti, seperti yang

tercantum pada tabel di bawah :

Tabel 4.8

Rata-Rata dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Konsentrasi

Kematian Nyamuk Aedes aegypti

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit 30 menit

Rerata % Rerata % Rerata % Rerata % Rerata % Rerata %

A. 0% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

B. 6% 7.33 48,89 8,67 57,78 9,67 64,44 10,67 71,11 11,33 75,55 12 80

C. 12% 9,67 64,44 11,33 75,55 12,67 84,44 14 93,33 15 100 * *

D. 18% 11 73,33 13 86,67 14,33 95,55 15 100 * * * *

E. 24% 11.67 77,78 13,67 91,11 14,67 97,78 15 100 * * * *

F. 30% 12,67 84,44 14,67 97,78 15 100 * * * * * *

Keterangan * = seluruh nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.8. menunjukkan kematian tertinggi nyamuk Aedes

aegypti dalam persentase setiap konsentrasi berturut-turut adalah untuk konsentrasi

6% mencapai kematian 80% selama 30 menit pengamatan ; konsentrasi 12% mencapai kematian 100% selama 25 menit pengamatan ; konsentrasi 18% dan konsentrasi 24% mencapai kematian 100% selama 20 menit pengamatan; konsentrasi 30% mencapai kematian 100% selama 15 menit pengamatan. Pada kontrol dengan


(55)

konsentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes aegypti selama 30 menit

pengamatan.

4.1.9. Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Saat Lethal Dose 50 Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan

Lethal Dose 50 (LD50) dicapai setelah 10 menit pengamatan untuk semua

perlakuan, sehingga untuk melakukan pengujian statistik dapat menggunakan data kematian nyamuk Aedes aegypti seperti pada tabel berikut :

Tabel 4.9

Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat Lethal Dose 50

(LD 50) Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan

Konsentrasi

Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Ulangan

Jumlah Rata-rata

I II II

A. 0% 0 0 0 0 0

B. 6% 8 9 9 26 8,67

C. 12% 11 12 11 34 11,33

D. 18% 13 13 13 39 13

E. 24% 12 15 14 41 13,67

F. 30% 15 14 15 44 14,67

Hasil penelitian tersebut dianalisa secara uji statistik setelah terlebih dahulu jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap ulangan konsentrasi

ditransformasi untuk menghilangkan angka nol dalam perhitungan. Transformasi data dilakukan dengan tujuan supaya data yang diolah telah memenuhi asumsi yang mendasari validitas pemakaian suatu analisa data, sehingga hasil analisa data ini akan mampu mencerminkan kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu percobaan. Karena terdapat jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti di bawah 10 ekor maka,

digunakan transformasi data

2 1

+


(56)

Tabel 4.10

Transformasi Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat Lethal Dose 50

(LD 50) Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan

Konsentrasi

Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Ulangan

Jumlah Rata-rata Transformasi

I II III

A. 0% 0,71 0,71 0,71 2,13 0,71

B. 6% 2,92 3,08 3,08 9,08 3,03

C. 12% 3,39 3,54 3,39 10,32 3,44

D. 18% 3,67 3,67 3,67 11,01 3,67

E. 24% 3,54 3,94 3,81 11,29 3,76

F. 30% 3,94 3,81 3,94 11,69 3,89

4.2. Analisa Statistik

Hasil penelitian tersebut di atas kemudian dianalisa dengan mengunakan uji statistik Anova satu arah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan perlakuan dengan kematian nyamuk Aedes aegypti.

4.2.1. Hasil Uji Anova

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan uji Anova satu arah dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.11

Hasil Uji Anova Satu Arah Pada Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setelah 10 Menit Pengamatan

Sumber Kematian Derajat bebas (Db) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Total (KT) F Hitung (Fh) F Tabel (Fc)

Perlakuan 5 21,69 4,34

12,76 3,11

Acak 12 4,13 0,34

Total 17 25,82

Berdasarkan tabel 4.11 di atas dengan taraf nyata 5% menunjukkan F Hitung lebih besar dari pada F Tabel, dimana Fh (12,76) > Fc (3,11). Hal ini berarti bahwa


(57)

Ho (Hipotesa Nol) ditolak atau Ha (Hipotesa Alternatif) diterima, yang artinya ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan minyak rimpang jeringau (Acorus

calamus L) dengan kematian nyamuk Aedes aegypti. Kemudian dilanjutkan dengan

Uji Beda Nyata Terkecil untuk mengetahui beda nyata masing-masing konsentrasi. Adapun kriteria pemakaian uji Beda Nyata Terkecil dilakukan apabila nilai Koefisien Keragaman (KK) data sekitar 10% - 20% dan nilai Koefisien Keragaman yang diperoleh sebesar 18,93% (Lihat Lampiran 5a).

4.2.2. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil

Tabel 4.12

Hasil Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Kematian Nyamuk

Aedes aegypti Pada Lima Perlakuan Dengan Tiga Kali Ulangan Selama 10 Menit Pengamatan

Konsentrasi perlakuan

Rata-rata kematian

Beda rata-rata BNT 5%

Beda rata-rata perlakuan 2 3 4 5 6

A. 0% 0,71 - a

B. 6% 3,03 2,32 - 1,05 b

C. 12% 3,44 2,73 0,41 - 1,05 b D. 18% 3,67 2,96 0,64 0,23 - 1,05 b E. 24% 3,76 3,05 0,73 0,32 0,09 - 1,05 b F. 30% 3,89 3,18 0,86 0,45 0,22 0,13 1,05 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

Berdasarkan tabel 4.12 di atas dapat dilihat pengaruh perlakuan dengan berbagai konsentrasi minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes

aegypti dimana, memiliki beda rata-rata yang berbeda pada masing-masing


(58)

1. Selisih nilai rata-rata kematian antara perlakuan A dan B sebesar 2,32 lebih besar dari nilai BNT 5% (1,05) menunjukkan berbeda nyata

2. Selisih nilai rata-rata kematian antara perlakuan B dan C sebesar 0,41 lebih kecil dari nilai BNT 5% (1,05) menunjukkan berbeda tidak nyata

3. Selisih nilai rata-rata kematian antara perlakuan C dan D sebesar 0,23 lebih kecil dari nilai BNT 5% (1,05) menunjukkan berbeda tidak nyata

4. Selisih nilai rata-rata kematian antara perlakuan D dan E sebesar 0,09 lebih kecil dari nilai BNT 5% (1,05) menunjukkan berbeda tidak nyata

5. Selisih nilai rata-rata kematian antara perlakuan E dan F sebesar 0,13 lebih kecil dari nilai BNT 5% (1,05) menunjukkan berbeda tidak nyata.

Dari hasil uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5% menunjukkan konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi 6%.

4.3. Suhu Ruangan Penelitian

Pada saat penelitian dilakukan, temperatur udara di ruangan penelitian diukur dengan menggunakan Thermometer dengan hasil pengukuran sekitar 29ºC – 30,3ºC.

4.4. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian

Pada saat penelitian dilakukan, kelembaban udara di ruangan penelitian diukur dengan menggunakan alat Hygrometer dengan hasil pengukuran sekitar 68,67% - 70%.


(59)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan 6 macam konsentrasi perlakuan yaitu 0% (sebagai kontrol), 6%, 12%, 18%, 24% dan 30% dengan 3 kali ulangan selama 30 menit pengamatan dengan interval waktu setiap 5 menit, diperoleh jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada waktu pemaparan

yang berbeda-beda dan konsentrasi yang berbeda pula.

Pada tabel 4.8 terlihat bahwa pada konsentrasi 0% yang berisi pelarut etanol 70% (sebagai kontrol) tidak dijumpai adanya nyamuk Aedes aegypti yang mati. Hal

ini membuktikan bahwa pelarut organik etanol 70% yang disemprotkan pada nyamuk

Aedes aegypti tidak menimbulkan kematian.

Pada konsentrasi 6% tingkat kematian 50% lebih tercapai setelah 10 menit pengamatan untuk memenuhi Lethal Dose 50 (LD50), sedangkan pada konsentrasi

12%, 18%, 24%, dan 30% tingkat kematian yang melebihi 50% tercapai setelah 5 menit pengamatan. Tingkat kematian 100% terjadi Pada konsentrasi 12% setelah 25 menit pengamatan dan pada konsentrasi 18% dan 24% terjadi setelah 20 menit pengamatan serta pada konsentrasi 30% terjadi setelah 15 menit pengamatan.

Semakin tinggi konsentrasi perlakuan, semakin banyak jumlah nyamuk Aedes aegypti

yang mati. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan kimia dalam rimpang jeringau yaitu minyak atsiri yang mengandung zat insektisida mempunyai daya toksisitas yang juga tinggi. Sedangkan bila diperhatikan dari waktu lamanya


(60)

pemaparan bahwa semakin lama waktu paparannya, jumlah nyamuk Aedes aegypti

yang mati semakin berkurang.

Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor dari luar seperti pengaruh kecepatan angin, juga faktor dari dalam ataupun dari insektisida nabati sendiri, dimana minyak atsiri dalam jeringau tersebut bersifat mudah menguap pada suhu kamar (Wikipedia, 2008).

Pada 10 menit pengamatan, jumlah nyamuk Aedes aegypti yang mengalami

kematian dijumpai pada konsentrasi 6% sebesar 57,78% ; konsentrasi 12% sebesar 75,55% ; konsentrasi 18% sebesar 86,67% ; konsentrasi 24% sebesar 91,11% ; selanjutnya pada konsentrasi 30% telah mencapai 97,78%.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi 6% telah cukup toksik karena telah memenui standar LD50 yaitu telah membunuh sebanyak 57,78%. Dimana, Lethal Dose 50 adalah konsentrasi tertentu suatu bahan yang mampu

mematikan sebanyak 50% hewan percobaan (Siregar, 2008). Sehingga dapat dinyatakan bahwa waktu 10 menit pemaparan dengan konsentrasi 6% adalah efektif dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Data analisa statistik yang digunakan

adalah data kematian nyamuk selama 10 menit pengamatan.

Data hasil percobaan ditransformasi sebelumnya karena pada data ada yang mengandung nilai nol, sehingga hasil yang diperoleh dapat mencerminkan hasil yang sebenarnya.

Hasil yang diperoleh berdasarkan tabel 4.11 yaitu uji Anova pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa F hitung sebesar 12,76 lebih besar dari F tabel sebesar 3,11. Hal ini berarti bahwa hipotesa penelitian yang diajukan diterima atau Hipotesa


(61)

alternatif diterima yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara perlakuan dengan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada masing-masing konsentrasi.

Dari hasil uji Anova disimpulkan bahwa ada pengaruh yang nyata (signifikan) antara perlakuan dengan kematian nyamuk Aedes aegypti.

Berdasarkan tabel 4.12. yaitu uji Beda Nyata Terkecil tentang pengaruh berbagai konsentrasi minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes

aegypti selama 10 menit pengamatan pada masing-masing konsentrasi menunjukkan

perlakuan yang berbeda nyata serta perlakuan yang tidak berbeda nyata.

Konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi B.6% dimana kematian nyamuk berbeda nyata dengan perlakuan A.0%. Sedangkan konsentrasi C.12%, D.18%, E.24%, F.30% beda rata-rata perlakuan dengan BNT 5% berbeda tidak nyata.

Perlakuan yang efektif dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti selama 10

menit pengamatan adalah perlakuan dengan konsentrasi 6% dimana, pada perlakuan tersebut telah melampaui Lethal Dose 50 (LD50) dengan kematian nyamuk sebesar

57,78%. Hal ini dapat direkomendasikan sebagai konsentrasi yang efektif dari hasil uji BNT adalah 6% minyak rimpang jeringau yang dilarutkan dalam 50 ml pelarut organik untuk membunuh nyamuk.

Produsen insektisida dapat mengaplikasikan minyak rimapng jeringau sebagai insektisida nabati dan untuk pengaplikasiannya dalam masyarakat umum, minyak rimpang jeringau dapat diperoleh dalam bentuk tepung selain bentuk minyak atsiri (Kardinan, 2004).

Berdasarkan cara masuk insektisida dalam hal ini minyak rimpang jeringau ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dapat dinyatakan sebagai racun kontak, dan racun


(1)

= C b

18

)}] 6 ; 05 , 0 ( . 6 { 3 [ b3

C

b = 0,6483

4. Daerah Kritis Tolak Ho, jika bH < bC

Lampiran 3c

Ternyata dari hasil uji Barlett menunjukkan bahwa H0 diterima, ini dibukt ikan dari

H

b > bC dimana, bH(0,9884) > bC(0,6483).

5. Kesimpulan

Hasil analisis statistik pada tingkat keyakinan 5% menunjukkan Ho diterima, yang artinya varians data darimana data sampel ditarik seragam (homogen). Oleh karena varians ketiga populasi sama, maka dapat dilanjutkan dengan uji Anova.


(2)

Lampiran 4a

PERHITUNGAN MENGGUNAKAN UJI ANOVA SATU ARAH 1. Pasangan Hipotesis

Ho : µ1 = µ2 = ….=µk

Ha : sekurang – kurannya ada dua data rata-rata popu lasi (µi) yang tidak sama. 2. Analisis data

Tabel

Rata-rata Jumlah Kematian Nyamuk Aedes aegypti

No Konsentrasi

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Ulangan

Total Rata-rata

I II III

1 A. 0% 0,71 0,71 0,71 2,13 0,71

2 B. 6% 2,92 3,08 3,08 9,08 3,03

3 C. 12% 3,39 3,54 3,39 10,23 3,44

4 D. 18% 3,67 3,67 3,67 11,01 3,67

5 E. 24% 3,54 3,94 3,81 11,29 3,76

6 F. 30% 3,94 3,81 3,94 11,69 3,89

Jumlah Data 18,17 18,75 18,60 55,52 Dari data yang tersaji pada tabel di atas, dapat dihitung :

FK = t k Tij

. 2


(3)

= 171,25 3 6 ) 52 , 55 ( 2 = x

JKTotal = T(Yij2)−FK db = k.t-1= (6x3)-1=17 = (0,712 +2,922 +...+3,942)−171,25

= 197,07– 171,25=25,82

Lampiran 4b

JKPerlakuan = FK

t TPj

2

dbp = k – 1 = 5

= 171,25

3 ) 69 , 11 ... 32 , 10 08 , 9 13 , 2

( 2 2 2 2

− +

+ +

+

= 192,94 – 171,25 = 21,69

JKAcak = JKT – JKP dba = t.k – k = 6 x 3 - 6 = 12 = 25,82 – 21,69 = 4,13

KTP = p db JKP

= 4,34 5 69 , 21 = KTA = dba JKA

= 0,34 12 13 , 4 = 76 , 12 34 , 0 34 , 4 = = = KTA KTP FH


(4)

− −

=F ;{(k 1).( nj 1)

FC α

= F0,05;(5).(12) = 3,11

Lampiran 4c

Tabel Anova satu arah Sumber

Varians

Derajat Kebebasan (db)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Total (KT)

FHitung (FH)

Ftabel (Fc)

Perlakuan 5 21,69 4,34

12,76 3,11

Acak 12 4,13 0,34

Total 17 25,82

3. Daerah kritis

Tolak Ho, jika FH > Fc. Ternyata benar bahwa FH (12,76) > Fc (3,11)

4. Kesimpulan

Hasil analisis uji Anova satu arah pada taraf nyata 5%, menjelaskan bahwa ada perbedaan rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti diantara 6 perlakuan konsentrasi dan untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil.


(5)

Lampiran 5a

PERHITUNGAN MENGGUNAKAN UJI BEDA NYATA TERKECIL Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significant Different Test) dilakukan apabila nilai KK (Koefisien Keragaman) sekitar 10% - 20%.

Dimana, nilai KK = 100% 08

, 3

34 , 0

x

= 100% 08

, 3

58 , 0

x

= 18,93%

t KTA S

d =

= 3

) 34 , 0 ( 2

= 0,48

d v S t BNTα = α( ).


(6)

Lampiran 5b

Tabel

Hasil Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Lima Perlakuan Dengan Tiga Kali Ulangan

Selama 10 Menit Pengamatan

Konsentrasi perlakuan

Rata-rata kematian

Beda rata-rata BNT

5%

Beda rata-rata perlakuan

2 3 4 5 6

A. 0% 0,71 - a

B. 6% 3,03 2,32 - 1,05 b

C. 12% 3,44 2,73 0,41 - 1,05 b

D. 18% 3,67 2,96 0,64 0,23 - 1,05 b

E. 24% 3,76 3,05 0,73 0,32 0,09 - 1,05 b

F. 30% 3,89 3,18 0,86 0,45 0,22 0,13 1,05 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

= ) 12 ( 05 , 0

t 2,179

= 05 , 0

BNT 2,179 (0,48) = 1,05