Analisis Perbandingan Ritus-Ritus Pertanian Padi Di Jepang Dan Di Karo
ANALISIS PERBANDINGAN RITUS-RITUS PERTANIAN PADI DI JEPANG DAN DI KARO
(NIHON TO KARO NO INASAKU TO NO KANKEI NO ARU NENJUGIREI)
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
INTI DEVI SINUHAJI NIM: 030708008
PEMBIMBING I, PEMBIMBING II,
Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D Drs. Amin Sihombing
NIP : 131422712 NIP : 131945676
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN
(2)
Disetujui Oleh Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi S-1 Sastra Jepang Ketua Program Studi,
Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D NIP : 131422712
(3)
PENGESAHAN Diterima Oleh
Panitia Ujian Fakultas Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Pada : Tanggal : Hari :
Fakultas Sastra Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D NIP: 132098531
Panitia Ujian Tanda Tangan
No. Nama
1. (………)
2. (………)
(4)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih dan rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Bahkan dalam kesesakan dan pergumulan Dia tetap memberikan semangat.
Penulisan skripsi ini berjudul “ANALISIS PERBANDINGAN RITUS-RITUS PERTANIAN PADI DI JEPANG DAN DI KARO”, merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari skripsi ini belum seperti yang di harapkan baik penyusunan kalimatnya maupun pemecahan masalahny, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Dalam kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung dan tidak langsung membantu penulis. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
2. Drs. Hamzon Situmorang M.S., Ph.D, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Fakultas Sastra USU Medan yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Drs. Hamzon Situmorang M.S., Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya kepada penulis, bahkan
(5)
4. Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memecahkan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Staff Pengajar Fakultas Sastra USU, khususnya pada Jurusan Sastra Jepang yang telah memberikan ilmunya kepada penulis hingga penulis bisa mencapai tahap akhir skripsi ini.
6. Ayah dan Bunda ku yang amat aku sayangi yang telah memberikan dukungan moril dan meteril sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Sarjana di Universitas Sumatera Utara. Atas keringat Ayah dan Bunda membuat aku menjadi orang yang berharga.
7. Adik-adik ku yang amat aku sayangi Robbi Nonsanta dan Ronal Randa atas dukungan dan semangat yang di berikan kepada penulis.
8. Abang ku yang spesial Dedi Putra Tarigan atas bantuan materil dan ide-ide serta semangat yang di berikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Abang ku Parman yang juga telah banyak sekali memberikan dukungan materil untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Keluarga ku semua, terkhusus kepada Nenek ku buat dukungan materil yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
(6)
12. Teman-teman ku di Pijer Podi 21 yaitu Dedi Putra, Mario, Maruli, Yakup, Ifan, dan Dije yang telah memberikan tempat berteduh bahkan masukan-masukan kepada penulis.
13. Teman-teman ku di KMK Sastra atas doa-doanya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman di Jurusan Sastra Jepang, khususnya Stambuk 2003 yang telah memberikan humor-humor yang mendukung penulis.
15. Adik-adik kelompok Kecil ku Andi, Chi chi, Priska, Frida, Mahera, Nana, dan Evalina bahkan kepada kakak ku Lediana Siboro atas dukungan doanya sehingga penulis juga bisa menyelesaikan skripsi ini dengan semangat.
Medan, Juni 2008 Penulis,
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………...………..i
DAFTAR ISI ……….………...………...………...iv
BAB I PENDAHULUAN ……….………..1
1.1 Latar Belakang Masalah……….…………1
1.2 Perumusan Masalah………..…...4
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan………..………...5
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……….………...6
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian……….……..7
1.6 Metode Penelitian………..………..8
BAB II BUDAYA PADI DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT KARO ………..………….10
2.1 Budaya Padi di Jepang ………...……….………..………10
2.1.1 Sejarah Padi di Jepang ………...….………...10
2.1.2 Padi Sebagai Makanan Pokok di Jepang ..…….……….………13
2.1.3 Padi Dalam Kepercayaan Orang Jepang ……….………..…16
2.2.Budaya Padi di Karo……….…………19
2.2.1 Sejarah Padi di Karo ……….………..19
2.2.2 Padi Sebagai Makanan Pokok di Karo ……….………...…...21
(8)
BAB III ANALISIS PERBANDINGAN RITUS-RITUS PERTANIAN
PADI DI JEPANG DAN DI KARO ………..…..26
3.1 Ritus-ritus Pertanian Padi di Jepang ………...…………..26
3.1.1 Ritus-ritus Sebelum Menanam Padi ………...………...27
3.1.2 Ritus-ritus Mengusir Hama ………...………29
3.1.3 Ritus-ritus Keselamatan Panen ………...……..34
3.1.4 Ritus-ritus Setelah Panen ………...…...37
3.2 Ritus-ritus Pertanian Padi di Karo ………...…42
3.2.1 Ritus-ritus Sebelum Menanam Padi ……….……….42
3.2.2 Ritus-ritus Mengusir Hama ………...45
3.2.3 Ritus-ritus Setelah Panen ………...46
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………..………50
4.2 Saran………...56
DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK
(9)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertanian di Jepang sangat berkaitan dengan penanaman padi. Padi bukan saja merupakan makanan pokok bagi orang Jepang, melainkan juga dulu pernah menjadi unit dasar dari nilai ekonomi.
Padi di Jepang mempunyai fungsi ekonomi kira-kira sebagai mana peranan emas di Eropa. Budaya tanam padi muncul pada zaman prasejarah tepatnya pada zaman Yayoi. Penanaman padi di Jepang mendapat pengaruh dari Cina. Zaman prasejarah merupakan kurun yang terpanjang dalam sejarah manusia, yaitu sejak mulai manusia dilahirkan ke dunia ini sampai di temukannya tulisan yang merupakan tanda era sejarah. Zaman prasejarah biasanya mengkaji kehudupan manusia purba melalui peninggalan-peninggaln hidup yang mereka gunakan, maka dari penelitian itu dapat diketahui bagaimana kehuidupan mereka dulu. Biasanya peninggalan-peninggalan itu berupa sisa-sisa tulang belulang manusia ataupun benda-benda (artefak). Benda-benda alam seperti tulang-tualang hewan (ekofak), arang sisa-sisa pembakaran, cakang kerang yang biasanya dibuang di sekitar rumah tujuannya agar tidak becek kalau hujan datang.
Dalam sejarah dapat dilihat bahwa Negara Jepang sangat dipengaruhi oleh budaya Cina terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Jepang juga mendapat pengaruh Cina dalam bidang pertanian terutama dalam bidang penanaman padi. Penanaman padi dimulai pada zaman Yayoi, dan awalnya persawahan padi ini mendapat pengaruh dari Cina selatan. (Yawata, dalam Danandjaja, 1997:18).
(10)
Ichiro Yawata menyimpulkan bahwa Negara Jepang mendapat pengaruh imigran dari Cina Selatan yang tergusur dari Cina sebagai akibat dari politik ekspansi dari Dinasti Han. (Yawata, dalam Danandjaja, 1997:18). Biasanya orang Jepang mulai menanam padi pada musim panas dan mereka menanami hamper separo tanah garapan mereka dengan tanaman padi. Budaya padi di Jepang melahirkan seremonial bersifat religi yang memiliki berbagi tujuan. Masyarakat ini juga percaya bahwa sebelum mulai menenam padi ada unsur penyembahan kepada kekuatan-kekuatan lain yang tidak dapat dilihat, maka mereka menamainya dengan Dewi Padi (Inarisama), yang dapat berubah menjadi hewan yang disebut dengan rase. Dengan kepercayaan kepada dewi padi itu yang biasanya dibuat dalam bentuk-bentuk sesajen maka harapan mereka produksi padi pasti akan melimpah karena diberkati oleh dewi padi.
Seremonial di Jepang dikenal dengan nama matsuri atau pesta rakyat. Matsuri pada dasarnya adalah festival suci diantaranya berasal dari upacara penanaman padi. Dalam arti luas matsuri dapat diartikan sebagai pesta rakyat dimana sisi huta-hura serta kepentingan komersil lebih ditonjolkan daripada sisi keagamaan. (Danandjaja, 1997:302). Matsuri sangat erat hubungannya dengan pertanian padi, terutama siklus penanamannya. Biasanya festival-festival ini dirayakan pada musim semi dan musim gugur tujuannya untuk menarik perhatian para dewa-dewa agar diberi hasil panen yang berlipat ganda. Orang Jepang dulu percaya kepada roh-roh yang sudah meninggal dunia yang terdapat pada batu-batu, pihon-pohon ataupun benda-benda keramat lainnyayang dipercayai memiliki kekuatan gaib.
(11)
Demikian halnya bagi orang Karo, dalam tradisi, adapt dan budayanya dimana masyarakat Karo pada mulanya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Tanaman-tanaman utamanya adlah padi. Untuk memulai mengerjakan sebidang tanah di dahului dengan penghormatan (persentabian), baru dilaksanakan penanaman. Penghormatan ini dilakukan kepada Nini Beras Pati Taneh dan Beru Dayang (dewi padi). Penghormatan ini dilakukan dengan mempersembahkan sirih selembar. Upacara persembahan belo cawir ini dilakukan di tempat yang dianggap persemayaman roh-roh orang yang sudah meninggal dunia, dan biasanya diletakkan di batu, di bawah pohon yang dianggap keramat itu. Dan sesudah padi berumur kira-kira 1 s\ d 2 bulan mka diadakan pesta, dan orang Karo menamainya dengan Pesta tahunan atau Nimpa Bunga Benih.
Adapun latar belakang pesta tahunan menurut ritus keagamaan dan ritus adat Karo disertai dengan kebiasaan seperti kesenian Karo untuk menghormati dewi padi dengan mengadakan upacara penghormatan suku, terkait pula dengan menjalin kekerabatan dengan (kalimbubu, anak beru dan senina) di tengah-tengah suku Karo. Dalam tahun-tahun belakangan ini, pelaksanaan pesta tahunan ini nampaknya sudah mulai bergeser dimana kecenderungan masyarakat dalam melaksanakan pesta ini, bukan lagi didorong motivasi agama, tapi dianggap suatu hal yang duniawi saja tanpa makna spiritualitas, sebab pesta tahunan itu di isi hanya sebatas makan-makan semata sehingga nilai-nilai yang positif atau negatifnya juga tidak lagi dihiraukan bahkan ini sudah menjadi gejala sosial di seluruh masyarakat Karo.
Memang dalam kepercayaan suku Karo lama, sangat menghargai pelaksanaan pesta tahunan ini tadi sehingga mereka mencari hari atau tanggal
(12)
yang baik dan biasanya ditentukan oleh dukun (simeteh wari telupuluh). Sebab bagi orang Karo pesta ini mendatangkan berkat yaitu, bila dewa berkenan maka hasil panen akan melimpah ruah, dan apabila pesta ini tidak dilaksanakan maka dapat mendatangkan malapetaka seperti bala-bala (ulat) akan mengganas dan lain sebaginya. Dalam penulisan ini penulis ingin mengetahui dimanakah perbedaan dan persamaan ritus-ritus tahunan dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Karo khususnya dalam bidang pertanian tanaman padi.
1.2 Perumusan Masalah
Ritus-ritus tahunan yaitu dimulai dari awal tahun hingga akhir tahun. Sepanjang tahun itu banyak ritus-ritus atau pesta-pesta. Di Jepang ritus-ritus ini dimulai dari bulan Maret hingga bulan Feberuari tahun berikutnya. Hal ini ada hubunganya dengan musim pertanian, yaitu musim menanam hingga musim panen ataupun pasca panen.
Berbeda dengan di Karo, yang tidak memiliki 4 musim namun juga berhubungan dengan pertanian. Biasanya orang Karo mulai menyemai benih padi pada musim hujan dan setelah kira-kira sudah berumur satu bulan dalam penyemaian, padi itu sudah mulai bisa ditanami di tempat yang sudah disediakan sebelumnya. Pada zaman dahulu sistem ini tidak digunakan, dimana benih padi langsung ditanam pada tempat yang sudah disediakan tapi yang harus memulai menanamnya pertama adalah kalimbubu, juga benihnya harus diminta dari kalimbubu, apabila benih itu benar-benar dari dia maka orang Karo pada zaman dahulu percaya bahwa hasil panen pasti melimpah. Kalimbubu dianggap sebagai Tuhan yang bisa di lihat, maka orang Karo sangat menghormati kalimbubu.
(13)
Penanaman padi di Karo baru bisa dimulai apabila bintang pemerdangken sudah bercahaya di langit.
Ritus-ritus penanaman padi baik di Jepang ataupun di Karo memiliki banyak persamaan. Maka banyak orang bertanya apakah penanaman padi itu berasal dari Jepang ataukah dari Karo.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah awal terciptanya budaya padi di Jepang dan di Karo.
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan ritual dalam hal penanaman padi di Jepang dan di Karo.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan hanya pada masyarakat pertanian di pedesaan dan di daerah pegunungan saja. Daerah pegunungan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani serta umumnya tanah di daerah pedesaan dan pegunungan yang cocok dan subur untuk di jadikan lahan pertanian, baik di Jepang ataupun di Karo.
Dalam penulisan ini penulis juga akan membahas ritus-ritus yang dilaksanakan oleh petani di Jepang dan di Karo mulai sejak penanaman padi sampai pasca panen hingga sesudah panen selesai.
Penulis juga akan membahas bagaimana awal masuknya padi ke Jepang dan ke daerah Karo.
(14)
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusia yang lebih baik. (Soerjatno Poespowardjojo, 1989:218-219).
Kebudayaan merupakan pola-pola pemikiran serta tindakan tertentu yang terungkap dalam aktifitas, sehingga pada hakekatnya kebudayaan itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Montagu yaitu a way of life, cara hidup tertentu yang memancarkan identitas pula pada suatu bangsa. (Benedick dalam Daeng, 2000:45).
b. Kerangka Teori
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan konsep ritual (Turner dan Schecner, dalam Murgiyanto, 1998:11) yaitu dengan mempelajari pertunjukan sebagai suatu “proses” dan “bagaimana” wujudnya dalam ruanh waktu dan kontek sosial budaya masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain (Redcliffe-Brown, dalam Kuper, 1996:11) menyatakan bahwa dalam analisis ritual harus sampai pada makna dan tujuan. Dalam hal seremonial tanam padi baik di Jepang ataupun di Karo memiliki makna dan tujuan agar selama proses penanaman padi hingga panen usai mendapatkan hasil yang baik dan melimpah.
Penulis juga menyadari bahwa kadang-kadang tindakan ritual di tampilkan secara tidak nyata. Maka untuk melihat makna dan fungsi dibalik ritual pada seremonial tanam padi, menarik diperhatikan pendapat Radclffe-Brown (1979:155-177) yaitu jika tindakan ritual banyak mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual harus diarahkan pada simbol-simbol ritual tersebut.
(15)
Dengan diketahuinya makna simbol-simbol itu maka secara jelas dapat juga diketahui isi atau maksud yang terkandung dalam seremonial tanam padi serta fungsinya bagi masyarakat pedesaan di Jepang dan di Karo. Dalam ritualnya masyarakat pedesaan mengungkapkan rasa syukur dan memohon kepada dewi padi agar di beri kelimpahan hasil padi.
Jadi landasan teori yang dipakai untuk membahas budaya tanam padi dalam masyarakat Jepang dan Karo adalah teori semiotika yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda atau simbol dengan pendekatan sosiologi.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan bagaimana sejarah atau asal mula budaya tanam padi di
Jepang dan di Karo.
2. Untuk dapat mengetahui bagaimana perbedaan dan persamaan ritus-ritus penanaman padi di Jepang dan di Karo
b. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini nantinya akan bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu seperti :
1. Diharapkan dapat menambah informasi mengenai asal usul penanaman padi di Jepang dan di Karo.
2. Diharapkan dapat menambah informasi mengenai ritus-ritus yang dilakukan dalam penanaman padi.
(16)
3. Dapat melihat di manakah letak perbedaan dan persamaan budaya tanam padi di Jepang dan di Karo.
1.6 Metode Penelitian
a. Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan dalam tahap pengumpulan data dan metode komparatif dalam menjelaskan sejarah timbulnya budaya tanam padi baik di jepang ataupun di Karo.
Metode kepustakaan menurut Nasution (2001:14) adalah metode yamg menggunkan aspek penting yang perlu dicari dan digali dalam studi yang selaras dengan kegiatan penelitian antaralain masalah-masalah yang ada, teori-teori, konsep-konsep dan penarikan kesimpulan serta saran.
Sedangkan metode komparatif merupakan penelitian yang membandingkan masyarakat yang satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk mengetahui perbedaan dan persamaan disamping untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat tersebut (Abdulsyani, 1994:19). Hal ini juga didukung oleh Soekanto (2000:49) bahwa penelitian dengan komparatif mementingkan perbandingan antara bermacam-macam masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh perbedaan dan persamaan serta sebab-sebabnya yang bertujuan untuk mendapatkan petunjuk mengenai perilaku masyarakat baik pada masa silam dan masa sekarang.
(17)
b. Teknik Pengumpulan Data
Semua bahan yang telah didapat, dikumpulkan kemudian dilakukan analisa-analisa. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisa bahan yang telah terkumpul adalah sebagi berikut :
1. Tahap persiapan
Mencari dan mengorganisasikan bahan-bahan yang berhubungan dengan budaya tanam padi di Jepang dan di Karo baik dari buku-buku, majalah, dan dari hasil-hasil skripsi.
2. Tahap pelaksanaan
Mengklasifikasikan data-data di atas sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
3. Tahap akhir
Menggabungkan data-data yang telah diklasifikasikan menjadi suatu kesatuan kalimat terkonsep mengenai penelitian Ritus-ritus Pertanian Padi dalam Masyarakat Jepang dan Karo.
(18)
BAB II
BUDAYA PADI DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT KARO
2.1 Budaya Padi di Jepang 2.1.1 Sejarah Padi di Jepang
Jepang sejak permulaan sejarahnya memperoleh banyak pengaruh budaya Cina, baik secara langsung maupun melalui Korea. Salah satunya adalah penanaman padi. Persawahan padi di Jepang di mulai pada zaman Yayoi. Berhubung pada masa itu pertanian padi belum tampak di Cina Utara, maka dapat disimpulkan bahwa pada awalnya persawahan padi merupakan pengaruh dari Cina Selatan. (Yawata, dalam Danandjaja :1997:18).Untuk lebih jelasnya lagi dari mana asal mula penanaman padi dapat di lihat melalui dua teori yaitu: Teori Utara dan Teori Selatan.
a. Teori Utara
Penanaman padi memang jelas sudah terlihat pada zaman Yayoi, namun jauh sebelun zaman ini tepatnya pada zaman Jomon pun sudah banyak di temukan bukti-bukti adanya pertanian padi yaitu ditemukannya gerabah dan genta. Tapi yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin orang-orang pada jaman Jomon bisa mandapatkan keahlian itu secara alami, sementara mereka sama sekali belum memiliki tulisan dan mereka masih tergolong masyarakat yang primitif. Maka dapat disimpulkan bahwa keahlian itu merupakan wariasan dari negara lain.
Sejak menanam padi dengan cara irigasi tidak secara asli diperaktekkan di Utara, tidaklah mungkin bahwa keahlian ini di datangkan dari daerah Utara yang
(19)
dingin. Daerah-daerah yang menjadi bukti sawah irigasi sebelum zaman Yayoi adalah daerah Honan dan Sungai Yang Tse. Dan masih banyak lagi pulau-pulau lain yang lebih jauh sebelah selatan negara Jepang yaitu Vietnam Utara dan di lain pihak Cina Utara memainkan peranan penting. Tapi daerah yang memegang peranan yang paling penting adalah daerah Honan yang sekaligus merupakan daerah tetangga.
Rute transmisi, suatu daerah yang paling berpangaruh menyebutkan bahwa penanaman padi itu berasal dari Korea Utara dan menyebar ke Utara Kyushu, ketika Kosaku Hamada (1881-1938) mendukung teori bahwa produksi padi di transmisikan (dahulu Manchuria) ke sebelah Utara Semenanjung Korea. Secara arkeologis ada tanda bahwa awalnya produksi biji-bijian berasal dari daerah Utara sekalipun tidak ada bukti yang ditemukan bahwa penanaman padi pertama kali di peraktekkan di Cina Utara. Ada juga bukti lain yang manyatakan bahwa asal mula padi itu dari Neolitik Yang-shao. Secara umum pada zaman sejarah dimasa lalu Cina Utara adalah daerah produksi gandum.
Berlawanan dengan ini daerah Selatan Sungai Yang-tse sudah memperaktekkan penanaman padi pada masa awal. Secara alamiah menerangkan bahwa padi di produksi untuk memenuhi kebutuhan. Lebih jauh lagi alat-alat pertanian bersal dari Korea Utara ke dataran Cina daripada ke daerah Utara. Jadi dari semua bukti di atas tidak ada satu bukti yang kuat yang menyatakan bahwa asal mula padi dari daerah Utara.
b.Teori Selatan
Kunio Yanagita dalam teori Kaijo no michi (rute laut), menekankan peranan laut bagi perairan Jepang seperti dari Selatan ada Tsushima yang
(20)
melewati laut Jepang ke Okinawa. Teori Yanagita menjelaskan perpindahan cara penanaman padi yang di bawa oleh petani yang datang dari Selatan menuju Jepang melalui Okinawa.
Para ahli menyimpulkan bahwa daerah persebaran padi terletak di Semenanjung Korea yang merupakan Negara Korea Selatan, dan juga ada kemiripan kebudayaan antara Korea Selatan dengan Jepang bagian Barat. Melalui catatan arkeolog dapat dilihat bahwa produksi padi ada di Semenanjung Korea, dua abad sebelum masuk ke Jepang. Di daerah Karakuri dekat Sungai Han dekat Soul ditemukan gerabah atau keramik pada zaman Yayoi. Di Korea alat-alat itu digunakan untuk mengerjakan sawah tadah hujan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya tanam padi di zaman Yayoi di datangkan dari Korea Selatan ke Jepang. Ini terbukti dari alat-alat pertanian yang ditemukan di Korea Selatan. Alat-alat ini berasal dari awal dan pertengahan zaman batu dan mirip dengan apa yang ditemukan di Korea. Teori ini juga di dukung oleh seorang ilmuwan yaitu Susumu Ohno dari Universitas Gakushu in dalam bukunya Nihonggo no Kigen (asal mula bahasa) yang menjelaskan bahwa ada persamaan antara istilah yang dipakai oleh orang Jepang dan orang Korea untuk alat-alat pertanian, untuk keterampilan dan kebiasaan hidup sehari-hari. Ohno juga mendaftar istilah-istilah seprti cangkul dan ladang sebagai kata-kata yang berhubungan dengan penghidupan di desa seperti sutra.
Yayoi menurut Eichiro Eishida rute penanaman padi pada zaman yang merupakan dasar dari kehidupan orang Jepang didatangkan dari Cina Utara, Manchuria dan Korea. Dan teori ini didukung juga oleh Yanagita dalam kaijo no michi. Lalu muncul pertanyaan bagaimana penanaman padi ini bisa sampai ke
(21)
Korea Selata. Eishida secara pribadi beranggapan bahwa rute penanaman padi Korea selatan berasal dari Sungai Yang Tse melalui selat Santung ke Korea Selatan dan banyak sarjana yang mendukung teori ini beserta bukti-bukti.
2.1.2 Padi Sebagai Makanan Pokok di Jepang
Padi merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib bagi orang Jepang, khususnya bagi petani. Padi biasanya digunakan untuk merayakan festival-festival sepanjang tahun di daerah pertanian. Biasanya orang Jepang makan beras di campur dengan barley atau rumput deccan. Proporsinya 4 bagian beras dan 6 bagian barley. Jarang ada yang makan beras tanpa campuran itu. Dan lagi orang Jepang jarang yang ada makan nasi tiga kali sehari, kalau pun ada hanya para petani yang memerlukan banyak tenaga untuk bekerja.
Orang Jepang telah memberi tempat yang khusus untuk padi sebagai makanan pokok mereka. Padi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam upacara-upacara yang diadakan setiap bulannya. Karena begitu pentingnya maka ada sebagian petani yang menanami padi di seluruh sawahnya hanya untuk alasan kepentingan upacara saja. Kebiasaan di daerah pertanian adalah menyimpan padi untuk merayakan tahun baru, untuk acara khusus seperti pernikahan bahkan dalam festival Bon padi di jadikan sebagai persembahan kepada dewa.
Metode memasak nasi pada zaman dahulu dengan zaman sekarang juga sangat berbeda. Pada zaman dahulu nasi terlebih dulu di rebus dalam keranjang rebusan yang disebut dengan kowameshi. Cara memasaknya adalah keranjang itu di masukkan ke dalam panci rebusan air kemudian letakkan di atas api dan cukup tunggu beberapa menit saja nasi sudah bisa di makan. Pada zaman sekarang untuk
(22)
memasak nasi sudah ada panci khusus yang disebut dengan kama, yang dipakai bersamaan dengan kamando (belanga tanah). Nasi yang sudah masak disebut dengan katakayu (nasi keras), dan apabila sudah menjadi bubur disebut dengan kayu. Nasi bubur ini biasanya khusus di sajikan untuk orang yang sedang sakit. Meskipun bubur tidak terlalu istimewa namun bubur menjadi makanan yang dibuat untuk berbagai acara-acara sepanjang tahun. Contohnya pada tanggal 7 Januari, 15 Januari, dan pada tanggal 23 November.
Makanan khas Jepang adalah Mochi. Bahan dasar dari Mochi adalah beras ketan (mochi gome) dan mochi merupakan kue tradisional Jepang. Kue mochi awalnya masuk ke Jepang melalui Asia Tenggara, sewaktu sistem penanaman padi diperkenalkan ke Jepang. Kue ini sejak dahulu sudah mejadi sesajen yang dipersembahkan kepada dewa, sehingga kue ini selalu ada dalam upacara-upacara keagamaan ataupun pada perayaan pesta rakyat. Pada tahun baru ada persembahan khusus bagi dewa yang disebut dengan kagami-mochi yaitu kue beras bulat seperti cermin dan kue ini merupakan simbol dari toshi-gami (dewa tahun), dan biasanya kue ini dipersembahkan di altar keluarga. Orang Jepang selalu membuat kue mochi untuk merayakan tahun baru, karena kue ini dipercayai sebagai hadiah dari toshi-gami (dewa tahun) atau dewa panen. Dan bagi siapa yang memakan kue ini dipercayai dapat menambah panjang usia selama satu tahun. Mochi bukan hanya disajikan untuk manusia tapi untuk binatang peliharaan separti kuda dan binatang peliharaan lainnya bahkan juga diberikan kepada alat-alat separti lesung, talenen, dan alat-alat pertanian separti cangkul dan arit. Ini disebut dengan toshi-tori (menambah tahun).
(23)
Orang Jepang percaya bahwa di dalam kue mochi ada sesuatu kekuatan yang ajaib. Ini bisa dilihat dalam bungo fudoki (catatan sejarah bungo), dimana di dalamnya menceritakan tentang kisah kue beras yang menjadi target panahan yang dianggap sebagai burung putih. Dan bagi para pengelana yang kecelakaan biasanya makan kue mochi yang disebut dengan Chikara-mochi yaitu mochi yang bisa menambah tenaga.
Makanan lain yang bahan dasarnya beras adalah shitogi. Cara membuatnya adalah tepung beras diuleni dengan air sampai lembut. Dan kue ini juga dijadikan sebaga persembahan kepada dewa yang dinamakan dengan shitogi mentah (nama-shitogi), tapi ini dilakukan pada zaman dahulu. Dan sekarang sebelum dipersembahkan kepada dewa terlebih dahulu shitogi itu dikukus atau di rebus. Nama-shitogi ini biasanya di jadikan persembahan kepada dewa gunung.
Selain makanan yang bahan dasarnya adalah beras, di Jepang minuman juga ada yang berbahan dasar beras yang disebut dengan sake (arak beras). Pembuatan sake di Jepang di mulai bersamaan dengan masuknya sistem penanaman padi di sawah ke Jepang pada tahun 300 SM. Catatan tertulis pertama mengenai sake berasal dari abad ke-3. Pada zaman dahulu pembuatan sake hanya dilakukan di istana-istana kekaisaran ataupun di kelenteng-kelenteng Buddha yang besar dan di kuil-kuil Shinto. Rakyat jelata baru bisa membuat sake sejak akhir abad ke-12. Bahkan sekarang di hari-hari biasa sake disajikan di mangkuk datar dan besar yang digilir secara berputar dari satu orang ke orang lainnya sesuai dengan status masing-masing. Sajian yang lebih modern dalam kehidupan orang Jepang dimana sake disajikan dalam cangkir arak kecil yang terbuat dari porselen dan siapa saja boleh memekainnya.
(24)
Sake memang jarang sekali disajikan di altar persembahan. Namun ada sake yang khusus untuk persembahan yaitu sake yang memang benar-benar berasal dari asri pati beras yang berwarna keruh. Jadi sake yang dipersembahkan adalah sake yang memang benar-benar masih asli.
2.1.3 Padi Dalam Kepercayaan Orang Jepang
Di Jepang terdapat dua spesies dari rase atau Eurasian red fox (vulpes vulpes) dari famili canidae (Kodansha,1994:406). Yang pertama Kitakisune (vulpes vulpes sxhrencki) dari Hokaido, dan Hondokitsune (vulpes vulpes Japonica) dari Honshu, Shikaku dan Kyushu. Panjang tubuh rase jenis hondokitsune adalah 70 cm, dan panjang ekornya kurang lebih 40 cm. Panjang tubuh kitakitsune adalah sedikit lebih besar. Kedua spesies rase ini mempunyai bulu berwarna cokelat. Rase merupakan hewan pemakan daging paling umum di Jepang. Habitat hewan ini di tanah datar maupun di daerah pegunungan, dan banyak yang hidup di desa-desa. Mereka biasanya membuat rumah dengan cara menggali lubang di tanah atau mendiami rumah-rumah kosong.
Sejak zaman dahulu kala orang Jepang sudah percaya bahwa rase mempunyi kekuatan gaib dan dapat memukau (bewitch) manusia (Kodansha, 1994:597-598). Mungkin kepercayaan ini timbul karena kelincahan hewan ini untuk melepaskan diri dari marabahaya. Rase jua dianggap sebagai pesuruh dari Inari Daimyo Jin (dewa padi-padian) yang disebut dengan Inari.
Seperti disebutkab di atas, rase berhubungan erat dengan dewa padi-padian yang bernama Inari Daimyo Jin. Maka untuk mengetahui kesaktian hewan ini kita harus terlebih dahulu mengetahui identitas dewa ini. Menurut Sonoda
(25)
Minoru (1983:282-283), Inari adalah dewa yang paling banyak disembah oleh penduduk Jepang, karena ia merupakan dewa yang berhubungan erat dengan mata pencaharian orang Jepang di masa lalu. Namun pada masa manufaktur di Jepang mulai dianggap penting pada abad pertengahan (kurang lebih abad ke-13 dan 16), dewa ini disembah sebagi pelindung dari tungku-tungku peleburan besi dari para pandai besi dan para pedagang. Dewa ini kemudian juga menjadi populer dikalangan kelas ksatria (samurai). Inari di zaman modern dijadikan sebagai dewa pelindung rumah tangga (Yashikigami) dari semua lapisan kelas masyarakat.
Di Jepang banyak terdapat bukit dan hutan yang di yakini banyak dihuni oleh rase, dengan berbagi peristiwa gaib yang dibuat oleh mereka. Di sekitar daerah-daerah itu telah di dirikan rumah suci inari yang besar dan juga yang berukuran mini.
Diantara bangunan suci inari, yang terpenting yaitu bangunan suci Fushimi Inari di Kyoto. Bangunan-bangunan suci yang lain yaitu kuil Takekomo Inari di prefektur Myagi, kuil Kasama Inari di prefektur Ibaraki, Kelenteng Toyokawa Inari (secara resmi merupakan kelenteng Buddhis yang bernama Myogonji) di prefektur Aichi, dan kuil Yutoko Inari di prefektur Saga. Selain itu masih ada lagi tempat-tempat persembahan suci Inari dan tempat persembahan suci pribadi di rumah tempat tinggal orang Jepang. Pada masa kini ada 40.000 tempat suci Inari yang diakui dan di masukkan ke dalam lembaga keagamaan Jepang.
Berdasarkan mite yang terdapat dalam karya-karya klasik seperti Kojiki dan Nihon Shoki dari agama Shinto, dewa Inari di identifikasikan sebagai Uka no
(26)
Mitama atau Uganomitama no Kami, dan juga disebut Toyokehime atau Ioyuke Hime no Kami (dawa dari tempat suci bagian luar dari kuil Ise); Wakauka no Kami;Ukemochi no Kami;Ugetsuhime no Kami;atau Miketsu Kami (dalam semua nama ini terdapat unsur uke’ ke’ dan ge’ yang semuanya berarti mkanan dan gami yang berarti dewa. Ada banyak versi mengenai etimologi dari Inari, tetapi tidak ada yang tepat. Menurut salah satu teori, istilah ini adalah ringkasan dari Ineneri yang berarti bulir padi yang masak.
Menurut sejarah kuil-kuil Shinto, dewa Inari berasal dari rumah pemujaan Fushimi Inari Shrine. Kuil tersebut adalah tempat persemayaman dewa penjaga keluarga besar Hata tua di daerah Kyoto yang di dalamnya bersemayam roh leluhur bernama Hata no Kimi Irogu. Menurut legenda Hata adalah satu-satunya orang yang memiliki beras yang melimpah. Olahraga memanah merupakan hobbinya, dan yang di jadikan sasaran panahannya adalah kue yang terbuat dari tepung beras. Apabila anak panahnya tepat mengenai kue beras itu maka kue beras itu akan berubah menjadi seekor angsa dan terbang menuju gunung yang tidak jauh dari tempat ia memanah itu. Setelah hinggap di pohon , maka angsa tadi berubah menjadi sebatang tanaman padi. Maka sejarah dari istilah ina-inari atau menjadi beras adalah dari legenda ini dan dari legenda ini juga muncul istilah Inari dan juga Inari Yama atau Gunung Inari. Dan inilah kegiatan yang dilakukan oleh Hata setiap harinnya maka semakin rajin ia memanah hasil padinya pun semakin melimpah.
Setelah Irogu meninggal, maka keturunannya berusaha memperbaiki kesombongan leluhurnya itu. Mereka menggambil satu pohon dari gunung itu dan membawanya ke rumah dan di tanam kemudian dipuja seperti dewa, dan disana
(27)
juga mereka dirikan rumah pemujaan Inari. Rumah pemujaan ini di resmikan pada “Hari Kuda”pertama atau yang disebut dengan Hutsuma pada bulan kedua di tahun 771. Setiap tahun semua peristiwa itu di peringati dalam pesta rakyat dan di persmbahkan kepada dewa Inari. Dari legenda itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Inari pada mulanya adalah dewa perladangan.
Biasanya roh binatang terutama rase dapat merasuki tubuh manusia, dan dapat membuat gila kalau seseorang itu keadaanya lemah. Rase di percayai sebagai pesuruh dari dewa yang turun ke bumi. Dan banyak orang Jepang yang meminta keberuntungan ataupun rejeki kepada rase itu.
2.2 Budaya Padi di Karo 2.2.1 Sejarah Padi di Karo
Sejarah darimana datangnya padi di Karo sampai saat ini masih belum di ketahui dengan pasti. Namun banyak pendapat-pendapat para ahli menerangkan asal mula padi di Karo. Menurut Brandes bahwa penanaman padi di sawah di mulai sejak sebelum pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha datang ke Karo. (Brandes, 1889 dalam Ferdinandus,1990:426). Ini diperkuat lagi dengan peninggalan-peninggalan yang masih di lihat dalam masyarakar Karo yaitu marga-marga yang ada di Karo. Sembiring Brahmana, Colia, Pandia, Manik, Dan Lingga. Dan sampai sekarang marga-marga ini masih di gunakan oleh orang Karo. Pendapat lain mengatakan bahwa penanaman padi dengan system perladangan diperkirakan di kenal oleh orang Karo jauh sebelum sekitar 2500-1500 SM, yaitu bersamaan masuknya kebudayaan megalituk tua ke Indonesia
(28)
(Golden, 1945:138-141). Namun dalam teorinya ini masih ada keraguan karena tidakdisertakan dengan bukti-bukti yang kuat.
Namun ada satu cerita dalam kebudayaan Karo bahwa padi itu berasal dari Beru Dayang. Awalnya nenek moyang orang Karo hidup di hutan-hutan belantara dan berpindah-pindah. Dan yang menjadi makanan mereka adalah buah-buah pohon masak yang ada di hutan, dimana merka menemukan buah disitulah mereka tinggal sampai buah tersebut habis. Dan Karena buah itu, sering terjadi pertengkaran sesama mereka dan saling membunuh. Artinya makananlah yang membuat mereka sering bertengkar.
Hal ini dilihat oleh dibata maka ia berkata kepada Beru Dayang Jile-jile (nama dewi padi) yang menjadi perantara untuk manusia. “Bawalah benih padi dan ajarilah manusia untuk menanam padi supaya padilah yang menjadi makanan meraeka nantinya, agar mereka tidak bertengkar dan memperebutkan buah pohon dan tidaklagi hidup berpindah-pindah ketika buah pohon itu habis dan kesulitan mencari buah pohon yang masak”. Lalu sijudlah Beru Dayang dengan tangan kiri dan kanan menyatu serta menundukan kepalanya dan berkata “apa yang Dibata perintahkan padaku akan ku lakukan untuk manusia. Maka turunlah Beru Dayang ke bumi dengan membawa benih yang akan diberikan kepada manusia.
Maka sampailah ia di bumi ini karena kuasa dan kekuatan yang diberikan kepeda Beru Dayang yang menjadi perantara Dibata dengan manusia. Maka berkumpullah semua manusia baik dari Timur dan Barat. Setelah semuanya berkumpul maka berkatalah Beru Dayang kepeda mereka “bagi kamu semua manusia sekarang akan ku berikan benih padi kepadamu supaya kamu tanam agar padi inilah yang akan menjadi makananmu. Dan aku akan mengajari cara
(29)
menenembenih padi ini”. Maka merekapun diajari untuk menanam padi itu. Merekajuga diajaribagaimana cara mengurus padi yang baik, begitu juga setelah padi di panen dan bagaimana cara menumbuknya begitu juga dengan memesaknya.
Semua padi yang ditanam manusia itu sangat subur sekali karena berkat pengajaran dari Beru Dayang dan hasilnya sangat melimpah ruah. Maka setelah itu pulanglah Beru Dayang ke asalnya. Dan ini memeng di akui terlihat dalam nama-nama padi yang ada di Karo. Jenis-jenis padi itu adalah:
- Beru Dayang Rungun-rungun (nama padi yang telah ditanam) - Beru Dayang Buninken (nama padi yang telah ditanam dan di tutup) - Beru Dayang Malembing (nama padi setelah daunnya mirip lembing) - Beru Dayang Meduk-meduk (nama padi setelah daunnya rimbun dan
daunnya melengkung ke bawah)
- Beru Dayang Kumerket (nama padi stelah bunting)
- Beru Dayang Perinte-rinte (nama padi setelah daunnya menguning) - Beru Dayang Pegungun (nama padi setelah di panen dan di jemur) Dan nama jenis padi ini masid di gunakan pleh orang Karo sampai sekarang.
2.2.2 Padi Sebagai Makanan Pokok di Karo
Sama seperti Jepang, bagi orang Karo padi juga merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Apalagi rata-rata mata pencaharian orang Karo adalah bertani. Padi juga menjadi makanan utama orang Karo. Dalam sehari mereka makan nasi
(30)
tiga kali, bahkah ada yang makan 5-6 kali sehari. Mereka makan banyak karena harus memiliki tenaga yang banyak untuk bekerja.
Kebiasaan utama bagi orang Karo adalah menyimpan sebagian padi untuk perayaan-perayaan tertentu. Biasanya ada tempat khusus untuk menyimpan padi yaitu dalam lumbung yang disebut dengan “keben”. Kebiasaan ini di turunkan oleh nenek moyang dan sampai sekarang masih dilakukan. Padi digunakan dalam merayakan pesta tahunan “kerja tahun”, memasuki rumah baru dan acara-acara khusus dalam pernukahan dan adat anak lahir. Jadi padi merupakan lambang ritual-ritual Karo.
Cara memasak nasi pada zaman dahulu dengan sekarang juga berbeda. Pada zaman dahulu nasi dimasak dalam periuk khas karo yaitu Kudin Taneh, cara memasknya beras dimasukkan beserta air dan di naikkan ke atas api. Sekarang nasi sudah di masak dalam periuk-periuk biasa dan setelah mendidih dimasukkan lagi ke kukusan nasi. Bagi orang Karo nasi yang sudah masak disebut dengan “nakan” dan apabila menjadi bubur disebut dengan nakan dak-dak, dan biasanya ini dibuat khusus untuk orang yang sedang sakit. Nasi bubur ini juga menjadi makanan untuk anak-anak yang baru lahir dan ketika memasaknya di campur dengan wartel, kentang, tomat dan bahan-bahan lain.
Dalam perayaan tahunan biasanya ada makanan khas yaitu Rires, cimpa gabur, tape. Rires adalah makanan khas orang Karo (makanan yang dimasak dalam bambu), bahan dasarnya adalah beras yang dicampur dengan garam, lada, kunyit, jahe, dan santan kelapa yang sudah diperas. Dan setiap keluarga wajib membuatnya karena ini juga menjadi lambang ada atau tidaknya malapetaka yang menimpa seseorang. Rires biasanya dimasak dalam bambu muda dan dibakar,
(31)
apabila sesudah masak warnanya kuning dan bagus serta rasanya pas di lidah maka tidak akan ada malapetaka. Apabila mentah dan warnanya pucat serta rasanya juga tidak pas maka akan ada malapetaka.
Cimpa juga merupakan makanan khas bagi masyarakat Karo, dan ini juga dibuat setiap perayaan tahunan”kerja tahun”. Cimpa juga bahan dasarnya adalah beras, dan cara membuatnya sama seperti membuat shitogi (kue Jepang) dimana tepung beras diuleni dengan air sampai lembut setelah itu di balut dengan daun singkut atau daun pisang. Setelah itu dimasak. Biasanya cimpa untuk di sajikan dicampur dengan gula merah biar rasanya lebih manis dan enak. Cimpa ini dinamakan dengan “cimpa pulut”.
Cimpa yang biasanya dijadikan persembahan kepada dewa atau roh-roh orang yang sudah meninggal adalah “cimpa gabur”. Bahan dasar dari cimpa ini adalah tepung beras, namun pada zaman dahulu biasanya beras yang diambil dari panen pertama dan di tumbuk kemudian dikepal sebesar kepalan tangan tanpa diberi campuran apapun. Sekarang karena membuatnya terlalu rumit dan capek maka sudah dibuat dari tepung bers yang di beli dan dicampur dengan gula. Tujuannya agar kalau dewi memakan kue ini rasanya manis maka dewi pasti juga akan memberikan rejeki yang manis pula.
Makanan lain yaitu “tape” yang juga bahan dasarnya adalah beras. Tapi khusus untuk membuat makanan ini biasanya berasnya harus yang asli, makanya masih ada orang yang menanam padi sedikit hanya untuk bahan membuatnya. Dan selama membuat makanan ini tidak bisa mengeluarkan bau yang busuk karena bisa tidak jadi. Apabila rasanya manis maka dipercayai panen berikutnya pasti berhasil. Namun sekarang inisudah jarang dibuat karena caranya terlalu
(32)
rumit, dimana harus dibungkus dengan lapisan yang tebal agar panas. Dan butuh waktu satu malam penuh untuk masak, dan selama itu tidak boleh disentuh apalagi dibuka.
Jadi yang masih dilestarikan pembuatannya adalah rires (kue dalam bambu), dan cimpa pulut saja. Dan ini setiap perayaan kerja tahun pasti ada di jumpai.
2.2.3 Padi Dalam Kepercayaan Orang Karo
Di Jepang yang dipercayai sebagai utusan dari dewa Inari adalah rase, di Karo yang di percayai utusan dari dewi padi Beru dayang adalah Kalimbubu, Anak beru, dan Senina.
Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (marga) tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut sebagai Dibata ni Idah (Tuhan yang bisa dilihat), karena kedudukannya yang sangat di hormati. Dan sejarah dari penghormatan kepada kalimbubu ini berasal dari perintah dewi Beru dayang sewaktu di datang ke bumi memberikan benih. Dan apabila ingin mendapat hasil padi yang melimpah maka benihnya harus diminta dari kalimbubu itu. Makanya sampai sekarang apabila ingin menanam benihnya di minta dari kalimbubu. Dan bisanya untuk meminta benih itu, orang yang bersagkutan membawa sesajen atau persembahan berupa cimpa gabur, beras, ayam kampong yang berwarna putih dan semuanya diletakkan di piring yang berwarna putih juga yang disebut dengan pigan pasu. Kalimbubu di ibaratkan sebagai padi yang ditanam yang dapat menghasilkan panen yang melimpah, jadi dia harus benar-benar dihormati dan disembah.
(33)
Anak beru dipercayai dapat menjaga padi dari serangan hama, kerbau,kambing. Anakberu diibaratkan sebagi pagar yang melindung padi. Anak beru berarti anak perempuan, dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari kelurga (marga) tertentu. Bahkan anak beru juga dipercayai dapat menjaga kerukunan dalam rumah tangga. Maka anak beru juga sangat dihormati dan disembah juga, karena kalu tidak maka dia bisa marah dan pasti hasil padi akan gagal karena dimakan oleh serangga atau kerbau.
Senina juga diyakini sebagai wakil dari beru dayang. Senina adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat Karo. Se berarti satu, nina berarti kata atau pendapat, orang yang bersaudara. Senina dipercayai di ibaratkan sebagi pelindung dan penopang padi agar tidaksampai ke tanah apabila angin berhembus. Jadi dia juga harus dihormati.
Sebagai wujud penghormatan kepada kalimbubu,anak beru dan senina maka di buatlah suatu perayaan yang disebut dengan kerja tahun itu.
(34)
BAB III
ANALISIS PERBANDINGAN RITUS-RITUS PERTANIAN PADI DI JEPANG DAN DI KARO
3.1 Ritus-ritus Pertanian Padi di Jepang
Sebelum membahas ritus-ritus pertanian di Jepang, terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem penanggalan yan ada di Jepang. Orang Jepang menggunakan tiga jenis kalender yaitu Satu, sistem penanggalan barat, berdasarkanperedaran matahari. Dua, system penanggalan tua, berdasarkan peredaran bulan dan Tiga, system penanggalan perbulan. Pada zaman Meiji tepatnya tahun1872 sistem penanggalan yang di pakai adalah berdasarkan peredaran matahari. Sementara bagi masyarakat pedesaan ataupun masyarakat pedalaman untuk menghitung hari mereka menggunakan system penanggalan berdasarkan peredaran bulan ataupun perhitungan berdasarkan satu bulan. Dalam melakukan semua aktifitas pertanian, selalu di lihat berdasarkan perubahan bulan. Maka banyak sekali ritual-ritual yang di lakukan di setiap bulannya. Biasanya yang masih sering melakukan perayaan-perayaan tahuanan adalah masyarakat pedesaan, alasanya karena rasa kekeluargaan masih kental terlihat. Tujuan perayaan itu adalah agar mereka mendapat hasil panen yang banyak terutama panen padi. Dan karena hasil panen padi melimpah setiap tahunnya maka kehidupan masyarakat pun terlihat sangat makmur. Sebagai balasan sekalius mengucapkan rasa terimakasih kepada dewa yang telah memberikan semua itu, di adakanlah upacara-upacara tertentu. Dan setelah semuanya selesai sebelum melakukan aktifitas di tahun berikutnya, para petani ini biasanya mengambil
(35)
waktu untuk beristirahat dengan cara berlibur selama 40-50 hari sekaligus untuk mengabdikan diri kepada pencipta.
Perubahan musim juga sangat mempengaruhi perayaan-perayaan itu. Mengingat Jepang terdiri dari 4 musim yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin, jadi untuk mengadakn ritual-ritual tertentu harus memperhatikan perubahan musim yang sedang berlangsung.
3.1.1 Ritus-ritus Musim Semi (Ritus-ritus menabur benih) Maret
Bagi orang Jepang bulan Maret di peringati sebagai bulan boneka. Di setiap ruangan-ruangan tertentu di pajang berbagai jenis-jenis boneka. Bulan ini juga dikenal sebagai perayaan sakura dan juga perayaan sake beras. Biasanya sake yang di minum bukanlah sake yang sembarangan tapi sake yang langsung diperas dari buah persik dan itulah yang di minum langsung jadi rasanya masih sangat asli.
Untuk merayakan bulan ini di buatlah makanan yang khusus yaitu kue beras yang dan dipersembahkan kepada dewa. Kue itu dibuat beragam warna yaitu merah jambu, putih, hijau dan di potong berbentuk boneka. Bentuklain dari kue beras adalah yang terdiri dari rumput-rumput yang disebut dengan kusamochi.
Boneka bagi orang Jepang memiliki makna yang khusus, dimana dipercayai bisa membawa segala macam dosa serta ketidak beruntungan. Boneka itu kemudian di letakkan di air terjun atau di gunung. Boneka-boneka itu disebut dengan Nagashigina (boneka yang di hanyutkan ke air).
(36)
Para petani dalam musim ini sudah dapat menanam padi. Sebelum menggarap sawahnya, biasanya mereka berlibur sejenak dengan cara pergi ke gunung atau pergi bertamasya ke pantai.
APRIL
Pada tanggal 8 April, biasanya ada perayaan untuk Buddha Gautama atau Kanbutsu-e, para biara Buddhis membuat pavilion-pavilon kecil yang mereka sebut dengan hanamido (pavilion bunga). Dan di tengah-tengahnya diletakkan patung Buddha dan diletakkan didalam ember. Dalam perayaan ini juga semua umat yang ada di vihara membawa cangkir yang terbuat dari bambu untuk menerima amacha (the manis) dari kuil. Ada kepercayaan dengan meletakkannya dekat mata maka akan terhindar dari penyakit.
Ada juga sebagian teh manis itu di siramkan ke tanaman. Tujuannya adalah agar tanaman ini tadi terhindar dari serangga. Dalam teh manis itu di percayai ada suatu kekuatan gaib. Namun sekarang perayaan itu sudah mulai hilang, dan kebanyakan orang pada tanggal 8 ini pergi mendaki gunung dan mengumpulkan bunga-bungaan liar.
Pada bulan April ini para petani banyak mengadakan ritual-ritual tertentu. Namun pada bulan ini kebanyakan ritual itu di buat khusus untuk menyembah dewa gunung. Dan persembahan yang mereka buat adalah kue mochi.
MEI
Menurut kepercayaan tradisional bilan ini merupakan bulan istimewa untuk anak laki-laki. Maka ada ruangan khusus dibuat untuk pajangan boneka
(37)
yang mewakili samurai. Bulan ini juga disebut dengan Tango-no Sekku. Tango berarti “Kuda Permulaan”. Hari ini juga dirayakan dengan membuat makanan khas yaitu kue beras yang di bungkus dalam bambu, yang disebut dengan chimaki atau yang sering juga disebut dengan khasiwa-mochi.
Para petani bulan ini merupakan bulan yang sangat penting sekali. Pada bulan ini para petani sudah mulai menanam padi. Tapi sebelumnya mereka mengadakan ritul-ritual untuk menyembah dewa padi, tujuannya agar dewa padi memberkati padi mereka. Dalam mengadakan ritual ini ada peraturan-peraturan yang wajib di laksanakan khususnya bagi para wanita. Para wanita harus menghiasi rumah dengan daun bakung, dan juga mandi denga rebusan bunga. Pada bulan ini banyak ritual-ritual yang di lakukan untuk mengusir roh jahat dan hama penyakit. Daun bakung di percayai sebagai tanaman yang dapat mengusir roh jahat. Di tempat lain dipercayai apabila memakan ubi maka dapat di beri umur yang panjang.
3.1.2 Ritus-ritus Musim Panas (Ritus-ritus Mengusir Hama) JUNI
Pada bulan ini para petani mengadakan ritual untuk mengusir serangga yang disebut dengan mushi kuyo (perkembangan serangga). Bulan ini di percayai serangga-serangga berkembang biak. Di Suitama dan di perfektur lain, untuk menghindari serangga-serangga jahat yang dapat menganggu tanaman itu dirayakan festival api.
Festival yang penting juga di bulan ini adalah festival Gion dan Tenno, yang di rayakan pada tanggal 15 Juni. Festival Gion di rayakan di Kyoto dan
(38)
festival Tenno di Tsushima. Di propinsi Owaru Gion dan Tenno di percayai sebagai dewa yang mengendalikan penyakit dan dapat mencegah serangga pada tanaman. Sementara di Kyushu, masyarakat merayakan kawa-matsuri (festival sungai) atau ritual penghormatan Kappa selamabulan ini.
Bulan ini juga gandum sudah mulai dipanen. Persembahan yang di berikan kepada dewa adalah diambil dari panen gandum yang pertama. Hari ini juga di rayakan dengan membuat makanan serta manisan yang semua bahan-bahanya dari gandum.
Di beberapa kuil pada bulan ini mengadakan ritual yang disebut dengan chinowa-kuguru (melewati lingkaran bambu atau rotan). Biasanya lingkaran besar digantungkan di Torii dan bagi setiap orang yang berkunjung ke kuil ini, harus melewati lingkaran itu. Ada kepercayaan dengan melewati lingkaran itu, segala macam penyakit akan sembuh. Maka banyak sekali orang-orang yang berkunjung ke kuil ini.
JULI
Bulan Juli adalah perayaan Tanabata. Tradisi ini berasal dari legenda Cina yang romantis. Legenda ini menceritakan pertemuan antara dua bintang yaitu bintang Rapid dan bintang Senerius (vega) yang bertemu setahun sekali. Pada malam hari orang-orang memperhatikan cuca. Apabila hujan turun maka sungai Bimasakti akan meluap dan kedua bintang ini tidak bisa bertemu. Jika cuaca cerah maka kedua bintang ini akan bertemu, tapi dengan bertemunya kedua bintang ini maka akan menimbulkan bibit-bibit penyakit yang dapat merusak tanaman pangan. Selama ritual ini berlangsung biasanya yang berperan aktif adalah
(39)
anak-anak, mereka menggambil bambu yang di ikat dengan pita warna-warni dan ditulis amanogawa (bimasakti). Dan setelah beberapa hari cabang dari bambu tadi di lemparkan ke sungai. Makna dari ritual ini adalah sebagai penyucian. Ada kepercayaan bahwa cabang dari bambu tadi dapat mengusir serangga.
Dan selama ritual ini berlangsung ada peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan yaitu semua orang harus makan tujuh macam hidangan, para wanita harus membersihkan rambutnya dan juga semua sumur-sumur harus ikut di bersihkan, dan tidak diperkenankan tidur. Hal ini disebut dengan nemuri-nagashi (tidur yang menghanyutkan). Orang-orang biasanya melemparkan daun nemu (pohon sutra) serta daun kacang ke sungai sambil mengucapkan mantera :
“Nebuta Naganoro (nebuta mengalir pergi)
Mame-no-ha-tamore (daun kacang tunggal)
Perayaan lain yang juga penting pada bulan ini adalah Festival Bon yang di peringati setiap tanggal 15 Juli, dan ini merupakan upacara yang penting dalam tahun baru di Jepang. Dalam upacara ini biasanya arwah nenek moyang disembahyangi dengan berbagai macam acara Buddha. Setiap keluarga mengundang pendeta untuk memimpin upacara itu, serta semua anggota keluarga membacakan mantera-mantera yang sudah di berikan sebelumnya.
Pada tanggal 13 Juli semua orang-orang sudah mulai sibuk membersihkan dan menghias altar roh yang ada di setiap rumah orang Jepang, yang biasanya di hias dengan bambu dan tikar. Dan untuk menjamu roh-roh yang akan datang, maka sudah di sediakan persembahan berupa ikan, arate (batu), terung, timun dan Mizunoka yang di letakkan di atas daun teratai.
(40)
Pada tanggal 13 ini juga ada diadakan ritus yang disebut dengan hotoke-mukae (pergi menjumpai arwah). Biasanya untuk mengadakan ritual ini dengan membangun perapian dari jerami dan di letakkan di pintu masuk rumah atau di perkuburan, dipakai sebagai penunjuk jalan pulang bagi arwah nenek moyang.
Di beberapa tempat api dibangun di atas gunung , yang terkenal adalah api di Daimonji-Kyoto. Adat lai adalah hasshira-matsu (pinus kutub) disebut juga nage-taimatsu (melempar api). Kayu api di letakkan dalam keranjang dan digantung di pohon yang tinggi, dan orang menembakkan obor ke dalam keranjang untuk menyalakan api. Dan di bagi kelompok menjadi dua bagian untuk bertanding. Bagi siapa yang terlebih dahulu dapat menyalakan api maka ia akan mendapatkan hasil panen yang baik. Dan panen diramalkan dari arah mana api berasal.
Pada perayaan Bon para anak-anak biasanya membangun perapian dan mereka memasak makanan sendiri. Pada tanggal 16 anak-anak ini membuat sampan kecil yang akan dipersembahkan kepada roh. Persembahan di letakkan di atasnya dan dihanyutkan ke sungai. Beberapa lentera juga dihanyutkan untuk menemani ‘kapal roh’. Dan akhir dari semua perayaan Bon adalah pada tanggal 20 kadang ada juga mengakhirinya pada tanggal 24. Peringatan jizo yang disebut jizo bon, pada hari ini lentera kertas di robek menjadi serpihan dan dibuang.
AGUSTUS
Tanggal satu Agustus disebut dengan Hassaku, dan tanggal ini merupakan tanggal yang sangat penting terutama dalam pertanian Jepang. Dalam sistem penanggalan berdasarkan peredaran matahari, ini adalah hari ke 210 dari sejak
(41)
musim dingin. Dan pada bulan ini juga terjadi angin topan,maka para petani merayakan kaze-matsuri (festival angin) yang bertujuan untuk melindungi tanaman padi.
Terkhusus untu bulan ini para petani biasanya menanam jenis padi yang dapat dipanen dalam beberapa waktu yang singkat. Dan mereka mempersembahkan hasil panen itu untuk para dewa. Hassaku juga dikenal sebagai tanomi-no (festival menukarkan hadiah antara atasan dengan bawahan). Pada hari ini juga ada ritual yang disebut dengan saku-danomi (bertanya tentang hasil panen yang bagus). Dan untuk merayakanya para petani biasanya minum arak beras dalam cangkir yang dibuat dari bambu di ladang dan mereka bertanya tentang hasil panen padi kepada dewa.
Selama Hassaku para pekerja boleh tidur siang sepanjang hari dan sebagai gantinya mereka harus bekerja pada malam hari setelah mereka makan malam. Namun para pelayan tidak sukaakan hal ini dan mereka menyebutnya dengan hassaku no nigamochi (kue beras hassaku yang pahit) atau naki-manju (roti yang menangis).
Pada tanggal 15 Agustus ada perayaan untuk menikmati keindahan bulan. Semua orang pergi ke ladang untuk menggambil rumput dan mengaturnya di beranda dan mereka makan kue-kue sambil menikmati keindahan bulan (tsuki dango). Kebiasaan ini juga disebut dengan imo meigetsu (bulan purnama penuh). Dan pada perayaan ini sebagai persembahan kepada dewa mereka memasak beras yang dicampur dengan kacang merah. Dan hal yang paling menyenangkan pada hari ini adalah melihat anak-anak mencuri kue. Dan pada hari ini juga sebagian tanaman diladang bisa dicuri.
(42)
Di selatan Kyushu adapt untuk melihat bulan di malam hari masih melekat kuat. Dimana masyarakatnya merayakan hari ini dengan melakukan permainan-permainan diantaranya mengikat jerami dengan seutas tali, dan ada dua kelompok yang saling menarik jerami tersebut. Dipercayai pihak yang menang maka ia akan mendapat panen yang berlimpah. Bagi mereka peristiwa melihat bulan erat kaitannya dengan panen. Di beberapa tempat pada hari ini dalam melihat bulan bisa memakan manisan tapi ini hanya boleh dilakukan oleh anak laki-laki, bagi wanita dilarang untuk makan manisan sambil melihat bulan. Dan ada juga kepercayaan apabila seseorang yang berdiri di bawah sinar bulan dan bayanganya tidak terlihat maka ia akan mati tahun ini.
3.1.3 Ritus-ritus Musim Gugur (Ritus-ritus Keselamatan Panen) SEPTEMBER
Bagi orang Jepang Tanggal 9 merupakan peristiwa Choyo (sembilan kembar), dan angka 9 merupakan anga keberuntungan. Dan bukan hanya tanggal 9 saja tapi pada tanggal19 dan 29 juga merupakan angka keberuntungan jadi banyak di lakukan perayaan-perayaan. Maka hari-hari ini disebut dengan sankunihi atau mikunichi (tiga hari yang memakai angka sembilan).
Pada tanggal 9 diperingati untuk merayakan bunga kerisan ini berasal dari kebudayaan Cina, dimana anak-anak membagikan bunga itu kepada orang-orang yang suka minum sake agar mereka diberikan umur yang panjang. Ini disebut dengan kiku no sekku (perayaan kerisan). Dan bunga ini juga dipersembahkan kepada dewa dan ada juga yang dimakan. Dan dibeberapa tempat lain panen
(43)
sudah di mulai serta juga di adakan ritual untuk mengucapkan syukur kepada dewa.
Pada tanggal 29 para petani mengadakan pesta, dan hidangan yang disajikan adalah kue beras, nasi yang dicampur dengan kacang merah dan amazake (saka manis). Dan pada hari ini bahan makanan lebih banyak disediakan daripada di hari-hari biasanya dan biasanya mereka merayakannya di kuil secara bersama-sama.
Pada tanggal 13 malam, ada juga diadakan acara untuk melihat bulan seperti pada tanggal15 Agustus dan ini disebut dengan melihat bilan lanjutan. Dan yang dijadikan sebagai persembahan kepada dewa adalah kacang-kacangan. Maka hari ini mereka sebut dengan mame-meigetsu (melihat bulan dengan ditemani kacang polong). Pada acara ini juga orang-orang bisa mencuri kacang yang ada di ladang orang lain.
OKTOBER
Bulan Oktober disebut dengan bulan tak berdewa (Kamazuki). Pada bulan ini di percayai semua roh-roh berkumpul di propinsi Izumo dan mengunjungi kampungnya masing-masing. Pada tanggal 30 September atau 1 Oktober roh-roh ini tadi dipercayai sudah meninggalkan Izumo, maka peristiwa ini disebut dengan Kami Okuri (mengantar dewa pulang). Makanan yang dipersembahkan dalam acara ini adalah nasi yang dicampur dengan beras merah. Dan menu ini juga disajikan pada tanggal 1 November yaitu ritual untuk menyambut roh yang pulang. Angin kencang dipercayai mengirim dan mendatangkan para roh. Tujuan
(44)
daru acara ini adalah agar para muda-mudi mendapat pernikahan yang baik, maka yang berjaga-jaga sepanjang malam adalah muda-mudi itu.
Pada tanggal 10 Oktober dipercayai bahwa dewa sudah pulang ke rumahnya yaitu di gunung. Dan pada hari ini para anak-anak membuat senapan dari jerami, dan mereka memukul-mukulnnya ke tanah. Tujuannya adalah untuk melindungi panen dari serangan tikus tanah. Mereka juga membaca mantera-mantera:
“malam ke sepuluh, malam ke sepuluh senapan jerami dari malam ke sepuluh
semoga kacang besar dan kacang kecil bagus panennya”
Ini juga dimaksudkan sebagai ritus untuk mendapatkan hasil panen yang bagus. Dan pada hari ini di daerah Shinshu ada perayaan yang disebut dengan katashiage (membebaskan gagak yang ketakutan). Mereka kemudian membawa gagak itu ke tempat lesung dan mereka juga mempersembahkan kue beras. Mereka percaya bahwa gagak yang ketakutan itu adalah simbol dari dewi padi.
NOVEMBER
Pada bulan ini dewa yang di sembah adalah dewa kanayama (dewa besi) dan dewa inari. Maka para tukang besi merayakan festival yang disebut dengan fuigo matsuri (festival tempat besi), dan ini di rayakan pada tanggal 8 bulan ini. Biasanya tukang besi membersihkan tempat kerjanya dan menyegelnya selama satu hari dengan tali jerami. Dan pada hari ini mereka tidak bekerja dan hanya beristirahat di rumah saja.
(45)
Pada tanggal 15 ada perayaan yang disebut dengan sichi-go-san (7-5-3). Anak-anak yang berumur 7, 5, 3 tahun di bawa ke kuil dengan mengenakan pakaian yang bagus. Dan pada perjalanan pulang diberika chitose-ame (permen millenium).
Pada tanggal 23,ada perayaan yang disebut dengan Daishi-ko (dewa bayi), uantuk merayakanya di buatlah nasi bubur serta persembahan kepada dewa juga adalah bubur. Ada cerita menarik tentang hari ini, Daishi (774 M-835 M) suatu hari ia berkelana dan tinggaldi rumah orang miskin. Pemilik rumah tersebut tidak mempunyai apapun untuk diberikan sebagai makanan maka ia mencuri lobak milik tetangganya yang ternyata seorang nenek yang tua dan lemah. Karena merasa kasihan maka ia menutupi jejak kakinya dengan salju. Namun versi lain menceritakan ia mencuri untuk memberi makan anak-anaknya dan pada waktu mencuri ia menggunakan sumpit panjang. Maka untuk alasan ini sumpit yang di pakai dalam persembahan Daishi adalah sama dengan kobo Daishi. Tetapi ini salah, karena pada tanggal 23 benar-benar yang di sembah adalah anak dewa. Dan persembahan yang di ambil dari hasil yang tersegar dan dipergunakan juga untuk menjamu seluruh anggota keluarga.
3.1.4 Ritus-ritus Musim Dingin (Ritus-ritus Terima Kasih Pada Dewa) DESEMBER
Tanggal 1 Desember disebut dengan otogo no tsuitachi (hari pertama anak termuda). Dan karena ini adalah bulan diakhir tahun maka disebut dengan bulan muda. Hari ini dirayakan dengan membuat kue beras di seluruh negeri. Kue Mochi yang dibuat dinamakan kawabitari-mochi (kue beras yang dialirkan ke
(46)
sungai). Dan bagi orang yang memakan kue ini dipercayai akan terhindar dari penyakit air. Dan di hari ini dewa air bebas dipuja.
Pada tanggal 8 Desember ada perayaan seperti tanggal 8 Feberuari yang disebut dengan koto hajime (permulaan sesuatu), dan ritualnya disebut dengan koto-asame (akhir dari sesuatu). Di Jepang bagian barat ada acara untuk pencuci dosa yang dibuat oleh para pedagang yang disebut dengan seimon-barai (penjualan cuci gudang).
Pada tanggal 13 Desember persiapan untuk menyambut tahu baru sudah dimulai. Cemara tahun baru sudah dipotong dan rumah sudah di bersihkan. Hadiah-hadiah tahun baru juga sudah dikirimkan. Pada tahun baru ada yang disebut dengan toshi-koshi (mempercepat tahun lama) dengan cara makan ikan yang utuh bagi setiap orang.
Di distrik Tohoku makanan yang sama juga di buat sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang disebut dengan mitama-no-mishi. Beberapa orang berjaga-jaga sepanjang malam untukmenyaksika tahun baru berlalu yang disebut dengan toshi-gomori (berjaga diakhir tahun).
JANUARI
Hari pertama di tahun baru adalah hari untukmemuja Tuhan. Dan diadakan ritual-ritual yang erat hubunganya dengan Dewa padi. Pada perayaan ini pintu masuk rumah di dekorasi dengan daun pinus. Pohon di letakkan di pintu masuk sebagai tempat duduk Dewa Padi. Dan di dalam rumah juga ada tempat duduk untuk dewa lain dalam bentuk rak yang disebut dengan toshidanna (rak tahunan).
(47)
Pada waktu pagi-pagi sekali, perwakialan keluarga yang laki-laki Thoshikoto, pergi ke sumur untuk menggambil air yang pertama yang disebut dengan air muda (waka mizu). Dan dalam melakukannya dia menggambil sedikit kue mochi (kue beras), dan melemparkan setengahnya ke sumur dan sisanya dibawa pulang kembali. Ini menandakan bahwa ia sudah memberikan persembahan kepada Dewa Air. Dan biasanya yang membuat hidangan untuk tahun baru adalah laki-laki, dan makanan yang dibuat disebut dengan zoni (sup yang terdiri dari daging, kue beras dan sayur).
Di hari kedua setiap orang harus merayakan permulaan dari pekerjaan masing-masing misalnya, pembuatan tali pertama, jahitan pertama, goresan kuas yang pertama. Para pedagang mulai membuka bisnisnya yang disebut dengan hatsuni (perdagangan-perdana), mimpi yang di mimpikan pada malam ini disebut dengan Hatsuyumei (mimpi pertamadi tahu baru) yang melambangkan peruntungan di tahun berikutnya.
Pada hari ketujuh biasanya dirayakan dengan membuat masakan khusus yang disebut dengan nanakusa (tujuh jenis rumput), bubur yang dimasak dengan tujuh jenis rumput ini adalah satu dari 5 sekku (hari-hari pesta). Nyanyian yang dinyanyikan sambil mengetuk-ngetukkan pisau ke alas pemotongan :
Nanakusa nanazuna, Todo no tori ga
Nihon no Kuni ni, Wataranu saki ni Suto ton-ton Artinya :
Tujuh macamrumput ,tujuh macam rumput, mari kita makan seperti burung
(48)
Dapat melintasi laut dari Cina, Ke pulau-pulau Jepang Suto ton-ton, suto ton-ton
Pada hari kesebelas ada ritual yang dilakukan sebelum membajak sawah. Pada hari ini mochi dilemparkan kearah burung gagak untuk meramalkan hasil panen. Jika burung gagak memakannya maka hasil panen akan bagus, tetepi jika tidak dimakan maka berarti panen akan gagal.
Pada hari ini juga ada dibuat objek lain yaitu membuat alat bertani kezurikake yang disebut dengan awa-bo-dan hie-bo. Sejenis alat untuk menggambil buah, yaitu buah yang penuh dengan daun di kebun akan di potong oleh seseorang dengan ayunan ringan dengan kapak sambil berkata “akankah atau tidakkah kamu memberikan buah?” dan orang yang lainnya akan berkata “saya akan berbuah, saya akan berbuah”.
Di daerah utara yang bersalju pada hari ini merayakan apa yang disebut dengan menanam padi. Mereka membuat sawah tiruan yang terbuat dari salju. Ritus ini bertujuan untuk meyakinkan tahun yang penuh dengan panen yang berlimpah.
Upacara yang paling mengesankan adalah upacara kembang api yang dirayakan pada hari kelimabelas. Sering juga ada festival Doso-jin (dewa jalan raya). Dan pada hari ini semua dekorasi yang ada dari pintu masuk, pada tahun baru dikumpulkan dan dibakar dengan api unggun dimana yang lebih berperan aktif adalah anak-anak. Pada hari inijuga mereka membuat gubuk bambu dan jerami di daerah yang agak tinggi dan anak-anak tinggal sepanjang malam di gubuk itu. Merekajuga makan kue beras yang disumbangkan oleh beberapa keluarga dan melewati malam mereka makan dan bernyanyi. Dan ketika gubuk itu
(49)
dibakar secara keseluruhan, maka dipercayai dewa tahun baru sudah pulang ke rumah bersama asap yang terbakar.
FEBERUARI
Pada tanggal 4 Feberuari ada upacara pelemparan kacang (rishun). Semua kuil-kuil yang besar dan terkenal mengadakan acara untuk menhusir setan dan semua orang-orang berkumpuluntukmelihat acara ini. Dan dalammelempar kacang ini ada mantera-mantera yang di ucapka yaitu : Fuku-wa uchi; oni-wa soto (datanglah keberuntungan dan pergilah kesialan). Dalam setsubun selain melempar kacang, ritual yang dikenal adalah Yaekagasai juga diteliti. Ini adalah ritual magis untuk mengusir setan jahat dan penyakit. Kepalaikan dibakar dan digantung dengan daun suci dipinti masuk rumah, juga dibuat dari rambut yang dibakar, sandal tua atau benda-benda dengan bau yang busuk. Daun panjang yang suci dipercayai dapat menusuk mata setan dan bau busuk itu dapat juga mengusirnya.
Pada tanggal 8 Feberuari ada perayaan yang disebut dengan kotoyoka. Koto berasal dari kata kegiatan, dan ini adalah untuk hari yang spesial. Pada perayaan ini dipercayai bahwa mahlik dari dunia roh akan mengunjungi keluarga-keluarga dalam bentuk setan. Orang-orang diharapkan untuk hidup dengan hati-hati. Keranjang dengan mata besar ditegakkan dipintu masuk. Hiasan ini bertujuan untuk mata setan. Di Propvinsi Sagami dan Iju, Hitotsume Koze (mahluk satu mata) dikatakan akan berjalan berkeliling, singgah pada tiap rumah dan melihat pada buku kelakuan tiap orang pada tahun lalu. Jadi pada waktu siang dan sore
(50)
alas kaki tidak boleh di tinggalkan di luar rumah, sekalipun demikan monsrer satu mata akan meninggalkan sandalnya dan orang yang memakai sandalitu akan sakit. Hari pertama dari hari tanda kuda yang disebut dengan Hatsu-uma (kuda pertama). Ini adalah hari pesta dimana dewa yang disebut Inari datang ke negeri. Dewa Oni bertanggung jawab terhadap ladang dan ia mempekerjakan srigala-srigala sebagai pembawa pesannya. Dan biasanya persembahan yang dibuat untuk hari ini adalah terbuat dari beras yang dimasak dengan kacang merah dan juga kacang yang dipanggang. Pada hari ini pera petani juga membawa kuda-kudanya ke kuil inari dan berdoa untuk keselamatannya. Untuk pertumbuhan ulat sutra juga di doakan dan persembahan yang dibuat dari beras berbentuk kepompong.
3.2 Ritus-ritus Pertanian Padi di Karo
3.2.1 Ngumbang Juma (Ritus-ritus sebelum Menanam atau Menabur Benih)
Biasanya untuk mengadakan ritual dalam ngumbang juma (membajak sawah) dicari hari baik menurut petunjuk guru perkatika (orang pintar). Keinginan seseorang untuk mengambil atau berladang di tempat tersebut, pertama-tama diberitahukan kepada pengulu, karena dalam adat Karo semua tanah adalah milik pengulu. Setelah mendapat izin dari pengulu dan tiba pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah orang yang hendak mengambil ladang itu ke tempat yang dituju.
Sesampainya di lokasi, terlebih dahulu dibuat persembahan (ercibal belo) kepada dewa tanah (beras pati taneh), kemudian dirasikan (padi-padiken). Setelah rasiannya baik, barulah dicangkul di tengah ladang itu seluas kira-kira 2M persegi.
(51)
Disana kemudian dipasang janur (lambe) bertiangkan pohon kelapa (kedeng pola). Di beberapa tempat adakalanya tanda ini dibuat lagi masing-masing seluas kira-kira 2M persegi di ke empat sudut (suki) ladang atau sawah itu. Dengan demikian ritual untuk ngumbang juma sudah selesai.
Baru setelah itu dilakukanlah apa yang disebut dengan rebu merdang (menanam). Biasanya rutual ini dilakukan sebelum benih padi ditanamkan ke tanah (menjelang musim menanam padi). Dalam kehidupan desa dahulu kala biasanya “kalimbubu” yang harus mendahului untuk menanam padi kemudian di ikuti oleh “anak beru”.
Musim menanam, mulai ditetapkan sesudah terlihat “bintang pemerdangken” bercahaya di langit. Semua orang berkumpul selama tujuh hari sebelum musim menanam padi dilaksanakan. Sebelum empat hari, semua penduduk tidak boleh pergi ke ladang dan harus berada di rumah saja. Setelah hari “rebu merdang”tersebut dilewati maka benih ditanamkan keladang atau ke sawah yang disebut dengan merdang. Dan benih yang akan ditanam diminta kepada “kalimbubu”. Pada masa merdang ini, tidak ada satu orang pun yang bisa melakukan aktifitas atau bekerja, semuanya beristirahat dan berdiam diri di rumah karena pada saat itulah dalam kepercayaan orang Karo untuk ngerebuken taneh (tidak bisa menyentuh tanah). Dan pada saat itu juga tidak boleh melakukan komunikasi dan mereka hanya berdoa saja kepada dewi padi agar hasil panan mereka melimpah dan tidak ada binatang yang menganggunya.
Pada waktu ngerebuken tanah ini, binatang-binatang peliharaan tidak bisa dilepaskan dari kandangnya. Serta tidak boleh memanggil ayam atau babi yang ada di halaman rumah untuk memberi makan. Bahkan semua orang dilarang juga
(52)
untuk menjemur kain. Dan semua aturan itu harus dipatuhi, apabila ada orang yang melanggar aturan itu maka semua barang-barangnya akan diambil dan orang tersebut diberi makan sampai kenyang sekali. Setelah itu tengkuknya di pukul sampai ia muntah. Utang yang harus mereka bayar untuk menebus barang mereka yang disita itu adalah di bayar dengan sira batu sada ngkhul (garam batu).
Sebelum benih di tanam, benih tersebut terlebih dahulu diletakkan di tempat “perbenihan” atau yang disebut dengan “pemenaan” (permulaan) yang sudah ditanami simalem-malem, bintang murbai da pohon pisang kapok, tabar-tabar, kalinjuhang, ambat tuah, sangke sempilit, bunga-bungaan, besi, kapal-kapal dan selantang. Kemudian benih tersebur disembur dengan air sirih (i semburi alu lau belo entabeh) sebagai suatu tanda doa dan pengharapan. Doanya pada zaman dahulu adalah
“o…beru dayang pegungun, i arapken mekam sendah gelah kam erbuah meramis erlipat ganda” (O…beru dayang yang bersatu, sekarang kamu di sebarkan agar kamu kiranya bisa berbuah banyak). Janah ibas wari mehuli pepagi I pepulung ka me kam lako jadi pangan bas kerja-kerja si mehuli ras pebelinken anak si ipupus (dan pada hari yang baik nantinya kamu akan dikumpulkan kembali untuk menjadi makanan dalam pesta-pesta yang baik dan untuk mengasuh anak yang dilahirkan)
Kemudian setelah mengucapkan doa itu “isemburken” (disemburkan) empat kali di dekat “pemenaan” (permulaan) tadi yang sudah disediakan 11 buah lobang. Lalu dilanjutkan lagi doanya dengan mengucapkan:
(53)
“o…beru dayang pada hari yang baik ini kamu di sembunyikan, dan nantinya kamu akan ku jemput kembali melimpah ruahlah kamu nantinya agar bisa mengadakan pesta yang baik dan baik juga nantinya memberi kehidupan bagi anak-anak yang dilahirkan” Sesuai dengan kepercayaan Karo maka yang menanam padi adalah orang yang lahir “ertendiken ulu lau”, sebab kelahiran ini dipercayai dapat mendamaikan semua orang, dan penyejuk serta mampu memberi.
Benih yang masih tersisa semuanya di simpan, tidak bisa “igugut” atau “ditumbuk” menjadi makanan tetapi setelah tiba saatnya benih yang sudah ditanam tumbuh dan daunnya mulai “erlayuk” maka sisa benih tadi sudah bisa ditumbuk menjadi “cimpa” untuk dimakan dalam pesta atau “kerja tahun nimpa bunga benih”.
3.2.2 Nimpa Bunga Benih “ngambur-ngamburi” (Ritus-ritus Mengusir Hama)
Nimpa bunga benih adalah suatu upacara tradisional masyarakat Karo yang dilaksanakan pada saat padi sudah berumur 2 atau 3 bulan (naka-naka page). Ritual ini juga tujuannya untuk pengucapan syukur dan harapan akan pernyataan Beru Dayang untuk memberikan dalam permohonan kepercayaan kepada Beru Dayang. Dan biasanya ini tidak dirayakan dengan pesta yang megah.
Di beberapa tempat ada juga yang tidak melakukan nimpa bunga benih tetapi ia melakukan “kerja mere-mere page” (mengupa-ngupa) yaitu sesudah padi bunting, biasanya mereka membuat makanan yang disebut dengan “ngerires” (ngelemang), dan juga ada ikan sungai dan kepiting yang sudah dibusukkan dan
(54)
semuanya di masukkan kedalam bambu besar “rires” tersebut di ambur-amburi (ditebarkan) secara merata ke pinggir ladang dengan maksud menolak hama (tikus dan lain-lain).
Jaman dahulu, untuk mengusir hama penyakit para petani berdoa:
“o…Beru Dayang rumenet, enggo kam kuidah mberu kal erlayuk dingen mehuli kam, mbue kal pagi ulih juma enda, erganda-ganda min kam guna I baba ku rumah, jadi pulungen kerja-kerja simehuli pebelin-belinken anak si pupus (o…Beru Dayang kami sudah melihat daunmu mulai hijau, mudah-mudahan engakau akan berbuah banyak agar kami bisa mengadakan pesta dan untuk anak-anak yang akan lahir).
Setelah selesai mengadakan ritual ini maka di bawalah rires ke rumah untuk di makan bersama-sama dengan sangkep nggeluh dan kalimbubu yang harus terlebih dahulu memakannya.
3.2.3 Kerja Tahun Mahpah (Ritus-ritus Setelah Panen atau Ucapan Syukur)
Yang dimaksud dengan “kerja tahun mahpah” adalah suatu perayaan yang dilakukan setelah panan padi selesai. Perayaan ini juga bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Beru dayang karena sudah memberkati panen mereka. Pesta ini biasanya dirayakan dengan sangat meriah dan lebih besar dari perayaan-perayaan yang lainnya. Sebelum merayakan pesta ini, maka terlebih dahulu diadakan ritual yang disebut dengan “mutikken page” (mematahkan padi) pada saat padi sudah menguning.
(55)
Di pagi hari si petani berangkat suami istri ke ladangnya untuk mengadakan ritual “mutikken page” dengan membawa “sumpit” dan “belo ras kuhna” (sirih lengkap dengan bahan-bahanya). Setelah mereka sampai di ladang maka “sumpit” itu di letakkan dalam keadaan terbuka didekat tempat “pemenaan” (permulaan) atau “tanda” menanam padi, lalu ia “ngawin” (meraih) satu batang padi dan menaikkan doa sebagai berikut:
“O…Beru Dayang Perinte-rinte, nggo kuidah kam mberu kal megersing. Kuputikken kal kam, ku baba me sendah kam ku rumah (ku sapo), gelah pepagi seh paksana erguna pagi sinisuan kami, jadi kerja-kerja si mehuli ras pebelin-belin anak si pupus kami” (O… Beru Dayang yang sudah menguning, hari ini aku akan membawa kamu ke rumah, semoga di hari berikutnya kamu memberkati panen kami kembali untuk membuat pesta yang meriah dan sebagai makanan anak-anak kami).
Sesudah selesai mengucapkan doa tersebut, maka ia menggambil 5 atau 6 tangkai padi yang arahnya menghadap ke tempat “pemenaan” (tanda) dan disatukannya tangkai padi itu dengan bunga “sanggar” di ikat dengan “padang enteguh” kemudian i semburi (di sembur) dan ditatuh ke dalam “sumpit” kemudian di bawa ke rumah. Sebagia orang ada juga yang menyimpanya di “sapo” (pondok) yang ada di ladang tapi kalau keadaan pondok itu baik dan tahan lama.
Sesampainya di rumah, maka ia menggambil 11 biji padi tersebut, kemudia dikuliti serta berasnya di satukan dengan beras yang ada di rumah atau “gantang” (takaran beras). Setelah disatukan biasanya pada jaman dahulu bila ia peka, maka dari situ ia akan tahu apakah panennya akan berhasil atau tidak. Bila
(56)
beras tadi di masukkan kembali ke dalam takaran semula dan ternyata hasilnya lebih dari “kerisen”berarti panan akan berhasil baik (mbuah page) dan bila ternyata “pas-pasan saja” berarti hasil panen hanya cukup untuk makan saja, serta apabila kurang dari “kerisen” (takaran), ini pertanda bahwa musim paceklik akan datang dan kesusahan membuat “cimpa” (kue dari tepung beras).
Kelima atau ke enam tangkai padi yang sudah di “putikken” tadi ditaruh tergantung pada langit-langit rumah atau pondok yang tingginya lebih tinggi dari jangkauan kepala. Bila acara “mutik” sudah selesai maka beberapa hari kemudian sudah bisa memulai untuk panen atau memotong padi. “pungo page i pinohken” (dalam bentuk besar) atau “diteboh-tebohken” (dalam bentuk lebih kecil tapi juga bisa banyak). Beberapa hari kemudian “ngerik atau I pas-pasi” dan “ngangin” dan “dijemur”. Bila “pinoken” atau “telbuh-telbuhkan” bisa agak lama, baru kemudian “I erik” (dibersihkn dengan di injak-injak), sesudah itu dibersihkan, kemudian padi itu di simpan di “keben” atau “sapo page” (lumbung padi).
Dan untuk menyatakan ungkapan rasa terima kasih karena “enggo dung peranin” (panan sudah selesai) maka seturut dengan pesan “Beru Dayang Jile-jile” dahulu, maka semua kade-kade (sanak saudara) atau sangkep nggeluh di undang untuk bersama-sama menikmati panen tersebut. Untuk itulah dilaksanakan “kerja tahun mahpah” dengan mengadakan “gendang guro-guro aron” (pesta untuk muda-mudi).
Dalam kerja tahun mahpah ini dibuatlah makanan dari pahpah tersebut page i tangger, isauk, jenari i tutu, i pan (padi yang dimasak, di goring, setelah itu di tumbuk, kemudian siap untu dimakan), setelah itu di campur dengan gula aren dan kelapa. Padi yang sudah dipanen tadi dimasak dengan lauk pauk seperti
(57)
babi,ayam, lembu atau kerbau. Suasana ini dirayakan dengan penuh suka cita dimana anak-anak muda bersorak sorai dan mereka menyayikan lagu-lagu sampai pada pagi hari. Keluarga juga ikut mengucap syukur bersama-sama dengan sanak saudara (sangkep nggeluh) dengan berkumpul dan memakan hasildari jerih payah mereka.
(58)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Bab ini merupakan suatu kesimpulan, yaitu hakekat dari keseluruhan yang saya tulis dalam skripsi ini. Kesimpulan saya dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Persawahan padi di Jepang berawal pada zaman Yayoi. Berhubung pada masa itu pertanian padi belum tampak di Cina Utara, maka dapat disimpulkan awal persawahan padi merupakan pengaruh dari Cina Selatan, sedangkan pertanian padi di Karo sudah dimulai semenjak manusia (nenek moyang orang Karo sudah diajari oleh Dewi Padi Beru Dayang.
2. Seremonial di Jepang dikenal dengan nama matsuri. Matsuri berhubungan erat dengan pertanian padi, terutama siklus penanamannya. Matsuri di Jepang sangat berhubungan erat dengan musim yang ada di Jepang yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Serta seremonial di Karo disebut dengan nama “kerja tahun numpa bumga benih”, serta penanaman padi dimulai setelah “bintang pemerdangken” sudah nampak bercahaya.
3. Ada dua teori mengenai rute kedatangan padi di Jepang yaitu teori utara dan teori selatan. Teori utara mangatakan bahwa orang-oarang yang berasal dari Cina utara yang membawa budaya penanaman padi ke Jepang meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa penanaman padi pertama sekali diperaktekkan di Cina utara.
(1)
10. Padi adalah makanan pokok bagi orang Jepang dan orang Karo, yang terlihat dari makanan sehari-harinya adalah nasi. Selain nasi, ada makanan khas yang bahan dasarnya adalah padi yaitu di Jepang ada yang disebut dengan kue beras atau sering disebut dengan mochi, dan ini sering digunakan dalam perayaan tahunan oleh para petani sebagai persembahan kepada dewa.
11. Sedangkan di Karo ada yang disebut dengan rires atau cimpa, dan makanan ini selalu menjadi makanan yang utama pada perayaan kerja tahun sekaligus sebagai persembahan kepada dewi Beru dayang.
12. Bagi orang Karo yang menjadi wakil dari Dewi Beru Dayang adalah Kalimbubu di ibaratkan sebagai benih padi, Anak beru sebagi pagar yang melindungi padi serta Senina yang menjadi penopang padi agar tidak patah apabila dihembus oleh angina. Apabila ingin menanam maka benihnya harus diminta kepada kalimbubu, karena di dilambangkan sebagi dibata ni idah (tuhan yang dapat dilihat)
13. Di Jepang perayaan tahunan yang berhubungan erat dengan pertanian sangat berhubungan dengan perubahan musim disebut dengan Nenjugirei, sedangkan di Karo disebut dengan gendang guro-guro aron atau kerja
tahun
14. Di Jepang pertanian berawal pada musim semi. Musim semi dimulai pada bulan Maret. Para petani sudah mulai menanam padi pada musim ini.
(2)
15. Pada musim panas yang mencapai puncaknya pada akhir bualn Juli dan terus bertahan sampai pertengahan bulan Agustus. Maka pada musin ini para petani Di Jepang banyak mengadakan ritual-ritual yang bertujuan untuk menghalau bencana alam yang dapat merusak tanaman. Pada musim ini juga mereka mengadakan ritual agar dapat meramalkan hasil panen yang akan mereka lakukan pada musim berikutnya. Sedangkan di Karo untuk mengusir hama penyakit ada ritual yang dilakukan yang disebut dengan kerja mere –mere page (mengupa-ngupa) dan pada saat ini diadakan acara ngerires, serta memasak ikan sungai dan kepiting, kemudian semuanya itu dihambur-hamburkan (ditebarkan)secara merata ke pinggir ladang dengan maksud menolak hama.
16. Di Jepang panen sudah di mulai pada musim gugur, tepatnya pada bulan September. Pada musin ini juga ada diadakan ritual untuk mengucapkan
(3)
17. Di Jepang pada waktu musim dingin yang terjadi pada bulan Desember semua daerah-daerah di Jepang tertutupi salju. Puncak musim dingin terjadi pada tanggal 25 Januari. Pada saat ini masyarakat petani melakukan ritual-ritual untuk menyambut tahun baru. Dan mereka kembali mulai membajak sawah pada akhir musim dingin. Bagi orang Karo tidak acara khusus untuk menyambut tahun baru bagi mereka acara tahun baru sama dengan perayaan kerja tahun saja.
18. Dalam perayaan kerja tahun mahpah, ada ritual-ritual yang dilakukan yaitu mutikken page yang kemudian dibawa kerumah disatuken dengan beras yang ada di rumah dan apabila seseorang peka maka ia akan mengetahiu apakah panen abik atau tidak. Apabila beras yang tadi dimasukkan ke dalam takaran semula hasilnya ternyata lebih banyak dari “kerisen” berarti panen akan berhasil baik (mbuah page) dan bila ternyata pas-pasan saja berarti hanya cukup untuk makan dan bila kurang maka ini sebagai
(4)
4.2 Saran
1. Bagi para pembaca skripsi ini semoga dapat membatu untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana ritus-ritus pertanian di Jepang dan di Karo, Diamana ada banyak sekali persamaanya yang membedakan hanyalah pada musim saja. Di Jepang pengadaan titual-ritual ini sangat berhubungan erat dengan musim-musim yang ada yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Skripsi ini juga membahas tentang bagaimana ritual-ritual yang dilakukan mulai sejak menanam sampai panen baik di Jepang dan di Karo.
2. Bagi mahasiswa sastra Jepang skripsi ini mudah-mudahan dapat menjadi bacaan tambahan dalam mempelajari pranata masyarakat Jepang. Serata dapat melihat perbedaan dan persamaan antara ritus-ritus pertanian yang ada di Jepang dan di Karo.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rhinea Cipta Bangun, Teridah. 1990. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga
Silima
Daeng, Hans J.2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang. Jakarta: Grafiti Endraswara, Suardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ferdila, Rui. 2005. Ritus-ritus Pertanian Dalam Masyarakat Jepang (skripsi). Medan: Program Studi Sastra Jepang USU
Ginting, Brandes. 2006. Gereja dan Budaya (skripsi). Medan: Abdi Karya
Ginting, S.E.P. 1997. Religi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya
Ginting, Nalinta.1997. Adat IstiadatKaro, Seminar, Adat Istiadat Karo
16s/dalam 19 Feberuari 1997. Deli Tua: Toko Kobe
Ginting, S.K. 1996. Ranan Adat Karo. Jakarta: Merga Silima
Gazalba, Sidi. 1969. Antropologi Budaya Baru. Jakarta. Terjemahan Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Kabanjahe: Abdi Karya
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya Jilid I. Jakarta: Erlangga
(6)
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia
Kuper, Adam. 1980. Pokok dan Tokoh Antropologi. Jakarta: Bharatara Lawanda, Ike Iswari. 2004. Matsuri:Upacara Sosial Masyarakat
Jepang. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Mintago, Bambang S.200. Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Universitas Trisakti
Situmorang, Hamzon. 2005. Ritus-ritus Daur Hidup OrangJepang. Medan: Fakultas Sastra USU
Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang
Dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia
Vredenberg. 1983. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Winarti, Retno, Jhoni E.P. Purba. 1994. Agama-agama dan Tantangan