EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TPS (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Ganjil SMP Bina Mulya Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

(13)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pe-ngendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pada saat pembelajaran, terjadi interaksi antara guru dengan siswa maaupun antarsiswa dan sebaiknya dominasi guru dikurangi dan lebih banyak melibatkan siswa sehingga siswa tidak lagi menjadi objek melainkan subjek belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Slameto (2003:97) menyatakan bahwa pada saat didalam kelas guru mempunyai tugas mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa serta tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Cara guru menciptakan suasana kelas juga akan berpengaruh pada respon siswa ter-hadap pembelajaran yang dilakukan. Apabila guru berhasil menciptakan suasana menyebakan siswa


(14)

2 menjadi lebih aktif dalam belajar akan memungkinkan terjadi peningkatan penguasaan konsep materi pelajaran.

Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, kreatif, terampil, dan bertang-gung jawab. Hal tersebut juga tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang menjelaskan bahwa tujuan pen-didikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, sehat jasmani dan rohani, berkepri-badian yang mantap dan mandiri, serta tangung jawab.

Untuk pembelajaran matematika, guru sebaiknya dapat memilih dan menerapkan model pembelajaran yang tepat. Hal ini karena setiap permasalahan matematika yang ada cukup sulit dipahami oleh siswa. Di dalam belajar matematika sebaik-nya dilakukan dengan cara bekerja sama, berdiskusi dan saling berbagi ide sehingga setiap permasalahan menjadi terlihat mudah. Situasi seperti ini dapat diwujudkan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil pada saat belajar matematika.

Model pembelajaran yang baik adalah model pembelajaran yang dapat menarik minat dan gairah siswa, sehingga siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengkondosikan keadaan ini adalah model pembelajaran kooperatif yang didalamnya terdapat kerjasama dan diskusi antar siswa. Guru dapat memilih salah satu dari


(15)

3 berbagai macam model pembel-ajaran kooperatif yang dianggap tepat untuk diterapkan didalam kelas.

Pembelajaran tipe Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif. Model Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dalam kelompok kecil untuk menye-lesaikan tugas demi mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa harus saling membantu dalam memahami pelajaran, saling berdis-kusi menyelesaikan tugas, dan saling bertanya antar teman jika belum memahami pelajaran.

Dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini, siswa dituntut untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan oleh guru secara individu, lalu siswa secara berpasangan mendiskusikan hasil pemikirannya serta siswa berbagi hasil yang diperolehnya dengan teman-teman sekelasnya dengan cara memper-sentasikan di depan kelas. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi akan lebih berpusat pada siswa. Siswa yang tadinya malas atau enggan menyelesaikan soal akan dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan yang diberikan secara individu. Melalui diskusi secara berpasangan siswa dapat berbagi jawaban atau berbagi ide dengan pasangannya. Selanjutnya, dengan dimintanya perwa-kilan pasangan untuk mempersentasikan di depan kelas diharapkan selain dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang sedang dipelajari juga dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Dengan adanya pem-belajaran yang lebih banyak


(16)

4 menuntut siswa untuk berfikir mandiri, maka diharapkan aktivitas siswa dapat meningkat serta siswa akan lebih memahami materi yang sedang dipelajari. Model pembelajaran kooperatif tipe TPS ini belum pernah diterapkan di SMP Bina Mulya Bandar Lampung. Guru mengajar masih menerapkan pembelajaran konvensional dalam pembelajaran tak terkecuali dalam pembelajaran matematika dimana pembelajaran yang berlangsung didomonasi oleh guru. Pembelajaran yang terjadi dikelas yaitu diawali dengan guru menjelaskan materi pelajaran didepan kelas sementara siswa hanya mendengar, dan mencatat penjelasan yang diberikan guru lalu siswa diberikan beberapa contoh soal dan langkah-langkah pengerjaannya. Selanjutnya guru memberikan beberapa soal matematika kepada siswa sebagai latihan, terlihat bahwa beberapa siswa berusaha memikirkan jawa-ban dari pertanyaan yang diberikan guru tetapi siswa lainnya enggan untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Situasi pembelajaran tersebut menyebabkan siswa malas untuk berfikir sehingga siswa tidak aktif dalam pembelajaran dan dapat memicu siswa untuk melakukan aktivitas yang tidak relevan dengan pem-belajaran. Jika hal tersebut terjadi secara terus menerus maka pemahaman siswa terhadap materi serta aktivitas siswa akan sangat rendah.

Berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional No. 23 tahun 2006 pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah adalah kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, dan akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti


(17)

5 pendidikan lebih lanjut. Ketercapaian standar kompetensi dijabarkan dalam kompetensi dasar-dasar kompeetensi dasar. Ketercapaian kompetensi dasar dilihat dari ketuntasan indi-kator pada kompetensi dasar tersebut.

Setiap satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata siswa, di sekolah SMP Bina Mulya Bandar Lampung siswa dikatakan tuntas belajar apabila mendapat kan nilai 60. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pembelajaran matematika siswa belum optimal. Hal ini terbukti dari rata-rata nilai mid semester yang dilakukan oleh guru, siswa yang tuntas belajar hanya sekitar 24%. Hal ini belum sesuia dengan kriteria yang ditetapkan pihak sekolah yang menetapkan secara keseluruhan minimal 50% siswa kelas VII tuntas belajar. Belum optimalnya hasil belajar siswa bisa saja disebabkan pembelajaran yang terjadi di kelas tidak efektif sehingga menyebabkan rendahnya aktivitas siswa, serta ketidakmampuan siswa dalam memahami materi.

Hal ini terlihat dari sedikitnya siswa yang mampu mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru. Pada saat proses pembelajaran siswa cenderung bertanya atau sekedar mengobrol dengan teman sebangku, selain itu jumlah siswa pada setiap kelas genap. Karakteristik seperti ini sesuai dengan karakteristik dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS yaitu menekankan pada kemampuan berpikir siswa. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS diharapkan siswa dapat berfikir secra optimal.


(18)

6 Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian efektivitas penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada pembelajaran matematika di SMP Bina Mulya Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah ”Apakah model pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif

jika diterapkan pada pembelajaran matematika siswa kelas VII SMP Bina

Mulya Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012?”

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih efektif daripada pembelajaran konvensional untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya memperbaiki mutu pembelajaran matematika.

2. Manfaat Teoritis

Dapat memperkaya konsep atau teori dalam pengembangan ilmu penge-tahuan khususnya mengenai model pembelajaran yang efektif.


(19)

7 E. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup penelitian ini antara lain:

1. Efektivitas pembelajaran adalah ketepatgunaan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Efektivitas pembelajaran ditinjau dari dua aspek yaitu:

a. Aspek proses pembelajaran dilihat dari aktivitas yang dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung. Aktivitas siswa pada saat pembelajaran berlangsung dibatasi pada aktivitas menyimak penjelasan guru serta individu, aktif dalam diskusi secara berpasangan, kesediaan mempersen-tasikan dan menanggapi hasil diskusi di depan kelas.

b. Aspek hasil pembelajaran dilihat dari hasil belajar siswa. Hasil belajar ma-tematika siswa ditunjukkan oleh nilai individu yang diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang diukur melalui tes. 2. Pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan suatu model pembelajaran

kooperatif dengan cara memproses informasi dengan mengembangkan cara berpikir dan komunikasi siswa. Siswa diberi kesempatan untuk berfikir (Think) atas pertanyaan atau masalah yang diberikan guru secara individu, berpasangan (Pair) untuk berdiskusi, dan berbagi (Share) dengan mempersen-tasikan hasil diskusi di depan kelas.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Efektivitas Pembelajaran

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Efektivitas berasal dari kata efektif berarti dapat membawa hasil atau berdaya guna. Efektifvitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasaran. Pembelajaran efektif merupakan suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pem-belajaran dikatakan efektif apabila tujuan dari pembelajaran tersebut tercapai.

Veithzal (1999: 31) mengemukakan bahwa ”Efektivitas tidak hanya dilihat

dari sisi produktivitas, tetapi juga dilihat dari sisi persepsi seseorang”. Demikian juga dalam pembelajaran, efektivitas bukan semata-mata dilihat dari tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran

matematika yang ditunjukkan dengan nilai hasil belajar tetapi juga dilihat dari respon siswa terhadap pembelajaran yang telah diikuti.

Lebih lanjut, Hamalik (2000 : 171) menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri


(21)

9 atau melakukan aktivitas seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar. Penyediaan kesempatan belajar sendiri dan beraktivitas seluas-luasnya diha-rapkan dapat membantu siswa dalam memahami konsep yang sedang dipelajari. Secara tidak langsung aktivitas peserta didik dalam kegiatan pembelajaran akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang akan dicapai. Aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan siswa pada saat pembelajaran berlangsung yang berkaitan dan mendukung kegiatan pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung efektif. Efektivitas pembelajaran juga bisa dilihat dari aktivitas yang dilakukan peserta didik saat pembelajaran berlangsung.

Popham dan Baker (2005:9) mengemukakan bahwa pembelajaran yang efektif seharusnya didefinisikan sebagai kesanggupan menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada kemampuan dan persepsi siswa. Dengan demikian, efektivitas bukan semata-mata dilihat dari tingkat keberhasilan siswa dalam menguasai konsep yang ditunjukkan dengan nilai siswa setelah diadakan tes tetapi juga dilihat dari respon siswa terhadap pembelajaran yang telah diikuti.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran ada-lah ukuran keberhasilan dari suatu proses interaksi antarsiswa maupun antara siswa dengan guru dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan pembel-ajaran. Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung, respon siswa terhadap pembelajaran dan penguasaan konsep siswa.


(22)

10 2. Belajar Matematika

Belajar adalah suatu proses yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Menurut Slameto (2003:78) “Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya”. Mouly (dalam Trianto, 2007:9)

menyatakan “Belajar pada dasarnya adalah proses perubahan tingkah laku

seseorang berkat adanya pengalaman”. Kemudian Hudoyo (1999:83) mengartikan “Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh

pengalaman atau pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan

tingkah laku”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil

kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan maupun dari pengalaman yang diperoleh.

Matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi modern, sehingga matematika menjadi ilmu yang wajib dipelajari disetiap jenjang pendi-dikan. Soedjadi (2000:11) menyatakan definisi matematika sebagai berikut.

“a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang terorganisir secara sistematis.

b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logis dan

berhubungan dengan bilangan.

d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis.


(23)

11 Soedjadi (2000:13) juga mengemukakan beberapa karakteristik matematika sebagai berikut.

“a. Memiliki objek kajian yang abstrak. b. Bertumpu pada kesepakatan.

c. Berpola fikir deduktif.

d. Memiliki simbol yang kosong dari arti. e. Memperhatikan semesta pembicaraan.

f. Konsisten dalam sistemnya.”

Russel (dalam UU No. 2007:129) mendefinisikan bahwa matematika sebagai studi yang pengkajiannya dimulai dari bagian-bagian yang tersusun baik (konstruktif) secara bertahap menuju arah yang rumit (kompleks) sehingga belajar matematika memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dengan belajar secara umum. Belajar matematika terus-menerus dan dilakukan secara berurutan dan tidak boleh terputus-putus karena akan mengganggu pemahaman.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar matematika adalah proses yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk menerapkan konsep-konsep, struktur, dan pola dalam matematika sehingga menjadikan siswa berfikir logis, dan sistematis dalam kehidupan sehari-hari.

3. Model Pembelajaran Kooperatif

Model Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bertukar pendapat dengan teman dalam satu


(24)

12 kelompok kecil untuk memecahkan masalah, serta menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur demi mencapai tujuan bersama.

Menurut Lie (2008:12) pembelajaran kooperatif adalah sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur dengan guru bertindak sebagai fasilitator. Selanjutnya Trianto (2007:41) menyatakan pendapat

“Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih

mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling

berdiskusi dengan temannya”.

Menurut Eggen dan Khauchak (1996: 279) model pembelajaran kooperatif memiliki tiga komponen mendasar yaitu:

a. Tujuan kelompok (group goal)

Siswa saling menghargai anggota kelompok dari kemampuan yang berbeda untuk bekerjasama dan membantu satu sama lain.

b. Tanggung jawab individual (individual accountability)

Setiap anggota kelompok diharapkan menguasai materi, belajar, melakukan aktivitas bersama serta menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang telah mereka diskusikan.

c. Kesempatan yang sama untuk berhasil (a goal opportunities for succes) Mempunyai pengertian bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk menguasai matrei pelajaran dan mendapatkan penghargaan atas keberhasilan yang di capai.


(25)

13 Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang menuntut siswa belajar dalam kelompok dengan rekan sebaya dan saling bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan guru.

Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.

Tidak semua belajar kelompok bisa disebut pembelajaran kooperatif walaupun didalamnya sama-sama terdapat kerjasama antarsiswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Roger dan David johnson (dalam Lie, 2008:31) yang mengatakan sebagai berikut.

Tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperatif Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur pembelajaran kooperatif harus diterapkan.

1. Saling ketergantungan Positif

Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap

anggotanya Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.


(26)

14 Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran Cooperatif Learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik, sehingga masing-masing anggota kelompok akan melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok dapat dilaksanakan. 3. Tatap muka

Setiap anggota kelompok diberikan kesempatan untuk bertemu muka serta berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan hasil kerjasama yang baik. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. 4. Komunikasi antaranggota

Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk mengutarakan pendapat mereka. Proses ini merupakan proses yang snagat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

5. Evaluasi proses kelompok

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya dapat bekerjasama dengan lebih efektif.

Untuk dapat menciptakan situasi pembelajaran kooperatif guru dapat menerapkan pengelolaan kelas model Cooperatif Learning. Pengelolaan kelas model Cooperatif Learning bertujuan membina pembelajar dalam


(27)

15 mengembangkan niat dan kiat bekerjasama dan berinteraksi dengan

pembelajar yang lainnya. Lie (2008:38) menyatakan “ada tiga hal penting

dalam pengelolan kelas Cooperatif Learning, yakni pengelompokkan, semangat Cooperatif Learning, dan penataan ruang kelas.” Popham dan Baker (2005:101) mengemukakan bahwa pengelolaan kelas dilakukan untuk mencegah timbulnya ketidaktertiban ketika pembelajaran berlangsung. Dengan adanya pengelolaan kelas tersebut diharapkan suasana pembelajaran kooperatif benar-benar tercipta.

Di dalam pembelajaran kooperatif siswa dilatih untuk memiliki beberapa keterampilan khusus seperti memahami konsep, kemampuan bekerjasama, kemampuan berfikir kritis dan sifat toleran kepada siswa lain. Penggunaan model kooperatif diharapkan tidak saja dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan siswa dalam memahami konsep-konsep matematika, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan kerjasama siswa.

Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, terdapat beberapa variasi dari model pembelajaran kooperatif. Beberapa diantaranya adalah (1) Student Teams Achievement Divisions (STAD), (2) Jigsaw, (3) Teams Game Tournament (TGT), (4) Numbered Head Together (NHT), (5) Think Pair Share (TPS).

4. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di sekolah. Proses pembelajaran diawali dengan cara


(28)

16 penyampaian materi pelajaran oleh seorang guru kepada siswa di dalam kelas, pemberian contoh soal, dan kemudian dilanjutkan dengan latihan soal. Pada tahap latihan siswa diberi kebebasan berkelompok yang terdiri dari 4-5 orang.

Vui (dalam Shadiq, 2009: 9) menyatakan bahwa sebagian guru matematika di Indonesia, para guru matematika di Asia Tenggara berkecenderungan juga untuk menggunakan model pembelajaran tradisional yang dikenal dengan beberapa istilah seperti: pembelajaran terpusat pada guru (teacher centered approach), pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif (deductive teaching), ceramah (expository teaching), maupun whole class instruction.

Model pembelajaran seperti dinyatakan di atas dapat dikatakan lebih menekankan kepada para siswa untuk mengingat (memorizing) atau menghafal (rote learning) dan kurang atau malah tidak menekankan kepada para siswa untuk bernalar (reasoning), memecahkan masalah (problem-solving), ataupun pada pemahaman (understanding). Dengan model pembelajaran seperti itu, kadar keaktifan siswa menjadi sangat rendah. Para siswa hanya menggunakan kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking skills) selama proses pembelajaran berlangsung di kelas dan tidak memberi kemungkinan bagi para siswa untuk berpikir dan berpartisipasi secara penuh.


(29)

17 5. Penerapan Think Pair Share pada Pembelajaran Matematika

TPS untuk kali pertama dikembangkan oleh Frank Lyman di Universitas Maryland yang merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif dengan sttrategi sederhana. Menurut Trianto (2007:61) TPS merupakan struktur pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa, agar tercipta suatu pembelajaran kooperatif tang dapat meningkatkan penguasaan akademik dan keterampilan siswa. TPS memiliki prosedur yang memberi waktu lebih banyak kepada siswa untuk berpikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain.

Menurut Kagan (http://www.kaganonline.com/newsletter/index.html) menya-takan:

“TPS terdiri atas tiga tahapan struktur kooperatif. Diawali dengan langkah pertama yaitu masing-masing siswa bepikir secara individual tentang pertanyaan yang diajukan guru. Kemudian pada langkah kedua, siswa bertukar pikiran atau berdiskusi tenhtang apa yang dipikirkannya tadi dengan pasangannya. Pada langkah ketiga, pasangan mempersentasikan hasil diskusinya atau menanggapi

pasangan lainnya.”

Menurut Lie (2008:57) teknik belajar mengajar berpikir-berpasangan-berbagi. Dikembangkan oleh Lyman dan Kagan sebagai struktur kegiatan pembelajaran gotong-royong. Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk optimalisasi bekerjasama dengan orang lain. Keunggulan lain dari teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa. Dengan metode klasikal yang memungkinkan hanya satu siswa maju dan membagikan hasilnya untuk seluruh kelas, teknik TPS ini memberi kesempatan lebih banyak kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang


(30)

18 lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Lie (2008:46) juga menyatakan bahwa terdapat kelemahan dalam kelompok berpasangan antara lain lebih sedikit ide yang muncul, jika terjadi perselisihan tidak ada penengah, serta banyaknya kelompok yang melapor dan perlu dimonitor. Namun disinilah peran guru akan terlihat dalam menjalankan perannya sebgai fasilitator.

Lyman (http://www.readingquest.org/strat/tps.html) menjelaskan ada tiga tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe TPS.

1. Thinking (berpikir)

Guru mengajukan pertanyaan atau mengungkapkan suatu

permasalahan yang berhubungan dengan materi pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau permasalahan secara mandiri.

2. Pairing (berpasangan)

Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan hasil pemikiran atau gagasannya. Interaksi selama periode ini diharapkan siswa dapat berbagi jawaban atau berbagi ide dengan pasangannya untuk kemudian didiskusikan.

3. Sharing (berbagi)

Pada tahap ini, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka diskusikan.

Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Namun, semua itu harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah. Suhito (2003:7) menyatakan bahwa belajar matematika tidak sekedar learning to know (belajar unutk mengetahui), tetapi harus ditingkatkan menjadi learning to do (belajar untuk melakukan), learning to be (belajar untuk menjiwai), hingga


(31)

19 learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Dengan pola belajar yang seperti itu akan terjadi komunikasi antar sesama siswa, sehingga diharapkan suasana kelas menjadi hidup karena perasaan siswa menjadi senang. Di dalam belajar matematika yang di-pentingkan adalah membentuk pengertian pada anak. Ini berarti bahwa belajar matematika penekananya adalah pada proses sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator, sehingga dalam belajar matematika tampaklah bahwa siswa yang belajar harus berperan secara aktif bukan hanya menerima pasif dari guru.

Belajar matematika dengan pembelajaran kooperatif tipe TPS ini akan membuat siswa lebih bersemangat dalam menyelesaikan setiap permasalahan menjadi terlihat lebih mudah. Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat membatasi aktivitas siswa yang tidak relevan dengan pembelajaran, serta dapat memunculkan kemampuan atau keterampilan siswa yang positif. Selain itu juga akan mengembangkan ke-mampuan siswa untuk berfikir secara tersrtuktur dalam diskusi mereka dan memberikan kesempatan untuk bekerja sendiri ataupun dengan orang lain melalui keterampilan berkomunikasi.Diharapkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatakan aktivitas siswa, menumbuhkan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika, dan dapat pula meningkatkan kemampuan penguasan konsep matematika siswa.

6. Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk


(32)

20 dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan.

Sudjana (2002: 4) menyatakan :

“Keberhasilan siswa diukur dari seberapa jauh bahan pelajaran atau mata pelajaran dikuasai oleh siswa, yang disimbolkan oleh angka-angka hasil ujian setiap mata pelajaran.”

Dimyati dan Mudjiono (2002: 3) juga menyatakan hasil belajar merupakan suatu hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar. Diungkapkan pula oleh Hamalik (2004: 31) bahwa hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian- pengertian, sikap-sikap, apresiasi, abilitas dan kemampuan.

Hasil belajar merupakan bukti adanya proses belajar mengajar antara guru dan siswa. Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak dari suatu interaksi dalam pembelajaran. Dengan demikian suatu hasil belajar akan diperoleh pada akhir pembelajaran. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil tes akhir.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa aktivitas belajar adalah rang-kaian kegiatan yang dilakukan siswa dalam mengikuti pembelajaran sehingga menimbulkan perubahan perilaku belajar pada diri siswa, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu atau dari tidak mampu melakukan kegiatan menjadi mampu melakukan kegiatan.


(33)

21 B. Kerangka Pikir

Metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) dapat menjadi alternatif yang digunakan dalam pembelajaran matematika karena dengan metode TPS, guru tidak lagi mendominasi kegiatan belajar mengajar siswa. Metode pembelajaran kooperatif tipe TPS diharapkan dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui tahap kegiatan thinking, pairing, dan sharing. Tiga tahap kegiatan tersebut masing-masing memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir sendiri, bekerja sama dengan pasangannya untuk memecahkan suatu permasalahan, dan melatih siswa berkomunikasi terutama pada saat berbagi informasi, bertanya, mengungkapkan pendapat di depan kelas.

Pembelajaran TPS melibatkan siswa secara aktif, misalnya mendiskusikan jawaban dengan pasangannya, memperhatikan penjelasan pasangannya, mengemukakan jawaban yang telah dipikirkan dan didiskusikan dengan pasangannya itu kepada seluruh kelas, dan memperhatikan teman yang sedang mengemukakan jawabannya kepada seluruh kelas sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif.

Aktivitas siswa dalam pembelajaran tampak pada tahap thinking dimana siswa diberi kesempatan untuk berpikir secara individu untuk memecahkan masalah atau pertanyaan yang diberikan oleh guru. Aktivitas siswa dalam pembelajaran juga dapat dilihat pada tahap pairing dimana siswa mengemukakan pendapat dengan pasangannya. Pada tahap pairing, siswa lebih terkontrol dalam berdikusi karena anggota kelompok hanya 2 orang.


(34)

22 Kelompok yang terdiri dari 2 orang siswa memiliki kelebihan, diantaranya memberikan kesempatan pada masing-masing anggotanya untuk memberikan kontribusi yang sama, serta interaksi antara anggota lebih mudah dan cepat. Pada tahap sharing, siswa menyajikan hasil diskusi bersama pasangannya di depan kelas sehingga membuat komunikasi dan belajar siswa menjadi lebih efektif .

Keterlibatan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran sangat diperhatikan. Guru aktif bertindak sebagai pembimbing dan siswa aktif dalam menemukan konsep yang sedang dipelajari. Keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran akan menumbuhkan respon yang positif terhadap pembelajaran yang telah diikuti. Adanya aktivitas belajar dan respon positif tersebut akan mempermudah siswa dalam memahami konsep yang sedang dipelajari sehingga hasil belajar siswa lebih optimal. Penguasaan konsep yang optimal akan mempermudah siswa untuk menyelesaiakan permasalahan matematika yang dihadapinya. Dengan demikian, diharapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif diterapkan pada pembelajran matematika.

C. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif diterapkan pada pembelajaran matematika siswa kelas VII-B SMP Bina Mulya Bandar Lampung semester ganjil Tahun Pelajaran 2011/20012.


(35)

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester ganjil SMP Bina Mulya Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012 dengan jumlah siswa sebanyak 103 siswa yang terbagi dalam 3 kelas. Sampel pada penelitian ini adalah kelas VII-B dan VII-C pengambilan dilakukan secara random sampling. Hal ini dikarenakan populasi dianggap homogen siswa memperoleh pelajaran yang sama, menggunakan kurikulum yang sama, dan tidak ada kelas unggulan. . Dimana kelas VII-B sebagai kelas kontrol dan kelas VII-C sebagai kelas eksperimen.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan desain hanya post-test saja sebagaimana yang dikemukakan Furchan (1982:354) sebagai berikut:

Kelas Perlakuan Post-Test

Kelas Eksperimen X1 Y


(36)

24

Keterangan:

X1 : perlakuan pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS

X1 :perlakuan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional Y : Tes

Adapun langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Melakukan Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan berguna untuk melihat kondisi sekolah, seperti berapa kelas yang ada, jumlah siswanya, dan cara mengajar guru matematika selama pembelajaran.

2. Membuat Rencana Pelaksanaan Pem belajaran (RPP) untuk kelas eksperimen dengan menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe TPS dan untuk kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Menyiapkan instrumen penelitian berupa LKS dan soal tes. 4. Melakukan validasi instrumen dan perbaikan instrumen. 5. Melakukan uji coba soal tes dan menghitung reliabilitasnya. 6. Melaksanakan penelitian / perlakuan

7. Mengadakan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. 8. Menganalisis hasil penelitian.


(37)

25

Data dalam penelitian ini adalah data hasil belajar siswa yang diperoleh dari nilai rata-rata hasil pada dua kali tes formatif pada pokok bahasan setelah mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe TPS dan terhadap kelas yang tidak diberi perlakuan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a) Metode Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data awal dari populasi penelitian, berupa daftar nama, jumlah siswa, dan daftar nilai mid semester yang akan digunakan untuk menguji kesamaan kualitas kelas eksperimen dan kelas kontrol pada keadaan awal atau sebelum perlakuan.

b) Metode Tes

Metode tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar siswa baik dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS maupun dengan pembelajaran konvensional. Tes diberikan kepada kedua kelas sampel dengan tes yang sama. Hasil pengolahan data ini gunakan untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian.


(38)

26

D. Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data yang akurat, maka tes yang digunakan dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria tes yang baik. Validitas tes yang digunakan adalah validitas isi yaitu validitas yang ditilik dari segi isi tes itu sendiri sebagai alat pengukur hasil belajar, yaitu: sejauh mana tes hasil belajar sebagai alat pengukur hasil belajar peserta didik, isinya telah dapat mewakili secara representatif terhadap keseluruhan materi atau bahan pelajaran yang seharusnya diujikan. Validitas isi dari suatu tes hasil belajar dapat diketahui dengan jalan mem-bandingkan antara isi yang terkandung dalam tes hasil belajar dengan tujuan instruksional khusus yang telah ditentukan untuk masing-masing pelajaran, apakah hal-hal yang tercantum dalam tujuan intruksional khusus sudah terwakili secara nyata dalam tes hasil belajar tersebut atau belum. Oleh karena itu, dalam penelitian ini soal tes dikonsultasikan dengan dosen pembimbing terlebih dahulu kemudian dikonsultasikan kepada guru mata pelajaran matematika kelas VII. Jika penilaian dosen dan guru menyatakan bahwa butir-butir tes telah sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator maka tes tersebut dikategorikan valid. Kemudian tes tersebut diuji cobakan diluar sampel tetapi masih dalam populasi. Ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes. Perhitungan relia-bilitas tes ini didasarkan pada pendapat Anas Sudijono (2001:207) yang


(39)

27

menyatakan bahwa untuk menghitung reliabilitas tes dapat digunakan rumus alpha, yaitu :

dimana:

11

r = Koefisien reliabilitas tes

n = Banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tes

2

Si = Jumlah varians skor dari tiap butir item Si2 = Varian total

Reliabilitas dari tes hasil belajar dikatakan tinggi apabila r11 sama dengan atau lebih dari 0,70. Dari data uji tes yang dilakukan, diperoleh hasil perhitungan r11 = 0,71. Ini menunjukkan bahwa soal tes telah memenuhi kriteria yang ditentukan sehingga soal tes tersebut dapat digunakan untuk mengukur peningkatan hasil belajar matematika siswa.

E. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis Tahap Awal

Sebelum sampel diberi perlakuan, maka perlu dianalisis dahulu melalui uji normalitas, uji homogenitas dan uji kesamaan dua rata-rata. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel berasal dari kondisi awal

               

2

2 11 1 1 Si Si n n r


(40)

28

   k i i i i hitung E E O x 1 2 2

yang sama. Data yang digunakan dalam analisis tahap awal berasal dari nilai ujian mid semester ganjil.

a) Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah populasi berdistribusi normal atau sebaliknya. Rumusan hipotesis untuk uji ini memuat (Sudjana, 2005: 273):

H0 : Sampel berdistribusi normal H1 : Sampel tidak berdistribusi normal Uji ini menggunakan uji Chi-Kuadrat:

dengan:

X2 = harga Chi-kuadrat Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi yang diharapan k = banyaknya kelas interval

Kriteria pengujian, jika x2hitungx2tabel dengan dk = k – 1, maka data

berdistribusi normal.

Apabila populasi berdistribusi normal, maka dapat dilakukan uji homo-genitas varians.


(41)

29

 2

2

log 1 10

ln B ni si

x

Setelah dilakukam perhitungan, untuk kelas eksperimen diperoleh x= 53 sedangkan kelas kontrol didapat x= 50. Dengan

= 5% dan dk = 3 dari daftar distribusi chi kuadrat diperoleh x2tabel adalah 7,81. Dari hasil perhitungan, didapat x2hitung kelas eksperimen adalah 3,53 dan x2hitung kelas kontrol adalah 6,63. Jelas bahwa x2hitung berada dalam daerah penerimaan Ho yang artinya kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Perhitungan selengkapnya pada lampiran hal 99.

Karena populasi berdistribusi normal, maka dapat dilakukan uji homogenitas varians.

b) Uji Homogenitas Varians Populasi

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel mempunyai varians yang sama atau tidak. Jika kedua kelompok mempunyai varians yang sama maka kedua kelompok tersebut dikatakan homogen (Arikunto, 2005: 318). Uji homogenitas varians yang dilakukan adalah uji Bartlett. Uji Bartlett menurut Sudjana (2005: 261) sebagai berikut:

H0 : σ12= σ22

H1 : paling sedikit satu tanda sama dengan tidak berlaku Uji Bartlett digunakan statistik chi-kuadrat, dengan rumus:


(42)

30

untuk: B =

logs2

ni 1

dan s2 = 

       

1 1 2 i i i n s n i

n = ukuran sampel ke-i

2

i

s = variansi sampel ke-i k = banyaknya populasi ln 10 = 2,3026

Kriteria uji: tolak H0 jika x2hitungx21 k1 dan terima H0 jika 1  1

2 2    k hitung x

x  , dimana x21 k1 didapat dari daftar distribusi

chi-kuadrat dengan peluang (1–) dan dk = (k – 1) dan taraf nyata

= 0,05.

Apabila memiliki varians yang sama, maka dapat dilakukan uji kesamaan dua rata-rata.

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh varians gabungannya (s2) yaitu 222,53 dan nilai B=157,56 sehingga didapat x2hitung = 2,43. Dengan α = 5% dan dk = 1 diperoleh x²tabel yaitu 3,84. Karena x2hitung < x²tabel,maka hipotesis H0 diterima, artinya tidak ada perbedaan varians antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Perhitungan selengkapnya pada lampiran hal 108.

Karena memiliki varians yang sama, maka dapat dilakukan uji kesamaan dua rata-rata.

1 2 2   

n x x s


(43)

31

c) Uji Kesamaan Dua Rata-Rata

Untuk mengetahui kesamaan rata-rata dua kelompok sampel sebelum perlakuan maka perlu diuji menggunakan uji kesamaan dua rata-rata. Statistik yang digunakan untuk uji ini memuat (Sudjana, 2005: 239)

Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H0 : 1 2

H1 : 1 2

Keterangan:

1

 = rata-rata data kelas eksperimen

2

 = rata-rata data kelas kontrol Jika 1 2 tetapi

tidak diketahui

1 2 2 1 1 1 n n s X X thitung   

dengan

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2       n n s n s n s Keterangan: i

x = nilai mid semester kelompok eksperimen

2

x = nilai mid semester kelompok kontrol n1 = banyaknya subyek kelompok eksperimen n2 = banyaknya subyek kelompok kontrol

Dengan kriteria pengujian: terima Ho jika

  2 1 1 2 1

1   

t thitung t dengan derajat kebebasan dk = (n1 + n2 – 2 ).


(44)

32

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh thitung= 1,05, dengan α =5% dan dk = 70 dari daftar distribusi t didapat ttabel = 1,99. Karena thitung < ttabel, maka H0 diterima, artinya kedua kelas mempunyai rata-rata yang sama.

Perhitungan selengkapnya pada lampiran hal 110. 2. Analisis Tahap Akhir

Setelah kedua sampel diberi perlakuan yang berbeda, data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Data hasil tes akhir yang diperoleh digu-nakan sebagai dasar dalam menguji hipotesis penelitian.

Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians.

a) Uji Normalitas

Uji kenormalan digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan dengan pembelajaran konvensional berdistribusi normal atau tidak. Adapun langkah-langkah dan rumus yang digunakan sama dengan uji normalitas pada analisis data tahap awal.

b) Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelompok sampel dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan dengan pembelajaran


(45)

33

konvensional mempunyai tingkat varians yang sama, sehingga dapat menentukan rumus uji t yang akan digunakan. Adapun rumus yang digunakan sama dengan rumus untuk menentukan homogenitas pada analisis data tahap awal.

c) Uji Hipotesis

Uji yang digunakan adalah uji satu pihak yaitu pihak kanan dengan rumus uji t. Hipotesis yang akan diujikan:

Ho: μ1 ≤ μ2, artinya rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol.

H1 : μ1>μ2, artinya rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata skor tes pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol.

Hipotesis diterima jika thitung < ttabel. Karena rumus thitung yang digunakan sangat ditentukan hasil uji homogenitas antar kedua kelas, maka kemungkinan rumus t hitung yang digunakan adalah :

a) Jika varians kedua kelas tersebut sama,maka memuat (Sudjana, 2005: 243)

dengan 2 1 2 1 1 1 1 n n s x x t   

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2       n n s n s n s


(46)

34

Keterangan:

x1 : Rata-rata nilai kelas eksperimen x2 : Rata-rata nilai kelas kontrol s2 : Varians gabungan

s12 : Varians kelas eksperimen s22 : Varians kelas kontrol

n1 : Banyaknya anggota kelas eksperimen n2 : Banyaknya anggota kelas kontrol

b) Jika varians kedua kelas berbeda, maka rumus thit memuat (Sudjana, 2005:243).

Keterangan:

x1 : rata-rata nilai data akhir kelas eksperimen x2 : rata-rata nilai data akhir kelas kontrol s

1 : simpangan baku kelas eksperimen s

2 : simpangan baku kelas kontrol n

1 : banyaknya anggota kelas eksperimen n

2 : banyaknya anggota kelas kontrol Kriteria pengujian adalah: tolak H

0 jika thitung ≥ ttabel.

2 2 2 1 2 1 2 1 ' n s n s s x x t    2 1 2 2 1 1 ' w w t w t w ttabel   2 2 2 2 1 2 1 1 n s w dan n s w


(47)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan pada siswa berkemampuan awal rendah kelas VII SMP Bina Mulya Bandar Lampung, disimpulkan bahwa pembelajaran denganmodel pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional pada siswa berkemampuan awal rendah, ditinjau dari hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang mengikuti penbelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran kovensional.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif diterapkan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut.

1. Kepada guru matematika agar dapat menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TPS secara optimal sebagai alternatif pembelajaran di kelas guna meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.


(48)

41 2. Kepada rekan-rekan yang ingin melakukan penelitian agar dapat

mencoba kembali model pembelajaran kooperati tipe TPS ini dengan variabel yang lebih luas, sehingga hasil yang diperoleh semakin optimal.


(49)

42

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Prasetya, Joko Tri. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Pustaka Setia. Bandung.

Arikunto, Suharsimi. 1991. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta Bulelogo, Marlin. 25 Desember 2008. Pembelajaran Kooperatif.

http//marlinlogoportofolio.blogspot.com

Eggen dan Kauchak. 1996. Strategy For Teacher. Allyn And Bacon Publisher. Boston.

Gie, The Liang. 1985. Cara Belajar yang Efisien. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Guza, Afnil. 2008. Undang-undang SISDIKNAS UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-undang Guru dan dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005. Asa Mandiri. Jakarta.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta Hobri. Teknik Analisis Data Penelitian Pengembangan.

http://hobri.files.analisis_data.com/. Diakses tanggal 28 Desember 2010. Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional.

http://www.kompasiana.com/ikpj. Diakses tanggal 21 Agustus 2010 Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional.

http://www.kompasiana.com/ikpj. Diakses tanggal 21 Agustus 2010 Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. PT. Gramedia Widiasarana. Jakarta . 2008. Mempraktikkan Cooperative Learning Di Ruang-Ruang Kelas. PT

Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.


(50)

43

Lyman, Frank. Think Pair Share: An Expanding Teaching Technique. Science Education Resource

Center.http://serc.carleton.edu/introgeo/interactive/think,pair,share.html. Diakses tanggal 25 Desember 2010

Muslimin, I. dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Grasindo. Jakarta. Sardiman, AM. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1995. Kamus Sosiologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Sunartombs. 2009. Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik Namum Paling Disukai. http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/pembelajaran-konvensional-banyak-dikritik-namun-paling-disukai/ Diakses tanggal 21 Desember 2010

Sutikno, M. Sobry. 2005. Pembelajaran Efektif. NTP. Mataram

Tim Penyusun. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Veithzal, Rivai. 1999. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Belajar

Mahasiswa. Depdiknas. Jakarta.

Yasa, Doantara. 2008. Metode pembelajaran kooperatif.

http://ipotes.wordpress.com/2008/05/10/metode-pembelajaran-kooperatif. Html. Diakses tanggal 24 Januari 2011.

Yuli. 2010. Pembelajaran Konvensional.

http://forum.um.ac.id/index.php?PHPSESSID98e0c32ae38ce2ba9d95698873fc 6b7a&topic=10030.msg10117#msg10117 . Diakses tanggal 21 Desember2010


(1)

33

konvensional mempunyai tingkat varians yang sama, sehingga dapat menentukan rumus uji t yang akan digunakan. Adapun rumus yang digunakan sama dengan rumus untuk menentukan homogenitas pada analisis data tahap awal.

c) Uji Hipotesis

Uji yang digunakan adalah uji satu pihak yaitu pihak kanan dengan rumus uji t. Hipotesis yang akan diujikan:

Ho: μ1 ≤ μ2, artinya rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol.

H1 : μ1>μ2, artinya rata-rata skor tes kemampuan pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata skor tes pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol.

Hipotesis diterima jika thitung < ttabel. Karena rumus thitung yang digunakan sangat ditentukan hasil uji homogenitas antar kedua kelas, maka kemungkinan rumus t hitung yang digunakan adalah :

a) Jika varians kedua kelas tersebut sama,maka memuat (Sudjana, 2005: 243) dengan 2 1 2 1 1 1 1 n n s x x t   

2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2       n n s n s n s


(2)

34

Keterangan:

x1 : Rata-rata nilai kelas eksperimen

x2 : Rata-rata nilai kelas kontrol

s2 : Varians gabungan

s12 : Varians kelas eksperimen

s22 : Varians kelas kontrol

n1 : Banyaknya anggota kelas eksperimen n2 : Banyaknya anggota kelas kontrol

b) Jika varians kedua kelas berbeda, maka rumus thit memuat (Sudjana, 2005:243).

Keterangan:

x1: rata-rata nilai data akhir kelas eksperimen

x2: rata-rata nilai data akhir kelas kontrol

s

1 : simpangan baku kelas eksperimen

s

2 : simpangan baku kelas kontrol n

1 : banyaknya anggota kelas eksperimen n

2 : banyaknya anggota kelas kontrol Kriteria pengujian adalah: tolak H

0 jika thitung ≥ ttabel. 2 2 2 1 2 1 2 1 ' n s n s s x x t    2 1 2 2 1 1 ' w w t w t w ttabel   2 2 2 2 1 2 1 1 n s w dan n s w


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan pada siswa berkemampuan awal rendah kelas VII SMP Bina Mulya Bandar Lampung, disimpulkan bahwa pembelajaran denganmodel pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional pada siswa berkemampuan awal rendah, ditinjau dari hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang mengikuti penbelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran kovensional.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif diterapkan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut.

1. Kepada guru matematika agar dapat menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TPS secara optimal sebagai alternatif pembelajaran di kelas guna meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.


(4)

41 2. Kepada rekan-rekan yang ingin melakukan penelitian agar dapat

mencoba kembali model pembelajaran kooperati tipe TPS ini dengan variabel yang lebih luas, sehingga hasil yang diperoleh semakin optimal.


(5)

42

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Prasetya, Joko Tri. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Pustaka Setia. Bandung.

Arikunto, Suharsimi. 1991. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta Bulelogo, Marlin. 25 Desember 2008. Pembelajaran Kooperatif.

http//marlinlogoportofolio.blogspot.com

Eggen dan Kauchak. 1996. Strategy For Teacher. Allyn And Bacon Publisher. Boston.

Gie, The Liang. 1985. Cara Belajar yang Efisien. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Guza, Afnil. 2008. Undang-undang SISDIKNAS UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan

Undang-undang Guru dan dosen UU RI Nomor 14 Tahun 2005. Asa Mandiri.

Jakarta.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta Hobri. Teknik Analisis Data Penelitian Pengembangan.

http://hobri.files.analisis_data.com/. Diakses tanggal 28 Desember 2010. Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional.

http://www.kompasiana.com/ikpj. Diakses tanggal 21 Agustus 2010 Juliantara, Ketut. 2009. Pembelajaran Konvensional.

http://www.kompasiana.com/ikpj. Diakses tanggal 21 Agustus 2010 Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. PT. Gramedia Widiasarana. Jakarta . 2008. Mempraktikkan Cooperative Learning Di Ruang-Ruang Kelas. PT

Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.


(6)

43

Lyman, Frank. Think Pair Share: An Expanding Teaching Technique. Science Education Resource

Center.http://serc.carleton.edu/introgeo/interactive/think,pair,share.html. Diakses tanggal 25 Desember 2010

Muslimin, I. dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press. Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Grasindo. Jakarta. Sardiman, AM. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1995. Kamus Sosiologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.

Sunartombs. 2009. Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik Namum Paling Disukai. http://sunartombs.wordpress.com/2009/03/02/pembelajaran-konvensional-banyak-dikritik-namun-paling-disukai/ Diakses tanggal 21 Desember 2010

Sutikno, M. Sobry. 2005. Pembelajaran Efektif. NTP. Mataram

Tim Penyusun. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Veithzal, Rivai. 1999. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Belajar

Mahasiswa. Depdiknas. Jakarta.

Yasa, Doantara. 2008. Metode pembelajaran kooperatif.

http://ipotes.wordpress.com/2008/05/10/metode-pembelajaran-kooperatif. Html. Diakses tanggal 24 Januari 2011.

Yuli. 2010. Pembelajaran Konvensional.

http://forum.um.ac.id/index.php?PHPSESSID98e0c32ae38ce2ba9d95698873fc 6b7a&topic=10030.msg10117#msg10117 . Diakses tanggal 21 Desember2010


Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY DITINJAU DARI HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Muhammadiyah 3 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012)

1 20 55

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pagelaran Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 3 48

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DITINJAU DARI AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 28 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 4 66

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS (Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Ganjil SMP Negeri 5 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 15 67

EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TPS (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Ganjil SMP Bina Mulya Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 11 53

EFEKTIVITAS PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TPS (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Ganjil SMP Bina Mulya Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2011/2012)

0 5 50

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS (Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Ganjil SMP Negeri 5 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 18 64

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 22 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 9 54

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 20 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 52

EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TPS (THINK PAIR SHARE) DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Ganjil SMP Negeri 20 Bandar Lampung T.P. 2013/2014)

1 12 51