USIA IDEAL, INISIATIF, DAN MAKNA PERNIKAHAN, SERTA RELASI SUAMI ISTERI MENURUT WANITA JAWA YANG MENIKAH DI TAHUN 1960-AN DAN 2000-AN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

USIA IDEAL, INISIATIF, DAN MAKNA PERNIKAHAN, SERTA

RELASI SUAMI ISTERI MENURUT WANITA JAWA YANG MENIKAH

DI TAHUN 1960-AN DAN 2000-AN

Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Bernadete Adeline Muliawan

NIM: 06 9114 044

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

“Kiranya diberikanNya kepadamu apa yang kau

hendaki dan dijadikanNya berhasil apa yang kau

rancangkan”

{Mazmur 20:5}

  

“Life for nothing or Die for something?”

(Rambo)

  

Sukses itu 98%-nya dibentuk oleh kesalahan, karena itu jika ingin

sukses, jangan takut salah! -

  SOICHIRO HONDA

  • “Gitu aja kok repot?”

  (Gusdur)

  

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesusku Yang Maha Besar,

Kedua Orangtuaku terkasih, Kakak dan adikku tersayang,

  

Dan sahabat-sahabatku termanis,

PE RNYATAA AN KEASLI

  Saya a menyataka an dengan se esungguhnya a bahwa skri ipsi yang sa aya tulis ini tidak memu t uat karya ata au bagian ka arya orang la ain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipa d an dan dalam m daftar pust taka, sebaga aimana layak knya karya il lmiah.

  Yogyak karta, 4 Juni 2010 Penulis

  Bernad dete Adeline e Muliawan

  

ABSTRAK

Bernadete Adeline Muliawan

Usia ideal, inisiatif, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri

menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam

pernikahan Jawa yang dijalani oleh wanita Jawa di era tahun 1960-an dan era tahun 2000-an yang

berkaitan dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri.

Informan dalam penelitian ini adalah lima wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan lima

wanita Jawa yang menikah di tahun 2000-an. Metode pengambilan data dalam penelitian ini

menggunakan wawancara semi terstuktur. Metode analisis data yang digunakan adalah metode

fenomenologi interpretatif. Dari hasil penemuan dan pembahasan, perubahan yang terjadi dalam

pernikahan di tahun 1960-an dan 2000-an yaitu, wanita pada masa kini bersikap tidak peduli

terhadap pembicaraan dari masyarakat sekitar mengenai kapan mereka akan menikah, sementara

wanita pada zaman dahulu mananggapinya dengan segera menikah dengan usia yang tergolong

masih muda. Perjodohan pada masa kini sudah tidak terjadi, sementara pada zaman dahulu masih

terjadi. Tujuan pernikahan pada wanita di zaman dahulu adalah untuk lepas dari tanggungan

orangtuanya, sementara tujuan pernikahan masa kini lebih cenderung untuk belajar membangun

rumah tangga yang mandiri dengan peranannya sebagai seorang isteri dan ibu. Namun, wanita

masa kini merasa lebih terikat setelah menikah, sementara wanita yang menikah di zaman dahulu

tidak merasa terikat. Upaya pencapaian keharmonisan keluarga diupayakan oleh suami dan isteri,

sementara dahulu keharmonisan dicapai jika isteri menurut pada suaminya.

  Kata kunci: Perubahan, pernikahan Jawa, wanita Jawa.

  

ABSTRACT

Bernadete Adeline Muliawan

Ideal age, initiative, and marriage meaning, also relation of husband and wife

by Javanese women who marriage in the 1960s and 2000s

  This research aimed to describe any changes that occur in Java marriages undertaken by

the Javanese women in the era of 1960s and 2000s be related to ideal marriage age, marriage

initiative, marriage meaning, and relation of husband and wife. Informants in this research were

five women who married in Java by 1960s and five women who married in the 2000s. The data

collection method in this research using semi-structured interviews. Data analysis methods used

the interpretative phenomenological. From the findings and discussion, the changes that occur in

marriages in the 1960s and 2000s, women in the present are also ignore to the conversation from

the surrounding community about when they would marry, while women in 1960s concern to

marry in young ages. Arranged marriages are not happening in modern era, while in the past was

still happening. The purpose of marriages for women in 1960s was to escape the burden of her

parents, while the purpose of marriages today are more likely to learn to build an independent

household with its role as a wife and mother. However, women today feel more bound after getting

married, while married women in olden times did not feel bound. Mainly efforts to achieve family

harmony sought by a husband and wife, while in 1960s harmony achieve if wife follow her

husband. Key words: Changes, Java marriages, Javanese women.

  

P PERNYATA AAN PERSE ETUJUAN

PUBLIK KASI KARY YA ILMIAH H UNTUK K KEPENTIN NGAN AKA ADEMIS

  Saya yang b bertandatang an di bawah h ini, mahasis swi Universi itas Sanata D Dharma: Nam ma: Bernadete e Adeline M Muliawan NIM M: 069114044

  4 Demi penge D embangan il lmu pengeta ahuan, saya memberikan n kepada Pe erpustakaan Universitas U Sanata Dhar rma, karya il lmiah saya y yang berjudu ul:

  Usi ia ideal, inis siatif, dan m makna pern ikahan, sert ta relasi sua ami isteri me enurut wani ita Jawa ya ng menikah h di tahun 1 960-an dan n 2000-an

  beserta pera b angkat yang diperlukan ( (bila ada). D Dengan demi ikian saya m memberikan K Kepada Pe erpustakaan Universitas s Sanata D Dharma hak k untuk m menyimpan, m mengalihkan n dalam ben ntuk media l lain, dan me engelolanya di internet a atau media l lain untuk k kepentingan akademis, tanpa perlu u meminta i zin dari say ya maupun m memberikan n royalti Kep pada saya se elama tetap m mencantumk kan nama sa aya sebagai p penulis.

  D Demikian pe ernyataan in ni saya buat d dengan seben narnya. D Dibuat di Yo ogyakarta P Pada tangga al: 4 Juni 201

  10 Yang menya Y atakan, (Bernadete A ( Adeline Mul liawan)

KATA PENGANTAR

  Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai

  

usia ideal, menikah, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut

wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an . Penelitian ini diajukan

  untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  Terselesaikannya penelitian ini tidak terlepas dari dukungan dan kritik yang membangun dari orang-orang disekitar penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

  1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani. M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi dan selaku dosen pembimbing sebelumnya yang telah memberikan masukan yang sangat berarti dalam proses awal penelitian ini.

  2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, kritik yang membangun, dukungan, dan dengan penuh kesabaran membimbing selama proses penyelesaian skripsi ini.

  3. Dosen penguji Ibu Dr.Tjipto Susana, M.Si., dan P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A yang telah memberikan masukan dan koreksi yang sangat berharga untuk penelitian ini.

  4. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan dan nasehat yang berharga selama proses perkuliahan.

  5. Semua dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam memperluas wawasan dan pengetahun.

  6. Karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Gie, atas segala bentuannya dan fasilitas selama proses perkuliahan.

  7. Papa, Mama, Kakak-kakak dan adikku (Ce Yuyun, Ce Vivi, Ce Thing, dan Sella), terima kasih atas perhatian, dukungan, dan doanya selama perkuliahan dan proses penelitian ini.

  8. Laurensius Riasko, terima kasih untuk setiap dukungan, semangat, dan motivasi yang diberikan selama penyelesaian skripsi ini.

  9. Semua teman-teman kuliah, khususnya: Vivin, Clare, Nessya, Yaya, Jean, Kak Maria, Liem, dan Herman untuk kebersamaan dan semangat kalian ☺ ☺ 10. Teman-teman KKN: Winny, Dewi, Nita, Vina, Rena, Jati, dan Nico untuk kebersamaan kita selama 2 bulan dalam masyarakat.

  Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran demi hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

  Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .......................................ii HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI................................................ iii HALAMAN MOTTO ........................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii ABSTRACT .........................................................................................................viii PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI .........................................................................................................xii DAFTAR TABEL ...............................................................................................xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xix BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................

  1 A. Latar Belakang ..............................................................................

  1 B. Rumusan Masalah .........................................................................

  6 C. Tujuan Penelitian ..........................................................................

  6 D. Manfaat Penelitian ........................................................................

  6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

  8 A. Pernikahan dan keluarga Jawa ............................................................

  8

  1. Pengertian pernikahan dalam masyarakat Jawa dan posisi pernikahan dalam budaya Jawa ..........................................................................

  9

  2. Usia ideal pada laki-laki dan perempuan untuk menikah ............... 10

  3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa .................................... 12

  4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan ......... 14

  5. Perkembangan pernikahan dalam masyarakat Jawa ....................... 16 B. Wanita dalam kebudayaan Jawa .......................................................... 18

  1. Gambaran wanita Jawa dalam etimologi dan jarwa dosok ............. 18

  2. Gambaran ideal wanita Jawa ........................................................... 20

  3. Peranan suami dan isteri dalam keluarga Jawa ............................... 21

  4. Pergeseran peranan isteri dalam keluarga Jawa ............................... 25 C. Perubahan pola pikir masyarakat Jawa mengenai pernikahan akibat faktor ekonomi seriring terjadinya pergeseran sistem pendidikan ................ 26

  1. Pendidikan pada zaman Belanda, Jepang dan kemerdekaan .......... 26

  2. Dampak peningkatan pendidikan terhadap pola pikir masyarakat .. 29

  D. Gambaran usia ideal, inisiatif, dan makna pernikahan, serta relasi suami isteri menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ........................................................................................ 31

  E. Kerangka Penelitian .............................................................................. 33

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 35 A. .............................................................................. 35 Jenis Penelitian B. Fokus Penelitian .............................................................................

  35 C. Informan Penelitian ........................................................................

  37

  D. Metode Pengambilan Data ............................................................

  44 E. Prosedur Pengambilan Data ..........................................................

  45 F. Analisis Data ................................................................................

  47

  1. Penentuan Unit makna .............................................................. 49

  2. Pemberian Tema sentral ............................................................ 49

  3. Pengelompokkan Tema umum .................................................. 50

  4. Pemberian Struktur umum ......................................................... 50 G. Kredibilitas Penelitian ...................................................................

  51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 52

  A. Pandangan subyektif peneliti ......................................................... 52 B. Deskripsi hasil temuan ...................................................................

  54

  1. Usia ideal menikah ..................................................................... 54

  a. Gambaran usia ideal menikah di tahun 1960-an ................... 54

  b. Gambaran usia ideal menikah di tahun 2000-an .................... 63 2. Inisiatif pernikahan ..................................................................

  70

  a. Inisiatif pernikahan di tahun 1960-an ................................... 70

  b. Inisiatif pernikahan di tahun 2000-an ................................... 75

  3. Makna Pernikahan ......................................................... 77

  a. Makna pernikahan di tahun 1960-an ......................... 77

  b. Makna pernikahan di tahun 2000-an ...................................... 80

  4. Relasi suami dan isteri .................................................... 84

  a. Relasi suami dan isteri pada tahun 1960-an ........................... 84

  b. Relasi suami dan isteri pada tahun 2000-an .............. 87

  C. Temuan Lain ..... ............................................................................. 88

  1. Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan di tahun 1960-an ........................................................................................ 89

  2. Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan di tahun 2000-an ........................................................................................ 92

  D. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 1960-an .......... 93

  E. Kesimpulan umum gambaran pernikahan di tahun 2000-an .......... 95

  F. Persamaan dan perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ............................................... 96

  1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ...................................................................................... 96

  2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ....................................................................... 101 G. Pembahasan .................................................................................... 104

  1. Persamaan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ........................................................................................ 104

  a. Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah 104 b.Tingkat pendidikan menjadi alasan ekonomis berkaitan dengan inisiatif pernikahan ..................................................................... 107 c. Pernikahan dimaknai sebagai sarana untuk beribadah dan belajar berumah tangga ........................................................................ 109

  2. Perubahan yang terjadi dalam gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an ........................................................................ 110

  a. Respon terhadap tekanan sosial dan keterikatan setelah menikah ..................................................................................... 110 b. Inisiatif pernikahan dan tujuan pernikahan .............................. 114

  c. Relasi suami dan isteri ............................................................. 117

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 120 A. Kesimpulan ................................................................................... 120 B. Keterbatasan Penelitian ................................................................. 121 C. Saran ............................................................................................. 122 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 123 LAMPIRAN .................. ............................................................................. 126

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1 : Penentuan Unit makna ……………………………………………... 49 Tabel 2 : Pemberian Tema sentral ......................................................................49 Tabel 3 : Pengelompokkan Tema umum.............................................................50 Tabel 4 : Pengelompokkan Struktur umum ........................................................50 Tabel 5 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah (tahun 1960-an).....................................................................................54 Tabel 6 : Laki-laki di zaman dahulu menikah dengan wanita yang lebih muda usianya (tahun 1960-an)........................................................................57 Tabel 7 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis (tahun 1960-an) ……………................................................................59 Tabel 8 : Usia wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial (tahun 1960-an)……………….............................................................60 Tabel 9 : Usia ideal wanita dan laki-laki untuk menikah (tahun 2000-an) ..........63 Tabel 10 : Usia ideal laki-laki untuk menikah lebih tua dibandingkan usia Wanita (tahun 2000-an) ......................................................................66 Tabel 11 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan biologis (tahun 2000-an) ....................................................................................68 Tabel 12 : Usia ideal wanita untuk menikah dibatasi oleh tekanan sosial (tahun 2000-an) ....................................................................................69 Tabel 13 : Menikah atas inisiatif orangtua (tahun 1960-an) .................................72 Tabel 14 : Menikah atas inisiatif sendiri dan lebih bebas di masa sekarang (tahun 1960-an) ....................................................................................73

  Tabel 15 : Inisiatif untuk menikah pada tahun 2000-an lebih dibebaskan ............75 Tabel 16 : Makna pernikahan bertujuan untuk meringankan beban orangtua (tahun 1960-an) ....................................................................................77 Tabel 17 : Makna pernikahan agar dapat beribadah (tahun 1960-an) ...................78 Tabel 18 : Pernikahan sebagai sarana pembelajaran berumah tangga (1960-an)..79 Tabel 19 : Tujuan pernikahan sebagai sarana untuk belajar menjalani kehidupan rumah tangga (tahun 2000-an) ...........................................81 Tabel 20 : Merasa terikat setelah menikah (tahun 2000-an) .................................82 Tabel 21 : Menikah sebagai suatu kewajiban beribadah (tahun 2000-an) ............83 Tabel 22 : Keharmonisan keluarga dicapai jika isteri menuruti suaminya (tahun 1960-an) ................................................................................... 85 Tabel 23 : Keharmonisan keluarga diusahakan oleh suami dan isteri

  (tahun 2000-an) ....................................................................................87 Tabel 24 : Menikah karena tidak melanjutkan sekolah (tahun 1960-an) ..............89 Tabel 25 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan (tahun 1960-an) .....................................................................................90 Tabel 26 : Pendidikan menjadi alasan untuk menunda pernikahan (tahun 2000-an) .....................................................................................92 Tabel 27 : Perubahan gambaran pernikahan di tahun 1960-an dan tahun 2000-an .....................................................................................101

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1 : Surat Keterangan Penelitian dari Fakultas Psikologi ....................127 Lampiran 2 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian Tema sentral dari unit makna informan pertama (menikah di tahun 1960-an)..........................................................................................128 Lampiran 3 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral dari unit makna informan kedua (menikah di tahun 1960-an)...........................................................................................139 Lampiran 4 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun 1960-an)..........................................................................................153 Lampiran 5 : Pengelompokkan Tema umum dari kelima informan (menikah di tahun 1960-an)………………………………………………… 169 Lampiran 6 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral dari unit makna informan pertama (menikah di tahun 2000-an)…......................................................................................197 Lampiran 7 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral dari unit makna informan kedua (menikah di tahun 2000-an)……..................................................................................201 Lampiran 8 : Transkrip verbatim dan unit makna, serta pemberian tema sentral dari unit makna informan ketiga (menikah di tahun 2000-an)……..................................................................................211

  Lampiran 9 : Pengelompokkan tema umum dari kelima informan (menikah di tahun 2000-an)...............................................................................221 Lampiran 10: verbatim informan ke-4 dan ke-5 tahun 1960-an dan tahun

  2000-an ………………………………………………………….244

     

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi orang Jawa pada umumnya merupakan sesuatu yang

  penting, suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Di Jawa, perkawinan menjadi pertanda terbentuknya sebuah somah baru yang segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orangtua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga baru (Geertz, 1983). Geertz juga menemukan bahwa perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan bagi orang Jawa ialah, pembentukan sebuah rumah tangga yang baru dan mandiri.

  Menurut Herusatoto (2009), dalam masyarakat Jawa, perkawinan/ pernikahan merupakan sesuatu hal yang sakral. Perkawinan yang suci terlaksana melalui proses pembicaraan yang panjang, perencanaan yang matang, dan program pelaksanaan yang rumit, sarat dengan segala macam upacara khusus, curahan doa restu dari para sepuh, semua handai tolan, sahabat, dan kenalan dekat kedua belah pihak. Limpahan segala kasih dan sayang itu menunjukkan betapa tinggi nilai harkat perkawinan/ pernikahan itu sendiri.

  Pada zaman dahulu, bagi seorang anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan sesudah haid yang pertama. Perkawinan dini

   

  baginya diusahakan terutama jika ia telah mulai menunjukkan minat nyata terhadap laki-laki. Hal tersebut karena, orangtuanya khawatir bahwa anak gadisnya akan terkenal sebagai perempuan bermoral cabul (Geertz, 1983). Dalam keluarga tradisional masalah ini dipecahkan dengan mengawinkan anak perempuan sebelum akil balig, ketika masih berumur 9 atau 10 tahun.

  Gadis-gadis cilik ini akan diboyong ke rumah suami mereka, diasuh olehnya, ibu mertuanya, dan akan menjadi tanggungan bagi keluarga barunya serta bukan lagi menjadi tanggungan orangtuanya sendiri, dengan maksud untuk menjauhkannya dari laki-laki lain. Geertz juga menemukan bahwa saat ini praktik demikian telah jarang terjadi, dan usia perkawinan bagi anak-anak perempuan pun telah tampak meningkat berangsur-angsur pada saat kira-kira berusia 16 atau 17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama sekali.

  Kebanyakan perkawinan diatur oleh orangtua dari pihak laki-laki dan pihak wanita. Orangtualah yang mencarikan calon jodoh dan memutuskan hari perkawinan, terutama apabila merupakan perkawinan pertama untuk anak- anak mereka. Orang Jawa yakin bahwa demikianlah jalan yang seyogyanya untuk memasuki perkawinan, dan bahwa anak seharusnya menyetujui keputusan orangtua (Geertz, 1983).

  Gambaran yang dikemukakan oleh Geertz semakin memperjelas kenyataan yang terjadi pada gadis-gadis di tahun 1950 sampai 1960-an. Gadis- gadis pada masa itu sudah secara langsung maupun tidak langsung mendapat tuntutan dari lingkungan sosialnya untuk menikah di usia muda seperti yang

   

  dinyatakan oleh salah seorang responden (DM, wawancara, 10 April, 2009). Banyak di antara mereka yang tidak memilih langsung pasangannya, melainkan menerima perjodohan dengan pria yang belum dikenalnya.

  Menurut Pranoto (2009), dalam masyarakat Jawa pada zaman dahulu, ijab atau pertemuan antara kedua insan adalah karena dijodohkan oleh kedua orangtua. Oleh karena itu, sang calon pengantin belum tentu saling mengenal satu sama lain. Terlebih mengenal sifat atau watak satu sama lain. Tetapi pada zaman sekarang, biasanya si calon pengantin sudah saling mengenal satu sama lain.

  Menurut Murray (1973), memilih teman hidup perkawinan secara tidak bijaksana adalah satu tragedi karena perkawinan berarti memilih kawan dan teman serumah seumur hidup, maka haruslah dilakukan dengan pertimbangan dan perundingan mendalam. Pilihan kawan hidup harus dilakukan dengan teliti.

  Menurut Soemardjan (2009), dengan pesatnya perkembangan pendidikan telah menimbulkan perbedaan kepentingan-kepentingan intelektual antara generasi tua dan generasi muda. Perbedaan tersebut terlihat dalam perbedaan ruang lingkup minat. Akibatnya berpengaruh pada sikap- sikap yang ada dalam diri anggota-anggota tiap generasi. Generasi tua lebih senang kalau anak-anaknya kawin dengan pasangan dari lingkungan desa sendiri sedangkan generasi muda tidak peduli darimana asal calon jodohnya. Dalam hal ini, generasi muda menekankan pada selera pribadi dan pendidikan.

   

  Pada beberapa tahun terakhir, usia pernikahan wanita semakin bertambah berkisar di antara rata-rata usia 24-26 tahun (Biro Pusat Statistik, 2009). Memasuki tahun 2000, badan Survei Statistik Indonesia mendapatkan data proporsi wanita di daerah perkotaan khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menikah pada usia rata-rata 26,2 tahun, sementara itu, di daerah pedesaan rata-rata usia pernikahan wanita, yaitu 22,9 tahun.

  Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa wanita yang tinggal di daerah perkotaan (DIY) memiliki usia pernikahan yang lebih tua dibandingkan usia pernikahan yang dimiliki oleh wanita di daerah pedesaan. Data statistik menunjukkan meskipun di daerah pedesaan usia pernikahan para wanita tergolong muda tetapi tetap mengalami peningkatan usia pernikahan sejak tahun 1971 hingga tahun 2000. Dengan membandingkan fenomena perkawinan dini di masa tahun 1950 sampai 1960-an dan data statistik perkawinan di tahun 2000, dapat diindikasikan adanya perubahan usia pernikahan pada wanita di masa sekarang.

  Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1971 rata-rata usia pernikahan pada wanita di daerah perkotaan di DIY berkisar 24 tahun, sedangkan di daerah pedesaan berkisar rata-rata pada usia 21,2 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan usia pernikahan di DIY dalam rentang tahun 1971-2000. Usia pernikahan di pedesaan dalam rentang tahun 1971-2000 mengalami peningkatan sebanyak 1,7 tahun, sedangkan usia pernikahan di daerah perkotaan berkisar usia 24 tahun pada pada tahun 1971

    Biro

  dan meningkat sebanyak 2,2 tahun menjadi 26,2 tahun pada tahun 2000 (

  Pusat Statistik , 2009).

  Hal ini cukup menarik, karena pada tahun 1950-an dan 1960-an, para gadis di usia 16-17 tahun sudah dijodohkan seandainya belum menikah.

  Peneliti belum dapat menemukan data statistik untuk usia pernikahan di tahun 1950 sampai 1960-an, meskipun demikian, dari data hasil wawancara awal yang didapat oleh peneliti, peneliti mendapat kesimpulan bahwa telah terjadi peningkatan usia pernikahan dari tahun 1950-1960 sampai memasuki tahun 2000-an saat ini. Melihat perubahan usia pernikahan yang semakin meningkat sejak tahun 1971 sampai dengan tahun 2000 dari data statistik, peneliti tertarik untuk mengetahui perubahan lain yang terjadi dalam pernikahan di Jawa selain perubahan usia pernikahan pada wanita di zaman tahun 2000-an.

  Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan peneliti (MD, wawancara pribadi, 12 April, 2009), wanita pada masa kini seolah lebih memikirkan karier untuk masa depannya dibandingkan memutuskan untuk menikah. Beberapa wanita yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya memiliki kesulitan waktu untuk memikirkan pendamping hidupnya. Hal tersebut terungkap dalam komentar wanita berusia di atas 30 tahun yang belum menikah di rubrik konsultasi dan diskusi. Beberapa di antaranya menjelaskan bahwa mereka sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri oleh orangtuanya (Almilia, 2007). Melihat kenyataan tersebut, peneliti juga tertarik untuk mendeskripsikan lebih dalam mengenai perubahan tersebut pada wanita Jawa di era tahun 1960-an dan era tahun 2000-an dalam pernikahan yang

   

  mereka jalani seiring dengan adanya perubahan pola pikir dalam masyarakat di zaman mereka masing-masing.

  B. Rumusan Masalah

  Perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri seiring dengan adanya peningkatan usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat? C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan apa saja yang terjadi dalam pernikahan di masyarakat Jawa menurut wanita Jawa yang menikah di tahun 1960-an dan 2000-an berkaitan dengan usia ideal menikah, inisiatif menikah, makna pernikahan, dan relasi suami isteri seiring dengan adanya peningkatan usia untuk menikah dan perubahan pola pikir masyarakat.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoretis: a. Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan informasi guna menambah pengetahuan dalam bidang psikologi keluarga mengenai peranan wanita Jawa seiring dengan perubahan yang terjadi dalam pernikahan Jawa di tahun 1960-an dan tahun 2000-an.

   

  b. Penelitan ini bermanfaat juga untuk memperluas pengetahuan kita tentang kehidupan rumah tangga dalam budaya Jawa yang mengalami beberapa perubahan sejalan dengan perubahan pola pikir akibat meningkatnya pendidikan dalam masyarakat Jawa.

  c. Dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang mengenai perubahan dalam pernikahan di masyarakat Jawa pada tahun selanjutnya serta aspek-aspek yang mempengaruhinya

  2. Manfaat Praktis:

  a. Bagi para wanita Jawa yang berumah tangga, penelitian ini bermanfaat agar mereka dapat lebih memahami perubahan yang terjadi khususnya dalam relasi suami dan isteri sehingga dapat merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.

  b. Bermanfaat untuk memberikan refleksi bagi para pria Jawa yang sedang menjalani pernikahannya agar dapat lebih memahami kebutuhan isterinya dalam hal komunikasi dan dapat menjalani perannya sebagai seorang suami yang lebih terbuka terhadap perubahan emansipasi yang terjadi.

     

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pernikahan dan keluarga Jawa

  

1. Pengertian pernikahan dalam masyarakat Jawa dan posisi pernikahan

dalam budaya Jawa

  Koentjaraningrat (2007) berpendapat bahwa, orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa tengah dan Jawa Timur. Jadi, orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Sementara itu, di mata orang Jawa, menjadi orang Jawa berarti menjadi manusia berbudaya, manusia beradab, yang mengetahui tatanan Jawa (Mulder, 1985).

  Perkawinan/ pernikahan dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah fase kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga (Hadiatmaja & Endah, 2009). Peristiwa tersebut sangat penting dalam proses pengintegrasian manusia di dalam alam semesta ini. Oleh sebab itu, perkawinan disebut juga taraf kehidupan baru bagi manusia.

  Geertz (1983) menyatakan, perkawinan bagi orang Jawa merupakan pelebaran menyamping ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di dalam satu kelompok. Geertz menemukan pada praktiknya kebebasan sebenarnya secara ekonomi dan tempat tinggal dari rumah orangtua mereka bagi pasangan yang baru

   

  menikah mungkin tertunda untuk satu tahun atau lebih sesudah pernikahan, kecuali hanya apabila pada akhirnya pemisahan itu benar-benar telah terjadi, maka pasangan yang baru menikah tersebut secara sosial dipandang benar- benar telah menikah.

  Raffles (1817/   2008) mengungkapkan bahwa pernikahan pada masyarakat Jawa mengikat tanpa terkecuali. Bukan hanya pada pasangan pengantin saja, tetapi juga orangtua dan kerabat-kerabat dekat. Campur tangan para kerabat penting dilakukan di masa-masa awal ketika pasangan pengantin belum mampu mengambil keputusan secara berhati-hati dan bijaksana. Masa campur tangan teman-teman pria kepada orangtua atau penjaga sang gadis disebut tetakon (bertanya tentang).

  Lebih jauh lagi, perkawinan bagi masyarakat Jawa, diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Pengertian sakral diartikan sebagai upacara suci atau upacara yang kudus, tidak bercela, tidak bernoda, murni. Perkawinan atau pernikahan yang kita saksikan itu adalah gebyar (pancaran sinar) lahiriah (Herusatoto, 2009). Herusatoto juga menyatakan bahwa, kawin atau nikah adalah perjanjian luhur antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami isteri dengan resmi, yang sah di hadapan Tuhan dan sah di hadapan hukum sosial dengan segala kewajiban dan tanggung jawabnya di hadapan keduanya.

  Hadiatmaja dan Endah (2009) berpendapat bahwa dengan adanya pernikahan yang sakral, diharapkan kedua mempelai pengantin dapat menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut

   

  melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang sangat selektif dan hati-hati baik saat pemilihan calon menantu, maupun penentuan hari pelaksanaan perkawinan. Selain itu, karena sakralnya pernikahan dalam masyarakat Jawa, Pemberton (2003) berpendapat bahwa tahun 1950-an upacara perkawinan dalam masyarakat Jawa dilakukan dengan teliti dan sungguh-sungguh, terutama upacara mandi sampai ijab kabul sampai upacara adat.

  Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa karakteristik pernikahan dalam masyarakat Jawa, yaitu peralihan fase remaja ke masa berkeluarga, pelebaran menyamping dua kelompok himpunan yang tidak mempunyai hubungan saudara, setelah menikah tinggal terpisah dari orangtua dan membentuk keluarga secara mandiri, serta pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap sakral.

2. Usia ideal pada laki-laki dan perempuan untuk menikah

  Menurut Geertz (1983), anak laki-laki biasanya tidak menikah sampai sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga sebuah keluarga dengan layak. Biasanya laki-laki menikah pada usia antara 18-30 tahun, sangat jarang yang menikah di atas usia 30 tahun. Berbeda dengan anak perempuan yang telah dinikahkan pada usia 16 atau 17 tahun. Dibandingkan anak perempuan, anak laki-laki mempunyai kuasa yang lebih besar atas nasibnya sendiri.

   

  Gambaran Geertz tersebut mirip dengan hasil penelitian Jacoby dan Bernard (dalam Suryani, 2007), pada masa kini dibandingkan dengan pria setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orangtua, sahabat, dan bahkan teman sekerjanya. Bila hingga usia 30 tahun sang wanita tidak kunjung mendapatkan pasangan, maka biasanya orangtua, sahabat, dan teman kerjanya mulai merancang suatu pertemuan dengan seorang pria atau mencarikan jodoh melalui rubrik biro jodoh di surat kabar.

  Pada umumnya, orangtua menunggu sampai anak laki-lakinya merasa telah siap menikah dan menyampaikan hal tersebut kepada orangtuanya untuk meminta bantuan. Sering kali orangtua memberikan kesempatan kepada anak laki-lakinya untuk menunjukkan gadis yang diinginkannya, atau untuk memveto saran-sarannya. Namun, orangtuanyalah yang mengadakan segala perundingan dengan orangtua si gadis serta membuat persiapan untuk pernikahan (Geertz, 1983).

  Sikap orangtua terhadap anak laki-laki berbeda dengan sikap orangtua terhadap anak gadis. Orangtua cenderung takut anak gadisnya dibicarakan melakukan ”kumpul kebo” jika tidak segera menikah. Oleh karena tidak ada jalan melembaga untuk mengawasi anak perempuan kecuali dengan cara selalu memasang mata terhadap anaknya, maka pemecahan yang paling gampang dari masalah ini adalah mencarikan baginya seorang suami secepat-cepatnya (Geertz, 1983).

   

  Tampaknya terdapat pendapat umum bahwa jika seorang anak perempuan dibiarkan terlalu lama tidak menikah, dia akan menyerah pada gelora, dan sebagai akibatnya akan hamil. Ini bukannya terlalu tak bermoral, melainkan semata-mata merupakan peristiwa yang tak diinginkan dan merepotkan, karena kemudian timbullah kesulitan di dalam menikahkannya, lalu ayah pun mungkin harus membayar pengantin lelaki untuk mengawininya (Geertz, 1983).

  Berdasarkan pemaparan tersebut, terlihat bahwa usia ideal anak perempuan untuk menikah lebih dibatasi dibandingkan usia ideal pada anak laki-laki untuk menikah. Selain itu, pada masa kini telah terjadi peningkatan usia wanita untuk menikah, yaitu sampai usia 30 tahun. Meskipun demikian, tekanan untuk menikah dari orang-orang sekitar masih terjadi.

3. Pengertian dan karakteristik keluarga Jawa

  Menurut Koentjaraningrat (2007), sebagai kelanjutan dari adanya peristiwa perkawinan, timbul keluarga batih atau kaluwarga. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun kepala keluarga disebut kepala somah. Ia bisa seorang laki-laki, tetapi bisa juga seorang wanita, kalau si suami meninggal dunia. Bilamana ibu tidak ada lagi, maka diangkatnya sebagai kepala somah baru dari salah seorang anak atas persetujuan lainnya. Bentuk suatu keluarga sempurna terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak sedangkan keluarga yang terdiri kurang dari itu adalah keluarga yang tidak lengkap.

   

  Menurut Jay (1969), keluarga Jawa adalah sarang keamanan dan sumber perlindungan, karena di dalam keluarga, orangtua merupakan sumber pertama kesejahteraan rohani dan jasmani bagi anak.

  Terdapat dua tipe keluarga dalam keluarga Jawa, antara lain:

  a. Keluarga Inti, disebut juga keluarga batih. Keluarga batih dalam masyarakat Jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri, serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi anggotanya. Adapun seorang kepala keluarga disebut kepala somah (Koentjaraningrat, 1979, h. 333). Menurut koentjaraningrat (dalam Taryati, Harnoko, Mudjijono & Suhatno, 1994/1995), keluarga inti yang berdasarkan monogami terdiri atas, seorang suami, seorang isteri sebagai ayah dan ibu dari anak.

  Keluarga inti yang lebih kompleks bila berdasar pada poligami, yaitu apabila dalam keluarga ada lebih dari seorang isteri, sebaliknya disebut keluarga inti dimana ada seorang isteri, tetapi lebih dari seorang suami disebut keluarga inti yang berdasarkan poliandri.

  b. Keluarga luas, yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari lebih dari satu keluarga inti, tetapi seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang amat erat, dan hidup tinggal bersama pada satu tempat, dalam satu rumah atau pada satu pekarangan (Koentjaraningrat, dalam Taryati, dkk. 1994/1995). Meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri-sendiri, baik dalam anggaran belanja rumah tangga

   

  maupun dapurnya. Harus diperhatikan bahwa suatu keluarga luas tetap dikepalai oleh satu kepala somah, yaitu somah yang terdahulu (Koentjaraningrat, 2007). Geertz (1983) mengatakan, bentuk dasar sistem terminologi Jawa ialah bilateral dan generasional, bersisi dua dan turun-temurun. Arti bilateral, yaitu prinsip keturunan dengan memperhitungkan keanggotaan kelompok kekerabatan melalui garis laki-laki maupun wanita. Generasional adalah semua anggota generasi sendiri, misalnya saudara seayah-ibu dan saudara sepupu, disebut dalam istilah-istilah yang sama atau mirip.

4. Agama sebagai landasan hukum yang mengatur pernikahan

  Menurut Sujarno, dkk. (1999/2000) agama adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu sendiri. Taryati dkk. (1994/1995) juga menjelaskan bahwa agama merupakan tuntunan hidup atau jalan hidup yang dapat membina mental atau rohani, agar berkeyakinan kepada Tuhan dengan cara menjalankan atau mengamalkan ajaran agama dan menjauhi larangan- larangan agama.

  Nashir (dalam Sujarno dkk., 1999/2000) mengemukakan, ajaran agama menunjukkan bahwa perlunya keseimbangan manusia dalam usahanya mencari keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Aktualisasi dan mewujudkan keseimbangan itu, yaitu manusia harus mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan agama.

   

  Sementara dalam kehidupan di dunia ini, diwujudkan dengan hubungan suami dan isteri, mengasuh anak, hubungan sosial dengan tetangga, hubungan antar keluarga, berteman dengan orang lain, dan bermasyarakat dengan baik.