PEMAKNAAN KARIKATUR “ANCANG-ANCANG CICAK VS BUAYA (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009).

(1)

”Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo

Edisi 3-9 Agustus 2009)

PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gerlar Sarjana Pada Fisip UPN ”Veteran” Jawa Timur

Disusun Oleh :

AJI WIDODO

0543010412

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

2010


(2)

”Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo

Edisi 3 - 9 Agustus 2009)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gerlar Sarjana Pada Fisip UPN ”Veteran” Jawa Timur

Disusun Oleh :

AJI WIDODO

0543010412

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA

2010


(3)

”Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo

Edisi 3 - 9 Agustus 2009)

S K R I P S I

Disusun Oleh :

AJI WIDODO

0543010412

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(4)

Nama : AJI WIDODO

NPM : 0543010412

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah diuji dan diseminarkan pada tanggal 12 Maret 2010

Pembimbing Utama 1. Penguji I

Zainal Abidin A. S.Sos,M.Si,M.Ed Ir. H. Didiek Tranggono, MSi

NPT. 373039901701 NIP. 030 203 679

2. Penguji II

Drs. Saifuddin Zuhri MSi NPT. 947 000 035

3. Penguji III

Zaenal Abidin A, S.Sos, MSi, M.Ed NPT. 997 300 170

Mengetahui

Ketua Program Studi Komunikasi

Juwito, S.Sos, MSi NPT. 956 700 036


(5)

Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3 - 9 Agustus 2009)

Nama : AJI WIDODO

NPM : 0543010412

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing

Zainal Abidin A. S.Sos,M.Si,M.Ed NPT. 373039901701

Mengetahui Dekan

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 030 175 349


(6)

Oleh:

AJI WIDODO BUDHI DARMA 0543010412

Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 8 Juni 2010

Menyetujui

Pembimbing Tim Penguji : Pembimbing Utama 1. Ketua Penguji

Zainal Abidin A. S.Sos,M.Si,M.Ed Ir. H. Didiek Tranggono, MSi NPT. 3 7305 99 0170 1 NPT. 19581225 19900 1001

2. Sekretaris

Drs. Saifuddin Zuhri, MSi NPT. 3 6704 95 0036 1 3. Anggota

Zainal Abidin A. S.Sos,M.Si,M.Ed NPT. 3 7305 99 0170 1

Mengetahui DEKAN

Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 195507181983022001


(7)

rahmat serta hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PEMAKNAAN KARIKATUR “ANCANG-ANCANG CICAK VS BUAYA (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009)”

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan akademis bagi mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini atas bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

2. Juwito, S. Sos., MSi., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur

3. Bapak Zainal Abidin A. S.Sos, M.Si, M.Ed., sebagai Dosen Pembimbing Utama yang senantiasa memberikan waktu pada penulis dalam penyusunan skripsi penelitian ini.

4. Seluruh staf dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.


(8)

ii

maupun moril dengan tulus ikhlas dan tanpa pamrih.

6. Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini dengan baik Semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat serta karuniaNya atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Karena apabila terdapat kekurangan didalam menyusun skripsi ini, peneliti dengan senang hari menerima segala saran dan kritik demi sempurnanya skripsi ini.

Surabaya, Mei 2010


(9)

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 10

2.1.1. Majalah Sebagai Media Komunikasi Massa ... 10

2.1.2. Karikatur ... 14

2.1.3. Semiotika ... 16

2.1.4. Semiotika Charles Sanders Peirce ... 16

2.1.5. Klasifikasi Tanda ... 20

2.1.6. Komisi Pemberantasan Korupsi ... 22

2.1.7. Kasus KPK Versus Polri ... 23

2.1.8. Cicak dan Buaya ... 25

2.2. Kerangka Pikir ... 26


(10)

3.2. Kerangka Konseptual ... 29

3.2.1. Karikatur ... 29

3.2.2. Corpus ... 31

3.2.3. Unit Analisis ... 32

3.2.3.1.Ikon ... 32

3.2.3.2.Indeks ... 32

3.2.3.3.Simbol ... 33

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.4. Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 36

4.2. Penyajian Data ... 37

4.3. Analisis Data ... 38

4.4. Gambar Karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” di Majalah Tempo Edisi Agustus 2009 Dalam Model Pierce ... 39

4.5. Ikon, Indeks, Simbol ... 40

4.6. Interpretasi Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” di Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 ... 57


(11)

5.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

Gambar 2.2 Model Kategori Tanda ... 19 Gambar 2.3. Kerangka Pikir Penelitian ... 27 Gambar 4.1. Gambar Karikatur “Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya”

Dalam Kategori Tanda Pierce ... 39 Gambar 4.2. Gambar Karikatur “Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya”

Dalam Kategori Tanda Pierce (I) ... 42


(13)

(14)

(15)

CICAK VS BUAYA (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009)

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur ”Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009.

Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah komunikasi massa yang berfungsi untuk menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan dalam jumlah yang banyak. Karikatur yaitu bagian dari opini penerbit dalam bentuk gambar khusus, dan teori semiotik charles sanders pierce.

Metode deskriptif kualitatif merupakan metode pada penelitian ini dengan menggunakan analisis semiotika pierce, untuk menginterpretasikan representasi karikatur pada media cetak. Dengan metode semiotik peneliti menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol dan gambar yang ditampilkan pada karikatur.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah saat ini bangsa Indonesia mengalami hal yang saat kritis dimana dua institusi penegak hukum yang dipercaya masyarakat sedang berselisih paham atas tindakan yang dilakukan kedua belah pihak, dari sisi Polri mereka sudah berani memenjarakan dua pimpinan KPK yang saat itu sangat gencar melawan ketidakadilan yang sudah diterima masyarakat, permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.

Kata Kunci : karikatur, semiotik, kompas, ancang – ancang cicak vs buaya


(16)

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna dalam materinya, karena sesungguhnya semiotika komunikasi, seperti halnya basis studi komunikasi adalah proses komunikasi dan intinya adalah makna. Dengan kata lain, mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimana ia memasuki materi media dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri (Sobur, 2006:110).

Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah Majalah. Majalah merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11).

Majalah pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu bentuk dari pers yang mempunyai kekuatan & kewenangan untuk menjadi sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan kehidupan sosial, budaya dan politik.

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan


(17)

sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8).

Karikatur merupakan salah satu bentuk karya komunikasi visual yang efektif dalam penyampaian pesan kritik sosial. Dalam karikatur yang baik ada perpaduan unsur-unsur kecerdasan, ketajaman dan ketepatan berpikir kritis serta ekspresif dalam menanggapi fenomena kehidupan masyarakat, kritik sosial tersebut dikemas secara humoris.

Keberadaan karikatur pada majalah, bukan berarti hanya melengkapi majalah dan memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan. Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada masyarakat. Karikatur membangun masyarakat melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis. Sayangnya muatan pesan verbal dan pesan visual yang dituangkan di dalam karikatur terlalu banyak. Secara visual, desain karikatur yang disajikan pun menjadi jelek, tidak komunikatif, kurang cerdas, dan terkesan menggurui. Akibatnya masyarakat luas yang diposisikan sebagai target sasaran dari karikatur dengan serta merta akan mengabaikan pesan sosial yang ingin disampaikan oleh karikatur (http://www.desaingrafisindonesia.com/)

Menyadari pentingnya karikatur sebagai media penyampaian opini yang menarik. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan gambar karikatur “Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” dari majalah Tempo periode 3-9 Agustus 2003-9 sebagai objek penelitian dikarenakan gambar karikatur tersebut merupakan penggambaran suatu dari peristiwa yang sedang dialami


(18)

oleh bangsa Indonesia, dimana dalam pertengahan tahun 2009 terjadi ketegangan hubungan antara aparat penegak hukum di Indonesia yaitu Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Gambar karikatur tersebut menggambarkan dua ekor hewan yang didentifikasikan sebagai cicak dan buaya yang berperawakan layaknya manusia yang sedang bertarung di arena mirip pertarungan gladiator guna memperebutkan gelar sebagai pemenang sedangkan diatasnya adalah penonton yang melihat pertarungan itu yaitu sekumpulan hewan tikus yang kelihatan senang dan antusias melihat pertarungan antara kedua hewan tersebut.

Kemunculan gambar karikatur tersebut disebabkan karena pada pertengahan tahun ini masyarakat dikejutkan oleh perseteruan yang terjadi antara aparat penegak hukum di negeri ini yang sebenarya tugas mereka membasmi korupsi malah terlibat perselisihan. Perseteruan yang membuat malu aparat penegak hukum dan membuat tertawa para koruptor yang awalnya takut akan Polri dan KPK, justru dengan keadaan tersebut membuat mereka semakin tenang karena aparat yang akan mengusut kasus mereka justru sibuk dengan perselisihan mereka.

Istilah "Cicak versus Buaya" diawali statemen Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Duadji yang merasa tersinggung dengan aksi penyadapan terhadap handphone pribadinya. Ketika itu, Susno


(19)

mengistilahkan cicak untuk lembaga anti korupsi (KPK) yang menyadap telepon pribadinya. "Masak cicak kok berani lawan buaya". Ternyata ketegangan cicak dan buaya tak berhenti sampai di situ. Kini ada tindakan kejut lanjutan yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri yang melakukan pemeriksaan terhadap delapan pejabat KPK sekaligus. Kabiro Hukum KPK, Chaidir Ramli menjelaskan pemeriksaan pimpinan dan staf KPK oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri terkait dengan dugaan penyalahgunaan kewenangan KPK.

Perselisihan yang terjadi antara Polri dengan KPK banyak dimanfaatkan oleh para koruptor yang diibaratkan tikus yang korupsi, karena korupsi yang meraka lakukan tidak dihiraukan oleh Polri maupun KPK karena kedua penegak hukum tersebut sedang sibuk menyelesaikan masalah yang terjadi antara kedua aparat penegak hukum tersebut.

Dalam beberapa tahun ini kondisi hukum di negara Indonesia sangat jauh dari kata yang memuaskan bagi rakyat. Kekecewaan demi kekecewaan terus dialami. Pesta demokrasi tahun 2009 dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang dilakukan dengan harapan besar terpilihnya orang-orang baru yang duduk di pemerintahan adalah orang-orang-orang-orang yang bisa menghantarkan Indonesia pada kondisi yang lebih baik.

Berbagai dalih dilontarkan oleh para petinggi negara akan membawa negara ke arah yang lebih baik, namun kenyataan yang terjadi adalah justru makin terlihat kebobrokan dan kebohongan para pemimpin negeri ini.


(20)

Janji-janji masa kampanye tinggal Janji-janji yang tak ditepati. Slogan-slogan demi kepentingan rakyat yang digulirkan hanyalah alat untuk mendapatkan dukungan dan suara. Sehingga, setelah berkuasa agenda yang dijalankan adalah untuk memperkaya diri dan mengabdi pada sponsor penyandang dana. Maka tak heran perilaku suap menyuap di negeri ini jadi budaya yang dilestarikan. Hukum pun bisa dipermaikan oleh penguasa atau mereka yang punya uang yang menjadikannya berkuasa. Dengan uang dan kekuasaan hukum bisa mengubah yang salah jadi benar dan yang benar disalahkan. Bahkan, dengan uang dan kekuasaan para penguasa dan pengusaha korup ini tak tersentuh oleh hukum. Ditambah lagi dengan adanya mafia peradilan yang bisa memutarbalikkan fakta hingga hasil akhir pun bisa ditentukan dan akan menguntungkan bagi yang mampu membayar. Maka tidak heran jika ada sebagian rakyat yang menggunakan istilah peradilan dengan nada sinis. Misal KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) karena memang kenyataannya tak ada keadilan penerapan hukum di negeri ini. (http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/29/083410/1288699/471/potre t-buram-hukum-positif-di-indonesia)

Dimanapun, lembaga peradilan diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan dan menaruh harapan. Namun, realitanya jauh dari harapan. Justru, pengadilan dianggap sebagai tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari keadilan. Orang begitu sinis dan apatis


(21)

terhadap lembaga peradilan. Harapan akan memperoleh kebenaran dan keadilan pun pupus ketika ditemukan adanya permainan sistematis yang diperankan oleh segerombolan orang yang bernama mafia peradilan.

Pada saat yang bersamaan kita juga melihat adegan yang melukai rasa keadilan. Koruptor kakap banyak yang dibebaskan berkeliaran, sementara pencuri kelas teri hampir tak pernah lolos dari hukuman. Dalam catatan ICW, selama kurun waktu 1999 hingga 2006, ada 142 pelaku korupsi yang dibebaskan oleh 133 hakim di berbagai daerah. Pengadilan terhadap Abu Bakar Ba’asyir yang sudah berusia lanjut dan sakit-sakitan tetap dipaksakan berjalan, sebaliknya pengadilan terhadap Soeharto malah dihentikan.

Tidak hanya itu, saat ini mencari keadilan seperti mencari sebatang jarum yang hilang dalam tumpukan jerami, rumit, berbelit-belit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Menumpuknya belasan ribu perkara di Mahkamah Agung, tidak hanya menunjukkan banyaknya permasalahan hukum dan kejahatan di negeri ini, akan tetapi juga karena panjang dan berbelitnya proses peradilan. Inilah diantaranya penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) yang dilakukan oleh masyarakat khususnya terhadap kejahatan jalanan (street crimes) adalah bukti ketidakhormatan dan ketidakpercayaan mereka terhadap hukum (disrespecting and distrusting the


(22)

law)(http://rektivoices.wordpress.com/2008/08/05/kebobrokan-sistem-hukum-peradilan-indonesia/ )

Berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan studi semiotik Charles Sanders Peirce dalam karikatur ”Ancang– Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009. Semiotik Peirce menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya.

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema ”Ancang–Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda–tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya karikatur tersebut, dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna.

Dengan demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan. Dalam teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang dirujuknya. Hubungan tersebut


(23)

membuahkan interpretan. Kemudian diinterpretsikan dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol). Ikon dalam karikatur ”Ancang–Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 adalah dua orang petarung gladiator yang mirip hewan cicak dan buaya, beberapa penonton yang mirip hewan tikus. Indeks dalam karikatur yang dimuat adalah teks ancang-ancang Cicak vs Buaya. Sedangkan simbol dalam karikatur ini adalah tameng, pedang, baju gladiator dan gada.

Dari latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti tentang pemaknaan karikatur ”Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pemaknaan karikatur ”Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 ?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur ”Ancang – Ancang Cicak vs Buaya” Pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2003-9.

1.4.Kegunaan Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


(24)

1. Kegunaan Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi kepustakaan bagi Universitas Pembangunan Nasional terutama mengenai penelitian yang berkaitan dengan komunikasi massa khususnya pengaruh media massa terhadap khalayak.

2. Kegunaan Praktis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pembaca untuk lebih membuka wawasan tentang pemaknaan terhadap gambar khususnya karikatur pembaca diajak berpikir, dan memahami pesan-pesan yang tersurat dan tersirat dalam gambar tersebut.


(25)

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Majalah Sebagai Media Komunikasi Massa

Kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif. (http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/)

Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media (Effendy, 2003:80).

Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.


(26)

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang dilakukan melalui media massa modern meliputi majalah yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop (Effendy, 2003:79).

Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya. Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan oleh teknologi modern. (Nurudin, 2007:4)

Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun kenyataannya media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu. Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula dapat mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat.


(27)

Hal tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam waktu pendek sehingga dengan cepat dapat mempengaruhi mereka, namun juga memberi efek dalam waktu yang lama, sehingga memberi dampak pada perubahan-perubahan dalam waktu yang lama.

McQuail dalam Bungin (2006 : 320) menjelaskan bahwa : “Efek media massa memiliki andil dalam pembentukan sikap, perilaku, dan keadaan masyarakat. Antara lain terjadinya penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat berubah dari tradisional ke modern. Selain itu, media massa juga mampu mengubah masyarakat dari kota sampai ke desa, sehingga menjadi masyarakat konsumerisme.”

Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah Majalah. Majalah merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, informasi yang patut diketahui oleh konsumen pembaca, artikel, sastra, dan sebagainya yang menurut kala terbitnya dibedakan atas majalah bulanan, majalah tengah bulanan, majalah mingguan dan sebagainya.

Majalah lazimnya berjilid, sampul depannya dapat berupa ilustrasi foto, gambar atau lukisan tetapi dapat pula berisi daftar isi atau artikel utama serta kertas yang digunakan lebih mewah dari surat kabar. Majalah


(28)

sebagai salah satu bentuk dari media massa yang sangat perlu diperhatikan keheterogenan pembaca yang merupakan ciri dari komunikasi massa. Majalah adalah terbitan berkala yang berita bacaannya ditujukan untuk umum dan ditulis oleh beberapa orang dengan bahasa yang popular sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Menurut Junaedhie ( 1991:54), dilihat dari isinya majalah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

a. Majalah Umum

Majalah yang memuat karangan-karangan, pengetahuan umum, komunikasi yang menghibur, gambar-gambar, olahraga, film dan seni.

b. Majalah Khusus

Majalah yang hanya memuat karangan-karangan mengenai bidang-bidang khusus seperti majalah keluarga, politik dan ekonomi.

Majalah pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu bentuk dari pers yang mempunyai kekuatan & kewenangan untuk menjadi sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan kehidupan sosial, budaya dan politik.

Menurut Sumadiria (2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :


(29)

1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual, akurat, faktual dan bermanfaat.

2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.

4. Fungsi Kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat atau negara.

5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan yang lain.

2.1.2. Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:138)


(30)

Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan Majalah adalah political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139)

Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8)

Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaiamana dia memilih topik isu yang tepat. (Sobur, 2006:140)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik. (Sobur, 2006:140).


(31)

2.1.3. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semilogi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonsitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001 dalam Sobur, 2006:15)

2.1.4. Semiotik Charles Sanders Peirce

Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi. Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara ketiganya disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi logika tanda, maka Saussure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan


(32)

menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna seperti yang dikemukakan oleh Peirce. (Bintoro, 2002:12)

Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema ”Keserakahan Koruptor” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan.

Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Peirce menelaskan modelnya sebagai berikut:

”A sign is something which stands to somebody for something in the respect or capacity. It addresses somebody,that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign for something, its object.


(33)

Tanda adalah sesuatu yang memberi arti atas sesuatu bagi seseorang. Tanda ditujukan kepada seseorang, karenanya membuat seseorang menciptakan tanda yang ekuivalen atau tanda yang lebih berkembang di dalam benaknya. Tanda yang diciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda yang pertama. Tanda memberi arti atas sesuatu yang disebut obyek.” (Fiske, 1985:45)

Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga seperti berikut:

Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce

Sumber: Fiske (1990:42)

Sign

Interpretant Obyek

Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam hubungannya antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tanda merujuk pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh seseorang. Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep mental yang diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda terhadap sebuah obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit


(34)

dipahami. Interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2. Model Kategori Tanda Icon

Index Simbol

Sumber: Fiske (1990:47)

Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:

1. Ikon

Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau yang ada dalam peta tersebut.


(35)

2. Indeks

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya adalah asap sebagai tanda adanya api.

3. Simbol

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional. (Sobur, 2003:41)

2.1.5. Klasifikasi Tanda

Charles Sanders Pierce terkenal dengan teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce seringkali mengulang ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Untuk itu Pierce membagi tanda menjadi sepuluh jenis, selengkapnya sebagai berikut :

1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras

menunjukkan kualitas tanda. Gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 yaitu orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus.

2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 yaitu tameng, pedang, baju gladiator, gada.


(36)

Adanya macam-macam iconic sinsign yang terdapat pada gambar karikatur tersebut memiliki kemiripan dengan orang yang sedang maju untuk berperang pada zaman dulu dengan adanya tameng dan pedang hal ini dapat diartikan bahwa senjata yang digunakan masih berada masa zaman lampau tidak sesuai dengan senjata jaman sekarang.

3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman

langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan sesuatu. Misalnya : orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus adalah seorang yang diibaratkan sebagai seseorang yang mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai pengaruh yang besar pula terhadap pemerintahan, dengan mirip tikus berarti dapat diibaratkan bahwa tikus ini seperti seorang koruptor yang bisanya hanya menghabiskan uang rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.

4. Discent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang

sesuatu. Misalnya : misalnya kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK.

5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum.

Misalnya : kasus-kasus yang ditangani oleh POLRI.

6. Rhematic Indexica Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada obyek

tertentu. Misalnya : perseteruan antara Polisi dan KPK yang akhir-akhir ini sedang terjadi.

7. Dicent Indexica Legisign, tanda yang bermakna informasi dan menunjuk

subjek informasi. Misalnya. Perseteruan antara KPK dengan POLRI.

8. Rhematic Symbol atau Symbolic Rheme, yakni tanda yang dihubungkan


(37)

karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009.

9. Dicent Symbol atau Proposion (proporsi) adalah tanda yang langsung

menghubungkan dengan obyek melalui asosiasi dalam otak. Misalnya cicak dengan buaya.

Argument, yakni tanda yang merupakan inferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Misalnya : para koruptor yang senang dengan perseteruan antara KPK dengan Polri.

2.1.6. Komisi Pemberantasan Korupsi

Indonesia merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian bahwa Indonesia tergolong dalam kelompok Negara berkembang. Dalam proses perkembangan itu, Indonesia mencoba mensejajarkan diri dengan Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu mencapai kemajuan. Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya disbanding dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan.

Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu sendiri yang dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elit politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan. Oleh karena banyak kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut.


(38)

Seakan-akan mereka haus Seakan-akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanSeakan-akan tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.

Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung korup itu, maka dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani masalah korupsi. Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan penuh untuk melacak dan menangkap para pelaku korupsi yang telah terbukti melakukannya. Yang dalam perekrutan anggotanya harus benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi serta perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban untuk memberantas korupsi sebagaimana mandat Undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.

Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun.

2.1.7. Kasus KPK Versus Polri

Polri dan KPK, yang menjadi isu hangat di masyarakat sebagai drama 'Cicak vs Buaya' jadi perhatian saat ini. kemunculan Cicak menjadi perhatian unik tatkala Cicak dikatakan akan melawan Buaya. Yang pasti,


(39)

bukanlah cicak dan buaya yang sesungguhnya. Cicak merupakan gerakan Cinta Indonesia Cinta KPK yang muncul sebagai respons pernyataan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Polisi Susno Duadji dalam wawancara majalah Tempo Edisi 6-12 Juli 2009 yang mengatakan KPK sebagai Cicak, sementara Kepolisian adalah Buaya. Kedua lembaga penegak hukum itu saling membongkar keterlibatan oknum pejabat mereka dalam kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan dan jabatan.

Kepolisian memeriksa tiga orang Komisi Pemberantasan Korupsi. Termasuk diantaranya Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Khaidir Ramli. Mereka diperiksa terkait dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua Bidang Penindakan, Chandra M Hamzah. Pemanggilan tersebut oleh penyidik guna meminta keterangan terkait penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan pimpinan KPK tersebut. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474)

Pihak Polri telah memanggil empat pimpinan KPK untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus testimoni yang disampaikan Antasari Azhar. Para pimpinan KPK itu diperiksa sebagai saksi atas kasus pelanggaran pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yakni dugaan penyalahgunaan wewenang. Sementara KPK juga memeriksa Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji terkait kasus Bank Century. Sebelumnya diberitakan bahwa kepolisian telah menangani dugaan penggelapan, sehingga bank tersebut berada dalam masalah modal.

Ditetapkannya status tersangka terhadap dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan tindakan salah alamat. Dalam


(40)

kasus ini pendekatan pidana dinilai tidak tepat. Jika kasus ini diproses secara pidana, maka akan menimbulkan kekacauan hukum karena di antara para penegak hukum satu sama lain saling memproses kewenangan-kewenangan tiap lembaga penegak hukum. Karena di antara penyidik saling proses kewenangan, ini bisa menjadi dasar penyidik lain untuk memproses juga. masalah kewenangan tersebut harusnya diajukan melalui forum pra-peradilan jika dianggap tidak sesuai prosedur, rehabilitasi, atau kompensasi. (http://www.tribun-timur.com/read/artikel/51474).

2.1.8. Cicak dan Buaya

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Di luar bentuknya yang purba, buaya sesungguhnya merupakan hewan melata yang kompleks. Tak seperti lazimnya reptil, buaya memiliki jantung beruang empat, sekat rongga badan (diafragma) dan cerebral cortex. Pada sisi lain, morfologi luarnya memperlihatkan dengan jelas cara hidup pemangsa akuatik. Tubuhnya yang "streamline" memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan juga di luar air. Binatang ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (pounds per square inch; setara dengan 315 kg/cm²). Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam sekaligus menggigit mangsanya itu, kemudian menariknya


(41)

dengan kuat dan tiba-tiba ke air. Cakar dan kuku buaya pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu mudah menyerang ke samping atau ke belakang. Buaya memangsa ikan, burung, mamalia, dan kadang-kadang juga buaya lain yang lebih kecil. Reptil ini merupakan pemangsa penyergap; ia menunggu mangsanya hewan darat atau ikan mendekat, lalu menerkamnya dengan tiba-tiba (www.wikipedia.com).

Cicak termasuk hewan melata. Cicak dapat merayap di dinding tanpa terpeleset. Hal ini karena cicak memiliki ciri khusus berupa telapak kaki dengan sistem perekat.Sistem perekat ini dibangun oleh telapak kaki yang beralur paralel. Dengan alur yang dimiliki, memungkinkan cicak dapat menempelkan kakinya di dinding dan berjalan tanpa terpeleset. Ciri lain dari cicak adalah kemampuan memutuskan ekornya. Hal ini dilakukan cicak untuk melindungi diri dari musuhnya. Cicak akan memutuskan ekor, kemudian ekor tersebut akan bergerak-gerak untuk mengalihkan perhatian musuh. Sementara itu, cicak dengan ekor yang putus akan leluasa untuk meloloskan diri. Untuk memperoleh makanan, cicak mempunyai ciri khusus berupa lidah yang panjang dan lengket. Bentuk lidah ini digunakan untuk menangkap mangsa berupa serangga yang terbang (e-smartschool.co.id).

2.2. Kerangka Pikir

Perseteruan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin memanas. Kedua lembaga hukum itu mulai menunjukkan “perang


(42)

terbuka”. Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini berusaha mengungkap makna yang terkandung pada karikatur Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009, maka peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda lambang dengan menggunakan metode semiotik Peirce, sehingga akhirnya diperoleh hasil dan interprestasi data mengenai Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema Realitas Dalam Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” sebagai sesuatu yang berarti dalam proses pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan tanda –tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah karikatur. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam pemerintahan yang dipandang, dituangkan dan dinilai oleh masyarakat.

Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat digambarkan dalam bentuk bagan:

Gambar 2.3. Karikatur

”Ancang-Ancang Cicak Vs Buaya” pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 Analisis kualitatif dengan pendekatan semiotika Peirce:  Ikon  Indeks  Simbol Hasil interpretan peneliti


(43)

3.1. Metode Penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik Pierce, untuk menginterprestasikan representasi karikatur pada media cetak yaitu pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009, yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah Ancang-Ancang Cicak vs Buaya yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2003-9.

Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social diseputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the nature atau kealamiahan dan culture meaning atau makna cultural dari artifact atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual/bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik. Dengan menggunakan metode semiotic, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi simbol- simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan di dalam majalah. Analisis semiotik termasuk dalam


(44)

metode kualititaf. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk mengetahui pemaknaan karikatur di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2003-9.

Dalam penelitian ini menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004 : 15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang gambar dalam karikatur. Pendekatan semiotik termasuk dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk mengetahui representasi karikatur pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009.

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Karikatur

Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal, dengan “mempercantiknya” dengan penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:138).

Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan Majalah adalah political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari


(45)

editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139).

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik. (Sobur, 2006:140).

Beberapa gambar yang menjadi simbol utama karikatur Ancang-Ancang Cicak vs Buaya di majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah binatang cicak dan buaya. Berikut ini adalah makna dari simbol utama tersebut.

a. Cicak

Cicak termasuk hewan melata. Cicak dapat merayap di dinding tanpa terpeleset. Hal ini karena cicak memiliki ciri khusus berupa telapak kaki dengan sistem perekat. Makna khusus dari cicak adalah binatang reptil yang berukuran lebih kecil dan menjadi mangsa dari binatang reptil lainnya yang berukuran lebih besar. Dalam penelitian ini simbol cicak adalah Institusi KPK.

b. Buaya

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Di luar bentuknya yang purba, buaya sesungguhnya merupakan hewan melata yang kompleks. Makna khusus dari buaya adalah binatang jenis reptil


(46)

yang berukuran lebih besar dan menjadi pemangsa bagi binatang lainnya. Dalam penelitian ini simbol buaya adalah Institusi POLRI. c. Langit

Langit adalah bagian atas dari permukaan bumi, dan digolongkan sebagai lapisan tersendiri yang disebut atmosfer. Langit terdiri dari banyak gas dan udara, dengan komposisi berbeda di tiap lapisannya. Langit sering dilihat berwarna biru, disebabkan karena pemantulan cahaya, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa langit bisa berwarna selain itu, misalnya merah ketika senja, atau hitam saat turun hujan d. Baju Putih

Adalah baju yang berwana putih yang berarti suci dan bersih dan bisa juga diartikan baju yang tanpa noda sedikitpun.

e. Tanah

Adalah bagian kerak bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik tempat manusia berpijak, tempat untuk mendirikan bangunan 3.2.2. Corpus

Penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisa dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan.2001:7).

Corpus adalah kata lain dari sampel, bertujuan tetapi khusus digunakan untuk analisis semiologi dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi


(47)

alternatif. Corpus dari penelitian ini adalah karikatur “Ancang-Ancang Cicak vs Buaya pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009.

3.2.3. Unit Analisis

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009, kemudian diinterpretsikan dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan symbol (symbol).

3.2.3.1.Ikon

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah dua orang gladiator yang mirip hewan tikus dan buaya dan beberapa penonton yang mirip hewan tikus.

3.2.3.2. Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah Ancang-Ancang Cicak vs Buaya.


(48)

3.2.3.3.Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa tikus, langit, baju putih, tanah merah, tameng kaki serta sepatu gladiator.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi dan mengamati karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 secara langsung serta melakukan studi pustaka untuk melengkapi data-data dan bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.

3.4. Teknis Analisis Data

Analisis Semiotika pada corpus penelitian pada karikatur ”Acang-Ancang Cicak vs Buaya” setelah melalui tahapan pengkodean maka selanjutnya peneliti akan menginterpretasikan tanda-tanda tersebut untuk ditahui pemaknaannya.

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam karikatur, kemudian memaknai


(49)

dan menginterpretasikannya dengan menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari :

1. Obyek

Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah karikatur pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009.

2. Sign

Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign dalam penelitian ini adalah hewan tikus, hewan buaya, .

3. Interpretant

Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi dari peneliti.

Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Ikon (Icon)

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus, orang mirip hewan cicak dan beberapa penonton sedang seru menonton pertandingan gladiator yang mirip hewan tikus.


(50)

2. Indeks (Index)

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya.

3. Simbol (Symbol)

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 ini adalah tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa tikus, langit, baju putih, tanah merah, tameng kaki serta sepatu gladiator.


(51)

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang merupakan majalah pertama yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah.

Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994 dan kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan Koran Tempo.

Pelarangan terbit majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan Tabloid Editor (tabloid) dan Tabloid Detik (tabloid)), tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara". Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyetujui pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia.


(52)

4.2. Penyajian Data

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap gambar karikatur ”ancang-ancang Cicak vs Buaya” yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 disajikan hasil pengamatan terhadap gambar karikatur tersebut. Dalam tampilan gambar karikatur tersebut terdapat pesan verbal. Pesan verbalnya adalah terdapat terdapat sebuah arena pertandingan gladiatro dimana ada dua orang yang melambangkan sebagai buaya dan cicak, dari sisi cicak digambarkan seorang yang bertubuh kecil dan hanya membawa sebuah pedang, sedangkan yang digambarkan sebagai buaya adalah orang yang bertubuh besar dengan bersenjatakan gada dan tameng, mereka berdua sedang mengadu kekuatan dan disaksikan tikus – tikus yang digambarkan sebagai koruptor – koruptor, seorang yang digambarkan sebagai cicak mempunyai sikap ancang – ancang untuk menyerang lawan sedangkan orang yang digambarkan dengan ekor buaya sedang menghadapi serangan yang diberikan oleh cicak, meskipun cicak bertubuh kecil tetapi mempunyai otot kekuatan yang sangat besar sampai bisa mengalahkan seekor buaya.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada gambar karikatur ”ancang-ancang Cicak vs Buaya” yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009, akan disajikan hasil pengamatan dari gambar karikatur ”ancang-ancang Cicak vs Buaya” yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009.


(53)

4.3. Analisis Data

Gambar karikatur keserakahan tersebut membagi tanda menjadi tiga kategori yaitu :

1. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus, orang mirip hewan cicak dan beberapa penonton sedang seru menonton pertandingan gladiator yang mirip hewan tikus.

2. Indeksnya adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 adalah Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya.

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda keserakahan dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat abitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 ini adalah tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa tikus.


(54)

Gambar 4.1.

Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” Dalam Kategori Tanda Pierce

Index :

Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya

Simbol : tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa

tikus Icon :

orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus, orang mirip hewan cicak dan beberapa penonton sedang seru menonton pertandingan gladiator yang mirip hewan tikus

Dalam menganalisa hubungan antara tanda dan acuannya berdasarkan studi semiotik Pierce, yaitu Ikon (Icon), Indeks (Index) dan Simbol (Symbol), maka peneliti akan menginterpretasikan segala bentuk pemaknaan yang terdapat dalam gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya”, baik berupa makna denotatif dan makna konotatif.

4.4. Gambar Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Vs Buaya” di Majalah Tempo Edisi Agustus 2009 Dalam Model Pierce

Menurut Pierce, sebuah tanda itu adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Dalam pendekatan semiotic model Charles Sanders Pierce,


(55)

diperlukannya adanya sebagai model analisis yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant). Menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, karena tanda itu sendiri adalah pencitraan indrawi yang menampilkan pengertian dari obyek yang dimaksudkan, sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda.

4.5. Ikon, Indeks, Simbol

Dalam pendekatan semiotic pierce terdapat tiga komponen yaitu, Tanda (Sign), Obyek (Object) dan Interpretan (Interpretant). Sebagai interpretan, peneliti menganalisa gambar ” Ancang-ancang Cicak vs Buaya yang dimuat di Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 yang dijadikan korpus (sampel terbatas) dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model semiotic Charles Sanders Pierce yang membagi tanda atas tiga bagian kategori yaitu ikon (icon), Indeks (index) dan simbol (Symbol) sehingga akan diperoleh interpretasi dari gambar melalui kategori tersebut.

Dalam menganalisa hubungan antara tanda dengan acuan tanda berdasarkan model Charles Sanders Pierce yang membagi tanda menjadi ikon (icon), Indeks (index) dan simbol (Symbol), maka peneliti akan mengkaji tanda yang berupa gambar gambar tersebut.


(56)

Interpretasi yang dilakukan terhadap ” Ancang-ancang Cicak vs Buaya yang dimuat di Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009 akan menampakkan makna yang tersirat di dalamnya. Gambar ini merupakan suatu bentuk sistem tanda yang merujuk pada sesuatu diluar tanda itu sendiri.

Dalam pendekatan semiotik Charles Sanders Peirce terdapat tiga unsur yaitu ikon, indeks dan simbol. Oleh karena itu peneliti akan menginterpretasikan makna pesan berdasarkan unsur – unsur tersebut. Dalam gambar karikatur ”Ancang-ancang Cicak vs Buaya”, yang menjadi Ikonnya adalah orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus, dan beberapa penonton sedang seru menonton pertandingan gladiator yang mirip hewan tikus. Indeks dari gambar karikatur ”Ancang-ancang Cicak vs Buaya” adalah teks Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya. Dan Simbol dari gambar karikatur ” Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” ini yaitu tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa tikus.

Gambar karikatur ” Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 ini apabila digambarkan kedalam model semiotika dari Charles Sanders Peirce adalah sebagai berikut :


(57)

Gambar 4.2.

Gambar Karikatur ” Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” Dalam Kategori Tanda Peirce (I)

Icon : orang mirip hewan buaya, orang mirip hewan tikus, orang mirip hewan cicak dan

beberapa penonton sedang seru menonton pertandingan gladiator

yang mirip hewan tikus

Index :

Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya

Simbol : tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung, gelas yang dibawa

tikus

Interpretasi gambar yang dilakukan terhadap Gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2003-9 terlihat makna yang tersirat di dalam gambar karikatur tersebut. Gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 merupakan suatu bentuk sistem yang merujuk pada sesuatu di luar tanda itu sendiri dimana hal tersebut tersirat di dalam gambar karikatur ” Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009. Gambar karikatur ”


(58)

Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang ada di Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 tersebut digunakan oleh peneliti untuk menginterpretasikan sistem tanda dalam penelitian ini.

1. Ikon

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Hewan mirip cicak dan buaya dalam karikatur ini merupakan ikon dari institusi hukum di Indonesia yang menangani kasus korupsi tetapi pad kenyataannya antara Polri dan KPK sekarang terjadi perselisihan, kemudian hewan tikus adalah hewan yang diibaratkan sebagai para koruptor yang tertawa dengan senang karena institusi hukum yang mau menangkap mereka malah berselisih sendiri, dimana tanda ikon ini mempunyai kemiripan / ciri yang serupa sekaligus sebagai pemaknaan (perwakilan) langsung sebagai model dalam karikatur tersebut.

Ikon dalam gambar karikatur ”Ancang-ancang Cicak vs Buaya” yang ada di Majalah Tempo Edisi 3-9 agustus 2009 adalah Orang Mirip Hewan Buaya, dalam hal ini orang mirip hewan buaya adalah buaya sendiri adalah hewan yang kuat dan mempunyai kulit yang kasar, serta hewan buaya ini adalah salah satu hewan buas yang bisa memakan hewan yang lebih besar dari dirinya, dengan tubuh yang kuat serta cengkraman rahang yang besar maka musuh – musuhnya pun bisa dilahap dengan cepat, dan untuk buaya dari gambar karikatur tersebut dapat diartikan bahwa pertarungan yang


(59)

terjadi merupakan pertarungan yang tidak seimbang, akan tetapi secara institusi keduanya adalah penegak keadilan untuk rakyat, karena memang saat ini keadilan sangat sulit didapatkan oleh orang kalangan bawah, sehingga terjadi pertentangan dari sisi institusi tersebut, akan tetapi pertempuran tersebut juga tidak menguntungkan rakyat kecil justru makin menguntungkan para koruptor – koruptor yang saat ini sedang terlibat dalam berbagai kasus, hal inilah yang mendorong terjadinya penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis yang saaat ini sudah terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Saat ini Masyarakat menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.

Orang Mirip Hewan Cicak yang digambarkan dalam karikatur ini yang menandakan bahwa cicak adalah hewan kecil yang hanya mempunyai sifat diam ketika tidak diganggu dan ketika diganggu dia malah lari, selain


(60)

itu hewan ini tubuhnya sangat licin mungkin dikarenakan memang hewan ini adalah salah satu hewan melata yang kecil, serta lidahnya yang panjang banyak bermanfaat buat dirinya dalam memangsa musuhnya dan dengan tubuh yang kecil mampu cepat menghindar dari kejaran musuh yang mungkin lebih besar daripada dirinya, hal inilah yang ada pada diri KPK, institusi ini tidak pernah mengadakan perlawanan yang berarti, mereka seakan – akan takut terhadap penegak hukum lainnya, padahal di belakang mereka ada rakyat yang terus selalu mendukung untuk kebersihan bangsa Indonesia, dari sisi intitusi memang sudah tugasnya, akan ettapi dari sisi pegawai yang ada di dalamnya mereka seakan – akan tidak ada gregetnya, dan tidak mempunyai kekuatan yang nantinya bisa menyenangkan hati rakyat Indonesia yang saat ini sudah banyak terluka oleh tingkah polah para koruptor yang semakin hari semakin merajalela dan tidak ada yang menghentikan mereka kecuali nantinya rakyat yang akan bergerak menghancurkan mereka sendiri.

Orang Mirip Tikus Yang Menonton Pertandingan, dapat diartikan bahwa tikus – tikus ini adalah sejenis hewan yang menjijikan yang selalu berada di kubangan yang kotor – kotor, serta tikus ini sudah banyak membuat susah manusia dengan tingkah lakunya yang selalu membawa kotoran kemana – mana, bentuk tubuh dari tikus ini juga sangat tidak bagus banyak dipenuhi luka – luka dan tidak bisa dipelihara, dan dalam gambar ini tikus digambarkan sebagai seorang koruptor yang sangat senang dengan pertempuran yang dilakukan oleh intitusi penegak keadilan tersebut, kasus –


(61)

kasus yang ditangani bisa berhenti dan para koruptor bisa dengan leluasa melarikan diri ke negara lain tanpa bisa terlacak lagi, dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatu perkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum. Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa, berubah menjadi pencari kebebasan dan keputusan seringan mungkin dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu, dari skenario tersebut, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.

2. Indeks

Indeks merupakan tanda yang hadir secara asosiatif akibat adanya suatu hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal


(62)

(hubungan sebab-akibat), atau tanda yang secara alamiah mengacu pada kenyataan atau tanda sebagai bukti. Pada corpus ini ditunjukkan dengan adalah teks Ancang-Ancang Cicak vs Buaya.

Teks ”Ancang-ancang Cicak vs Buaya” yang terdapat pada karikatur tersebut dapat diartikan bahwa ancang – ancang ini merupakan persiapan dalam setiap tindakan kalau cicak vs buaya merupakan KPK vs Polri sehingga dapat disimpulkan bahwa KPK sedang bersiap – siap menghadapi serangan yang dilakukan oleh Polri kepada dirinya, padahal kesemuanya itu adalah sama – sama institusi penegak keadilan yang fungsinya adalah membrikan keadilan kepada pihak – pihak yang benar dan memberikan hukuman kepada pihak – pihak yang bersalah, akan tetapi inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk


(63)

mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia. Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.

3. Simbol

Simbol merupakan tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya yang bersifat arbiter (semena). Dalam simbol tidak ada hubungan atau kemiripan antara tanda dengan obyeknya, sebuah simbol dikomunikasikan hanya karena manusia sepakat bahwa simbol itu menunjukkan sesuatu. Adapun yang menjadi simbol dalam


(64)

karikatur yang dimuat di Majalah Tempo Edisi Agsutus 2009 adalah tameng, pedang, baju gladiator, gada, pagar, gedung serta gelas yang dibawa tikus.

Gambar Tameng dalam karikatur yang dimuat di Majalah Tempo Edisi Agustus 2009, hal tersebut dapat menjelaskan bahwa tameng adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri dari musuh agar tidak terluka. tameng biasanya digunakan untuk berperang, tameng ini adalah senjata tradisional yang sampai sekarang masih digunakan karena memang dengan fungsinya tameng ini banyak bermanfaat untuk melindungi seluruh tubuh dari serangan yang dilancarkan oleh musuh, karena dalam hal ini perang yang ada adalah perang urat syaraf antara KPK dan Polri maka tameng tersebut merupakan statemen – statemen yang dikeluarkan oleh dua institusi tersebut dalam perselisihan mereka di arena publik, mereka berusaha mencari siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal ini KPK menjadi institusi yang sangat disenangi oleh masyarakat, beda dengan Polri yang menurut masyarakat bertindak sewenang – wenang dalam melakukan tindakan penangkapan hal ini terjadi pada kedua orang ketua KPK yang sudah dijebloskan ke dalam penjara, namun atas usulan dari berbagai kalangan masyarakat akhirnya mereka dilepaskan dari dalam penjara, meskipun akhirnya mereka tidak lagi mengadakan perlawanan terhadap pihak Polri, itu karena takut atau ada tekanan dari pihak yang lain.


(65)

Selanjutnya untuk Pedang, hal ini dapat menjelaskan bahwa pedang merupakan persenjataan yang digunakan oleh orang yang sedang dalam peperangan untuk memenangkan pertandingan, akan tetapi pedang tersebut adalah senjata tradisional yang mungkin menurut orang awam senajata tersbeut mempunyai kekuatan sendiri apabila yang membawa juga memiliki kekuatan. Dalam hal ini pedang yang dibawa oleh mirip hewan cicak yaitu KPK merupakan senjata yang dimiliki oleh KPK saat ini, senjata itu akan melawan senjata yang dibawa oleh Polri yaitu gada yang sangat besar dari sisi ukuran saja sudah bisa dilihat bahwa senjata pedang hanya senjata yang kecil dan tidak mempunyai kekuatan sama sekali kalau dibandingkan dengan gada, akan tetapi kakuatan yang sebenarnya dari KPK bukanlah terletak pada pedang yang dibawanya akan tetapi kekuatan pada diri manusianya dan rakyat yang membelanya.

Selajutnya Baju Gladiator dalam gambar karikatur tersebut menunjukkan bahwa baju ini merupakan baju perang yang dipakai pada jaman romawi ketika pasukan roma sedang berperang, baju ini untuk perlindungan tubuh yang saat sekarang bisa disebut rompi anti peluru, dengan adanya baju tersbut manusia yang memakainya bisa terlindung dari senjata yang dipakai pada zaman itu, akan tetapi baju yang dipakai orang cicak tersebut merupakan baju pejuang yang rela mati demi negaranya, hal inilah yang menjadi kekuatan dalam diri KPK beda dengan baju yang dipakai buaya, baju tersebut seakan – akan seperti baju kebesaran yang


(66)

dipakai oleh kalangan bangsawan, dari sisi inilah bisa dilihat perbedaan kasta dan kekuatan yang terjadi.

Selanjutnya untuk Gada dalam gambar karikatur tersebut dapat menggambarkan bahwa senjata yang dipakai Polri sangat besar dan kuat dan senjata tersebut menjadi kekuatan tersendiri dari pihak Polri, senjata tersebut adalah senajat yang biasanya dipakai oleh kaum – kaum yang serakah terhadap apa yang sudah dimilikinya, dan cocok sekali jika digunakan oleh orang yang berbadan besar mengingat gada ini juga bentuknya sangat besar, memang senjata ini bukan tergolong senjata tajam, akan tetapi kalu sudah terkena benda ini rasa sakitnya melebihin terkena senjata tajam, hal inilah yang menjadi dorongan terkuat dari diri Polri bahwa mereka dapat mengalahkan KPK hanya dengan sekali pukulan atau yang biasa disebut dengan tindakan cepat.

Untuk gambar Pagar hal ini dapat dikatakan bahwa pagar merupakan sebuah alat perlindungan yang sekarang banyak dipakai di lingkungan kita, akan tetapi dari sisi karikatur ini pagar yang ada dapat diartikan bahwa untuk melindungi orang – orang yang sedang menyaksikan pertarungan antara cicak vs buaya tersebut, karena memang pertandingan yang ada tersebut sifatnya semakin memanas maka dibutuhkan pagar yang bisa melindungi seluruh rakyat, mengingat keduanya sama – sama dari institusi penegak hukum.


(67)

Selanjutnya untuk Gedung dapat diartikan bahwa sebuah tempat untuk melakukan sebuah acara lebih tepatnya sebuah pertandingan, saat ini pertandingan yang digelar adalah pertarungan antara cicak vs buaya yang sudah sangat lama sekali pertarungan ini digelar di arena publik, hal ini karena memang penegakan Hukum di Indonesia masih kurang baik sehingga perlu pantauan dari sisi masyarakat, hal ini dapat dikatakan dari banyak studi kasus yang terjadi di belahan daerah Indonesia yang masih memandang sebelah mata tentang hukum di Indonesia yang dapat dikatakan kurang adil. Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan. Begitulah kira-kira statement yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan sedang terjadi saat ini di Indonesia. Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum yang kurang baik dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.

Gelas Yang Dibawa Tikus dalam gambar karikatur tersebut dapat diartikan bahwa tikus yang membawa gelas adalah koruptor yang sedang


(68)

merayakan kemenangan atas inisiatifnya mengadu domba dua institusi pemerintahan pembela rakyat, hal inilah yang menjadi senjata tikus tersebut untuk melarikan diri dari penegak hukum tersebut dengan adanya kasus yang membelit dua intitusi tersbeut, para koruptor seakan bisa bebas sementara dan bisa melarikan diri dari kejaran kasus yang membelitnya, dengan digambarkannya segerombolan tikus yang sedang membawa gelas dapat dilihat bahwa mereka bisa nyaman menikmati hasil korupsi mereka yang diambil dari uang rakyat untuk kepentingan mereka sendiri dan tidak menghiraukan rakyat yang sedang mengalami kesusahan.

Langit dalam gambar karikatur tersebut dapat diartikan bahwa dalam karikatur tersebut memang langit digambarkan berwarna biru kehitam – hitaman yang dapat diartikan bahwa suasana saat itu memang sangat kelam dan sudah banyak hal – hal buruk yang tertutupi, karena memang saat ini KPK mengusut kasus yang sudah gelap dan telah banyak disembunyikan oleh POLRI, karena memang meskipun saat ini sama – sama sebagai penegak hukum, akan tetapi prinsip mereka berbeda di mata pejabat, karena memang pihak KPK ini sudah siap menghadapi segala rintangan yang dilekukan oleh POLRI yang memang menutupi segala permasalahan.

Baju Putih dalam gambar karikatur tersebut dapat diartikan bahwa memang baju putih tersebut hanyalah sebuah kedok dari seorang koruptor yang memang sudah mengingikan kekuasanaan dengan adanya baju putih tersebut memang hanyalah tampak luar saja padahal tampak dalamnya sudah


(1)

57

formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Akhirnya, kita hanya dapat berharap agar ditahun ini dan ke depannya pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan tentram dalam bernegara dan berbangsa khususnya di Indonesia.

4.6. Interpretasi Pemaknaan Keseluruhan Gambar Karikatur “Ancang-ancang Cicak vs Buaya ” Di Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009.

Gambar karikatur pertarungan merupakan gambar karikatur yang terdiri dari gambar hewan cicak dan buaya, teks ancang-ancang cicak vs buaya. Dimana unsur-unsur tersebut merupakan suatu bentuk yang identik dari suatu realitas sosial yang terjadi di dalam hubungan atar dua aparat negara ini. Saat ini masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan. Memang dalam hukum perdata, dikenal


(2)

pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan. Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.

Hubungan Polri dan KPK sempat memanas beberapa waktu lalu, padahal keduanya merupakan penegak hukum yang dipercaya oleh masyarakat salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat


(3)

59

rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak, akan tetapi kalau dua institusi hukum yang dipercaya masyarakat saja sudah dalam keadaan memanas lalu bagaimana rakyat mengadukan permasalahan yang saat ini banyak merugikan masyarakat dengan korupsi yang dilakukan oleh kalangan menengah keatas.


(4)

5. 1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi dari karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 diperoleh kesimpulan bahwa saat ini bangsa Indonesia mengalami hal yang saat kritis dimana dua institusi penegak hukum yang dipercaya masyarakat sedang berselisih paham atas tindakan yang dilakukan kedua belah pihak, dari sisi Polri mereka sudah berani memenjarakan dua pimpinan KPK yang saat itu sangat gencar melawan ketidakadilan yang sudah diterima masyarakat, permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar.


(5)

61

5. 2. Saran

Munculnya gambar karikatur tersebut khususnya gambar karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Versus Buaya” yang terdapat pada Majalah Tempo edisi 3-9 Agustus 2009 dapat menjadi penggerak hati pemerintah agar lebih menegakkan hukum, dan selalu berusaha membela warga negaranya yang mengalami masalah di negara lain, selain itu pemerintah harus berani mengambil sikap atas masalah – masalah yang sudah melibatkan dua institusi ini. Selain itu kini tak perlu lagi saling menyalahkan antara KPK dan Polri. Karena bisa jadi semua kesalah pahaman ini adalah usaha dan skenario yang dirancang oleh pihak – pihak yang menguntungkan mereka itu untuk memisahkan dua institusi yang sama – sama bertugas menegakkan keadilan sejak dulu itu. Sikapilah semuanya dengan kepala dingin, tanpa emosi dan gunakanlah fikiran yang jernih. Karena jika kita menyikapi itu semua dengan emosi dan tanpa pemikiran yang jernih, apalagi hingga akhirnya terjadi perang terbuka, maka sesungguhnya kita telah ditipu secara mentah-mentah dan kita telah menjadi korban adu domba manusia tanpa perasaan.


(6)

Nasional ”Veteran” Jawa Timur

Bungin, Burhan, 2006, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Edisi Pertama, Cetakan Kesatu, Penerbit Prenada Media Grup, Jakarta.

Djuroto, Totok, 2002, Manajemen Penerbitan Pers, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Effendy, Onong Uchana, 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya

Junaedhi, Kurniawan, 1991, Ensiklopedi Pers Indonesia, Jakarta, Erlangga Kurniawan, 2001, Semiologi Roland Barthes, Magelang, Indonesia.

Nurudin, 2007, Pengantar Komunikasi Massa, Malang, Cespur.

Pramono, Promoedjo, 2008, Kiat Mudah Membuat Karikatur, Penerbit Creativ Media, Jakarta.

Rakhmat, Jalaluddin, 2002, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2006, Semiotik Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya Sumadiria, Haris, 2005, Jurnalistik Indonesia, Bandung, Simbiosa Rekatama

Media NON BUKU:

http://www.desaingrafisindonesia.com (02/03/2010)

http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/29/083410/1288699/471/potret-buram-hukum-positif-di-indonesia(02/03/2010)

http://rektivoices.wordpress.com/2008/08/05/kebobrokan-sistem-hukum-peradilan-indonesia/ (03/03/2010)

http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-iklan-sosial/ (01/03/2010)

http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/penegakan-hukun-di-indonesia(01/03/2010)