KAJIAN TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN

KAJI AN

TI NGKAT PARTI SI PASI MASYARAKAT

DALAM PEMBANGUNAN BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH KOTA MEDAN

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dalam menyelesaikan kajian ini dari awal hingga selesai. Kajian ini berupaya untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan di Kota Medan. Tingkat partisipasi yang dimaksud dimulai dari proses sosialisasi/ pengenalan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi sampai kepada pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.

Kajian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam menyusun kebijakan Pemko Medan di masa mendatang, khususnya berkaitan dengan program pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya.

Kajian ini pada dasarnya memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, untuk itu kritik dan saran membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.

Akhirnya Tim Pengkaji mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu baik material maupun nonmaterial dalam proses menyelesaikan kajian ini.

Medan, Desember 2010

TI M PENGKAJI

DAFTAR I SI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR I SI ii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPI RAN ix

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

I -1

2. Tujuan

I -2

3. Sasaran

I -3

BAB I I TI NJAUAN TEORI TI S

1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan I I -1

2. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

I I -2

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

I I -7

4. Pemberdayaan Masyarakat pada Program Pembangunan I I -15

BAB I I I METODOLOGI

1. Tempat dan Waktu Penelitian

I I I -1

2. Ruang Lingkup Penelitian

I I I -1

3. Populasi dan Sampel

I I I -2

4. Teknik Pengumpulan Data

I I I -2

5. Teknik Analisis Data

I I I -3

BAB I V GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN

1. Gambaran Geografis Kota Medan

I V-1

2. Gambaran Demografis Kota Medan

I V-5

3. Gambaran Ekonomi Kota Medan

I V-6

BAB V PROGRAM DAN KEGI ATAN PEMKO MEDAN DALAM MENDUKUNG PROGRAM PARTI SI PASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN

1. Program dan Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat 2005 – 2009

V-1

2. Program dan Kegiatan Perencanaan Pembangunan 2005-2009 V-3

BAB VI DESKRI PSI DATA KAJI AN

1. Karakteristik Responden

VI -1

2. Sosialisasi dan Pengenalan Program Pembangunan

VI -3

3. Perencanaan Program Pembangunan

VI -8

4. Pelaksanaan Program Pembangunan

VI -15

5. Evaluasi Program Pembangunan

VI -21

6. Penggunaan dan Pemeliharaan Hasil Program Pembangunan VI -25

7. Kritik & Harapan Masyarakat terhadap Program Pembangunan VI -27

BAB VI I ANALI SI S DATA KAJI AN

1. Sosialisasi dan Pengenalan Program Pembangunan

VI I -1

2. Perencanaan Program Pembangunan

VI I -3

3. Pelaksanaan Program Pembangunan

VI I -8

4. Evaluasi Program Pembangunan

VI I -12

5. Penggunaan dan Pemeliharaan Hasil Program Pembangunan VI I -15

6. Kritik & Harapan Masyarakat terhadap Program Pembangunan VI I -16

BAB VI I I PENUTUP

1. Kesimpulan VI I I -1

2. Saran VI I I -2 DAFTAR PUSTAKA LAMPI RAN

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan

I V-4

Tabel 4.2. Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2005-2009

I V-5

Tabel 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007-2009 I V-7

Tabel 4.4. Share Ekspor-I mpor Kota Medan terhadap Sumatera Utara (US$ Milyar)

I V-10

Tabel 6.1. Kualitas hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen)

VI -25

Tabel 6.2. Kegunaan/ kemanfaatan hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat (dalam persen)

VI -26

Tabel 6.3. Perubahan yang lebih baik dari hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen)

VI -26

Tabel 6.4. Tingkat pengetahuan masyarakat dalam memelihara hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen)

VI -26

Tabel 6.5. Tingkat kesadaran masyarakat dalam memelihara hasil pembangunan lingkungan, sosial dan ekonomi (dalam persen)

VI -27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Peta Kota Medan

I V-2 Gambar 4.2. Piramida Penduduk Kota Medan

I V-5 Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007-

I V-6 Gambar 4.4. PDRB Per Kapita Kota Medan Tahun 2007-2009

I V-9 Gambar 4.5. Perkembangan Perdagangan Luar Negeri Kota

I V-9 Gambar 6.1. Jenis kelamin responden

Medan

VI -1 Gambar 6.2. Usia responden

VI -2 Gambar 6.3. Pekerjaan responden

VI -3 Gambar 6.4. Kecukupan jumlah anggota masyarakat yang dipilih/

diundang untuk mengikuti sosialisasi/ pengenalan mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan

VI -4 Gambar 6.5. Ketepatan anggota masyarakat yang dipilih/

diundang untuk mengikuti sosialisasi/ pengenalan

VI -4 Gambar 6.6. Keseringan (rutinitas) pertemuan dengan

VI -5 Gambar

masyarakat untuk sosialisasi/ pengenalan

6.7. Kejelasan informasi yang disampaikan dalam pertemuan sosialisasi/ pengenalan

VI -6 Gambar 6.8. Keterbukaan/ kebebasan

warga dalam menyampaikan

untuk pembangunan

ide/ gagasan

VI -6 Gambar 6.9. Antusiasme/ semangat warga yang ikut dalam

pertemuan sosialisasi/ pengenalan

VI -7

Gambar 6.10. Ketersediaan bahan informasi tertulis

VI -7

Gambar

6.11. Kemanfaatan yang dirasakan dari pertemuan sosialisasi/ pengenalan tersebut

VI -8

Gambar 6.12. Pembentukan Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) dipilih oleh anggota masyarakat secara terbuka

VI -9

Gambar 6.13. Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) yang dipilih adalah orang-orang yang cukup mampu menjalankan perannya

VI -9

Gambar 6.14. Badan Keswadayaan masyarakat (BKM) yang dipilih cukup mewakili seluruh elemen masyarakat

VI -10

Gambar

6.15. Ada diberikan pelatihan kepada pimpinan BKM untuk menciptakan kemampuan dalam mengelola program

VI -10

Gambar 6.17. Pelatihan berhasil dalam menciptakan kemampuan pimpinan BKM dalam mengelola program

VI -11

Gambar

6.18. Keterlibatan banyak pihak, seperti lurah dan perangkatnya, pimpinan BKM dan anggotanya, dan pihak lain, dalam musyawarah untuk menyusun perencanaan pembangunan

VI -12

Gambar 6.19. Usulan/ ide dari masyarakat cukup diterima dalam musyawarah VI -12

Gambar 6.20. Rencana pembangunan yang disusun cukup sistematis/ jelas gambarannya

VI -13

Gambar 6.21. Anggaran/ dana yang tersedia dijelaskan dengan transparan/ terbuka

VI -13

Gambar 6.22. Perencanaan pembangunan yang disusun memang prioritas/ relevan/ dibutuhkan masyarakat

VI -14

Gambar 6.23. Hasil penyusunan perencanaan pembangunan disosialisasikan/ disebarkan kepada masyarakat

VI -14

Gambar 6.24. Setiap akan melaksanakan program pembangunan dilakukan rapat/ musyawarah

VI -15 Gambar 6.25. Diberikan sosialisasi/ pemberitahuan kepada

masyarakat setiap akan melaksanakan program pembangunan

VI -15 Gambar 6.26. Pembagian tugas untuk melakukan suatu program

pembangunan cukup jelas

VI -16 Gambar 6.27. Waktu pelaksanaan program pembangunan

VI -16 Gambar 6.28. Anggaran/ dana diserahkan sepenuhnya/ seluruhnya

terjadwal dengan baik

VI -17 Gambar 6.29. Anggaran/ dana yang disediakan memang cukup

untuk program pembangunan

memadai untuk melakukan suatu pembangunan

VI -17 Gambar 6.30. Ketersediaan peralatan yang dibutuhkan untuk

VI -18 Gambar

melaksanakan suatu program pembangunan

6.31. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang tenaga

VI -18 Gambar

6.32. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang dana

VI -19 Gambar

6.33. Keikutsertaan masyarakat dalam melaksanakan suatu program pembangunan cukup tinggi baik dalam menyumbang peralatan atau material

VI -19 Gambar 6.34. Keterlibatan perangkat kelurahan dalam

VI -20 Gambar 6.35. Keterlibatan Lembaga Swadaya Masayrakat (LSM)

melaksanakan suatu program pembangunan

dalam melaksanakan suatu program pembangunan VI -20 Gambar 6.36. Waktu penyelesaian suatu program pembangunan

sesuai dengan yang direncanakan

VI -21

Gambar 6.37. Pengawasan suatu program pembangunan yang dilakukan oleh instansi terkait, misalnya kelurahan, kecamatan, Pemko cukup baik

VI -21 Gambar 6.38. Pengawasan suatu program pembangunan yang

dilakukan oleh Lembaga Swadaya masyarakat (LSM)/ perguruan tinggi, cukup baik

VI -22 Gambar 6.39. Sarana pengaduan yang berkenaan dengan

VI -22 Gambar 6.40. Keberatan/ komplain masyarakat atas suatu program

program pembangunan yang telah dilaksanakan

yang tidak terlaksana dengan baik

VI -23 Gambar 6.41. Keberatan/ komplain dari pihak lain seperti

LSM/ perguruan tinggi atas suatu program yang tidak terlaksana dengan baik

VI -23 Gambar 6.42. Partisipasi/ keikutsertaan masyarakat sepenuhnya

dalam pemantauan program pembangunan yang telah dilaksanakan

VI -24 Gambar 6.43. Dokumen tertulis mengenai hasil pemantauan suatu

VI -24 Gambar 6.44. Hasil pemantauan suatu program pembangunan

program pembangunan disusun dengan baik

disosialisasikan/ diberitahukan kepada masyarakat

VI -25

DAFTAR LAMPI RAN

Lampiran 1. Kuisioner

Lampiran 2. Rekap Data Karakteristik Responden

Lampiran 3. Rekap Data Jawaban Responden

Lampiran 4. Rekap Data Komentar Responden

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada dasarnya, kajian ini didorong oleh perubahan besar yang tengah terjadi pada masyarakat I ndonesia saat ini. Perubahan tersebut terkait erat dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang bermaksud untuk lebih mengurangi peran pemerintah dengan memberikan kesempatan yang lebih besar pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah merupakan bentuk respons atas semangat perubahan tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan pemetaan.

Akibat otonomi daerah tersebut, paradigma pembangunan daerah juga mengalami perubahan, termasuk diantaranya perubahan sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah. Untuk mendukung semangat otonomi daerah tersebut, Pemerintah Kota Medan telah menterjemahkan, melalui penyusunan Rencana Tahunan, Renstra dan RPJMD, dimana penyusunan dokumen tersebut melalui sistem perencanaan yang berorientasi kepada semangat otonomi daerah. Penyusunannya dilakukan dengan mengundang seluruh elemen masyarakat Kota Medan. Partisipasi mereka diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan keinginan masyarakat Kota Medan secar keseluruhan.

Dalam kajian ini, masyarakat tersebut direpresentasikan melalui unsur-unsur civil society yang tersebar di seluruh wilayah Pemerintahan Kota Medan. Masyarakat sendiri merupakan elemen penting kekuatan masyarakat dan proses demokratisasi di Kota Medan. Keberadaan mereka sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan. Namun demikian, masalah yang seringkali muncul adalah berkenaan dengan kesiapan, kualitas isu, kebijakan, kuantitas dan kredibilitas mereka.

2. Tujuan

Tujuan dari Kajian Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan ini adalah mengetahui sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sehingga dengan informasi tersebut Pemerintah Kota Medan memahami dan dapat menerakan pendekatan partisipasif untuk menyusun program-program strategis daerah.

Secara khusus tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana sosialisasi mengenai program partisipasi masyarakat dalam pembangunan

2. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan

3. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan

4. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan

5. Mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pemeliharaan hasil pembangunan

3. Sasaran

Terkait dengan tujuan di atas, sasaran disusunnya kajian tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan ini, antara lain :

¾ Tersedianya kerangka dan instrumen bagi implementasi dan

operasionalisasi kebijakan pembangunan untuk dapat melaksanakan desentralisasi pembangunan daerah secara efektif.

¾ Tersedianya instrumen untuk mendekatkan visi, misi pembangunan

daerah kepada manajemen dan oerasionalisasi perencanaan, implementasi dan penganggaran.

¾ Tersedianya kerangka untuk pengambilan keputusan pembangunan

jangka menengah. ¾ Adanya fokus bagi strategi dan program bersifat multi sektoral.

BAB I I

TI NJAUAN TEORI TI S

1. Pengertian Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Secara harfiah kata partisipasi bisa diartikan sebagai ikut serta, berasal dari kata “ take a part” atau diambil bagian. Lebih umum lagi kata ini bisa berarti ikut sertanya suatu kesatuan untuk ambil bagian dalam aktivitas yang dilaksanakan oleh susunan kesatuan yang lebih besar lagi. Selanjutnya istilah partisipasi ( participation) erat hubungannya dengan istilah partnership, yang berarti bahwa partisipasi hendaknya harus disertai dengan sikap ikut bertanggung jawab dari satu kesatuan yang turut ambil bagian di dalam aktivitas tersebut.

Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan. Midgley (1986:113) mendefinisikan bahwa partisipasi merupakan bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Sejalan dengan itu Yeung dan McGee (1986:97) mengartikan partisipasi sebagai penyerahan sebagian peran dalam kegiatan-kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari satu pihak kepada pihak lain.

Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan secara khusus mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan yakni sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat mengandung makna adanya keterlibatan aktif serta pembagian peran dan tanggung jawab di antara pelaku. Partisipasi juga mengandung arti keterlibatan sebagian besar masyarakat secara aktif dan bermakna pada dua tingkat yang berbeda yakni proses pengambilan keputusan dalam penetapan tujuan dan alokasi sumber daya serta proses penetapan program dan proyek dalam pembangunan.

2. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Gaventa dan Valderama dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation , 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/ Citizenship , ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses- proses kepemerintahan itu sendiri.

2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu 2. Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu

3. Partisipasi Warga, citizen participation/ citizenship menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran. Koentjaraningrat (1985: 97-105) membedakan partisipasi dalam

bentuk aktifitas-aktifitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; dan partisipasi individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Kedua tipe partisipasi yang digambarkan oleh Koenjaraningrat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Partisipasi yang dimaksudkan melibatkan masyarakat desa secara luas dalam pengambilan keputusan-keputusan, mulai dari diagnosis masalah, identifikasi potensi sumber daya, perencanaan program dan penentuan program yang diusulkan hingga ke tingkat daerah, dan sampai pada pelaksanaan program pembangunan serta pengawasan dan evaluasi.

Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan Namun demikian, pemerintah tetap sebagai kontrol sehingga perencanaan pembangunan yang bottom-up tidak melenceng dari tujuan pembangunan. Pembangunan masyarakat yang direncanakan dari bawah harus menyentuh seluruh masyarakat, dan bukan untuk golongan

Cohen dan Uphof dalam Komarudin (1997:320) dalam partisipasi masyarakat dikenal adanya tipe partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:

a. Partisipasi dalam membuat keputusan (membuat beberapa pilihan dari banyak kemungkinan dan menyusun rencana-rencana yang bisa dilaksanakan, dapat atau layak dioperasionalisasikan

b. Partisipasi dalam implementasi (kontribusi sumberdaya, administrasi dan koordinasi kegiatan yang menyangkut tenaga kerja, biaya dan informasi)

c. Dalam kegiatan yang memberikan keuntungan (material, sosial dan personel)

d. Dalam kegiatan evaluasi termasuk keterlibatan dalam proses yang berjalan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Pendekatan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,

memungkinkan keseimbangan antara kepentingan administrasi dari pemerintah setempat dan integrasi penduduk setempat dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat lokal. Terdapat 2 (dua) macam partisipasi penduduk, yaitu (Jayadinata, 1999:201-202):

1. Partisipasi Vertikal Penduduk diberi lebih banyak kesempatan untuk menyumbangkan pendapatnya dalam pembangunan I nteraksi dengan cara dari bawah ke atas ( bottom up ) dalam hal:

• Teknik belajar dan mendengarkan (masyarakat diberi informasi

mengenai masalah aktual).

• Pengumuman informasi berhubungan dengan program yang diusulkan. • Masukan yang terus dari berbagai golongan. • Penelaahan kembali rencana yang diusulkan.

2. Partisipasi Horisontal Dalam partisipasi ini masyarakat berinteraksi secara horizontal dalam hal:

• Masyarakat setempat berinteraksi dengan berbagai kelompok lain. • Mengambil pengalaman dari kelompok lain. • Mempengaruhi agar persentase partisipasi penduduk menjadi lebih

besar. Partispasi masyarakat secara umum terbagi dalam 8 (delapan)

tingkatan menurut Arstein (dalam Panudju, 1999 : 72 -76 ) tingkatan- tingkatan tersebut, adalah:

a. Manipulation. Merupakan tingkatan partisipasi yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya saja sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat. Tidak ada peran yang nyata, karena hanya diselewengkan sebagai.publikasi oleh pihak penguasa.

b. Theraphy. Pada tingkatan ini, masyarakat diperlakukan seolah-olah seperti proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam grup terapi. Masyarakat terlibat dalam banyak kegiatan, namun hal tersebut hanya ditujukan untuk mengubah pola pikir masyarakat daripada mendapatkan informasi atau usulan-usulan.

c. Informing. Merupakan tahap pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak-hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan. Biasanya hanya diberikan secara satu arah, dari penguasa ke rakyat, tanpa adanya kemungkinan umpan balik, Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk mempengaruhi rencana bagi kepentingan c. Informing. Merupakan tahap pemberian informasi kepada masyarakat tentang hak-hak, tanggung jawab dan berbagai pilihan. Biasanya hanya diberikan secara satu arah, dari penguasa ke rakyat, tanpa adanya kemungkinan umpan balik, Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk mempengaruhi rencana bagi kepentingan

d. Consultation. Mengundang opini masyarakat, setelah memberi informasi kepada mereka. Apabila konsultasi tidak disertai dengan cara-cara partisipasi yang lain, maka tingkat keberhasilannya akan rendah, mengingat tidak adanya jaminan kepedulian terhadap ide-ide masyarakat. Tahap ini biasanya dilakukan dengan cara pertemuan lingkungan, survei tentang pola pikir masyarakat dan dengar pendapat publik.

e. Placation. Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai pengaruh, meskipun dalam beberapa hal masih ditentukan oleh penguasa. Beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan kerjasama. Usul-usul dari masyarakat berpenghasilan rendah dapat dikemukakan, tetapi sering tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit bila dibandingkan dengan anggota- anggota instansi pemerintah lainnya.

f. Partnership. Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara masyarakat dengan pihak penguasa. Disepakati juga pembagian tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai permasalahan yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tersebut maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak.

g. Delegated Power. Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Masyarakat berhak menentukan program-program yang bermanfaat bagi mereka. Untuk memecahkan masalah, pemerintah harus mengadakan tawar-menawar tanpa adanya tekanan.

h. Citizen Control. Pada tingkat ini masyarakat mempunyai kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Masyarakat mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan "pihak-pihak luar" yang hendak melakukan perubahan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Partisipasi berkaitan pula dengan prinsip yang saling menguntungkan ( mutual learning) antara masyarakat dengan “orang luar” (pemerintah atau lembaga kemasyarakatan). Dalam hal ini terdapat pengakuan terhadap pengalaman dan pengetahuan antar pelaku. Pengetahuan dana pengalaman masyarakat dan pihak lain bersifat saling melengkapi dan sama nilainya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap kehidupannya relatif berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Midgley (1986: 113) menyatakan bahwa pihak yang berperan dalam menyadarkan masyarakat adalah pekerja sosial/ lembaga swadaya masyarakat. Penyadaran ini dilakukan melalui kegiatan pendampingan, diman mekanisme pendampingan yang sah menyebabkan kegagalan penerapan pendekatan partisipasi masyarakat (UNDP, 1998: 6).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat pelaku yang mempengaruhi keberhasilan partisipasi masyarakat, yakni pemerintah, pelaksana, fasilitator serta masyarakat itu sendiri. Partisipasi dapat terlaksana selama keempat pelaku saling mendukung.

Untuk itu diperlukan pemahaman tentang kinerja dan hubungan keempat pelaku tersebut dalam mendukung keberhasilan partisipasi.

a. Pemerintah dan Pelaksana Dalam hal ini, respon pemerintah terhadap partisipasi masyarakat dirumuskan dalam empat tipologi, yakni anti partisipatif, partisipatif, manipulatif dan inkremental (Midgley, 1986:147). Pada tipologi pertama, pemerintah tidak memberi kesempatan dan dukungan bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Dalam tipologikedua, pemerintah secara aktif mendukung masyarakat dalam mobilisasi sumber daya dan pengambilan keputusan. Pada tipologi ketiga, pemerintah memaafkan partisipasi masyarakat untuk tujuan tertentu yang menguntungkan pemerintah. Sedangkan pada tipologi keempat, pemerintah tidak sepenuhnya mendukung partisipasi masyarakat. I ni ditandai oleh perumusan program yang tidak jelas dan implementasi program yang kurang tepat.

Pemerintah diharapkan memberikan respon positif terhadap partisipasi masyarakat. Cheema (1987:72-74) berpendapat bahwa peran pemerintah yang terlampau besar dalam pengadaan prasarana cenderung counter productive , karena prasarana yang dibangun kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah seharusnya menciptakan mekanisme pelibatan masyarakat lokal dalam semua aspek pengembangan (Midgley, 1986:44). Pemerintah seharusnya juga memiliki kemampuan dan kemauan dlam memahami permasalahan masyarakat (Hollnsteiner dalam Midgley, 1986:43). Pemerintah harus memberi kesempatan kepada masyarakat dalam menyampaikan usul, masalah dan kebutuhan serta bersedia manampung aspirasi mereka. Selain itu pemerintah harus aktif dalam melakukan dialog rutin untuk menamung aspirasi masyarakat (Cheema, 1987:102-104).

Dukungan pemerintah terhadap partisipasi masyarakat dilakukan melalui beberapa bentuk, yakni sosialisasi program kepada masyarakat; pelibatan masyarakat dalam identifikasi kebutuhan, pemilihan dan penetapan lokasi serta pengawasan proyek; desentralisasi kewenangan Dukungan pemerintah terhadap partisipasi masyarakat dilakukan melalui beberapa bentuk, yakni sosialisasi program kepada masyarakat; pelibatan masyarakat dalam identifikasi kebutuhan, pemilihan dan penetapan lokasi serta pengawasan proyek; desentralisasi kewenangan

Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa pemberian kesempatan dan dukungan pemerintah dapat menunjang partisipasi. Pemberian kesempatan dan dukungan akan meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat. Bentuk-bentuk pemberian kesempatan dan dukungan pemerintah kepada masyarakat antara lain melalui pelibatan dalam kegiatan sosialisasi program. Sedangkan bentuk bantuan pemerintah bisa berupa pelatihan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi proyek bagi tokoh dan kelompok masyarakat, serta pelatihan ketrampilan bagi tenaga kerja lokal.

Upaya pemerintah mempengaruhi pula kinerja fasilitator. Dukungan pemerintah dapat meningkatkan upaya fasilitator dalam mendampingi masyarakat, yang diwujudkan antara lain melalui pemberian pelatihan tentang konsep pendampingan, pemberian informasi program secara jelas serta kelancaran koordinasi (Midgley, 1986:32-34). Selain itu pemerintah perlu melibatkan fasilitator dalam identifikasi kebutuhan masyarakat, pemilihan dan penyepakatan lokasi proyek (Cheema, 1987:104-105).

Dalam kondisi ini, terdapat kendala terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Kendala tersebut mencakup tidak terpenuhinya prasyarat dasar untuk memulai pendekatan partisipatif. Prasyarat yang dibutuhkan antara lain komitmen kuat dari berbagai pihak terutama pemerintah dan masyarakat, iklim demokrasi dan keterbukaan, kelembagaan dan administrasi yang inovatif dan fleksibel, serta dukungan instrumen ekonomi terutama sistem anggaran pembangunan

(Anonim,1990:5). Kendala lain meliputi sikap patermalistik birokrasi pemerintah, keterbatasan pengalaman pemerintahan, pengambilan keputusan yang sentralistik serta struktur dan proses birokrasi yang kuat (Cheema,1987:85). Selain itu kecenderungan pemerintah untuk menerapkan pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi pada tujuan ( goal oriented ) dan mengesampingkan aspirasi masyarakat juga dapat menjadi kendala tersendiri.

Pihak pelaksana dapat mempengaruhi kemauan masyarakat berpartisipasi. Pelaksana diharapkan untuk memberikan kesempatan pelibatan masyarakat secara optimal sehingga motivasi masyarakat meningkat sejalan dengan kepercayaan yang diberikan. Dalam hal ini, pelaksana seharusnya bersedia menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam perencanaan proyek, melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja, memberi kesematan dalam bentuk lain serta menindaklanjuti laporan pengawasan pekerjaan masyarakat. Tindakan dalam mendukung penerapan pendekatan partisipatif oleh pelaksana dapat menunjang keberhasilan partisipasi (Cheema, 1987:103-106).

b. Fasilitator Fasilitator memiliki peran penting dalam memunculkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Fasilitator erlu mengarahkan masyarakat untuk menyadari situasi kehidupan mereka serta memahami penyebab dan alternatif pemecahan situasi tersebut. Selain itu fasilitator memiliki peran pula sebagai motivator dan Community organizers (Midgley, 1986: 30-31).

Fasilitator perlu melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan peran tersebut. Mereka perlu menyampaikan informasi proyek melalui tokoh/ masyarakat serta generasi muda; menbujuk, mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat; memberi informasi mengenai manfaat dan kerugian partisipasi; menunjukan peluang pengembangan dan perbaikan Fasilitator perlu melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan peran tersebut. Mereka perlu menyampaikan informasi proyek melalui tokoh/ masyarakat serta generasi muda; menbujuk, mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat; memberi informasi mengenai manfaat dan kerugian partisipasi; menunjukan peluang pengembangan dan perbaikan

Upaya fasilitator dapat mempengaruhi kemauan dan kemampuan masyarakat. Dengan pemberian kesadaran, motivasi dan keyakinan, kemauan masyarakat dapat meningkat. Selain itu, melalui upaya dalam meningkatkan akses ke sumber pembiayaan atau pengadaan penyuluhan dan pelatihan, kemampuan masyarakat dalam membiayai program atau menyumbangkan tenaga meningkat pula. Sebagai contoh keberhasilan fasilitator adalah pendirian koperasi simpan pinjam dalam meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membayar biaya pembangunan (UNDP, 1998: 6).

Fasilitator perlu memiliki sikap dan kemampuan manajemen . sikap yang perlu adalah demokratis dan terbuka, kebersamaan, serta ketanggapan. Sedangkan kemampuan manajemen yang perlu dimiliki meliputi kemampuan pendelegasian wewenang, berkreasi, serta kemampuan memberi dan berkreasi terhadap umpan balik (UNDP,1998:6).

Sikap demokratis dan terbuka adalah sikap utama yang perlu dimiliki fasilitator, yakni bersedia memberi dan menerima pendapat masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu fasilitator perlu menyebarluaskan informasi proyek secara jujur kepada warga/ tokoh masyarakat. Sikap fasilitator yang kurang demokratis dan terbuka, menyebabkan kurang berhasilnya proses pendampingan. Fasilitator tidak boleh menetapkan pemecahan masalah. Meraka hanya membantu masyarakat dalam merumuskan dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan (Midgley, 1986:31). Selain itu fasilitator harus Sikap demokratis dan terbuka adalah sikap utama yang perlu dimiliki fasilitator, yakni bersedia memberi dan menerima pendapat masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu fasilitator perlu menyebarluaskan informasi proyek secara jujur kepada warga/ tokoh masyarakat. Sikap fasilitator yang kurang demokratis dan terbuka, menyebabkan kurang berhasilnya proses pendampingan. Fasilitator tidak boleh menetapkan pemecahan masalah. Meraka hanya membantu masyarakat dalam merumuskan dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan (Midgley, 1986:31). Selain itu fasilitator harus

Fasilitator perlu memiliki sikap kebersamaan yang diwujudkan dalam tiap kegiatan pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan program. Selain itu dibutuhkan sikap tanggap dalam memberikan reaksi terhadap masalah yang dilontarkan masyarakat. Bila fasilitator secara cepat mampu memberikan tanggapan, masyarakat memiliki keperluan menyampaikan permasalahan sehingga kemauan masyarakat dalam menyampaikan usul/ masalah menjadi meningkat. Fasilitator perlu menunjukkan sikap netral dalam melaksanakan tugas pendampingan. Sikap kenetralan ditunjukan dengan upaya mendamaikan serta memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat. Fasilitator tidak memihak, membela atau menyalahkan salah satu pihak.

Fasilitator perlu mendapatkan pelatihan formal agar memiliki sikap dan kemampuan menajemen yang mendukung proses pendampingan (Midgley, 1986:30). Melalui pelatihan, fasilitator diharapkan akan memahami hubungan antar individu/ kelompok, memberi dukungan aktivitas kelompok, meningkatkan solidaritas kelompok dan meningkatkan akses masyarakat ke sumber daya.

Prilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal tetapi juga internal. Perilaku anggota dalam mencapai tujuan organosasi tidak hanya dipengaruhi oleh intervensi pihak luar dalam mengubah kondisi kerja, tetapi juga kebutuhan, nilai dan perasaan mereka sendiri (Bryant, 1987: 82). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa upaya, sikap kemauan dan manajemen fasilitator tidak semata-mata dipengaruhi oleh pemerintah tetapi juga faktor internal dalam diri fasilitator yang meningkatkan motivasi mereka dalam mendampingai masyarakat.

c. Masyarakat Masyarakat berhubungan langsung dengan partisiasi, dimana faktor yang mempengaruhi partisipasi mencakup kemampuan dan kemauan. Semakin tinggi kemampuan dan kemauan masyarakat, semakin tinggi pula kecendrungan masyarakat berpartisipasi.

Kemampuan masyarakat dinilai dari berbagai indikator sosial ekonomi masyarakat, dalam hal ini faktor finansial, sumber daya manusia dan organisasi sosial dalam masyarakat tersebut. Selain itu kemampuan masyarakat dapat diukur dari kemampuan bersikap dan bertindak, menyediakan tenaga serta memberikan sumbangan (harta benda) (Bourne,1984: 232). Perbedaan-perbedaan individu akan mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi (Slamet, 1978:76). Perbedaan individu tersebut antara lain meliputi umur, pendidikan, status sosial, status ekonomi (penghasilan) dan pola hubungan. Oleh karena itu variabel sosial ekonomi masyarakat dapat digunakan untuk menilai kemampuan masyarakat. Secara rinci, kemampuan bersikap dan bertindak diukur dengan umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan pendidikan tertinggi anggota keluarga. Kemampuan menyediakan tenaga dinilai dari pekerjaan, sedangkan kemampuan menyumbang atau membayar dinilai dari penghasilan.

Kemampuan masyarakat dapat pula diukur dari kemampuan organisasi sosial kemasyarakatan. Secara rinci kemampuan organisasi sosial kemasyarakatan dinilai dari kemampuan memobilisasi sumber daya masyarakat, berinovasi dalam pemecahan masalah, membuat program yang menguntungkan masyarakat serta berhubungan baik dengan pihak pemberi bantuan (Midgley, 1986:154-157). Kemampuan organisasi dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengorganisasikan diri. Kemampuan ini relatif dipengaruhi oleh pengalaman serta kemauan pemimpin organisasi dalam mengorganisasikan masyarakat. Pemimpin Kemampuan masyarakat dapat pula diukur dari kemampuan organisasi sosial kemasyarakatan. Secara rinci kemampuan organisasi sosial kemasyarakatan dinilai dari kemampuan memobilisasi sumber daya masyarakat, berinovasi dalam pemecahan masalah, membuat program yang menguntungkan masyarakat serta berhubungan baik dengan pihak pemberi bantuan (Midgley, 1986:154-157). Kemampuan organisasi dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengorganisasikan diri. Kemampuan ini relatif dipengaruhi oleh pengalaman serta kemauan pemimpin organisasi dalam mengorganisasikan masyarakat. Pemimpin

Kemauan masyarakat dinilai dari ikatan psikologis pada lingkungan, interaksi dan komunikasi serta persepsi tentang kegiatan partisipasi sebelumnya (Whyte dalam Bourne,1984:232). I katan psikologis yang kuat pada lingkungannya. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melibatkan diri dalam kegiatan kolektif. I katan psikologis pada lingkungannya dinilai dari status rumah, lama tinggal dan asal penduduk. Berkaitan dengan interaksi dan komunikasi, Landecker (1971: 338) mengemukan pula adanya hubungan antara partisipasi dengan intergrasi komunikatif. I ntergrasi komunikatif diukur dari indikator pengelanan terhadap tetangga, saling mengunjungi antar tetangga, dan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungannya. Salain itu pengalaman dan manfaat positif kegiatan partisipasi sebelumnya mempengaruhi pula kemauan masyarakat.

Kemauan masyarakat dipengaruhi pula oleh manfaat program yang disarankan serta kesamaan persepsi kebutuhan antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat akan cenderung bersedia berpartisipasi bila ada manfaat yang disarankan (Cheema, 1987:100-101).

Faktor sosiologis masyarakat juga mempengaruhi kemauan masyarakat untuk berpartisipasi (Midgley, 1986:29). Masyarakat yang masih kuat memegang nilai tradisional cenderung kurang bersedia menerima kemajuan. Selain itu, sebagian masyarakat miskin memiliki sikap apatis dan keengganan dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sehingga menghambat munculnya partisipasi. Walaupun demikian, Faktor sosiologis masyarakat juga mempengaruhi kemauan masyarakat untuk berpartisipasi (Midgley, 1986:29). Masyarakat yang masih kuat memegang nilai tradisional cenderung kurang bersedia menerima kemajuan. Selain itu, sebagian masyarakat miskin memiliki sikap apatis dan keengganan dalam meningkatkan kualitas kehidupannya sehingga menghambat munculnya partisipasi. Walaupun demikian,

4. Pemberdayaan Masyarakat Pada Program Pembangunan

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Proses perubahan tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pelaku-pelaku sosial yang ikutdalam proses perubahan tersebut.

Kemandirian dapat tercipta dari sebuah masyarakat yang mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat berkaitan dengan proses pembelajaran yang akan meningkatkan kemampuan atau potensi yang dimilikinya.

Dengan kata lain, pembelajaran masyarakat pertama-tama harus difokuskan pada usaha melepaskan seseorang dari realitas yang menghambat eksistensi, yakni hambatan yang berupa ketidaksederajatan, tekanan, dan penindasan dari pihak luar yang merasa lebih berpengetahuan, berpangkat, berjabatan dan lain sebagainya.

Namun demikian, hampir di setiap lini kehidupan masih terdapat sikap-sikap munafik dan feodalisme terutama pada golongan yang berpengetahuan, berpangkat, berjabatan untuk kecenderungan menindas Namun demikian, hampir di setiap lini kehidupan masih terdapat sikap-sikap munafik dan feodalisme terutama pada golongan yang berpengetahuan, berpangkat, berjabatan untuk kecenderungan menindas

Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat harus diberdayakan untuk merumuskannya sendiri melalui sebuah proses pembangunan konsensus diantara berbagai individu dan kelompok social yang memiliki kepentingan dan menanggung resiko langsung (stakeholders ) akibat adanya proses atau intervensi pembangunan, baik pembangunan ekonomi, sosial maupun lingkungan fisik.

Pemberdayaan harus berperan untuk mewujudkan konsep masyarakat belajar atau Concept of Societal Learning dan caranya adalah dengan mempertemukan top down approach dengan bottom-up approach yang pada dasarnya adalah “kontradiktif“ (Friedmann dalam Burke, 2004: 238).

Kedua macam pendekatan ini kontradiktif karena masyarakat dan perencana sangat sering memiliki pemahaman masalah, perumusan, tujuan dan ide-ide pemecahan praktis yang berbeda akibat menganganya jurang pengetahuan dan komunikasi antara perencana dengan masyarakat. Pendekatan yang bertentangan ini membutuhkan aktualisasi relasi baru, yang mampu mengintegrasikan proses saling belajar ( mutual learning ) dari kedua belah pihak melalui proses perencanaan yang disebut sebagai Transactive Planning (Perencanaan Transaktif). Selanjutnya Friedmann dalam Burke, bahwa Perencanaan Transaktif merupakan tanggapan terhadap kesenjangan komunikasi antara perencana teknis dan para klien. Untuk menutup kesenjangan tersebut, suatu rangkaian transaksi pribadi yang terus menerus dan terutama transaksi secara verbal antara perencana dan klien, sangat dibutuhkan. Friedmann juga menunjukkan bahwa tumbuhnya kaum teknokrat dari masyarakat kita menuntut adanya metode pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses belajar secara bersama-sama. Friedmann menjelaskan bahwa

dibutuhkan suatu penggabungan sains dan teknologi dengan pengetahuan pribadi pada tahap-tahap kritis intervensi sosial guna menghindari agar pengambilan keputusan tidak berada di tangan pihak teknokrat secara eksklusif. Perencanaan Transaktif memungkinkan perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien, sedangkan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. Melalui proses ini pula, kedua macam pengetahuan tersebut masing-masing akan berubah dengan sendirinya, dan kemudian kedua macam pengetahuan ini akan melebur menjadi satu. Pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dan imaji dari pihak satu terhadap pihak yang lain akan berubah, dan selanjutnya perilaku keduanya pun akan berubah. I de awal dari perencana untuk “mengajari masyarakat” akan merubah menjadi “pelajar” ( the learners ) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat ( community action ) artinya ”dialog saling belajar” telah merubah perilaku kolektif masyarakat dan mendorong masyarakat secara lebih aktif menolong diri mereka sendiri dan sekaligus membangun komunitas bersama seperti yang diharapkan. Masyarakat belajar ( Learning Society ) yang aktif melakukan aksi ini dengan sendirinya akan terbangun kapasitasnya karena learning society secara inheren akan mengembangkan kapasitas komunitas ( Community Capacity Building ). Secara empirik banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memasuki fase Learning Society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan yang lebih berkelanjutan, karena mereka sudah lebih mandiri dalam berbagai hal mulai dari mengidentifikasi, menilai dan menformulasikan masalah baik fisik, sosial, kultural maupun ekonomi, membangun visi dan aspirasi, memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola, memonitor dan bahkan memilih teknologi yang tepat. Masyarakat aktif ( Active Society ) semacam ini juga menghasilkan kerelaan masyarakat yang lebih untuk memberi kontribusi kerja dan biaya pembangunan, operasi dan

perawatan sedemikian sehingga pendekatan mampu mengembalikan biaya investasi publik ( Cost - Recovery ) yang pada gilirannya akan menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan ( Self - Replicability ). Pemberdayaan masyarakat merupakan proses perubahan struktur yang harus muncul dari masyarakat, dilakukan oleh masyarakat, dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Proses perubahan tersebut berlangsung secara alamiah dengan asumsi bahwa setiap anggota masyarakat sebagai pelaku-pelaku sosial yang ikut dalam proses perubahan tersebut. Pengertian pemberdayaan dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah. Pemberdayaan dalam konsep (wacana) politik menurut Dahl (1963:50) merupakan sebuah kekuatan yang menyangkut suatu kemampuan seseorang (pihak pertama) untuk mempengaruhi orang lain (pihak kedua) yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pihak kedua. Program Desa Mandiri Pangan pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat yang menekankan penerapan pelaksanaan penguatan kelembagaan pembangunan masyarakat dan aparat di tingkat lokal berdasar prinsip pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan. Kegiatan Program Desa Mandiri Pangan mengutamakan pembangunan yang dilaksanakan dan dikelola masyarakat secara langsung dalam wadah kelembagaan kelembagaan lokal yang dikoordinasikan oleh lembaga lokal baik desa, kecamatan dan tingkatan diatasnya. Pemberdayaan memerlukan keterlibatan masyarakat secara aktif. Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat harus diberdayakan untuk merumuskannya sendiri melalui sebuah proses pembangunan konsensus diantara berbagai individu dan kelompok sosial yang memiliki kepentingan dan menanggung resiko langsung (stakeholders) akibat adanya proses atau intervensi pembangunan, baik pembangunan ekonomi, sosial maupun lingkungan fisik. yang umumnya berisikan arah, tujuan, cara dan prioritas

pembangunan yang akan dilakukan. Sasaran Program yang mengarah pada penduduk miskin dan perempuan yang kebanyakan menganggur menyebabkan mereka sadar, yakin dan percaya diri untuk dapat berusaha. Dengan begitu, maka mereka akan berusaha menampilkan apa yang dapat diperbuat dan diusahakan dan nantinya dapat dikerjakan bersama. Berawal dari hal sederhana seperti itu, maka semangat masyarakat dalam membangun (walaupun dengan cara dan pemahaman mereka sendiri sendiri) akan terus berlanjut dan berdayanya masyarakat dalam artian mandiri dalam membangun tanpa menggantungkan terhadap pemerintah akan tercapai. Kondisi yang seperti itu dalam masyarakat akan membuat masyarakat merasa nyaman, tenteram sehingga iklim berusaha (peningkatan pendapatan keluarga) akan terjaga dan semangat membangun terus terpelihara dalam masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta kelompok-kelompok masyarakat yang harus dan terus didampingi oleh tenaga pendamping program yang dijalankan. Pemberdayaan yang akan dilakukan memerlukan langkah-langkah yang riil dalam penanganannya. Langkah-langkah yang diambil dalam mewujudkan tujuan adalah melalui: Membentuk iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang.

Dua hal yang mendasar dalam membentuk iklim bagi masyarakat adalah dengan; • Menyadarkan masyarakat dan memberikan dorongan/ motivasi untuk berkembang. Proses menyadarkan masyarakat dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk mengenal wilayahnya melalui survey dan analisis. Proses ini disebut dengan participatory survey dan participatory analysis .

• Memotivasi masyarakat dilakukan dengan mengajak masyarakat untuk menggambarkan dan merencanakan wilayah, yang disebut dengan participatory design and planning .

Pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat secara psikologis akan memberikan rasa ke-berpihak-an kepada masyarakat. Memperkuat potensi yang ada. Memperkuat ( empowerment ) dilakukan dengan mengorganisasi masyarakat dalam kelompok-kelompok/ komunitas pembangun, yang selanjutnya dikembangkan dengan memberikan masukan-masukan/ input serta membuka berbagai peluang-peluang berkembang sehingga masyarakat semakin berdaya.

Proses Perlindungan (Pendampingan) Secara aplikatif empowerment terhadap kelompok masyarakat bawah dan menengah dilakukan melalui 2 (dua) hal yaitu: • Penguatan Akses/ Accesibilty Empowerment

Pada pemberdayaan kelompok masyarakat empowerment dilakukan melalui menciptakan akses dari kelompok informal kepada kelompok formal, kelompok yang diberdayakan dengan kelompok pemberdaya. Kebutuhan akan akses ini sangat menentukan share dan partisipasi antar stakeholders dalam proses pemberdayaan.

• Penguatan Teknis/ Technical Empowerment

Technical empowerment dilakukan sebagai bagian dari kegiatan advocacy sehingga dapat diwujudkan peningkatan kapasitas dari kelompok yang diberdayakan. Keterlibatan secara aktif dari masing- masing stakeholders diwujudkan dalam bentuk share nyata seperti program, pendanaan, dan kebijaksanaan ( policy ).

Program desa mandiri pangan memberikan bantuan dalam jumlah tertentu dan pemanfaatannya semata agar pemanfaatan program dengan berlatih menggunakan dana tersebut sebagai stimulan untuk pengembangan pemberdayaan lebih lanjut. Dana yang ada digunakan untuk pembiayaan investasi sosial dan investasi ekonomi untuk menciptakan produktivitas yang membantu masyarakat meningkatan kesejahteraannya. Bentuk bantuan lain adalah pengembangan sumber Program desa mandiri pangan memberikan bantuan dalam jumlah tertentu dan pemanfaatannya semata agar pemanfaatan program dengan berlatih menggunakan dana tersebut sebagai stimulan untuk pengembangan pemberdayaan lebih lanjut. Dana yang ada digunakan untuk pembiayaan investasi sosial dan investasi ekonomi untuk menciptakan produktivitas yang membantu masyarakat meningkatan kesejahteraannya. Bentuk bantuan lain adalah pengembangan sumber

5. Partisipasi Masyarakat Pada Program Pembangunan