Efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L) pada mencit betina galur Swiss - USD Repository

  

EFEK ANALGESIK DAN ANTI-INFLAMASI JUS BUAH NANAS

(Ananas comosus L. ) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

  

Oleh :

Ricky Hidayat

NIM : 068114123

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

EFEK ANALGESIK DAN ANTI-INFLAMASI JUS BUAH NANAS

(Ananas comosus L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

  Oleh : Ricky Hidayat

  NIM : 068114123

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja

dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan

bagi mereka yang mengasihi Dia,yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah Roma 8:28

  Kupersembahkan skripsi ini bagi yang menginspirasi hidupku : Tuhan Yesus Kristus Papa dan Mamaku

  Adikku dan teman-temanku dan Almamaterku Sing to the Lord, for He has done glorious things; let this be kwon to all the world. Isaiah 12:5

  

PRAKATA

  Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Analgesik dan Anti-Inflamasi Jus Buah Nanas (Ananas Comosus L.) pada Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik.

  Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi ( S. Farm. ) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

  2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  3. Drs. Mulyono, Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  4. Rita Suhadi, MSi. Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

  5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.

  6. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian farmakologi, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

  7. Papa, Mama dan Nike atas dukungan, kasih sayang dan perjuangan untuk terus memberikan yang terbaik bagiku, baik dalam materi maupun non-materi sehingga aku tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.

  8. Devi Wijayanti, tulang dari tulangku, berkat terindah yang diberikan Tuhan kepadaku, terimakasih atas dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa sehingga penyusunan skripsi ini dapat berlangsung dengan baik.

  9. Kelas Kuliah C angkatan 2006 atas persahabatan, suka dan duka selama ini.

  10. Kelompok Praktikum E Angkatan 2006 atas persahabatan dan kerjasama dalam belajar di laboratorium.

  11. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

  “Nobody’s Perfect”. Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna termasuk penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan demi kemajuan di masa yang akan datang.

  Penulis

  

INTISARI

  Efek anti-inflamasi banyak digunakan dalam pengobatan, karena banyak penyakit memiliki manifestasi klinis inflamasi. Salah satu gejala inflamasi adalah nyeri, sehingga jika inflamasi dihambat maka akan menurunkan rasa nyeri juga. Efek analgesik saat ini digunakan untuk terapi berbagai macam penyakit, seperti asam urat, rematik, dll. Maka dari itu penelitian untuk penemuan obat baru dengan efek antiinflamasi dan analgesik sangat berharga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah jus buah nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik dan berapa dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus L.) yang dapat menimbulkan efek anti- inflamasi dan analgesik.

  Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek anti-inflamasi dan untuk metode rangsang kimia untuk uji analgesik. Variabel bebas yaitu dosis jus buah nanas. Variabel tergantung yaitu efek analgetik dan anti- inflamasi jus buah nanas. Cara mengukur variabel tergantung adalah dengan melihat % proteksi geliat dan % daya anti-inflamasi.

  Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni rancangan acak lengkap pola satu arah. Data yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mencari persen daya analgesik dan antiinflamasinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan Anova satu jalan dan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan 95%.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Efek antiinflamasi yang dinyatakan oleh % daya antiinflamasi pada dosis 1,875 g/kgBB; 3,75 g/kgBB; dan 7,5 g/kgBB berturut-turut adalah 48,89%; 56,82%; dan 55,13 % sedangkan % daya analgesiknya berturut-turut adalah 27,39%; 58,90%; dan 48,63 %.

  Kata kunci: analgesik, anti-inflamasi, jus buah nanas, Ananas comosus L.

  

ABSTRACT

  Anti-inflammatory effects are widely used in medicine, because many diseases have clinical manifestations of inflammation. One of the symptoms of inflammation is pain, so if inflammation is inhibited it will reduce pain as well. Analgesic effect is currently used for a variety of disease therapy, such as gout, rheumatism, etc. Thus the research for new drug discovery with anti-inflammatory and analgesic effects is very valuable. The objectives of this study is to determine anti-inflammatory and analgesic effects of pineapple juice and effective dose of pineapple juice (Ananas comosus L.) which can lead to anti-inflammatory and analgesic effect. This research used modificated Langford method to test the anti- inflammatory effects and to chemical stimulation method for testing analgesics.

  This research was a pure one way randomized experimental research. The independent variable is the dose of pineapple juice. The dependent variable is the analgesic and anti-inflammatory effects of pineapple juice which is showed with percentage of analgesic and anti-inflammatory effect. Data distribution were analyzed with Kolmogorov-Smirnov test, followed by one-way Anova and Scheffe test with 95% confidence level.

  The results showed that pineapple juice has anti-inflammatory and analgesic effects. Anti-inflammatory effects are expressed by percentage of anti-inflammatory effect at a dose of 1,875 g/kgBW; 3,75 g/kgBW; and 7,5 g/kgBW is 48,89%; 56,82% and 55,13% while the percentage of analgesic effect is 27.39%; 58.90% and 48.63%.

  Key words: analgesics, anti-inflammatory, pineapple juice, Ananas comosus L.

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN J PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................... viii

  

  BAB I

  

  

  

  

  

  

  BAB II

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  BAB III

  

  

  

  

  

  BAB I

  

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki ......... 53

Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada penetapan rentang waktu

  pemotongan kaki ...................................................................................... 54

  

Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak ............................... 55

Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak .... 56

Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak ............. 57

Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian

  diklofenak ................................................................................................. 58

  

Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat ............................ 60

Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit pada uji pendahuluan penetapan dosis

  asam asetat ............................................................................................... 61

Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu pemberian asam asetat.

  62 Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian asam asetat. ........................................................................................................ 63

  

Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol ............................ 63

Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol ............ 65

Tabel XIII. Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan .................................... 66

  

Tabel XIV. Uji Scheffe persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan ............ 68

Tabel XV. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%) potensi

  relatif kelompok jus buah nanas pada 3 peringkat dosis dibandingkan diklofenak ................................................................................................. 70

  

Tabel XVI. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan .................................... 72

Tabel XVII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........................... 73

Tabel XVIII. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri pada kelompok

  perlakuan .................................................................................................. 74

  

Tabel XIX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........... 77

Tabel XX. Perbandingan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Nanas pada

  Berbagai Peringkat Dosis ......................................................................... 82

  

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Inflamasi ................................................................................. 10

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri ....................................................................... 14

Gambar 3. Klasifikasi obat NSAID ............................................................................. 22

Gambar 4. Struktur kimia diklofenak .......................................................................... 23

Gambar 5. Struktur kimia parasetamol ........................................................................ 28

Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu

  pemotongan kaki ...................................................................................... 53

  

Gambar 7. Diagram batang rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak ... 55

Gambar 8. Grafik rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemberian

  diklofenak ................................................................................................. 57

  

Gambar 9. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat. 60

Gambar 10. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi selang waktu pemberian

  asam asetat. .............................................................................................. 62

  

Gambar 11. Grafik rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol .............. 64

Gambar 12. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok perlakuan

  .................................................................................................................. 66

  

Gambar 13. Diagram batang persen daya antiinflamasi kelompok uji ........................ 68

  

Gambar 14. Efek bromelain pada Sintesis Prostaglandin ........................................... 71

Gambar 15. Gambar rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok perlakuan .............. 72

Gambar 16. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok uji ..................... 73

Gambar 17. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri

  kelompok perlakuan ................................................................................. 77

  

Gambar 18. Grafik profil kelompok perlakuan jus buah nanas dan parasetamol ........ 79

Gambar 19. Mekanisme bromelain menghambat sistem kinin .................................... 81

Gambar 19. Histogram Perbandingan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah

  Nanas pada Berbagai Peringkat Dosis ..................................................... 83

  

DAFTAR LAMPIRAN

  

  

  

BAB I PENGANTAR A. Latar belakang Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana

  nyeri merupakan salah satu gejalanya. Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Karena dipandang merugikan, maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya. Ketika inflamasi dikendalikan maka nyeri juga dapat dikendalikan.

  Bromelain adalah nama umum dari famili enzim proteolitik yang didapat dari

Ananas comosus L., atau tanaman nanas. Penggunaan bromelain yang paling sering

adalah agen anti-inflamasi dan anti-edema, antitrombotik dan aktivitas fibrinolitik

telah dilaporkan (Contreras dkk, 2008).

  Kandungan bromelain pada nanas memiliki aktivitas analgesik dan anti- inflamasi. Tetapi sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas dan dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus L.) yang dapat menimbulkan efek analgesik dan anti-inflamasi .

  Pada penelitian ini akan diuji apakah jus buah nanas memiliki efek antiinflamasi dan analgesik dan berapa dosis efektif jus buah nanas (Ananas comosus L.) yang dapat menimbulkan efek antiinflamasi dan analgesik. Cara pengujian yang metode tersebut dapat digunakan untuk analgesik pusat dan analgesik perifer, dan untuk menguji efek anti-inflamasinya digunakan metode Langford yang dimodifikasi karena metode ini cukup spesifik untuk menguji efek anti-inflamasinya.

  1. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan diteliti adalah:

  a. Apakah jus buah nanas memiliki efek analgesik dan anti-inflamasi?

  b. Seberapa besar daya analgesik jika dibandingkan dengan daya anti-inflamasi jus buah nanas?

  2. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terkait efek analgesik dan anti-inflamasi jus buah nanas telah dilakukan, seperti : Bromelain as a Treatment for Osteoarthritis: a

  Review of Clinical Studies (Brien, Lewith, Walker, Hicks, and Middleton, 2004).

  Data yang tersedia pada penelitian ini mengindikasikan potensi bromelain dalam mengobati osteoartritis. Hasilnya, bromelain potensial digunakan untuk pengobatan osteoarthritis kronis.

  In vivo and in vitro effects of bromelain on PGE(2) and SP concentrations in the inflammatory exudate in rats (Gaspani, Limiroli, Ferrario, and Bianchi,

  2002).

  Hasil penelitian ini adalah bromelain menurunkan produksi prostaglandin PGE 2 dan substansi P yang merupakan mediator utama inflamasi.

  Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang efek analgesik dan anti- inflamasi jus buah nanas (Ananas comosus L.) pada mencit betina galur Swiss belum pernah dilakukan.

  3. Manfaat Penelitian

  a. Manfaat teoritis Menambah informasi yang sudah ada di bidang ilmu kefarmasian mengenai khasiat buah nanas.

  b. Manfaat Praktis Menambah metode pengobatan tradisional, dan informasi ilmiah mengenai jus nanas terutama sebagai salah satu obat pengurang nyeri dan antiinflamasi.

  B.

  

Tujuan Penelitian

  1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat jus nanas terutama yang digunakan sebagai pengurang rasa nyeri dan anti inflamasi

  2. Tujuan khusus

  a. Penelitian ini akan membuktikan jus buah nanas (Ananas comosus L.) memiliki efek analgesik dengan metode rangsang kimia dan anti-inflamasi dengan metode Langford yang dimodifikasi yang diujikan menggunakan mencit putih betina galur Swiss.

  b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui seberapa besar daya analgesik dan antiinflamasi yang dimiliki jus buah nanas tiap dosis yang digunakan pada penelitian ini.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Inflamasi

  1. Definisi Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, selama hospes tetap hidup ada respon yang menyolok pada jaringan hidup di sekitarnya. Respon terhadap cedera ini dinamakan peradangan. Lebih khusus lagi peradangan adalah reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut, dan sel- sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price dan Wilson,1992).

  Inflamasi merupakan suatu respon biologis dari jaringan–jaringan vaskular yang kompleks terhadap rangsangan yang dapat membahayakan seperti patogen, iritan, dan kerusakan sel. Inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organism untuk menghilangkan stimuli yang merugikan sekaligus mengawali proses penyembuhan suatu jaringan (Denko, 1992). Proses inflamasi ini diperlukan dalam penyembuhan luka. Bagaimana pun inflamasi, apabila tidak dicegah dapat menjadi sebuah awalan dari beberapa penyakit seperti vasomotor rhinnorhoea, rheumatoid arthritis, dan atherosclerosis (Henson and Murphy, 1989).

  2. Klasifikasi Inflamasi secara umum dibagi menjadi 3 fase, yakni : inflamasi akut, respon jaringan, hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada umumnya didahului oleh pembentukan respon imun (Katzung, 2001). Fase ini ditandai dengan adanya vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler (Vogel, 2002).

  Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respon imun bagi hospes mungkin menguntungkan, seperti bilamana ia menyebabkan organisme penyerang menjadi difagositosis atau dinetralisir. Sebaliknya, akibat tersebut juga dapat bersifat merusak bila menjurus kepada inflamasi kronis. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah mediator yang tidak begitu berperan dalam respon akut seperti interferon, platelet-derived growth factor (PDGF) serta interleukin-1,2,3 (Katzung, 2001). Pada fase ini terjadi degenerasi jaringan dan fibrosis (Vogel, 2002).

  3. Penyebab dan Gejala Penyebab inflamasi dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan kombinasi ketiga agen tersebut (Mutschler, 1986). Gejala proses inflamasi akut yang sudah dikenal meliputi

  

rubor, calor, dolor, tumor, dan functio laesa (Wilmana, 1995). Mediator kimiawi

  pada reaksi inflamasi yaitu histamin dan bradikinin. Eikosanoid, pada dasarnya terdiri dari prostaglandin, tromboksan dan leukotrien (Rang, Dale, Ritter, and Moore, 2003).

  Kemerahan (rubor), biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola ke dalam mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggungjawab atas warna merah lokal karena peradangan akut. Panas (calor), berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi radang akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari

  o

  37 C, yaitu suhu di dalam tubuh.

  Rasa sakit (dolor) dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion- ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkab peningkatan tekanan lokal, yang tanpa dapat diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

  Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal (tumor). Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.

  Functio laesa yaitu berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami

  peradangan (Sander, 2003). Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee dan Hayes,1996). Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit; pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya

  4. Mekanisme Mekanisme terjadinya radang sangat dipengaruhi oleh senyawa dan mediator yang dihasilkan oleh asam arakidonat. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase diaktifkan untuk mengubah fosfolipida yang terdapat di membran sel tersebut menjadi asam arakidonat (Gambar 1) (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Enzim siklooksigenase mengubah fosfolipida yang terdapat dalam membran sel tersebut menjadi senyawa prostaglandin dan tromboksan. Enzim siklooksigenase (COX) yang terlibat dalam reaksi ini ada 2 tipe, yaitu COX-1 dan COX-2 (Nandave, Ojha, and Arya, 2006). COX-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di pelat- pelat darah, ginjal, dan saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). COX-1 bersifat konstitutif (selalu ada) dan terlibat dalam homeostasis. COX-2 dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tapi diinduksi dalam sel-sel yang meradang (Rang dkk, 2003).

  Beberapa NSAID seperti asetaminofen memiliki aktivitas antiinflamasi yang lemah dan lebih berpotensi sebagai antipiretik dan analgetik karena mekanisme aksinya sebagai inhibitor COX- 3, sehingga lebih digunakan sebagai antipiretik dan analgetik daripada sebagai obat antiinflamasi. NSAID selektif COX-2 memiliki efek samping pada kardiovaskular yaitu dapat meningkatkan resiko terjadinya AMI (Acut

  

Myocardial Infarction ) karena mempunyai penghambatan yang sangat kuat terhadap

  COX-2, sedangkan COX-2 mempunyai fungsi fisiologis dalam mensintesa

  Sebaliknya COX-1 tidak dihambat sehingga akan terjadi trombo embolik oleh aktivitas tromboxan. Hal ini sangat berbeda dengan golongan NSAID yang bekerja secara selektif preferential COX-2. Dimana penghambatan pada COX-2 nya tidak sekuat golongan rofecoxib. Sehingga tidak mengganggu fungsi fisiologis COX-2 yang berguna pada kardiovaskular, sehingga golongan NSAID ini disebut aman untuk kardiovaskular. Salah satu NSAID yang bekerja selektif preferential COX-2 adalah golongan Nimesulid (Ignatius, Zarraga, and Ernest, 2007).

  Lipooksigenase ialah enzim yang mengubah asam arakidonat menjadi senyawa leukotrien. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat pada eosinofil, neutrofil, dan makrofag dan mendorong terjadinya bronkokonstriksi dan perubahan permeabilitas vaskuler. Kinin dan histamin juga dikeluarkan di tempat kerusakan jaringan, sebagai unsur komplemen dan produk leukosit dan platelet lain. Stimulasi membran neutrofil menghasilkan oxyangen free radicals. Anion superoksid dibentuk oleh reduksi oksigen molekuler yang dapat memacu produksi molekul lain yang reaktif, seperti hidrogen peroksid dan hydroxyl radicals. Interaksi substansi- substansi ini dengan asam arakidonat menyebabkan munculnya substansi kemotaktik, oleh karena itu memperlama proses inflamasi (Wibowo dan Gofir, 2001). Keterangan :

  = menghambat PG = prostaglandin PGI = prostasiklin 2 TX = troboksan LT = leukotrien

  HETE = hydroxyeicosatetraenoic acid HPETE = hydroperoxyeicosatetraenoic acid = platelet-activating factor

  PAF NSAIDs = Non-Steroidal Anti-inflammatory Drugs

Gambar 1. Mekanisme Inflamasi (Rang dkk, 2003)

B. Nyeri

  Nyeri adalah suatu kondisi yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu gejalanya. Karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya (Esvandiary, 2006)

  Tjay dan Rahardja (2002) menyatakan bahwa nyeri sebagai perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri sendiri berfungsi untuk mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh kita dan dapat memudahkan diagnosis penyakit tersebut dengan melihat sifat dan tempat terjadinya nyeri tersebut. Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).

  Nyeri akan muncul ketika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaiui ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Ketika terjadi rangsang nyeri dan melampaui nilai ambang nyeri, maka akan terjadi kerusakan jaringan dan pelepasan mediator-mediator nyeri (Mutschler, 1986). Mediator nyeri ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Mediator-mediator nyeri yang juga disebut autocoida ini antara lain histamin, prostaglandin, serotonin, bradikinin, dan leukotrien. Mediator nyeri ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi peradangan, kejang-kejang, dan demam (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Menurut DiPiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri terdiri atas 4 tahap yaitu stimulasi, transmisi, persepsi nyeri dan modulasi.

  a.

   Stimulasi

  Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat rangsangan mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan

  • menyebabkan lepasnya bradikinin, K , prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang (Dipiro dkk, 2008)

  b. Transmisi Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen A δ dan C. Serabut saraf aferen tersebut merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s dorsal

  

horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi P, dan

kalsitonin (Dipiro dkk, 2008).

  c. Persepsi Nyeri Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan, meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya, perubahan biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat memperparah rasa nyeri (Dipiro dkk, 2008). d. Modulasi Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor- reseptor ( seperti μ, δ, dan κ) yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).

  Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.

  Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003). Proses timbulnya nyeri dapat dilihat pada gambar 2.

  Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri (Rang dkk, 2003) Keterangan : = menginduksi

  • = menghambat

  BK = Bradikinin 5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin) SP = Substansi P PG = Prostaglandin NGF = Neuron Growth Factor atau Faktor Pertumbuhan Neuron CGRP = Calcitonin gene-related peptide NA = Nor Adrenalin GABA = Gama Amino Butiric Acid (asam γ- aminobutirat) Menurut Greene dan Harris (2000), ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri yaitu: 1. serabut A-

  β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls (30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan;

  2. serabut A- δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecepatan konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya; dan

  3. serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul.

  Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalaman (viseral). Nyeri somatik dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah tertusuk dengan jarum pada kulit, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar di sekitarnya. Contoh yang paling dikenal dari nyeri dalam adalah sakit kepala yang dalam berbagai oleh reaksi afektif dan vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri dalaman (viseral) terjadi antara lain ada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang, dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).

  Berdasarkan waktu terjadinya, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut diperantarai oleh serabut saraf A δ dengan adanya rangsang nyeri mayor (trauma fisik, infark miokard, peptic ulcer) dan bereaksi cepat. Nyeri kronik diperantarai oleh serabut saraf C (Laurence, Bennet, and Brown, 1997). Nyeri persisten dapat berupa nyeri akut maupun kronis. Nyeri persisten dipengaruhi oleh sensitisasi sentral dan kerusakan jaringan perifer (Coderre dan Katz, 1997).

  Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat kemungkinan-kemungkinan berikut : 1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgetika yang bekerja perifer, 2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi, 3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika induksi, 4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan

  5.

mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia,

C. Nanas

1. Klasifikasi umum

  Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Monocotyledonae (Liliopsida) Ordo : Farinosae (Bromeliales) Famili : Bromiliaceae Genus : Ananas Species : Ananas comosus L. (Van Steenis, 1992)

2. Nama

  1. Sinonim

  

Ananas comosus Merr. , Ananas comosus L., Bromelia comosa L., Ananas

sativus (Lindley) Schulters f, Ananassa sativa Lindl, Bromeliad

  2. Nama Daerah : Sumatera : Ekahauku, anes, nas, henas, kenas, honas, hanas, gona, asit, masit, enas, kanas, nanas, naneh, kanyas, nyanyas. Jawa : Danas, ganas, nanas, lanas.

  Kalimantan : Kanas, samblaka, malaka, uro usan, kayu usan, kayu ujan, belasan. Nusa Tenggara : Manas, nanas, aruna, fanda pandal, panda jawa, nana, peda, anana, pedang, parangena, nanasi. Sulawesi : Tuis mongondow, na’asi, nanasi, tuis, tuis ne walanda, busa, pinang, nanati, lalato, pandang, edan, ekam, hedan, asne,ngewu. Maluku : Ai nasi, than bababa, kai nasi, bankalo, kampora, kanasoi, anasu, banggala, bangkala, kai nasu, kambala, kampala, arnasinu, kanasi, kunasin, mangala, nanasi, nanasu, anasul, kalnasi, nanaki, nanas.

  3. Nama asing :

  Pineapple (inggris)

3. Morfologi Herba yang kokoh; tinggi 0,5-1,5 m; pada pangkalnya ada tunas merayap.

  Daun bentuk garis, tebal, ulet, 80-120 kali 2-6 cm, denan ujung lancip serupa duri, sepanjang tepi umumnya dengan duri menempel yang membengkok keatas, dari sisi bawah bersisik putih. Bunga tersusun dalam bulir yang sangat rapat, terminal(di ujung) dan bertangkai panjang. Poros bulir besar, pada ujung dengan daun pelindung yang lebih besar, tidak berisi bunga, merupakan roset yang rapat. Daun pelindung pada pangkal bunga dengan basis yang diperlebar, bergigi tajam, merah, kekuning- kuningan atau hijau, panjang 2-5 cm. Buluh kelopak sebagian tenggelam dalam poros bulir, seperti halnya dengan bakal buah, bersama-sama membentuk tonjolan yang persegi 5, taju kelopak bulat telur segi tiga, berdaging, panjang + 1 cm, mudah rontok. Daun mahkota lepas bentuk garis memanjang, panjang + 2 cm, putih dan ungu, dari dalam pada pangkalnya dengan 2 pinggiran yang menonjol, agak berkuku. Buah semu berdaging, hijau sampai oranye, biji kecil dan kerapkali tidak menjadi. Dari Amerika tropis; disini ditanam untuk buahnya, kadang-kadang sebagai perhiasan; 1-1.300 m. (Anonim, 1987).

  4. Kandungan Kimia Per 100 g nanas mengandung karbohidrat 12.63 g, gula 9.26 g, serat 1.4 g, lemak 0.12 g, protein 0.54 g, thiamine (Vit. B1) 0.079 mg (6%), riboflavin (Vit.B2)

  0.031 mg (2%), niacin (Vit. B3) 0.489 mg (3%), pantothenic acid (B5) 0.205 mg (4%), vitamin B6 0.110 mg 8%, folat (Vit. B9) 15 μg (4%), vitamin C 36.2 mg (60%), kalsium 13 mg (1%), zat besi 0.28 mg (2%), magnesium 12 mg (3%), fosfor 8 mg (1%), kalium 115 mg (2%), zinc 0.10 mg (1%).

  Nanas juga mengandung enzim bromelain yang merupakan enzim proteolitik yang berkhasiat sebagai agen antiinflamasi. Selain itu juga dilaporkan terdapat kandungan vanillin, metil-propil keton, asam n-valerianic, asam isokapronat, asam akrilat, L(-)-asam malat, asam β-metiltiopropionat metil ester (dan etil ester), 5- hydroksitriptamine, asam kuainat-1, 4-di-p-kumarin (List dan Horhammer, 1979). Selain itu nanas juga mengandung beta-karoten.

5. Monografi nanas (Ananas comosus L.)

  Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah

  

Ananas comosus L. Nanas, nenas, atau ananas (Ananas comosus L.) adalah sejenis

  tumbuhan tropis yang berasal dari Brazil, Bolivia, dan Paraguay. Tumbuhan ini termasuk dalam familia nanas-nanasan (Famili Bromeliaceae). Perawakan tumbuhannya rendah, yang panjang, berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal. Buahnya dalamdisebut sebagai pineapple karena bentuknya yang seperti pohon pinus. Nama 'nanas' berasal dari sebutan orang Tupi untuk buah ini: anana, yang bermakna "buah yang sangat baik". Burung penghisap madu (hummingbird) merupakan penyerbuk alamiah dari buah ini, meskipun berbagai serangga juga memiliki peran yang sama (Duke,1979)

  2. Bromelain Bromelain yang didapat dari Ananas comosus L. atau tanaman nanas adalah nama umum dari famili enzim proteolytik. Penggunaan bromelain yang paling sering adalah agen anti-inflamasi dan anti-edema, antitrombotik dan aktivitas fibrinolitik telah dilaporkan (Contreras, et al , 2008). Bromelain dikategorikan sebagai suplemen makanan oleh FDA Amerika Serikat dan terdapat pada daftar senyawa yang diketahui aman. Produk yang terdapat di pasaran paling sering dibuat dari bromelain batang, dimana ekstrak diambil dari jus nanas yang didinginkan yang telah disentrifugasi, ultrafiltrasi, lipofilisasi, dan senyawa yang telah diolah menjadi tersedia untuk umum dalam bentuk serbuk, krim, tablet, atau kapsul. Bromelain terbukti lebih efektif ketika dikonsumsi secara oral. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa bromelain dosis rendah dengan mudah terdegradasi oleh inhibitor protease dalam plasma darah dan itulah sebabnya pemberian oral dapat membantu bromelain mempertahankan aktifitas proteolitiknya. Direkomendasikan bromelain dikonsumsi saat perut kosong, karena dapat berinteraksi dengan beberapa macam makanan. Dosis yang direkomendasikan pada literatur sangat bergantung pada indikasi klinisnya.

D. Obat Antiinflamasi Non Steroid

  Pengobatan pasien dengan antiinflamasi mempunyai 2 tujuan utama: pertama, meringankan rasa nyeri yang sering kali merupakan gejala awal yang terlihat dan keluhan utama pasien dan kedua, memperlambat atau membatasi proses perusakan pada jaringan. Pengurangan inflamasi dengan obat-obat antiinflamasi non steroid seringkali berakibat rasa nyeri mereda selama periode yang bermakna (Katzung, 2001).

  Obat anti-inflamasi berdasarkan mekanisme kerjanya secara umum dibagi dalam 2 (dua) golongan yaitu golongan steroid dan golongan non steroid. Obat antiinflamasi golongan steroid memiliki daya anti-inflamasi kuat yang mekanismenya terutama menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya, sedangkan obat antiinflamasi golongan non steroid (NSAID) bekerja melalui mekanisme lain seperti inhibisi siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Anonim, 1991).

  Obat antiinflamasi golongan non steroid (NSAID) memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, analgetik dan antipiretik (Derle, Gujar, and Sagar, 2006). NSAID berperan sebagai antiinflamasi dengan satu atau beberapa mekanisme diantaranya yaitu dengan inhibisi metabolisme asam arakidonat, inhibisi siklooksigenase (COX) atau inhibisi sintesis prostaglandin, inhibisi lipooksigenase, inhibisi sitokin, pelepasan hormone steroid, stabilisasi membrane lisosom, dan pelepasan fosforilasi oksidatif (Kohli, Ali, and Raheman, 2005). Hampir semua NSAID adalah menghambat sintesis prostaglandin dengan inhibisi COX-1 dan COX-2 (Derle dkk, 2006). Didasarkan pada selektifitasnya terhadap COX, NSAID dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan yaitu non selektif COX inhibitor, meliputi aspirin, indometasin, diklofenak, piroksikam, ibuprofen, naproxen, dan asam mefenamat; selektif COX-2 inhibitor meliputi nimesulid, meloksikam, nabumeton, dan aseklofenak; sangat selektif COX-2 inhibitor meliputi celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib, etoricoxib dan lumiracoxib (gambar 3) (Derle dkk, 2006).

  

NSAID

COX-2 inhibitor Non selektif

  COX-2 inhibitor selekt if COX-2 inhibitor sangat selektif aspirin indometasin diklofenak piroksikam ibuprofen naproxen asam mefenamat nimesulid meloksikam nabumeton asekl ofenak celecoxib rofecoxib valdecoxib parecoxib etoricoxib lumiracoxib

  Gambar 3. Klasifikasi obat NSAID (Derle dkk, 2006)

E. Diklofenak

  Diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Struktur kimia diklofenak ditunjukkan pada Gambar 4.

  O Cl HO N H

  Cl

  Gambar 4. Struktur kimia diklofenak (Hanson, 2000) Diklofenak merupakan obat antiinflamasi yang efektif, memiliki waktu paruh eliminasi 1-2 jam (Chowdary, Mohapatra, and Murali, 2006), dapat larut di (dalam) air dan pH asam (1-3) tetapi dengan cepat dapat larut dalam pH bersifat alkali (5-8) (Manjunatha, Ramana, and Satyanarayana, 2007). Diklofenak juga dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan dan peptic ulcer dan pendarahan pada saluran pencernaan bila digunakan dalam jangka panjang (Chowdary, et.al, 2006).

  Diklofenak memiliki kecepatan klirens yang tinggi (Yeole, Galgatte, Babla, and Nakhtat, 2006), dan merupakan salah satu obat NSAID yang banyak digunakan (Thakare and Singh, 2006).

  Aktivitas diklofenak yaitu menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan prostaglandin terhambat (Anonim, 2000). Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang relatif nonselektif dan kuat (Katzung, 2001). Dosis oral natrium diklofenak adalah 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara pemberian adalah 150 mg (Anonim, 2000).

F. Analgetika

  Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberikan penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek samping dan terapinya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (Anonim, 1995).

  Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja, dan efek sampingnya, analgetika dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

  3. Analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika)

  4. Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi (Mutschler,1986).

  Analgetika dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu analgetika opioid (narkotik) dan analgetika non narkotik.

  1. Analgetika Opioid (narkotik)

  Analgetika narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium dan morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetapi semua analgetika opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan suatu analgetika yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Anonim, 1995). Yang termasuk golongan obat opioid antara lain : a. obat yang berasal dari opium-morfin.

  b. senyawa semi sintetik morfin; dan

  c. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin Obat yang melawan efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid ke sel otak disebut reseptor opioid (Anonim, 1995).

  2. Analgetika non narkotik

  Analgetika non narkotik mempunyai aktivitas antipiretik, disamping meringankan nyeri. Obat-obatan golongan ini terbukti mempengaruhi metabolisme atau kerja sejumlah mediator biokimia dan sel pada proses peradangan. Mekanisme kerjanya yakni menghambat atau menghalangi biosintesis prostaglandin dan metabolisme yang bersangkutan yang merupakan penyebab nyeri, demam dan radang. Analgetika non narkotik mempunyai mekanisme perifer maupun sentral

  Analgetika golongan ini diabsorbsi dengan baik dan cepat. Kebanyakan analgetika golongan ini berdaya antipiretik dan atau antiradang. Oleh karena itu obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri saja tetapi juga pada gangguan demam dan peradangan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, otot, perut, haid, dll (Tjay dan Rahardja, 2002).