Uji efek antiinflamasi analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) pada mencit putih betina galur Swiss.

(1)

xi INTISARI

Buah belimbing (Arverrhoa carambola L.) dikenal karena bentuk bintangya yang unik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran khasiat jus buah belimbing sebagai obat antiinflamasi dan analgesik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit putih betina galurSwiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

Obyek uji dalam penelitian ini adalah jus buah belimbing yang terbagi dalam 3 peringkat dosis, yaitu 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB. Penelitian pertama merupakan penelitian daya antiinflamasi dengan menggunakan karagenin sebagai penginduksi edema pada telapak kaki mencit dan diklofenak 4,48 mg/kg BB sebagai kontol positifnya. Penelitian kedua merupakan penelitian daya analgesik mengunakan metode geliat, dengan asam asetat sebagai pengiduksi geliat dan parasetamol 91 mg/kg BB sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 dan 6,67 g/kg BB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Daya antiinflamasi jus buah belimbing dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB berturut-turut adalah 22,91%; 54,58%; dan 36,06%; sedangkan daya analgetikanya sebesar 3,24%; 70,27%; dan 56,76%. Dosis optimal jus buah belimbing yang berkhasiat sebagai antiinflamasi maupun analgesik yaitu dosis 3,34 g/kg BB.


(2)

xii ABSTRACT

Starfruit (Averrhoa carambola L.) is known for its uniqueness star shape and can be used as traditional medicine. This study aims to prove that starfruit juice really has anti-inflammatory and analgesic effect. This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The subject of this study was Swiss white female mice which ranging age are 2-3 months and its weight between 20-30 g.

The object of this study was star fruit juice which doses are divided into 3 groups, 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW. The anti-inflammatory test using carrageenin-induced edema in hind paw of the mice assay and diclofenac 4,48 mg/kg BW as positive control was performed first. Then the study continued with analgesic assay using writhing test, acetic acid as the writhing inducer and acetaminophen 91 mg/kg BW as the positive control.

The result shows that the star fruit juice at the dose 3,34 and 6,67 g/kg BW has anti-inflammatory and analgesic effect. The anti-inflammatory potency of the star fruit juice at the dose 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW were 22,91%; 54,58% and 36,06%; the analgesic potency were 3,24%; 70,27%; and 56,76%, respectively. The optimal dose of star fruit juice to get both anti-inflammatory and analgesic effect is 3,34 g/kg BW.


(3)

(Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Dewi Susanti NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

UJI EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH BELIMBING (Averrhoa carambolaL.) PADA MENCIT PUTIH BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Dewi Susanti NIM: 068114126

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2010


(5)

(6)

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN Tuhanku,,

Engkau yang selalu berbicara padaku ketika aku kesepian Memberikanku dukungan ketika aku dirundung kecemasan

Mendengarkan suaraku saat aku jatuh

Engkau yang sudi menjadi penghiburan bagiku dalam perjalanan, Tempat berteduh di waktu hujan,

Tempat bernaung di kala panas, Tongkat penuntun dalam kelelahan,

Dan penolong dalam bahaya Engkau yang membuatku berhasil

Mencapai tujuanku, Sekarang, dan juga nanti

Pada akhir hidupku

Tulisan ini saya persembahkan untuk: Tuhan Yesus,

walaupun karya ini terlalu kecil untuk sebuah ungkapan syukur, Mama dan Papa, yang telah melahirkan, mendidik, dan mengasihi saya

selalu,

Kakak saya tercinta Yuli Suprihatini, yang tidak pernah berhenti menyayangi dan mengajari saya arti berjuang yang sesungguhnya,

Ayis Suti Wibowo dan Anjar Murtiningsih, kakak kandung sekaligus pengganti orangtua bagi saya


(8)

(9)

vii PRAKATA

Rasa syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, sebab atas segala anugerah dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Efek Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Belimbing (Averhoa carambolaL.) Pada Mencit Putih Betina Galur Swiss”, dengan baik.

Dari awal proses penyusunan proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai pada tahap penulisan skripsi, banyak hambatan dan kedala yang terjadi. Namun, berkat adanya dukungan, doa, bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak, semua bisa terselaikan dengan baik. Sehingga pada kesempatan ini, dengan segenap hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, MSi., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukkan, dan saran selama penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Mulyono, Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

masukkan, saran, dan kritik yang membangun, serta berbagai referensi buku dan jurnal.

4. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukkan, saran, dan kritik yang membangun.

5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., yang banyak memberikan bimbingan dan arahan.


(10)

viii

6. Mama, Papa, dan Ci Yuli di Surga, yang selalu menjadi motivasi penulis untuk memberikan yang terbaik.

7. Kakak saya, Ayis Suti Wibowo, atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi yang selalu menguatkan, dan selalu ada baik dalam keadaan bahagia maupun di saat paling buruk dalam hidup penulis.

8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Farmasi yang telah berbagi pengetahuan.

9. Fakultas Teknik Mekatronika Universitas Sanata Dharma yang telah bersedia memberikan pinjaman alat berupa Jangka Sorong untuk penelitian ini.

10. Mas Parjiman, Mas Heru, dan Mas Kayat, selaku laboran yang banyak membantu proses penelitian.

11. Keluarga saya terkasih di Purworejo, Bulek Sutarni, Lek Madi, Budhe Legiem, Bayu, Bela, Erlin, Mas Ripto. Juga seluruh keluarga di Jakarta, Bogor, Bandung,love you all!

12. Keluarga Purnomo, Om Cipto, Tante Yana, Ci Yoana, Kak Ino, Ezer, Edo. Serta keluarga Meilina D. Pattikawa dan Patrick Gunawan Hartono, atas segala ketulusan hati menjadikan penulis selayaknya keluarga.

13. Rekan penelitian ini, Tanti, Jeffry, dan Ricky, Gun, Felix, untuk tenaga, waktu, dan pikiran yang secara tulus diberikan.

14. Sahabat saya, Regina Citra Dewanti, untuk setiap penghiburan dan uluran bantuan, beserta segenap keluarga, Budhe Yeni, Pakdhe Rm. Priyono, Pakdhe


(11)

ix

In, Dek Adrian, Mbak Indira, Dek Ardo, Mbak Nunung, Bu Yeti untuk kehangatan sebuah keluarga.

15. Keluarga Su (baik), Cita, Krisna, Ginji, dan Fea, atas persahabatan yang unik dan indah.

16. Para sahabat, Della, Esti, Helen, Mike, Devita, Rere, Lita, Grace, Wiwit, Ciput, Henny, Riri, Jati, Sammy, atas dukungan dan semangat yang diberikan. Ryan, atas pinjamanblender-nya. Dan seluruh teman-teman angkatan 2006. 17. Reynold Steve McWhiter and all his family there,thanks for the love and care

you gave to me.

18. Semua teman dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya, atas segala kebaikan dan jasa yang telah diberikan.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu penulis selalu terbuka untuk saran, masukkan, dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga karya ini bisa bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan serta bagi masyarakat luas.


(12)

(13)

xi INTISARI

Buah belimbing (Arverrhoa carambola L.) dikenal karena bentuk bintangya yang unik dan dapat digunakan sebagai obat tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran khasiat jus buah belimbing sebagai obat antiinflamasi dan analgesik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Subyek uji yang digunakan adalah mencit putih betina galurSwiss, berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 gram.

Obyek uji dalam penelitian ini adalah jus buah belimbing yang terbagi dalam 3 peringkat dosis, yaitu 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB. Penelitian pertama merupakan penelitian daya antiinflamasi dengan menggunakan karagenin sebagai penginduksi edema pada telapak kaki mencit dan diklofenak 4,48 mg/kg BB sebagai kontol positifnya. Penelitian kedua merupakan penelitian daya analgesik mengunakan metode geliat, dengan asam asetat sebagai pengiduksi geliat dan parasetamol 91 mg/kg BB sebagai kontrol positif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus buah belimbing dosis 3,34 dan 6,67 g/kg BB terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Daya antiinflamasi jus buah belimbing dosis 1,67; 3,34; dan 6,67 g/kg BB berturut-turut adalah 22,91%; 54,58%; dan 36,06%; sedangkan daya analgetikanya sebesar 3,24%; 70,27%; dan 56,76%. Dosis optimal jus buah belimbing yang berkhasiat sebagai antiinflamasi maupun analgesik yaitu dosis 3,34 g/kg BB.


(14)

xii ABSTRACT

Starfruit (Averrhoa carambola L.) is known for its uniqueness star shape and can be used as traditional medicine. This study aims to prove that starfruit juice really has anti-inflammatory and analgesic effect. This is a pure experimental research with one-way pattern, random and complete research design. The subject of this study was Swiss white female mice which ranging age are 2-3 months and its weight between 20-30 g.

The object of this study was star fruit juice which doses are divided into 3 groups, 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW. The anti-inflammatory test using carrageenin-induced edema in hind paw of the mice assay and diclofenac 4,48 mg/kg BW as positive control was performed first. Then the study continued with analgesic assay using writhing test, acetic acid as the writhing inducer and acetaminophen 91 mg/kg BW as the positive control.

The result shows that the star fruit juice at the dose 3,34 and 6,67 g/kg BW has anti-inflammatory and analgesic effect. The anti-inflammatory potency of the star fruit juice at the dose 1,67; 3,34; and 6,67 g/kg BW were 22,91%; 54,58% and 36,06%; the analgesic potency were 3,24%; 70,27%; and 56,76%, respectively. The optimal dose of star fruit juice to get both anti-inflammatory and analgesic effect is 3,34 g/kg BW.


(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... …iii

HALAMAN PENGESAHAN……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….vi

PRAKATA………..vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..x

INTISARI……….xi

ABSTRACT………....xii

DAFTAR ISI………..xiii

DAFTAR GAMBAR...xviii

DAFTAR LAMPIRAN………...xx

BAB I PENGANTAR………...…1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian... 7


(16)

xiv

2. Tujuan khusus... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………..9

A. Belimbing ... 9

1. Sistematika ... 9

2. Kandungan kimia ... 9

3. Kegunaan... 9

4. Morfologi tanaman ... 10

B. Flavonoid ... 10

C. Peradangan ... 11

1. Pengertian peradangan ... 11

2. Terjadinya radang... 12

3. Tanda-tanda peradangan... 16

D. Nyeri ... 18

1. Pengertian nyeri... 18

2. Terjadinya nyeri ... 19

3. Jenis nyeri... 22

E. Antiinflamasi ... 23

F. Diklofenak ... 24

G. Analgetika... 25


(17)

xv

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi ... 28

J. Metode Pengujian Daya Analgetika ... 30

K. Landasan Teori ... 37

L. Hipotesis ... 38

BAB III METODE PENELITIAN……….39

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 39

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39

1. Variabel utama ... 39

2. Variabel Pengacau ... 39

3. Definisi Operasional... 40

C. Bahan Penelitian... 41

D. Alat Penelitian ... 42

E. Tata Cara Penelitian ... 42

1. Penelitian efek antiinflamasi ... 42

2. Penelitian efek analgesik ... 48

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………...55

A. Determinasi Tanaman... 55

B. Penelitian Efek dan Daya Antiinflamasi ... 55


(18)

xvi

2. Efek dan Daya Antiinflamasi Jus Buah Belimbing... 62

C. Penelitian Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 75

1. Uji Pendahuluan ... 75

2. Efek dan Daya Analgesik Jus Buah Belimbing... 81

D. Perbandingan Hasil Uji Daya Antiinflamasi dan Analgesik ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...93

A. Kesimpulan... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA……… 94

LAMPIRAN………... 97


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hasil analisis uji Scheffe antar kelompok rentang waktu pengukuran edema pada kaki mencit setelah injeksi karagenin 1% ... 57 Tabel II. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 59 Tabel III. Ringkasan hasil uji Scheffe kelompok antar waktu pemberian dosis efektif diklofenak ... 61 Tabel IV. Rata-rata diameter edema yang terjadi pada masing-masing kelompok perlakuan…... 64 Tabel V. Ringkasan hasil ujiScheffe% daya antiinflamasi... 68 Tabel VI. Persentase potensi relatif kelompok perlakuan terhadap diklofenak sebagai kontrol positif... 70 Tabel VII. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 76 Tabel VIII. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok dosis diklofenak ... 79 Tabel IX. Hasil analisis ujiScheffeantar kelompok rentang waktu pemberian asam asetat ... 81 Tabel X. Rata-rata jumlah geliat dan %proteksi geliat yang terjadi pada kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan ... 83 Tabel XI. Hasil analisis ujiScheffepersentase penghambatan geliat... 85 Tabel XII. Rata-rata % penghambatan geliat terhadap kontrol positif... 86


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur katekin... 10 Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipid dengan garis besar aksinya dan tempat aksi obat antiinflamasi…... 13 Gambar 3. Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana ... 21 Gambar 4. Struktur diklofenak ... 24 Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri (menurut Keldel) ... 26 Gambar 6. Struktur parasetamol ... 27 Gambar 7. Data edema yang terjadi pada kaki mencit pada rentang waktu tertentu setelah injeksi karagenin 1% subplantar ... 56 Gambar 8. Data hasil orientasi dosis efektif diklofenak ... 58 Gambar 9. Data hasil orientasi wakt efektif diklofenak ... 60 Gambar 10. Diagram batang rata-rata % daya antiinflamasi kelompok perlakuan terhadap kontrol karagenin ... 66 Gambar 11. Diagram batang % potensi relative kelompok perlakuan terhadap diklofenak sebagai kontrol positif... 70 Gambar 12. Serangan radikal hidroksil pada karbon 15 dari asam arakidonat... 72


(21)

xix

Gambar 13. Pembentukan prostaglandin melalui adisi karbon 9 dan 11 oleh radikal

superoksid ... 72

Gambar 14. Reaksi penangkapan radikal hidroksil oleh katekin... 73

Gambar 15. Hasil penetapan dosis efektif asam asetat ... 76

Gambar 16. Hasil orientasi dosis efektif parasetamol ... 78

Gambar 17. Hasil orientasi selang waktu pemberian asam asetat ... 80

Gambar 18. Diagram rata-rata % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif ... 86

Gambar 19. Grafik profil geliat kelompok perlakuan jus buah belimbing dan parasetamol ... 88

Gambar 20. Diagram batang daya antiinflamasi dan analgesik pada jus buah belimbing ... 90


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi buah belimbing ... 97 Lampiran 2. Gambar alat blender yang digunakan untuk membuat jusBelimbing, buah belimbing yang sesuai criteria pemilihan dan jus buah belimbing konsentrasi 20% ... 98 Lampiran 3. Gambar mencit yang menggeliat sesuai dengan definisi operasional.... 98 Lampiran 4. Gambar cara pengukuran edema dengan jangka sorong ... 99 Lampiran 5. Skema kerja uji efek antiinflamasi ... 100 Lampiran 6. Skema kerja uji efek analgesik ... 101 Lampiran 7. Data penetapan rentang waktu pengukuran edema dan analisis statistiknya ... 102 Lampiran 8. Data Penetapan Dosis Efektif Diklofenak dan Analisis Statistiknya... 105 Lampiran 9. Data Penetapan Waktu Pemberian Dosis Efektif Diklofenak dan Analisis Statistiknya... 108 Lampiran 10. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah belimbing pada kelompok perlakuan ... 111 Lampiran 11. Data diameter edema pada uji efek antiinflamasi jus buah belimbing112 Lampiran 12. Data % daya antiinflamasi dan analisis statistiknya... 115 Lampiran 13. Rata-rata % daya antiinflamasi dan potensi relatif kelompok perlakuan terhadap diklofenak sebagai kontrol positif ... 118


(23)

xxi

Lampiran 14. Data penetapan dosis asam asetat dan analisis statistiknya... 119 Lampiran 15. Data penetapan dosis efektif parasetamol dan analisis statistiknya ... 121 Lampiran 16. Data penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat ... 124 Lampiran 17. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik beserta analisis statistiknya………127 Lampiran 18. Data % penghambatan geliat terhadap kontrol negatif pada uji analgesik

dan analisis statistiknya... 130 Lampiran 19. Data % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif (parasetamol 91 mg/kg BB) dan analisis statistiknya ... 133


(24)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Peradangan merupakan reaksi kompleks dalam jaringan yang melibatkan respon pembuluh darah dan leukosit. Peradangan mungkin menjadi berbahaya dalam beberapa situasi. Mekanisme peradangan untuk menghancurkan penginvasi dan jaringan nekrosis memiliki kemampuan intrinsik untuk merusak jaringan normal. Ketika peradangan tidak tepat sasaran dan merusak jaringan itu sendiri atau peradangan tidak terkontrol dengan baik, maka hal ini bisa menjadi penyebab kerusakan dan penyakit (Kumar, Abbas, Fausto, dan Aster, 2010).

Manifestasi klinis dan patologi dari respon peradangan disebabkan oleh beberapa reaksi. Fenomena vaskuler pada peradangan akut ditandai dengan adanya peningkatan aliran darah menuju daerah yang terluka, akibat dari dilatasi arteriola dan pembukaan kapiler karena induksi mediator seperti histamin. Meningkatnya permeabilitas vaskuler mengakibatkan akumulasi cairan protein ekstraseluler yang menimbulkan eksudat. Protein plasma keluar dari pembuluh darah, sebagian besar melewati cell junctioninterendotelial vena yang melebar. Kemerahan (rubor), panas (kalor), dan bengkak (tumor) pada peradangan disebabkan karena meningkatnya aliran darah dan edema. Leukosit yang tersirkulasi, yang didominasi neutrofil, bermigrasi ke daerah yang terluka. Leukosit yang teraktivasi akan melepaskan metabolit toksik dan enzim protease, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.


(25)

Ketika terjadi kerusakan jaringan, dan adanya pelepasan prostaglandin, neuropeptida, dan sitokin, salah satu simpton lokal peradangan adalah nyeri (dolor) (Kumar dkk., 2010).

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2007). Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Pada beberapa penyakit, misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir, meringankan nyeri kadang-kadang merupakan satu-satunya tindakan yang berharga (Mutschler, 1986).

Secara umum, pengatasan peradangan dan nyeri dapat dijelaskan sebagai berikut: penghambatan pembentukkan prostaglandin, yaitu suatu mediator peradangan dan nyeri. Penghambatan bisa dilakukan dengan berbagai cara: (i) penghambatan pembentukan asam arakidonat oleh obat-obat steroid, (ii) penghambatan enzim siklooksigenase (COX) oleh obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS), dan (iii) penghambatan radikal bebas oleh senyawa antioksidan (Rang dkk., 2007). Dengan dihambatnya prostaglandin, maka perdangan dapat diatasi. Sedangkan rasa nyeri juga berkurang karena reseptor nyeri tidak tersensibilitasi oleh prostaglandin (Mutschler, 1986).


(26)

Beberapa senyawa alam yang terdapat dalam tumbuhan memiliki aktivitas sebagai penghambat radikal bebas atau secara luas dikenal sebagai senyawa antioksidan. Salah satu tanaman yang memiliki kandungan senyawa antioksidan adalah belimbing(Averrhoa carambolaL.) yang merupakan suku oksalidaceae. Buah belimbing, memiliki kandungan polifenol dan asam askorbat yang diketahui sebagai antioksidan (Wakte, Patil, Patil, dan Phatak, 2007). Hal ini dikuatkan dengan hasil penelitian (Sari, 2008) yang menyatakan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing (Averrhoa carambola L.) memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL, sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat,

karena nilai IC50 kurang dari 200 µg/mL. Selain itu, sebelumnya juga pernah

dilakukan pengujian beberapa efek farmakologi buah Averrhoa carambolaLinn pada hewan percobaan, yang salah satunya menunjukkan adanya efek analgesik sari buah pada dosis 2,5; 5; dan 10 ml/kg BB (Rianti, Padmawinata, dan Andreanus, 1978).

Berdasarkan pada uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ada tidaknya efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah belimbing manis. Dalam penelitian ini digunakan jus, bukan sari, karena di masyarakat jus lebih terjangkau dibandingkan sari, karena dalam pembuatan sari dibutuhkan alatjuice extractor, yang cukup mahal.

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode rangsang edema, karena metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk skrining sebaik untuk evaluasi mendalam. Sedangkan untuk menguji efek analgesik


(27)

digunakan metode geliat, karena metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral maupun perifer. Metode ini juga telah banyak digunakan dan direkomendasikan sebagai suatu metode skrining yang cukup sederhana (Vogel, 2002).

1. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) mempunyai efek antiinflamasi dan atau analgesik?

b. Seberapa besar daya antiinflamasi dan atau analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambolaL.)?

2. Keaslian penelitian

Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti dan sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang efek antiinflamasi dan analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu:

a. Pengujian Beberapa Efek Farmakologi Buah Averrhoa carambola Linn pada hewan percobaan (Rianti dkk., 1978), dan disimpulkan bahwa sari buah Averrhoa carambola Linn memiliki efek analgesik pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kg BB, efek diuretik dan hipoglikemik pada dosis 5 dan 10 ml/kg BB. Sari buah 2,5; 5; dan 10 ml/kg BB tidak menunjukkan efek antipiretik pada tikus, sedangkan ekstrak kloroform pada dosis 40 mg/kg BB (setara dengan 25,4 g


(28)

buah segar) hanya menunjukkan efek hipoglikemik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah pada penelitian ini digunakan sari buah belimbing, sedangkan penulis menggunakan jus buah. Selain itu, dosis yang digunakan penulis juga tidak sama dengan penelitian sebelumnya.

b. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol 96% Buah Belimbing(Averrhoa carambola L.) dengan metode 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) (Sari, 2008), dan disimpulkan bahwa ekstrak etanol 96% buah belimbing memiliki aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh nilai IC50 sebesar 28,82 ± 0,04 µg/mL,

sehingga digolongkan sebagai antioksidan kuat, karena nilai IC50kurang dari

200 µg/mL. Kandungan senyawa yang bertanggung jawab sebagai antioksidan adalah polifenol dan vitamin C.

c. Antioxidant and Antimicrobial Activities of Averrhoa carrambola L. Fruit (Wakte dkk., 2007), dan disimpulkan bahwa daya antioksidan ekstrak Averrhoa carambola L. bergantung pada konsentrasi dan tingkat kematangan buah. Nilai IC50muda, setengah masak, dan masak secara berurutan 300, 250,

dan 250 µg/mL.

d. Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola Linn) (Sukadana, 2009), dan disimpulkan bahwa isolat flavonoid fraksi FB dari ekstrak kental air buah belimbing manis diduga


(29)

dan C-4’. Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah diduga bahwa isolat flavonoid mengandung gugus OH, C-H aromatik, C-H alifatik, C=C aromatik, C-O alkohol dan tidak adanya gugus C=O. Dan fraksi tersebut diduga dapat menghambat bakteri gram positif dan gram negatif mulai dari konsentrasi 500 ppm dan 100 ppm.

e. Anti-inflammatory and Bactericidal Properties of Selected Indigenous Medical plants Used for Dysuria (Sripanidkulchai, Tattawasart, Laupattarakasem and Wongpanich, 2002), dan disimpulkan bahwa pemberian secara intraperitoneal ekstrak air akar Carica papaya (10 g/kg BB, p.o.), Ananas comosus (20 g/kg BB, i.p.), dan tangkai pohonAverrhoa carambola (20 g/kg BB, i.p.) pada jam pertama setelah induksi karagenin, memberikan efek antiinflamasi yang setara dengan asam asetilsalisilat (ASA) 300 mg/kg BB sebagai kontrol positif. Namun, setelah jam kedua dan ketiga, ekstrak-ekstrak tersebut menunjukkan aktivitas anti-inflamasi yang lebih kuat daripada ASA. Untuk aktivitas antibakteri, Staphylococcus aureus paling sensitif terhadap ekstrak A. caramboladengan kadar bunuh minimum (KBM) 15,62 mg/ml atau kurang, ekstrakC. rotundus dan I. cylindrica menghambat E. coli, Ps. aeruginosa, dan S. aureus dengan KBM 62,5 mg/mL. C. papaya danA. comosustidak menunjukkan aktivitas antibakteri.


(30)

3. Manfaat penelitian

Dengan adanya penelitian tentang daya antiinflamasi dan analgesik jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) diharapkan akan diperoleh manfaat sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi terutama dalam bidang ilmu kefarmasian mengenai khasiat buah belimbing (Averrhoa carambolaL.) sebagai antiinflamasi dan analgesik.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam penyediaan obat tradisional sebagai alternatif dalam mengurangi peradangan dan rasa nyeri.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk menambah informasi mengenai khasiat jus buah belimbing terutama yang digunakan sebagai antiinflamasi dan pengurang rasa nyeri.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui ada tidaknya efek antiinflamasi dengan metode Langford, Holmes, dan Emele (1972) dan atau analgesik dengan metode geliat pada jus buah belimbing (Averrhoa carambolaL.).


(31)

b. Mengetahui besarnya daya antiinflamasi dan atau analgesik pada masing-masing dosis jus buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang digunakan dalam penelitian ini.


(32)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Belimbing

1. Sistematika

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Gymnospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Geranilases Famili : Oxalidaceae Genus : Averrhoa

Spesies :Averrhoa carambolaL. (Lawrence, 1951) 2. Kandungan kimia

Buah belimbing mengandung asam oksalat (0,03% dari berat buah segar), vitamin C (0,05% dari berat buah segar), monopolisakarida, karotenoid (Heber, 2007), serta katekin (Sukadana, 2009).

3. Kegunaan

Buah belimbing digunakan untuk mengobati diare, mual, dehidrasi, hemoroid, demam, dan nyeri hati (Heber, 2007). Efek analgesik ditunjukkan pada sari buah belimbing pada dosis 5, 10, dan 20 ml/kg BB, efek diuretik dan hipoglikemik pada dosis 5 dan 10 ml/kg BB (Rianti dkk., 1978). Selain itu, Sari (2008) menyatakan ekstrak etanol 96% buah belimbing memiliki efek antioksidan.


(33)

4. Morfologi tanaman

Merupakan tanaman berbatang kayu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5 meter. Bentuk daunnya berubah-ubah dan memiliki panjang 10-12 cm. bunganya berwarna keunguan, yang tumbuh pada cabang tanaman. Bentuk bunga radial dan strukturnya bersusun lima. Buahnya merupakan buah berair, panjangnya mendekati 10 cm, dan tersusun dari lima sisi dan bentuknya menyerupai bintang jika diiris secara melintang. Jika masak akan berwarna kuning tua (Heber, 2007).

B. Flavonoid

O

OH OH

HO

OH OH

Gambar 1. Struktur katekin

(Strobel, Allard, Perez-Acle, Calderon, Aldunate, dan Leighton, 2005) Flavonoid adalah grup komponen polifenol yang terdapat di dalam buah dan sayuran. Familinya terbagi menjadi monomerik flavanol, flavanon, antosianindin, flavon, dan flavonol (Watson, 2001). Lebih dari 4000 flavonoid telah teridentifikasi di dalam berbagai buah, sayuran, dan minuman. Flavonoid menjadi menarik akhir-akhir ini karena berbagai potensi efeknya yang menguntungkan bagi kesehatan manusia. Flavonoid telah dilaporkan memiliki aktivitas antiviral, anti alergi, antiplatelet, antiinflamasi, antitumor, dan antioksidan (Buhler dan Miranda, 2000).


(34)

Flavonoid dikenal sebagai kelator transisi logam; sebagian besar uji inhibisi lipid peroksidasi mengukur kombinasi aktivitas pengkelat transisi logam (biasanya besi) dan penangkapan radikal bebas. Flavonoid memiliki elemen struktur kimia yang mungkin bertanggung jawab atas aktivitas antioksidan. Penelitian terkini oleh Dr. Van Acker dan koleganya di Belanda menunjukkan bahwa flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai chain-breaking anti-oxidant di dalam membran mikrosomal liver. Peran flavonoid sebagai antioksidan dalam sistem pertahanan tubuh bisa didapatkan dengan komsumsi flavonoid 50-800 mg perhari. Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi dari gugus hidroksil dan rantai lain dalam stuktur kimia flavonoid penting untuk aktivitas antioksidan dan penangkapan radikal bebas (Watson, 2001; Buhler and Miranda, 2000).

C. Peradangan 1. Pengertian peradangan

Peradangan merupakan suatu mekanisme respon pertahanan tubuh yang fundamental, dirancang untuk membebaskan diri dari penyebab awal kerusakan pada sel (misalnya mikrobia, racun) dan akibatnya (seperti nekrosis sel dan jaringan). Tanpa peradangan, infeksi akan berlangsung tanpa terdeteksi, kerusakan tidak akan sembuh, dan kerusakan jaringan mungkin akan bertahan sehingga sangat menyakitkan (Kumar dkk., 2010).


(35)

2. Terjadinya radang

Inflamasi akut merupakan respon cepat tubuh dengan mengirim leukosit dan protein plasma, seperti antibodi, menuju ke daerah infeksi atau kerusakan jaringan. Inflamasi akut memiliki 3 komponen utama: (1) perubahan dalam kemampuan vaskuler yang menyebabkan meningkatnya kecepatan alir darah, (2) perubahan struktural dalam mikrovaskuler yang memungkinkan protein plasma dan leukosit dari sirkulasi mikro, terakumulasi di daerah yang rusak, dan terkaktivasinya kedua komponen tersebut berfungsi untuk mengeliminiasi agen penyebab kerusakan (Kumar dkk., 2010).

Beberapa sel dan mediator-mediator terlibat dalam respon alami (merupakan variasi sistem pertahanan tubuh) yang interaksinya sangat kompleks. Lebih detailnya berhubungan dengan kejadian vaskuler dan peran sel serta mediator-mediator dalam tubuh. Kejadian vaskuler merupakan awal dilatasi pada arteriola kecil yang mengakibatkan peningkatan aliran darah, yang diikuti dengan penurunan kemudian berhentinya aliran darah dan peningkatan permeabilitas vena pos kapiler, dengan eksudasi cairan. Vasodilatasi disebabkan oleh adanya beberapa mediator (histamin, prostaglandin (PG) E2 dan I2, dan sebagainya) yang dilepaskan karena adanya

interaksi antara jaringan dan mikroorganisme. Beberapa pelepasan dari mediator tersebut (seperti histamin, platelet-activating factor (PAF) dan sitokin oleh interaksi (TRL-PAMP) juga bertanggung jawab atas fase alami peningkatan permeabilitas vaskuler. Sistem kinin merupakan salah satu penghasil enzim; yang dihasilkan pada


(36)

produksi beberapa mediator inflamasi, pada umumnya bradikinin, yang berhubungan dengan kejadian seluler. Sel yang terkait dengan inflamasi, beberapa (sel endotelial vaskuler, sel mast, dan makrofag jaringan) normalnya berada di jaringan ketika platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area inflamasi (Rang dkk., 2007).

Gambar 2. Diagram ringkas dari pembentukkan mediator inflamasi yang berasal dari fosfolipid dengan garis besar aksinya dan tempat aksi obat

antiinflamasi (Rang dkk., 2007).

Eicosanoid merupakan senyawa de novo dari fosfolipid. Eicosanoid yang utama adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi fosfolipid. Eicosanoid berperan dalam pengontrolan berbagai proses fisiologis dan sebagian besar merupakan mediator serta modulator penting dari reaksi inflamasi (gambar 2).


(37)

Langkah awal dan batas kecepatan sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam arakidonat, baik dengan satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A2) maupun

dua tahap (dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, diasilgliserol). Tetapi, fosfolipase A2 (PLA2) memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan asam

arakidonat intraseluler (gambar 2). Berbagai stimulan dapat membebaskan asam arakidonat, tergantung pada tipe sel. Kerusakan sel umumnya juga memicu proses pembebasan asam arakidonat.

Asam arakidonat dimetabolisme melalui beberapa cara (gambar 2), yaitu: 1. oleh enzim siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dari dua bentuk, COX-1dan

COX-2. Enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.

2. oleh lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien, lipoksin dan komponen lain (Rang dkk., 2007).

Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah adanya pemaparan mikrobia, kemotaksin, dan kompleks imun, atau mengikuti tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem oksidasi NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal

hidroksil, merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen reaktif (Kumar dkk., 2010).

Seperti yang telah diketahui bahwa aktivasi fagosit melepaskan berbagai macam komponen, termasuk eicosanoid dan enzim proteolitik. Diawali dengan


(38)

penelitian oleh Babior pada tahun 1987, menunjukkan bahwa neutrofil yang teraktivasi juga memproduksi radikal oksigen superoksida (O. ).Superoksida dapat menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi (1):

2O. + 2H+→H2O2+ O2 (1)

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwaO. dan H2O2juga dihasilkan pada

aktivasi sel fagosit lain, meliputi monosit, makrofag, dan eusinofil. H2O2 dapat

dengan mudah terpenetrasi ke membran sel, sedangkan O. tidak bisa. Kemudian dengan adanya keberadaan ion dari transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H2O2

dapat berinteraksi dengan reduksi ion besi sehingga membentuk spesies oksidasi tinggi, yang paling penting adalah radikal hidroksil (.OH) yang menuju peroksidasi lipid.

Fe2++ H2O2→ kompleks intermediet → Fe3++.OH + OH- (2)

Reaksi (2) dapat terjadi secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit yang teraktivasi mengandung ion besi. Derivat fagosit O. dimungkinkan berperan dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk reduksi:

Fe3++O. → kompleks intermediet → Fe2++ O2 (3)

Ion besi dihasilkan dari pendesakan hem pada hemoglobin oleh H2O2

kemudian O. akan mereduksi ferritin menjadi besi. Karena itulah pendarahan di daerah inflamasi akan meningkatkan produksi radikal bebas dan memperparah kerusakan jaringan. Reaksi (2) dapat terjadi secara intraseluler, ketika H2O2


(39)

terpenetrasi ke dalam sel dan bereaksi dengan ion besi untuk membentuk .OH (Halliwell, Hoult, and Blake, 1988).

3. Tanda-tanda peradangan

Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cidera atau kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan menurut Price dan Wilson (1995), mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri), danfungsio laesa(perubahan fungsi).

a. Rubor

Rubor atau kemerahan, biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Pada waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol yang mensuplai darah pada daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau terisi sebagian saja, meregang dengan cepat sehingga menjadi terisi penuh dengan darah. Keadaan tersebut dinamakan hyperimia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia, melalui pengeluaran zat seperti histamin.

b. Kalor

Kalor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Sebenarnya, panas merupakan sifat reaksi peradangan yang


(40)

hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37oC, yaitu suhu di dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 37oC) yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang mengalami peradangan, lebih banyak daripada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah perdangan yang terjadi pada organ dalam, karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu 37oC, dan hyperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.

c. Tumor

Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah pembengkakan lokal. Pembengkakan ditimbulkan oleh adanya migrasi cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal peradangan, sebagian besar isi dari eksudat adalah cairan plasma, tetapi kemudian sel-sel darah putih akan meninggalkan aliran darah kemudian tertimbun sebagai bagian dari eksudat.

d. Dolor

Doloratau rasa sakit dari reaksi peradangan disebabkan oleh beberapa hal. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung nosiseptor. Hal yang sama, yaitu pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang nosiseptor.


(41)

Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.

e. Fungsio laesa

Fungsio laesa adalah salah satu reaksi peradangan yang terlihat mudah untuk dimengerti, mengapa bagian yang bengkak terasa nyeri dan berfungsi secara abnormal. Namun, sebetulnya tidak diketahui secara mendalam bagaimana mekanisme terganggunya fungsi jaringan oleh adanya peradangan (Price dan Wilson, 1995).

D. Nyeri 1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan pengalaman subyektif, yang sulit untuk dideskripsikan secara pasti, meskipun kita semua tahu apa yang dimaksud dengan nyeri. Secara khusus, nyeri merujuk pada sebuah respon yang ditujukan pada kejadian yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti luka, inflamasi atau kanker, tetapi nyeri yang hebat dapat muncul tersendiri oleh sebab yang tidak pasti (misal: neuralgia trigeminal), atau tetap bertahan lama setelah sembuhnya luka. Nyeri juga dapat muncul sebagai akibat dari adanya kerusakan otak atau saraf (misal: pasca stroke atau infeksi herpes) (Rang dkk., 2007).

Macam-macam kondisi nyeri belakangan ini, tidak secara langsung berhubungan dengan kerusakan jaringan (penyebab umum), dan penyebab utama


(42)

kecacatan dan stress; secara umum hal itu memiliki respon yang kurang baik terhadap obat analgesik konvensional dibanding dengan menghilangkan penyebab langsung. Pada kasus ini, kita perlu memikirkan itilah nyeri dalam konteks kelainan fungsi saraf, dibandingkan pada schizophrenia atau epilepsi, lebih dari sekedar respon normal terhadap luka pada jaringan. Namun demikian, diperlukan pembedaan dua komponen, salah satu atau keduanya yang terlibat dalam keadaan nyeri patologis: (i) saraf aferen nosiseptot perifer, yang teraktivasi oleh rangsang noksius; (ii) mekanisme sentral oleh adanya input aferen yang menghasilkan sensasi nyeri (Rang dkk., 2007).

2. Terjadinya nyeri

Menurut Raja dkk., 1999; Cesare & McNaughton, 1997; Julius & Basbaum, 2001 (cit., Rang dkk., 2007), pada kondisi normal, nyeri dihubungkan pada aktivitas elektrik dalam diameter kecil pada serat utama aferen saraf perifer. Saraf ini memiliki sensor ujung di jaringan perifer dan dapat teraktivasi oleh berbagai macam rangsang (mekanik, termal, kimia).

Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan zat nyeri (mediator nyeri). Yang termasuk ‘zat nyeri’ yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi nyeri yang meningkat pada kenaikan konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Demikian pula berbagai neurotransmitter dapat bekerja sebagai zat nyeri pada


(43)

kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-8g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dengan senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat menimbulkan nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri yang paling efektif dari kelompok transmitter. Sebagai kelompok senyawa penting lain dalam hubungan ini adalah kinin, khususnya bradikinin, yang termasuk senyawa penyebab nyeri terkuat. Prostaglandin, yang dibentuk lebih banyak dalam peristiwa nyeri, mensensibilisasi reseptor nyeri dan di samping itu menjadi penentu dalam nyeri yang lama (Mutschler, 1986). Selain prostaglandin, ada juga substantsi P yang bekerja meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut saraf nyeri tetapi tidak secara langung merangsangnya (Guyton, 1986). Pembentukan prostaglandin dapat dilihat pada gambar 2.

Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala. Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).

Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi (impuls nosiseptif) yang terbentuk pada reseptor nyeri, diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar


(44)

dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya serabut aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks somatik dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tangan tersentuh benda panas, terbentuknya eritema lokal) melalui interneuron. Disamping itu pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melaui sistem penghambatan nyeri menurun. Di bawah ini merupakan bagan proses terjadinya nyeri (gambar 3):

Rasa nyeri Lokalisasi nyeri

Reaksi Pertahan terkoordinasi Reaksi vegetatif Refleks pertahanan Pembebasan zat mediator Rangsang nyeri Impuls penghantaran nyeri yang meningkat Reaksi nyeri

Inhibisi nyeri endogen

Gambar 3.Terjadinya nyeri; penghantaran impuls; lokalisasi dan rasa nyeri serta inhibisi nyeri endogen dalam bagan sederhana

(dimodifikasi menurut Hackenthal) (Mutschler, 1986). Sistem limbik Korteks Thalamus opticus Formatio reticularis Sumsum tulang Otak kecil Reseptor nyeri


(45)

3. Jenis nyeri a. Nyeri somatik

Nyeri somatik dibagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam: 1) Nyeri permukaan

Disebut nyeri permukaan apabila rangsang bertempat dalam kulit. Mempunyai karakter ringan, dapat dilokalisasi dengan baik dan hilang cepat setelah berakhirnya rangsang.

2) Nyeri dalam

Disebut nyeri dalam apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang atau dari jaringan ikat. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Nyeri dalam seringkali diikuti oleh reaksi vegetatif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah.

b. Nyeri viseral (dalaman)

Nyeri ini disebut juga nyeri perut karena sifat menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1986).


(46)

E. Antiinflamasi

Obat-obat AINS merupakan obat modern yang paling luas penggunaannya. Obat AINS meliputi berbagai kelas terapi yang berbeda. Sebagian besar obat-obat tersebut memiliki tiga efek, yaitu:

1. efek antiinflamasi: memodifikasi reaksi inflamasi 2. efek analgesik: mengurangi nyeri berat jangka pendek 3. efek antipiretik: menurunkan kenaikan temperatur

Secara umum, berbagai efek tersebut berhubungan dengan aksi primer dari obat, yaitu menghambat siklooksigenase arakidonat sehingga produksi prostaglandin dan tromboksan juga terhambat. Meskipun demikian masing-masing obat memiliki mekanisme aksi yang berbeda-beda (Rang dkk., 2007).

Aksi utama dari AINS adalah menghambat metabolisme asam arakidonat oleh COX, seperti yang dikemukanan oleh Vine pada 1971. Baik inhibitorCOX-1maupun COX-2 hanya menghambat reaksi utama siklooksigenase. Penghambatan COX-1 bersifat instan dan reversibel, sedangkan penghambatanCOX-2 time dependent, efek meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. AINS juga memiliki aksi lain selain penghambatan COX, yaitu menghambat radikal oksigen reaktif, yang dimungkinkan berperan dalam aktivitasnya sebagai antiinflamasi. Radikal oksigen reaktif yang diproduksi oleh neutrofil dan makrofag, pada beberapa kondisi mengakibatkan kerusakan jaringan, dan AINS yang mempunyai aktivitas penghambatan radikal oksigen yang kuat, sama efektifnya dengan AINS yang memiliki aktivitas


(47)

penghambatan COX (misalnya sulindac), dalam mengurangi kerusakan jaringan (Rang dkk., 2007).

Obat antiinflamasi dapat mempengaruhi kerusakan oksidan dengan berbagai cara, yaitu: (1) menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil (.OH) dan asam hipoklorid (HOCl), (2) menghambat produksi oksidan (O.) oleh neutrofil, monosit, dan makrofag sehingga mengurangi pembentukan H2O2yang mengakibatka .

OH ikut terhambat (Halliwell dkk., 1988).

Obat AINS juga efektif melawan nyeri yang berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena dapat mengurangi produksi prostaglandin yang berfungsi mensensitisasi nosiseptor inflamasi seperti bradikinin (Rang dkk., 2007).

F. Diklofenak CH2CO2H Cl

Cl

Gambar 4. Struktur diklofenak (Dollery, 1999)

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat yang menyerupai flurbiprofen dan meclofenamate. Obat ini (gambar 4) adalah penghambat siklooksigenase yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabitas asam arakidonat. Obat ini memiliki sifat-sifat antiiflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa. Obat-obat itu cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya


(48)

antara 30-70% karena metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki waktu-paruh 1-2 jam. Seperti flurbiprofen, ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan waktu-paruh 2-6 jam dalam kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dan CYP2C9 menjadi metabolit tidak aktif. Klirens empedu bisa mencapai 30% dari klirens total (Shearn, 2002).

Diklofenak merupakan obat AINS yang poten. Diklofenak menghambat aktivitas siklooksigenase sehingga produksi prostaglandin di jaringan berkurang. Diklofenak digunakan secara luas untuk pengobatan rheumatoid arthritis dan ostheoarthritis. Pada mencit, kadar diklofenak tertinggi ditemukan pada hati, empedu, dan ginjal (Dollery, 1999).

G. Analgetika

Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping, analgetika dibedakan dalam dua kelompok, yaitu: analgetika yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgetika, ‘Kelompok Opiat’) dan analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik. Berikut ini merupakan kemungkinan-kemungkinan mekanisme aksi dari obat-obat tersebut, yaitu:


(49)

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostagladin dengan analgetika yang bekerja di perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut sensorik dengan anestetika konduksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgetika yang bekerja pada pusat atau obat narkosis,

5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (trankuilansia, neuroleptika, antidepresiva) (Mutschler, 1986).

Psikofarmaka Anestetika,

Analgetika yang bekerja sentral

Saraf Anestetika konduksi

Reseptor nyeri Anestetika permukaan

Analgesik yang bekerja perifer Gambar 5. Bagan kemungkinan pengaruh macam-macam obat terhadap nyeri

(menurut Keldel) (Mutschler, 1986).

Otak

Sumsum Tulang


(50)

H. Parasetamol

NHCOCH3 HO

Gambar 6. Struktur parasetamol (Anonim, 1995)

Parasetamol memiliki pemerian berupa serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau dan berasa sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih, dalam natrium hidroksida 1 N, dan mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995).

Asetaminofen atau parasetamol adalah metabolit aktif dari fenasetin yang bertanggung jawab akan efek analgesiknya. Parasetamol diberikan secara oral dan penyerapannya dipengaruhi oleh tingkat pengosongan perut (Shearn, 2002).

Parasetamol tidak memiliki efek antiinflamasi yang signifikan, tetapi digunakan secara luas sebagai analgesik ringan untuk nyeri yang tidak disertai peradangan. Parasetamol diabsorbsi dengan baik secara peroral dan tidak menyebabkan iritasi lambung (Neal, 1997).

Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgseik yaitu menghambat sintesis prostaglandin. Keunggulan parasetamol yaitu memiliki selektivitas jaringan yang lebih tinggi dibanding aspirin dan AINS, namun penyebabnya belum diketahui (Dollery, 1999).


(51)

I. Metode Pengujian Daya Antiinflamasi

Efek antiinflamasi dapat diukur dengan menggunakan carain vitromaupunin vivo. Secara umum, metode pengujian obat antiinflamasi terbagi menurut lama terjadinya edema yaitu inflamasi akut, subakut, dan kronik. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur daya antiinflamasi adalah sebagai berikut:

1. Metodein vitro

Metode ini digunakan untuk mengetahui peran dan pengaruh substansi-substansi fisiologis yang terlibat dalam proses inflamasi. Substansi-substansi-substansi tersebut antara lain: histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, dan lain-lain. Beberapa contoh percobaan in vitro adalah: pengikatan reseptor 3H-Bradikinin, substansi P dan golongan takikinin, karakterisasi agonis dan antagonis neurokinin, pengukuran kemotaksis leukosit polimorfonuklear (Vogel, 2002). 2. Metodein vivo

a. Uji permeabilitas vaskuler

Uji ini digunakan untuk mengevaluasi aktivitas penghambatan obat melawan peningkatan permeabilitas vaskuler yang diinduksi oleh subtansi flogistik. Mediator-mediator inflamasi dilepaskan setelah sel mast terstimulasi. Kejadian tersebut memicu dilatasi arteriola dan vena serta peningkatan permeabilitas vaskuler, sehingga terjadi edema. Obat yang dapat menstabilkan membran dapat mengurangi permeabilitas kapiler. Permeabilitas vaskuler dapat dipicu dengan ijeksi komponen degranulasi sel mast secara


(52)

intrakutan. Kenaikan permeabilitas dapat diamati dengan menginjeksikan pewarnaEvan’s bluepada kulit yang diinduksi (Vogel, 2002).

b. Uji granuloma

Hewan uji yang berupa tikus putih betina galur Wistar diinjeksi dengan 10-25 mL udara secara subkutan pada bagian punggungnya, kemudian 0,50 mL minyak Croton dan karagenin sebagai iritan ditambahkan untuk mencegah udara keluar. Obat yang akan diuji mulai diberikan setiap hari secara peroral setelah pembentukan kantong edema. Pada hari kedua setelah pembentukan kantung edema, udara dikeluarkan. Untuk uji aktivitas lokal, obat yang diuji diinjeksikan pada kantong udara pada saat bersamaan dengan iritan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot, selanjutnya diukur volume cairannya. Uji ini lebih responsif untuk uji obat antiinflamasi steroid daripada nonsteroid (Vogel, 2002). Persen inhibisi granuloma dihitung dengan membandingkan volume cairan eksudat kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (Khanna dan Sharma, 2001).

c. Edema pada kaki

Prinsip utama dalam metode edema pada kaki ini berdasarkan pada kemampuan senyawa uji dalam menghambat peradangan pada kaki hewan uji yang telah diinjeksi dengan agen flogistik. Tikus jantan dengan berat badan antara 100-150 g dipuasakan semalam, dan untuk menghindari dehidrasi, tikus tetap diberi minum. Tiga puluh menit setelah diberikan senyawa uji,


(53)

tikus diinjeksi dengan 0,05 ml larutan karagenin 1% secara subkutan pada telapak kaki kirinya. Besar edema diukur sesaat setelah injeksi, dan pada jam ke 3, 6 dan 24 jam setelah injeksi.

d. Uji eritema UV

Hewan uji marmot, 16 jam sebelum perlakuan dicukur pada bagian punggungnya, kemudian diolesi barium sulfida. Dua puluh menit kemudian dibersihkan dengan air hangat. Pada hari berikutnya, zat uji mulai diberikan secara peroral (10 mL/kg), 30 menit sebelum pemaparan UV. Setelah dilakukan pemaparan UV selama 30 menit, dilakukan pengamatan terjadinya eritema. Kelemahan metode ini adalah subyektivitas dalam menghitung jumlah eritema, administrasi zat uji kortikosteroid secara sistemik kurang efektif dibandingkan secara topikal, dan uji ini tidak dapat digunakan untuk mengukur durasi efek antiinflamasi (Vogel, 2002).

J. Metode Pengujian Daya Analgetika

Metode-metode pengujian aktivitas analgetika dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik dan secara kimia. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang


(54)

harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1991).

Pengujian daya analgesik dapat menggunakan berbagi metode. Metode pengujian daya analgesik berdasarkan pada jenis analgesik yang terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan analgesik narkotika dan analgesik non narkotika. Pengujian daya analgesik menurut Turner (1965) tersebut, yaitu:

1. Golongan analgesik narkotika a. metode jepit ekor

Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji pada dosis tertentu secara subkutan atau intravena. Tiga puluh menit kemudian, jepit dipasang pada pangkal ekor mencit yang dilapisi karet tipis selama 30 detik. Tikus yang tidak diberi analgesik akan berusaha terus untuk melepaskan diri dari kekangan tersebut dengan cara menggigit jepitan, tetapi tikus yang diberi analgesik akan mengabaikan kekangan tersebut (karena rasa sakit tidak begitu dirasakannya). Respon positif adanya daya analgesik dapat dicatat jika tidak ada usaha dari tikus untuk melepaskan diri dari jepitan (selama 15 detik). Metode ini lebih baik daripada uji dengan menggunakan lempeng panas, karena rangsang yang diberikan tidak bersifat merusak (pada lempeng panas, panas yang diberikan bersifat merusak).


(55)

b. metode rangsang panas

Sebagian besar uji respon dari rangsang panas dilakukan dengan penempatan hewan uji di atas permukaan panas atau pencelupan ekor hewan uji ke dalam air panas. Metode lempeng panas menggunakan hewan uji mencit yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, yang dijatuhkan perlahan-lahan ke atas lempeng panas yang terdiri dari silinder penahan. Kisaran suhu lempeng panas berkisar antara 50oC sampai 55oC, dilengkapi dengan penangas tembaga yang berisi campuran yang sebanding dengan campuran aseton dan etil format yang mendidih.

Waktu reaksi diambil sebagai perpanjangan jarak waktu dari saat mencit menyentuh lempeng panas sampai ketika mencit menjilati kaki belakangnya atau melompat-lompat keluar dari silinder. Semua tanda kegelisahan lain seperti menendang-nendang atau berputar-putar selanjutnya diabaikan. Metode ini hanya berguna untuk mendeteksi analgesik golongan narkotika dan tidak sesuai untuk menguji analgesik golongan non-narkotik. c. metode pengukuran tekanan

Alat yang digunakan dalam metode ini adalah sebuah alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari duasyringeyang dihubungkan antar ujung-ujungnya yang rata-rata bersifat elastis, fleksibel, dan terdapat pipa plastik yang diisi dengan sebuah cairan. Sisi pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama


(56)

diletakkan pada posisi vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada syringeyang pertama lalu dengan ekor tkus. Penurunan tekanan yang sama pada syringe yang kedua selanjutnya akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Manometer dibaca ketika tikus memberikan respon yaitu respon tikus yang pertama yaitu meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. metode potensi petidin

Metode ini tidak selalu sesuai untuk uji penapisan analgesik karena membutuhkan jumlah hewan uji yang relatif banyak, akan tetapi metode ini dapat digunakan untuk memperluas hasil dari uji penapisan. Semua substansi yang diperkirakan memiliki aktivitas analgesik maupun sedatif dapat diuji dengan metode ini. Tiap kelompok mencit yang terdiri dari 20 ekor mencit, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian dan diberikan petidin dengan dosis 2, 4, dan 8 mg/kg BB. Setengah yang lain diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgesik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.

e. metode antagonis nalorfin

Uji analgesik dengan metode ini dibuat untuk menunjukan aksi dari obat-obatan seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan


(57)

sebagian besar aksi morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah mencit, tikus, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik (pirinitramida) kemudian segera diikuti dengan pemberian morfin (5-10 mg/kg BB) secara intravena. Efek toksik dapat dilawan dalam waktu satu menit dengan pemberian injeksi nalorfin 1,25 mg/kg BB secara intravena. Berdasarkan teori, nalorfin dapat menggeser ikatan morfin dengan reseptornya sehingga akan meniadakan efek dari morfin. Nalorfin pada dosis 5 mg/kg mampu membalikkan 10 mg/kg morfin. Pada kenyataannya, seluruh obat yang berpotensi sebagai analgesik narkotik dapat dilawan dengan nalorfin.

f. metode kejang oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior yang dapat menyebabkan kontraksi uterin, sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal, peregangan tubuh dan tungkai serta lengan bagian belakang, dan puntiran badan pada pinggang dengan putaran kaki belakang ke arah dalam. Respon ini dapat dicegah dengan terlebih dahulu diberikan morfin dan senyawa uji, sehingga ED 50 lebih kecil daripada yang dihasilkan dari prosedur yang menggunakan

panas pancaran. Selain, morfin senyawa analgesik yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, dan meperidina. Uji ini kemudian dianggap lebih sensitif.


(58)

g. metode pencelupan pada air panas

Pada metode ini tikus disuntik secara intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan ke dalam air panas (suhu 58oC). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya yang menghindari air panas. Munculnya reaksi yang khas yaitu sentakan ekor yang keras, dicatat waktunya. Uji ini diulang kembali setiap 30 menit setelah menit ke 15 penyuntikan. Jika mencit tetap tidak beraksi dalam waktu 6 detik, mencit diangkat dari penangas.

2. Golongan analgesik non narkotika a. metode geliat

Dalam variasi lain metode geliat menurut Witkin dkk., 1961 (cit., Turner, 1965), mencit jantan dengan berat badan 18-22 g, diberi rangsang secara intraperitoneal dengan injeksi 300 mg/kg larutan asam asetat 3%. Senyawa yang diuji diberikan secara peroral kepada 6 mencit, 15 menit sebelum pemberian asam asetat. Setiap hewan uji kemudian ditempatkan pada kotak kaca dan diamati jumlah geliat yang terjadi selama waktu pengamatan 20 menit. Kelompok kontrol diberi larutan salin. Untuk hasil yang akurat, 5 hewan uji dalam satu kelompok digunakan untuk tiap titik dalam kurva peringkat dosis vs respon. Dua puluh lima menit setelah pemberian asam asetat, hewan uji kontrol memberikan rata-rata geliat total 30.


(59)

Daya analgesik dihitung dengan persamaan menurut Handershot dan Forsaith (1959) sebagai berikut:

% daya analgesik= 100-(P/K x 100%) Keterangan:

P: jumlah geliat mencit pada kelompok perlakuan K: rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok kontrol b. meotode rektodolorimetri

Pada metode ini tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Ujung yang lainnya lagi dihubungkan pada ekor hewan uji. Sebuah amperemeter yang peka terhadap adanya perubahan tengangan sebesar 0,1 volt selanjutnya dihubungkan dengan konduktor yang berada di gulungan bagian atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan terikan tikus adalah 1-2 volt.

c. metode podolorimeter

Metode ini menggunanakan aliran listrik untuk mengukur besarnya daya analgesik. Alas kandang mencit yang terbuat dari kepingan metal yang dapat mengalirkan listrik. Seekor mencit diletakkan pada kandang tersebut yang kemudian dialiri listrik. Respon yang terjadi ditandai dengan teriakan mencit tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.


(60)

K. Landasan Teori

Neutrofil dan makrofag jika terlepas dari endotelium, maka akan segera bermigrasi ke daerah kemotaksin. Di sana neutrofil dan makrofag akan memproduksi eicosanoid, enzim proteolitik, radikal oksigen superoksida dan H2O2. H2O2 lebih

lanjut dapat berinteraksi dengan ion besi (Fe2+), menghasilkan radikal hidroksil (.OH) yang reaktif sekali menuju peroksidasi lipid (Halliwell dkk., 1988). .OH dapat menyerang asam arakidonat sehingga terbentuk senyawa baru yang kemudian dapat diserang oleh O. , sehingga terbentuklah prostaglandin yang menyebabkan peradangan (Fessenden dan Fessenden, 1982). Selain menyebabkan peradangan, prostaglandin yang terlepas dapat mensensitisasi reseptor nyeri (nosiseptor) sehingga akan timbul rasa nyeri.

Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan antioksidan dalam buah belimbing, yaitu katekin (Sukadana, 2009) pada buah belimbing mampu menangkap radikal O. dan.OH, sehingga kedua radikal tersebut tidak menyerang asam arakidonat. Dengan begitu maka pembentukkan prostaglandin menjadi terhambat

Terhambatnya prostagladin membuat peradangan dapat diatasi. Rasa nyeri yang merupakan manifestasi klinis dari peradangan juga akan berkurang. Hal itulah yang mendasari dugaan sementara bahwa jus buah belimbing dapat berkhasiat sebagai antiinflamasi dan analgesik.


(61)

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode edema pada kaki, karena metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk skrining sebaik untuk evaluasi mendalam (Vogel, 2002). Sedang untuk menguji ada tidaknya efek analgesik, dalam penelitian ini digunakan metode geliat. Metode ini digunakan karena sensitif, sederhana, dan repsodusibel untuk skrining analgesik lemah (Turner, 1965). Selain itu, metode ini dapat mendeteksi baik analgesik sentral maupun perifer. Metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan bisa dierkomendasikan sebagai metode skrining yang sederhana (Vogel, 2002).

L. Hipotesis

Jus buah belimbing (Averrrhoa carambola L.) memiliki efek antiinflamasi dan analgesik yang ditunjukkan terhadap mencit putih betina galur Swiss.


(62)

39 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian uji efek analgesik dan antiinflamasi jus buah belimbing ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

Variabel utama dalam penelitian ini yaitu: a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis jus buah belimbing. b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah besar edema pada kaki hewan uji dan jumlah geliat yang dihasilkan setelah perlakuan dengan jus buah belimbing.

2. Variabel Pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Pada penelitian ini terdapat variabel pengacau yang harus dikendalikan, yaitu: hewan uji mencit putih betina galur Swiss, umur 2-3 bulan, berat badan 20-30 gram, kondisi subyek uji sehat, asal buah belimbing dari supermarket Superindo (Belimbing Bali) dengan kriteria pemilihan


(63)

seperti yang terurai pada pengumpulan bahan, jalur pemberian jus dilakukan secara peroral, jalur pemberian rangsang nyeri secara intraperitoneal, jalur pemberian rangsang inflamasi secara subplantar.

b. Variabel pengacau tidak terkendali

Pada penelitian ini, variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan adalah keadaan patologis dari mencit, kemampuan tubuh mencit untuk mengabsorbsi jus buah belimbing, dan kemampuan mencit untuk beradaptasi dengan peradangan maupun rasa nyeri.

3. Definisi Operasional

a. Jus buah belimbing adalah jus dengan konsentrasi 20% yang diperoleh dengan cara mencampurkan 50 ml aquadest dan 10 gram buah belimbing segar yang dipotong melintang dengan ketebalan ± 1 cm kemudian dijus dengan menggunakan blender merk Philips.

b. Uji daya antiinflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai hewan uji yang dibuat radang telapak kaki kirinya, sedangkan telapak kaki kanan hanya ditusuk dengan jarum injeksi. Pengukuran diameter kedua kaki belakang mencit dilakukan dengan menggunakan jangka sorong (Digital Caliper Mitutoyo), kemudian dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah belimbing.

c. Uji daya analgesik adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai hewan uji yang diberi rangsang kimia secara intraperitoneal kemudian


(64)

diamati jumlah geliat mencit dan dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah belimbing.

d. Geliat didefinisikan sebagai sebuah perenggangan, tarikan ke satu sisi, penarikan satu kaki belakang ke arah belakang, peregangan abdomen, dan penarikan kepala dan kaki secara ekstrim ke arah belakang (opistotonus), seingga dengan begitu bagian perut mencit menyentuh alas (Turner, 1965)

C. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Untuk uji efek antiinflamasi

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali) yang dibeli pada periode September 2009 -Februari 2010.

b. Larutan kalium diklofenak 3% sebagai kontrol positif c. Larutan karagenin 1% sebagai zat penginduksi edema d. Aquadest sebagai kontrol negatif

2. Untuk uji efek analgesik

a. Buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali)

b. Suspensi parasetamol dalam CMC Na 1% sebagai kontrol positif uji c. Asam asetat 1%, sebagai zat penginduksi nyeri


(65)

d. Larutan CMC Na 1%, sebagai kontrol negatif

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Neraca analitik (Mettler Toledo)

2. Spuit peroral dan injeksi 1 mL (Terumo) 3. Stopwatch

4. Alat-alat gelas: gelas beker, gelas ukur, pengaduk, pipet tetes 5. Jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm 6. Kotak kaca tempat pengamatan

7. Blender merk Phillips

E. Tata Cara Penelitian 1. Penelitian efek antiinflamasi a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah belimbing yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali), dengan kriteria pemilihan sebagai berikut: (1) berwarna kuning kecoklatan; (2) berdiameter tengah ± 5,5 cm; (3) memiliki panjang ± 14 cm; dan (4) memiliki berat ± 250 gram.

Bahan kimia yang digunakan, yaitu: Karagenin tipe I (Sigma Chemical Co.), etanol, dan aquadest, diperoleh dari Laboratorium


(66)

Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; NaCl 0,9% (Otsuka) dan tablet Cataflam D50 (Novartis Indonesia) yang mengandung kalium diklofenak 50 mg.

b. Pembuatan larutan kaium diklofenak 0,2%

Larutan diklofenak dibuat dengan cara menimbang dengan seksama bahan yang setara dengan 200 mg serbuk diklofenak kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditambah aquadest hingga tanda batas 100 mL, kemudian digojog.

c. Pembuatan larutan karagenin 1%

Larutan karagenin 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 0,10 gram serbuk karagenin kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah aquadest hingga tanda batas 10 mL, kemudian digojog.

d. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Semua hewan uji sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama meliputi kandang, pakan dan minum. Sehari sebelum pengujian, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24


(67)

jam dengan cara tidak diberi makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi akibat adanya asupan makanan.

e. Penetapan kriteria peradangan

Respon yang diamati pada uji efek antiinflamasi ini berupa besar peradangan. Kriteria peradangan perlu ditetapkan untuk mendapatkan keterulangan hasil. Peradangan pada kaki hewan uji diukur menggunakan jangka sorong (Digital Caliper) Mitutoyo 0-2 mm grad. 0,01 mm; dengan cara mengukur diameter peradangan pada telapak kaki hewan uji.

f. Penetapan rentang waktu pengukuran edema setelah injeksi subplantar karagenin 1%

Pada penetapan ini digunakan 12 ekor mencit betina, yang terbagi dalam 4 kelompok. Masing-masing mencit diinjeksi dengan karagenin 1% dengan dosis 25 mg/kg BB pada kaki belakang sebelah kiri secara subplantar, sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya ditusuk menggunakan jarum injeksi sebagai pembanding. Kemudian mencit dikorbankan pada jam ke 1, 2, 3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan dipilih rentang waktu yang menghasilkan edema maksimal.

g. Penetapan dosis efektif diklofenak

Dosis kalium diklofenak dipilih berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Djunarko dan Donatus, 2003) yang


(68)

menggunakan natrium diklofenak. Menurut penelitian, dosis natrium diklofenak untuk tikus dengan berat badan 250 gram adalah 40 mg/kgBB. Dosis natrium diklofenak untuk tikus dengan berat badan 200 gram adalah:

200 g × 40 mg/kg BB

250 g = 32 mg/kg BB

Dari tikus dengan berat badan 200 gram kemudian dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20 gram, perhitungannya sebagai berikut:

32 mg/kg BB × 0,14 = 4,48 mg/kg BB

Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dibuat variasi dosis dengan menurunkan dan menaikkan dosis sebesar satu seperempat kali dosis terhitung. Dosis yang digunakan sebagai dosis penetapan adalah 3,36; 4,48, dan 5,6 mg/kg BB. Dari hasil penetapan diketahui bahwa dosis yang paling efektif untuk mengurangi peradangan adalah pada dosis 4,48 mg/kg BB.

h. Penetapan waktu pemberian dosis efektif diklofenak

Dalam penetapan ini dilakukan digunakan 12 ekor yang terbagi dalam 4 kelompok. Kelompok I, II, III, dan IV secara berturut-turut diberikan injeksi p.o. diklofenak 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum injeksi karagenin 1% secara subplantar. Tiga jam setelah injeksi karagenin, dilakukan pengukuran edema. Waktu efektif pemberian diklofenak merupakan rentang waktu antara sesaat setelah pemberian diklofenak


(69)

sampai saat injeksi karagenin, yang mampu menurunkan edema secara berarti.

i. Penentuan dosis jus buah belimbing

Dalam penelitian ini, jus buah belimbing dibuat dalam tiga peringkat dosis yaitu, 1,67; 3,34; 6,67 g/kg BB. Hal ini didasarkan pada hasil penetapan konsentrasi terpekat jus yang masih dapat dihisap dan dikeluarkan dengan lancar oleh spuit injeksi peroral. Penetapan awal dimulai dengan konsentrasi 100%, kemudian secara bertahap diturunkan hingga didapatkan konsentrasi optimal, yaitu 20% (0,2 g/mL). Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis jus buah belimbing yang diuraikan sebagai berikut:

D × BB = C × V Keterangan:

D = dosis (mg/kg) BB = berat badan (g) C = konsentrasi (g/ml) V = volume

D =C × V BB

D =0,2 g/mL × 1mL 30g

D = 6,67 × 10 mg/kgBB D = 6,67 g/kgBB→ Dosis III Peringkat dosis dalam penelitian: Dosis III : 6,67 g/kg BB


(70)

Dosis II : × 6,67 g/kg = 3,34 g/kgBB Dosis I : × 3,34 g/kg = 1,67 g/kgBB j. Uji efek antiinflamasi

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 ekor mencit yang dibagi secara acak menjadi 6 kelompok, sebagai berikut: Kelompok I : kontrol negatif (karagenin 1%)

Kelompok II : kontrol negatif (aquadest)

Kelompok III : kontrol positif (diklofenak secara peroral dengan dosis 4,48 mg/kg BB

Kelompok IV : perlakuan jus belimbing dengan dosis 1,67 g/kg BB Kelompok V : perlakuan jus belimbing dengan dosis 3,34 g/kg BB Kelompok VI : perlakuan jus belimbing dengan dosis 6,67 g/kg BB

Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral, 15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan karagenin 1% secara subplantar pada kaki kiri, sementara kaki kanan disuntik dengan spuit tanpa larutan karagenin. Tiga jam kemudian, masing-masing kaki mencit diukur diameter telapak kakinya dengan menggunakan jangka sorong. k. Perhitungan % daya antiinflamasi

Metode Langford dkk. (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui efek anti inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti inflamasi dengan rumus sebagai berikut :


(71)

% daya Antiin lamasi =U−D

U × 100% Keterangan :

U = nilai rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

D = nilai rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki normal (kaki kanan)

l. Perhitungan potensi relatif antiinflamasi terhadap kontrol positif

Potensi relatif =daya antiin lamasi sediaan uji

daya antiin lamasi diklofenakx 100%

2. Penelitian efek analgesik

a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah belimbing yang diperoleh dari supermarket Superindo (Belimbing Bali), dengan kriteria pemilihan sebagai berikut: (1) berwarna kuning kecoklatan; (2) berdiameter tengah ± 5,5 cm; (3) memiliki panjang ± 14 cm; dan (4) memiliki berat ± 250 gram.

Bahan kimia yang digunakan, yaitu: CMC Na (Dai-Ichi Seiyaku Co.,Ltd), etanol, aquadest, parasetamol (Brataco Chemika) dan asam asetat diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(72)

b. Pembuatan asam asetat 1%

Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan menggunakan rumus:

volume1x konsentrasi1= volume2x konsentrasi2

Sebanyak 0,25 mL asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquadest hingga volume 25,00 mL menggunakan labu ukur 25 mL.

c. Pembuatan larutan CMC Na 1%

Larutan CMC Na 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama 1 gram serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas permukaan air panas sedikit demi sedikit sehingga seluruhnya menutupi bagian atas permukaan air secara merata, lalu biarkan mengembang semalam. Pada hari berikutnya, larutan yang terbentuk diaduk kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan tambahkan aquadest hingga tanda batas 100 mL, kemudian gojog.

d. Pembuatan suspensi parasetamol 0,3% dalam CMC Na 1%

Parasetamol yang akan digunakan sebagai kotrol positif dibuat dengan menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan dalam larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.


(73)

e. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 gram. Semua hewan uji sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama meliputi kandang, pakan dan minum. Dan sebelum hari pengujian, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan, tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi akibat adanya asupan makanan. f. Penetapan dosis asam asetat

Penetapan dosis asetat dilakukan dengan tujuan untuk menentukan dosis yang menghasilkan jumlah geliat yang tidak terlalu sedikit sehingga sampel tidak dapat mengukur analgetik yang lemah, subyek uji masih dapat memberikan respon, namun juga tidak terlalu banyak sehingga memudahkan dalam pengamatan. Untuk penetapan ini digunakan empat dosis, yaitu 25; 50; 75; dan 100 mg/kg BB.

g. Penetapan dosis parasetamol

Dalam penelitian ini, parasetamol digunakan sebagai kontrol positif. Dosis parasetamol dalam sekali pemberian, yaitu 325-600 mg (Lacy, Amstrong, Goldman, Lance, 2006). Diasumsikan bahwa dosis


(74)

parasetamol yang lazim digunakan pada orang dewasa (50 kg) adalah 0,5 gram. Kemudian dosis tersebut dikonversikan ke mencit 20 g, dengan perhitungan sebagai berikut:

Dosis untuk manusia 70 kg

Dosis = × 0,5 g = 0,7 g/70 kg BB manusia Konversi dosis ke mencit 20 g

Dosis =0,7g × 0,0026 = 1,82 × 10 g/20g BB mencit Maka dosis parasetamol yang digunakan adalah:

× (1,82 × 10 g/20g) =0,091 g/kg BB = 91,00 mg/kg BB.

Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk ditetapkan manakah yang paling efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; 113,75 mg/kg BB. Dari hasil penetapan diketahui bahwa dosis 91,00 mg/kg BB secara signifikan dapat menghambat rasa nyeri dibandingkan 2 dosis lainnya sehingga dosis 91,00 mg/kg BB yang kemudian dipakai dalam penelitian. h. Penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat

Penetapan waktu pemberian rangsang nyeri diperlukan untuk mengetahui rentang waktu yang paling efektif antara waktu pemberian obat atau senyawa uji dengan waktu penyuntikan asam asetat secara intraperitoneal pada hewan uji. Rentang waktu yang diujikan adalah 5, 10, dan 15 menit. Sebanyak 9 ekor hewan uji, yang telah dipuasakan 18-24 jam dibagi ke dalam 3 kelompok. Hewan uji diberikan parasetamol 91


(1)

ANOVA persen_hambat_geliat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 26700,938 4 6675,234 134,337 ,000

Within Groups 993,807 20 49,690

Total 27694,745 24

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons persen_hambat_geliat

Scheffe

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound aquadest 25 mg/kg

BB

Parasetamol 91 mg/kg BB -74,59600* 4,45827 ,000 -89,6912 -59,5008 JBB I (1,67 g/kg BB) -3,24400 4,45827 ,969 -18,3392 11,8512 JBB II (3,34 g/kg BB) -70,27000* 4,45827 ,000 -85,3652 -55,1748 JBB III (6,67 g/kg BB) -56,75600* 4,45827 ,000 -71,8512 -41,6608 Parasetamol 91

mg/kg BB

aquadest 25 mg/kg BB 74,59600* 4,45827 ,000 59,5008 89,6912 JBB I (1,67 g/kg BB) 71,35200* 4,45827 ,000 56,2568 86,4472 JBB II (3,34 g/kg BB) 4,32600 4,45827 ,915 -10,7692 19,4212 JBB III (6,67 g/kg BB) 17,84000* 4,45827 ,015 2,7448 32,9352 JBB I (1,67 g/kg BB) aquadest 25 mg/kg BB 3,24400 4,45827 ,969 -11,8512 18,3392 Parasetamol 91 mg/kg BB -71,35200* 4,45827 ,000 -86,4472 -56,2568 JBB II (3,34 g/kg BB) -67,02600* 4,45827 ,000 -82,1212 -51,9308 JBB III (6,67 g/kg BB) -53,51200* 4,45827 ,000 -68,6072 -38,4168 JBB II (3,34 g/kg BB) aquadest 25 mg/kg BB 70,27000* 4,45827 ,000 55,1748 85,3652 Parasetamol 91 mg/kg BB -4,32600 4,45827 ,915 -19,4212 10,7692 JBB I (1,67 g/kg BB) 67,02600* 4,45827 ,000 51,9308 82,1212 JBB III (6,67 g/kg BB) 13,51400 4,45827 ,095 -1,5812 28,6092 JBB III (6,67 g/kg BB) aquadest 25 mg/kg BB 56,75600* 4,45827 ,000 41,6608 71,8512 Parasetamol 91 mg/kg BB -17,84000* 4,45827 ,015 -32,9352 -2,7448 JBB I (1,67 g/kg BB) 53,51200* 4,45827 ,000 38,4168 68,6072 JBB II (3,34 g/kg BB) -13,51400 4,45827 ,095 -28,6092 1,5812 *. The mean difference is significant at the 0,05 level.


(2)

Homogeneous Subsets

persen_hambat_geliat Scheffea

Perlakuan N

Subset for alpha = 0,05

1 2 3

aquadest 25 mg/kg BB 5 ,0000

JBB I (1,67 g/kg BB) 5 3,2440

JBB III (6,67 g/kg BB) 5 56,7560

JBB II (3,34 g/kg BB) 5 70,2700 70,2700

Parasetamol 91 mg/kg BB 5 74,5960

Sig. ,969 ,095 ,915

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Lampiran 19. Data % perubahan penghambatan geliat terhadap kontrol positif

(parasetamol 91 mg/kg BB) dan analisis statistiknya

Replikasi

Aquadest

25 mg/kg BB

Parasetamol

91 mg/kg BB

JBB I

(1.67 g/kg)

JBB II

(3.34 g/kg)

JBB III

(6.67 g/kg)

I

-96,38

5,07

-78,26

1,45

-27,54

II

-89,13

-9,42

-92,75

-5,80

-16,67

III

-110,87

5,07

-85,51

-2,17

-31,16

IV

-103,62

1,45

-121,74

-9,42

-20,29

V

-100,00

-2,17

-100,00

-13,04

-23,91

Rata-rata±SE

-100,00±8,11

0,00±2,71

-95,65±7,46

-5,80±2,56

-23,91±2,56

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum


(3)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

persen_proteksi_th d_KP

N 25

Normal Parametersa,,b Mean -45,0704

Std. Deviation 45,53661

Most Extreme Differences Absolute ,220

Positive ,173

Negative -,220

Kolmogorov-Smirnov Z 1,100

Asymp, Sig. (2-tailed) ,178

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Oneway

Descriptives persen_proteksi_thd_KP

N Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

Aquadest 25 mg/kg BB 5 -99,9900 8,10689 3,62551 -110,0560 -89,9240 -110,87 -89,13 Parasetamol 91 mg/kg BB 5 ,0000 6,06130 2,71070 -7,5261 7,5261 -9,42 5,07 JBB I (1,67 g/kg BB) 5 -95,6520 16,68272 7,46074 -116,3663 -74,9377 -121,74 -78,26 JBB II (3,34 g/kg BB) 5 -5,7960 5,72847 2,56185 -12,9088 1,3168 -13,04 1,45 JBB III (6,67 g/kg BB 5 -23,9140 5,72847 2,56185 -31,0268 -16,8012 -31,16 -16,67 Total 25 -45,0704 45,53661 9,10732 -63,8670 -26,2738 -121,74 5,07

ANOVA persen_proteksi_thd_KP

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 47980,367 4 11995,092 134,352 ,000

Within Groups 1785,619 20 89,281


(4)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons persen_proteksi_thd_KP

Scheffe

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J)

Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound

Upper Bound Aquadest 25 mg/kg

BB

Parasetamol 91 mg/kg BB -99,99000* 5,97598 ,000 -120,2241 -79,7559 JBB I (1,67 g/kg BB) -4,33800 5,97598 ,969 -24,5721 15,8961 JBB II (3,34 g/kg BB) -94,19400* 5,97598 ,000 -114,4281 -73,9599 JBB III (6,67 g/kg BB -76,07600* 5,97598 ,000 -96,3101 -55,8419 Parasetamol 91

mg/kg BB

Aquadest 25 mg/kg BB 99,99000* 5,97598 ,000 79,7559 120,2241 JBB I (1,67 g/kg BB) 95,65200* 5,97598 ,000 75,4179 115,8861 JBB II (3,34 g/kg BB) 5,79600 5,97598 ,915 -14,4381 26,0301 JBB III (6,67 g/kg BB 23,91400* 5,97598 ,015 3,6799 44,1481 JBB I (1,67 g/kg BB) Aquadest 25 mg/kg BB 4,33800 5,97598 ,969 -15,8961 24,5721 Parasetamol 91 mg/kg BB -95,65200* 5,97598 ,000 -115,8861 -75,4179 JBB II (3,34 g/kg BB) -89,85600* 5,97598 ,000 -110,0901 -69,6219 JBB III (6,67 g/kg BB -71,73800* 5,97598 ,000 -91,9721 -51,5039 JBB II (3,34 g/kg BB) Aquadest 25 mg/kg BB 94,19400* 5,97598 ,000 73,9599 114,4281 Parasetamol 91 mg/kg BB -5,79600 5,97598 ,915 -26,0301 14,4381 JBB I (1,67 g/kg BB) 89,85600* 5,97598 ,000 69,6219 110,0901 JBB III (6,67 g/kg BB 18,11800 5,97598 ,095 -2,1161 38,3521 JBB III (6,67 g/kg BB Aquadest 25 mg/kg BB 76,07600* 5,97598 ,000 55,8419 96,3101 Parasetamol 91 mg/kg BB -23,91400* 5,97598 ,015 -44,1481 -3,6799 JBB I (1,67 g/kg BB) 71,73800* 5,97598 ,000 51,5039 91,9721 JBB II (3,34 g/kg BB) -18,11800 5,97598 ,095 -38,3521 2,1161 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.


(5)

Homogeneous Subsets

persen_proteksi_thd_KP Scheffea

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Aquadest 25 mg/kg BB 5 -99,9900

JBB I (1,67 g/kg BB) 5 -95,6520

JBB III (6,67 g/kg BB 5 -23,9140

JBB II (3,34 g/kg BB) 5 -5,7960 -5,7960

Parasetamol 91 mg/kg BB 5 ,0000

Sig. ,969 ,095 ,915

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Dewi Susanti, lahir di Yogyakarta

pada tanggal 27 Juni 1988 dari pasangan Joni Kristanto dan

Jumarni sebagai anak terakhir dari empat bersaudara.

Penulis pernah menempuh pendidikan di TK Indriyasana

Utama

(1992-1994),

SD

Negeri

Rejowinangun

II

Yogyakarta (1994-2001), SLTP N 9 Yogyakarta

(2001-2003), SMA N 8 Yogyakarta (2003-2006). Selanjutnya

penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta dan lulus pada tahun 2010. Selama menempuh pendidikan

sarjana, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa, seperti menjadi

anggota divisi Litbang-DPMF, mengikuti

The 8

th

Asia Pasific Pharmaceutical

Symposium

, sebagai peserta PIMNAS XXII, dan aktif dalam kepanitiaan berbagai

acara Fakultas. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen untuk beberapa mata

kuliah praktikum, seperti Spektroskopi (2008), Farmakologi Dasar (2009 & 2010)

Toksikologi Dasar (2009), Patologi Klinik (2009), Perbekalan Steril (2010), dan

Biofarmasetika (2010).