Efek antiinflamasi dan analgesik jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada mencit betina galur Swiss - USD Repository

  

EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA

(Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI

  Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Program Studi Ilmu Farmasi

  Oleh : Jeffry Ben Martin NIM : 068114158

  

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

Skripsi

EFEK ANTI-INFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA

(Carica papaya L.) pada MENCIT BETINA GALUR SWISS

  Yang diajukan oleh : Nama : Jeffry Ben Martin

  NIM : 068114158 telah disetujui oleh:

  

HALAMAN PENGESAHAN

  Pengesahan Skripsi Berjudul

  

EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA

(Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia

memberikan kekekalan dalam hati mereka.

  

Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang

dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

  

(Pengkhotbah 3:11)

Ku persembahkan karya ini untuk:

Tuhan Yesus sumber kekuatanku

  

Papa dan Mamaku, kedua adikku,

dan seluruh keluarga tercinta

Teman-temanku

Almamaterku

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  

PRAKATA

  Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Analgesik dan Anti-Inflamasi Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik.

  Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

  2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

  4. Rita Suhadi, M.Si. Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

  5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.

  6. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku pimpinan laboratorium Farmasi yang telah memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna penelitian skripsi ini.

  7. Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, Mas Yuwono, dan semua staf laboratorium Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama penelitian berlangsung, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

  8. Mama dan Papa, atas dukungan, kasih sayang, dan doa yang terbaiki sehingga penulis tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.

  9. Kedua adikku, Boboy dan Pemi.

  10. Rekan-rekan penelitian, Dewi, Tanti, Ricky, Felix, dan Gun atas bantuan, kerjasama, perjuangan, dan suka duka yang dialami selama penelitian.

  11. Ngapak Team, Anton, Aan, Jimmy, Yoki, Pungki, Jati, dan Felix atas kebersamaan, semangat, dan keceriaannya.

  12. Teman-temanku, Yacob dan Yosef, serta anak-anak Kos Flaurent Yustine, Gracia, Dian, dan Vanni atas dukungan moral dan semangatnya.

  13. Teman-teman kosku, Kos Ijo; Radit; Desta; Jojo, terima kasih untuk pinjaman komputernya dalam penulisan skripsi ini; dan Ray, terima kasih untuk settingan komputernya.

  14. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.

  15. Komputerku yang setia menemani hari-hari ku, bahkan hingga saat yang terakhirnya memberikan andil dalam penyusunan skripsi ini.

  16. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

  Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna termasuk penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran, dan masukan dari berbagai pihak demi kemajuan di masa yang akan datang.

  Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, masyarakat, serta memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

  Yogyakarta, 10 Mei 2010 Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  

INTISARI

  Banyak penyakit memiliki manifestasi klinis berupa inflamasi. Salah satu gejala inflamasi adalah nyeri. Jika inflamasi dihambat, maka akan menurunkan rasa nyeri juga. Oleh karena itu, penelitian untuk penemuan obat baru dengan efek antiinflamasi dan analgesik sangat berharga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah jus buah pepaya memiliki efek antiinflamasi dan analgesik serta seberapa besar daya antiinflamasi dan analgesik yang mungkin dimiliki jus buah pepaya (Carica papaya L.). Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji efek antiinflamasi dan untuk metode rangsang kimia untuk uji analgesik.

  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Variabel utama adalah dosis jus buah pepaya (Carica

  

papaya L. ), sedangkan variabel tergantungnya adalah efek analgesik dan

  antiinflamasi jus buah pepaya (Carica papaya L.). Variabel tergantung diukur dengan melihat % proteksi geliat dan % daya anti-inflamasi seperti yang terdapat pada cara kerja. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk mencari persentase daya analgesik dan antiinflamasinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov-

  

Smirnov , dilanjutkan uji ANOVA satu arah dan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan

95%.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus pepaya memiliki efek antiinflamasi dan analgesik. Efek antiinflamasi yang dinyatakan oleh daya antiinflamasi jus buah pepaya pada dosis 7,5 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan 30,0 g/kgBB berturut-turut adalah 20,72%; 37,44%; dan 62,06%, sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah 19,77%; 40,70%; dan 55,04%.

  Kata kunci: analgesik, antiinflamasi, jus buah pepaya, Carica papaya L.

  

ABSTRACT

  Many diseases have an inflammation as clinical manifestations. One of the symptoms of inflammation is pain. If inflammation is inhibited, it will reduce pain as well. Thus the research for new drug discovery with anti-inflammatory and analgesic effects is very valuable. The purpose of this study is to determine if papaya juice has anti-inflammatory and analgesic effects and how much anti-inflammatory and analgesic potency of papaya juice (Carica papaya L.). This research used modificated Langford method to test the anti-inflammatory effects and to chemical stimulation method for testing analgesics.

  This research was a pure experimental study of completely randomized one- way pattern design. The main variable is the dose of papaya juice (Carica papaya L.), whereas dependent variable is the analgesic and anti-inflammatory papaya juice effects (Carica papaya L.). The dependent variable is measured by looking at % twisting protection and % anti-inflammatory power as found in the procedure. The obtained data then used to find the percentage of analgesic and antiinflammatory power. Distribution data were analyzed with Kolmogorov-Smirnov test, followed by one-way ANOVA and Scheffe test with 95% confidence level.

  The results showed that papaya juice has anti-inflammatory and analgesic effects. Anti-inflammatory effects are expressed by anti-inflammatory power of papaya juice at a dose of 7.5 g/kgBW; 15.0 g/kgBW; and 30.0 g/kgBW respectively 20.72%; 37.44%; dan 62.06%, while the analgesic power respectively 19.77%; 40.70%; dan 55.04%.

  Key words: analgesics, anti-inflammatory, papaya juice, Carica papaya L.

  

DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

   BAB V ......................................................................................................................... 77

  

  

  

DAFTAR TABEL

  

  

  

  

  

DAFTAR GAMBAR

  

  

  

  

  

DAFTAR LAMPIRAN

  

  

  

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif yang memberi tanda bahwa di

  dalam tubuh terdapat jaringan yang mengalami gangguan atau kerusakan dan perlu segera ditangani (Tjay dan Rahardja, 2002). Gangguan atau kerusakan pada jaringan yang dapat menimbulkan nyeri sebagai salah satu gejalanya adalah peradangan atau inflamasi. Peradangan merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada proses penyembuhan jaringan yang rusak (Price dan Wilson, 1992). Walaupun inflamasi dan nyeri merupakan pertanda penting, namun keduanya bukanlah suatu hal yang menyenangkan bagi penderitanya.

  Secara umum, pengatasan peradangan dan nyeri dilakukan dengan penghambatan peruraian asam arakidonat menjadi prostaglandin, suatu mediator pada inflamasi dan nyeri, yang diperantarai oleh enzim siklooksigenase (COX) (Rang, Dale, Ritter, dan Moore, 2007). Pada daerah peradangan juga dihasilkan oksidan reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada kerusakan jaringan seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell, Hoult, and Blake, 1988). Biosintesis prostaglandin sendiri berlangsung dengan bantuan radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika radikal bebas tesebut tidak ditangkap, maka antioksidan dalam tanaman (seperti flavonoid dan karotenoid) memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas tersebut (Halliwell dkk., 1988).

  Buah pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang banyak, murah, dan mudah didapatkan di seluruh pelosok nusantara. Pepaya banyak mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh seperti vitamin C, vitamin A, vitamin E, serta berbagai mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan Darmajana, 2004). Dalam penelitian Pekiner (2003), vitamin E terbukti memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Selain itu, pepaya juga memiliki kandungan senyawa karotenoid seperti beta karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003). Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and Leo, 1999). Jika oksidasi asam arakidonat dihambat, kemungkinan prostaglandin tidak terbentuk. Dengan tidak dibentuknya prostaglandin, maka proses inflamasi dapat teratasi. Di samping itu, rasa nyeri juga berkurang karena reseptor nyeri tidak tersensitisasi oleh prostaglandin (Mutschler, 1999).

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah pepaya. Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode induksi udema kaki belakang karena metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti. Sedangkan untuk menguji efek analgesik digunakan metode rangsang kimia.

  1. Perumusan masalah

  Permasalahan yang akan diteliti adalah:

  a. Apakah jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek analgesik dan antiinflamasi?

  b.

  Seberapa besar daya analgesik-antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada tiap dosis yang digunakan?

  2. Keaslian penelitian

  Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang efek analgesik dan antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada mencit betina belum pernah dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah Pepaya adalah sebagai berikut:

  a. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Pepaya (Carica papaya L.) Dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik serta Flavonoid Totalnya (Pratimasari, 2009). Hasil penelitian menunjukkan sari buah pepaya, ekstrak etil asetat ampas buah pepaya dan vitamin E dalam µg/ml berturut-turut 1159,12; 349,05; dan 30,33. Kadar fenolik total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat ampas buah pepaya dalam mg/g sampel adalah 47,05 dan 50,09. Kadar flavonoid total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat ampas buah pepaya dalam mg/g sampel adalah 1,9 dan 8,73.

  b. Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of Carica

  

papaya Fruits (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003). Hasil penelitian adalah beta karoten dan lycopene yang terkandung pada daging buah papaya yang berwarna merah (red-fleshed variety) menunjukkan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi.

  c. Pengaruh Pemberian Jus Buah Pepaya (Carica papaya) terhadap Kerusakan Histologis Lambung Mencit yang Diinduksi Indometasin (Agustina, 2008), dan disimpulkan bahwa jus buah pepaya mempunyai pengaruh memperbaiki kerusakan histologis lambung mencit yang diinduksi indometasin dan peningkatan dosis pepaya 0,1 ml menjadi 0,2 ml tidak diikuti peningkatkan efek perbaikan gambaran histologis lambung mencit.

3. Manfaat penelitian

  a. Manfaat teoritis Melengkapi informasi yang sudah ada tentang khasiat tanaman obat terutama buah pepaya (Carica papaya L.) yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian.

  b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dosis efektif dari jus buah papaya sebagai analgesik dan antiinflamasi.

B. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :

  1. Tujuan umum Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang khasiat tanaman obat terutama buah papaya (Carica papaya L.).

  2. Tujuan khusus

  a. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah jus buah pepaya (Carica papaya L.) mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi pada mencit putih betina b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar daya analgesik dan antiinflamasi yang dimiliki jus buah papaya (Carica papaya L.) tiap dosis yang digunakan.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Pepaya

  1. Sistematika

  Dalam sistematika tumbuhan, tanaman pepaya (Carica papaya L.) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup) Class : dicotyledonae (biji keeping dua) Ordo : Caricales Familia : Caricaceae Genus : Carica Species : Carica papaya L. (Warisno, 2003).

  2. Morfologi tanaman

  Batang pepaya dapat tumbuh hingga 10 m tingginya, lurus dan berbentuk silinder dengan daun berparut yang mencolok, serta dapat menebal 30 – 40 cm pada keadaan basa, menipis hingga 5 – 7,5 cm pada puncaknya. Daun – daun tumbuh dari bagian teratas batang seperti terpilin, pada petiole terdekat yang horizontal sepanjang 25 – 100 cm. Daun terbagi menjadi 5 – 9 lobus utama, dengan variasi lebar 25 – 75 cm, dan memiliki tulang daun yang mencolok berwarna kekuningan. Buah pepaya memiliki eksokarp (kulit) yang halus dan tebal, mesokarp yang berdaging, dan dapat bentuk globose, ovoid, obovoid, dan pyriform, panjangnya 7 – 35 cm, dan dengan bobot 0,25 – 10 kg (Ronse Decraene and Smets, 1999).

  3. Kandungan kimia

  Buah pepaya mengandung vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Selain itu, juga terkandung mineral- mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan Darmajana, 2004). Pepaya juga memiliki kandungan senyawa karotenoid seperti beta karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003).

  4. Kegunaan

  Buah pepaya berguna memacu enzim pencernaan, serta daunnya berguna sebagai penambah nafsu makan, peluruh haid. Buah pepaya juga berguna untuk obat panas yang memiliki khasiat menurunkan panas. Buah pepaya matang dikonsumsi dalam keadaan segar atau sebagai pencuci mulut (Muhlisah, 2001).

B. Karotenoid

  Karotenoid merupakan golongan pigmen yang larut lipid dan tersebar luas, terdapat dalam semua jenis tumbuhan. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah. Dalam bunga, karotenoid biasanya berwarna kuning, sedangkan dalam buah dapat juga berwarna jingga/merah (Harborne, 1987).

  Karotenoid yang penting untuk tubuh adalah beta karoten, karena merupakan sumber vitamin A (setelah mengalami hidrasi dan molekulnya terpecah menjadi dua) (Harborne, 1987). Beta karoten yang terdapat pada wortel, papaya, sayur mayor yang berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai senyawa antioksidan. Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A dan antioksidan. Dilihat dari strukturnya, beta karoten mampu menangkal radikal bebas karena adanya ikatan rangkap konjugasi yang panjang. Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and Leo, 1999).

C. Vitamin E

  Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran

dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d). Vitamin E

merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein

(LDL). Menurut Hariyatmi (2004), vitamin E yang larut dalam lemak ini merupakan

antioksidan yang melindungi polyunsaturated fatty acid’s (PUFAs) dan komponen sel

serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas.

  Reaksi awal dari peroksidasi unsaturated fatty acid disebabkan serangan dari

beberapa spesies radikal (seperti radikal hidroksil), yang memiliki reaktivitas yang cukup

untuk menarik atom H dari karbon metilen rantai samping unsaturated fatty acid,

membentuk radikal lipid (L•) (1). Dengan keberadaan O , radikal lipid yang dihasilkan

  2 kemudian dapat bereaksi membentuk radikal peroksil lipid (LOO•) (2).

  HO + H O + L (1)

  → H

  2

  L + O (2)

  2 → LOO

  Radikal peroksil yang terbentuk sangat reaktif dan sangat mudah mengalami reaksi berantai. Radikal peroksil tersebut memerlukan tambahan atom H agar menjadi stabil. Atom H ini dapat diperoleh dari molekul asam lemak (LH) yang berada di dekatnya, yang kemudian akan terbentuk radikal lipid yang baru (L•) dan reaksi berantai selanjutnya akan terjadi (3).

  LOO + LH H + L (3)

  → LO

2 Vitamin E dan senyawa antioksidan fenolik lainnya akan menghambat reaksi 3

  dan reaksi berantai yang terjadi terputus. Atom H dari gugus OH fenolik pada vitamin E (α-Tokoferol) dapat berikatan dengan radikal peroksil lipid, sebelum radikal tersebut menyerang asam lemak lainnya. Tokoferol sendiri akan menjadi senyawa

  • radikal bebas yang relatif stabil ( ) yang tidak mengalami reaksi radikal

  α − T berantai.

  LOO H + α − T → LO α − T

  • (4)

2 Reaksi di atas menunjukkan aktivitas vitamin E (

  α-T) terhadap radikal peroksil lipid (LOO•) (Pekimer, 2003).

D. Inflamasi

1. Definisi inflamasi

  Inflamasi atau peradangan merupakan reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan- jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price and Wilson, 1992). Dikatakan juga bahwa inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organisme untuk menghilangkan stimuli yang merugikan sekaligus mengawali proses penyembuhan suatu jaringan (Denko, 1992).

2. Gejala dan penyebab

  Penyebab inflamasi banyak sekali dan beraneka ragam, dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan kombinasi ketiga agen tersebut. Gejala pokok terjadinya inflamasi akut dikenal meliputi rubor, calor, dolor, tumor, dan functio laesa (Mutschler, 1986).

  Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

  yang mengalami inflamasi. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola yang mensuplai daerah tersebut melebar sehingga lebih banyak darah yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggung jawab atas warna merah lokal yang tampak pada peradangan akut (Kee dan Hayes, 1996).

  Calor atau rasa panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi radang

  akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37°C, yaitu suhu di dalam tubuh.

  Hal ini dapat terjadi karena darah yang disalurkan tubuh ke permukaan yang mengalami radang lebih banyak daripada darah yang disalurkan ke daerah yang normal (tidak mengalami radang) (Price and Wilson, 1992).

  Dolor atau rasa sakit dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion- ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Selain itu, pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.

  Pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal, yang tanpa dapat diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price and Wilson, 1992).

  Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut mungkin adalah tumor atau pembengkakan lokal. Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.

  Functio laesa yaitu berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami

  peradangan (Sander, 2003). Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada daerah yang terkena (Kee and Hayes,1996). Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit; pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Underwood, 1996).

3. Mekanisme

  Mekanisme inflamasi sangat dipengaruhi oleh senyawa dan mediator yang dihasilkan oleh asam arakidonat. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, enzim fosfolipase kemudian diaktifkan untuk mengubah fosfolipid yang terdapat di membran sel tersebut menjadi asam arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam arakidonat tersebut dapat dimetabolisme dalam dua jalur enzim yang berbeda, yaitu jalur enzim siklooksigenase dan lipooksigenase (Price and Wilson,1992).

  Beberapa sel dan mediator terlibat dalam respon alamiah (merupakan berbagai sistem pertahanan tubuh) dan interaksinya sangat kompleks. Lebih detailnya, berhubungan dengan kejadian-kejadian vaskuler dan peran sel serta mediator- mediator dalam tubuh. Kejadian-kejadian vaskuler adalah dilatasi awal dari arteriola- arteriola kecil yang berakibat pada peningkatan aliran darah, diikuti dengan penurunan kemudian berhentinya aliran darah dan peningkatan permeabilitas dari venula post kapiler, dengan eksudasi cairan. Vasodilatasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa mediator (histamin, prostaglandin (PG) E

  2 dan I 2 , dan sebagainya) yang dilepaskan karena adanya interaksi antara mikroorganisme dan jaringan.

  Beberapa dari mediator tersebut (seperti histamin, platelet-activating factor (PAF), dan sitokin dilepaskan oleh interaksi TRL-PAMP) juga bertanggung jawab atas fase awal dari peningkatan permeabilitas vaskuler. Sistem kinin merupakan salah satu dari rangkaian enzim, yang mengakibatkan produksi beberapa mediator inflamasi, pada umumnya bradikinin. Sel yang terlibat dalam peradangan, beberapa (sel-sel endothelial vaskular, sel mast, dan makrofag jaringan) secara normal berada dalam jaringan, sementara dari darah platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area inflamasi (Rang dkk., 2007).

  Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem oksidase NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H

  2 O 2 ), dan radikal

  hidroksil merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen aktif (Kumar dkk., 2010).

  

Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan

skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi

(Rang dkk, 2007)

  Eicosanoid merupakan senyawa yang dihasilkan dari fosfolipid melalui jalur de

novo . Senyawa ini terlibat dalam pengaturan banyak proses fisiologis dan termasuk di antaranya yang paling penting mediator-mediator dalam reaksi inflamasi. Sumber utama dari eicosanoid adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi fosfolipid. Eicosanoid utama antara lain prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien, meskipun derivat lain dari asam arakidonat seperti lipoksan juga dihasilkan. Langkah awal dan batas laju sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam arakidonat, baik dalam satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A

  2 ) maupun dua tahap

  (dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, dan diasilgliserol). Jalur fosfolipase A

  2 memiliki pengaruh besar dalam pembentukan asam arakidonat intraseluler.

  Kerusakan sel umumnya memicu proses pembebasan asam arakidonat. Asam arakidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur, yaitu: a. Melalui siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk, COX-1 dan COX-2.

  Enzim-enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.

  b. Melalui bermacam-macam lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien, lipoksin, dan komponen lainnya (Rang dkk, 2007).

  Seperti yang telah diketahui bahwa sel fagositik yang telah teraktivasi melepaskan berbagai macam komponen, termasuk eicosanoid dan enzim proteolitik.

  • Neutrofil yang teraktivasi juga menghasilkan radikal superoksida ( O ). Superoksida

  2

  dapat menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi:

  2O + 2H O + O (1)

  2 → H

  2

  2

  2

  • Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa O dan H

  2 O 2 juga dihasilkan pada

  2

  aktivasi sel fagosit lainnya, termasuk monosit, makrofag, dan eosinofil. H

  2 O 2 dengan

  • mudah dapat menembus membran sel, sedangkan O tidak bisa. Dengan keberadaan

  2

  ion transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H

  2 O 2 dapat berinteraksi dengan

  mereduksi ion besi untuk membentuk spesies oksidasi yang lebih tinggi, yang paling penting adalah radikal hidroksil.

  • 2+

  3+ −

  Fe + H O + OH + OH (2)

  2 2 → kompleks intermediet → Fe

  Reaksi 2 dapat berlangsung secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit

  • O yag teraktivasi tersebut mengandung ion besi. Derivat fagosit dimungkinkan

  2

  berperan dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk tereduksi:

  • 3+ 2+

  Fe + O + O (3)

  2 → kompleks intermediet → Fe

  2

  • O Pada tempat terjadinya inflamasi terdapat ion besi karena dapat mereduksi

  2

  ion besi dari ferritin dan H O menyebabkan ion besi lepas dari hemoglobin. Oleh

  2

  2

  sebab itu, pendarahan di daerah inflamasi dapat meningkatkan produksi radikal bebas dan memperparah kerusakan jaringan (Halliwell dkk., 1988).

E. Nyeri

1. Pengertian nyeri

  Nyeri merupakan suatu perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut Guyton (1986), hal tersebut merupakan suatu mekanisme protektif dari tubuh. Nyeri dapat menimpa siapa saja, baik bayi, anak, dewasa maupun kelompok lanjut usia. Nyeri dapat sangat bervariasi pada tiap individu, tergantung pada usia, jenis kelamin, penyakit yang mendasari, hingga penyebab timbulnya nyeri seperti trauma dan proses peradangan (Dwiprahasto, 2002). Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan, menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).

2. Terjadinya nyeri

  Nyeri akan muncul ketika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaiui ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Ketika terjadi rangsang nyeri dan melampaui nilai ambang nyeri, maka akan terjadi kerusakan jaringan dan pelepasan mediator-mediator nyeri (Mutschler, 1986). Mediator nyeri ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Mediator-mediator nyeri yang juga disebut autocoida ini antara lain histamin, prostaglandin, serotonin, bradikinin, dan leukotrien. Mediator nyeri ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi peradangan, kejang-kejang, dan demam (Tjay dan Rahardja, 2002).

  Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kelapa. Rasa nyeri dapat dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).

  Rangsangan yang merusak Kerusakan jaringan

  Pembebasan : Pembentukan kinin H

  • (pH<6) (misalnya bradikinin, prostaglandin)
  • Asetilkolin Sensibilitas reseptor Serotonin (<20 mmol/L)

  K

  Histamin Nyeri lama

   Nyeri pertama

Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri

setelah kerusakan jaringan

(Mutschler, 1995)

  Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi (impuls nosiseptif) yang terbentuk pada reseptor nyeri, diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya serabut aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks somatik dan vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tersentuh benda panas, terbentuk eritema lokal) melalui interneuron. Di samping itu, pada tempat ini juga terjadi pengaruh terhadap serabut aferen melalui sistem penghambatan nyeri menurun.

3. Jenis nyeri

  Berdasarkan waktu dan lama kejadian, rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Rasa nyeri cepat juga digambarkan sebagai rasa nyeri akut. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, bila kulit tersayat pisau, atau bila kulit terbakar. Selain itu, nyeri ini juga terasa bila subjek mendapat syok elektrik. Rasa nyeri ini tidak akan terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh.

  Rasa nyeri lambat juga sering disebut sebagai rasa nyeri kronik. Rasa nyeri lambat timbul setelah 1 detik atau lebih, kemudian secara perlahan bertambah selama beberapa detik atau bahkan beberapa menit. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri ini dapat berlangsung lama, menyakitkan, dan menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri seperti ini dapat terasa di kulit dan di hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton, 1986).

  Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi atas nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri dikatakan sebagai somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulang, atau dari jaringan ikat. Nyeri somatik kemudian dibagi lagi menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit, maka rasa nyeri yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya, nyeri yang berasal dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam (Guyton, 1986).

  Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah kulit tertusuk dengan jarum, mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang dengan cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu reaksi menghindar secara refleks seperti refleks menarik kaki sesaat setelah menginjak duri. Nyeri dalam sering kali diikuti oleh reaksi afektif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan penurunan tekanan darah. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Contoh nyeri dalam yang umum terjadi dan dirasakan adalah sakit kepala (Guyton, 1986).

4. Mekanisme nyeri

  Menurut Dipiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri dibedakan dalam empat tahap, yaitu: a. Stimulasi

  Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya rangsangan baik berupa mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan- rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan menyebabkan lepasnya mediator-

  • mediator seperti bradikinin, K , prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang.

  b. Transmisi Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen A

  δ dan C. Serabut saraf aferen tersebut akan merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s

  dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2008). c. Persepsi nyeri Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan, meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya, perubahan biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat memperparah rasa nyeri (Dipiro dkk, 2008).

  d. Modulasi Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor- reseptor ( seperti μ, δ, dan κ) yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).

  Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.

  Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2007).

  Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat kemungkinan-kemungkinan berikut :

  1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis prostaglandin dengan analgesik yang bekerja perifer, 2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi, 3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika induksi, 4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat dengan analgesik yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan 5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia, neuroleptika, dan antidepresan).

F. Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS)

  Berdasarkan mekanisme kerjanya secara umum, obat antiinflamasi dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan steroid dan golongan nonsteroid. Obat antiinflamasi golongan steroid memiliki daya antiinflamasi kuat, dengan mekanisme utama menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya. Sedangkan obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) bekerja melalui mekanisme lain, seperti inhibisi enzim siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Anonim, 1991).

  Obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) berperan sebagai antiinflamasi dengan satu atau beberapa mekanisme, diantaranya dengan inhibisi sintesis prostaglandin, inhibisi lipooksigenase, inhibisi sitokin, pelepasan hormon steroid, stabilisasi membran lisosom, dan pelepasan fosforilasi oksidatif (Kohli, Ali, and Raheman, 2005).

  Hampir semua OAINS adalah menghambat sintesis prostaglandin dengan inhibisi COX-1 dan COX-2. Berdasarkan pada selektifitasnya terhadap COX, OAINS dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, yaitu:

  1. Inhibitor COX nonselektif, meliputi aspirin, indometasin, diklofenak, piroksikam, ibuprofen, naproxen, dan asam mefenamat;

  2. Inhibitor selektif COX-2, meliputi nimesulid, meloksikam, nabumeton, dan aseklofenak. Golongan OAINS ini bekerja secara selektif preferential COX-2, dimana penghambatan pada COX-2 nya tidak sekuat golongan rofecoxib sehingga tidak mengganggu fungsi fisiologis COX-2 yang berguna pada kardiovaskular.

  Golongan OAINS ini disebut aman untuk kardiovaskular (Ignatius, Zarraga, and Ernest, 2007).

  3. Inhibitor sangat selektif COX-2, meliputi celecoxib, rofecoxib, valdecoxib, parecoxib, etoricoxib dan lumiracoxib (Derle, Gujar, and Sagar, 2006). OAINS sangat selektif COX-2 memiliki efek samping pada kardiovaskular, yaitu dapat meningkatkan resiko terjadinya AMI (Acute Myocardial Infarction) karena mempunyai penghambatan yang sangat kuat terhadap COX-2. COX-2 mempunyai fungsi fisiologis dalam mensintesis prostasiklin yang berfungsi sebagai vasodilator pada pembuluh darah jantung (Ignatius dkk., 2007).

  G.

  

Diklofenak

  Diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik. Struktur kimia diklofenak ditunjukkan pada Gambar 3.

  O C l H O

C N

H

  C l

Gambar 3. Struktur diklofenak

(Hanson, 2000)

  Obat ini adalah penghambat cyclooxygenase yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailabilitas arachidonic acid. Obat ini cepat diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya antara 30-70% karena metabolisme lintas pertama (Katzung, 2002). Kontraindikasi obat ini untuk penderita yang hipersensitivitas terhadap diklofenak atau penderita asma, urtikaria atau alergi pada pemberian aspirin atau NSAID lainnya, serta penderita tukak lambung (Wilmana, 1995). Dosis oral diklofenak adalah 75-100 mg/hari dalam 2-3 dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara pemberian adalah 150 mg (Anonim, 2000).

  H.

  

Analgesik

  Analgesik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja, dan efek sampingnya, analgesik dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

  1. Analgesik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgesik)

  2. Analgesik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi (Mutschler,1986).

  Analgesik dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

  a. Analgesik Opioid (narkotik) Analgesik narkotik adalah golongan obat yang bekerja pada reseptor opioid di Sistem Saraf Pusat (SSP), yang menyebabkan persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan suatu analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Anonim, 1995).

  Berdasarkan cara kerjanya, golongan ini dibagi dalam antara lain :

  1. Agonis opiat, dibagi menjadi candu (seperti morfin, kodein, heroin) dan zat- zat hasil sintesis seperti metadon dan derivatnya, juga petidin dan

  2. Antagonis opiat seperti nalokson dan nalorfin; dan

  3. Kombinasi (mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi kerjanya dengan sempurna) (Tjay dan Rahardja, 2002).

  b. Analgesik non narkotik Obat-obatan golongan ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi Sistem Saraf Pusat (SSP) atau menurunkan kesadaran serta tidak menimbulkan ketagihan (adiksi). Kebanyakan juga memiliki daya antipiretis dan atau antiradang (Tjay dan Rahardja, 2002). Beberapa obat golongan ini terbukti mempengaruhi metabolisme atau kerja sejumlah mediator biokimia dan sel pada proses peradangan. Mekanisme kerjanya yakni menghambat atau menghalangi biosintesis prostaglandin dan metabolisme yang bersangkutan yang merupakan penyebab nyeri, demam dan radang. Analgesik non narkotik mempunyai mekanisme perifer maupun sentral dalam meredakan nyeri (Hite, 1995).

  Analgesik golongan ini diabsorbsi dengan baik dan cepat. Kebanyakan analgesik golongan ini berdaya antipiretik dan atau antiradang. Oleh karena itu obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri saja tetapi juga pada gangguan demam dan peradangan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, otot, perut, haid, dll (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut Tjay dan Rahardja (2002), rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara yakni : 1. merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan analgesik perifer 2. merintangi penyaluran rangsangan di saraf–saraf sensoris, misalnya dengan anastetika lokal.

  3. blokade pusat di SSP dengan analgesik sentral (narkotika) atau dengan anastetika umum.

I. Parasetamol

  H O

HO N C CH

  3 Gambar 4. Struktur parasetamol (Katzung, 2002) Parasetamol diindikasikan sebagai penghilang nyeri ringan sampai sedang.

  Kemanjurannya mirip dengan asetosal, tetapi tidak memiliki aktivitas antiinflamasi yang berarti, parasetamol kurang mengiritasi lambung, oleh karena itu sekarang secara umum lebih disukai daripada asetosal. Overdosis pada parasetamol khususnya berbahaya karena dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kadang-kadang tidak tampak dalam 4-6 hari pertama (Anonim, 2000).

  Sebagai analgesik sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995). Gambaran umum dari nefropati analgesik meliputi gagal ginjal kronis, hipertensi, anemia. Kebanyakan penderita mengalami nefropati karena memakai kombinasi fenasetin, aspirin, asetaminofen dalam waktu lama dan jumlah yang berlebihan (Robbins dan Kumar, 1995).

  

J. Metode Pengujian Efek Antiinflamasi

  Secara umum, model inflamasi dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis inflamasi, yaitu model inflamasi akut dan model inflamasi kronik. Inflamasi akut dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu dengan induksi udema kaki tikus, pembentukan eritema (respon kemerahan) dan pembentukan eksudasi inflamasi, sedangkan inflamasi kronis dibuat dengan pembentukan granuloma dan induksi artritis (Gryglewski, 1977).