RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh: Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun Oleh: Albertus Guntur Prabawanto NIM : 069114046 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  Hadapi, Jalani, dan Jangan Pernah Menyesali Carpe Diem!

  

Untuk Semesta dan Jiwa-jiwa pemberani;

Dalam nama-Nya;

Kita bangkit dan tetap berkarya;

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung;

  

Bencana bukanlah akhir dari kebidupan ini, namun awal dari kehidupan baru;

Alfa dan Omega!!!

RESILIENSI WANITA PENYINTAS ERUPSI MERAPI 2010

  

Albertus Guntur Prabawanto

ABSTRAK

  Bencana alam adalah sesuatu yang di luar kendali manusia. Setelah bencana terjadi,

manusia harus memilih untuk bangkit atau justru semakin terpuruk. Salah satu bencana alam yang

berdampak luas di Yogyakarta adalah erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Masyarakat sekitar

kehilangan harta benda, alam tempat tinggalnya, bahkan saudara. Pengalaman kehilangan dan

suasana traumatis yang terjadi ketika itu menuntut individu untuk bangkit pengalaman pahit

selama bencana dan sesudah bencana terjadi. Penelitian ini berusaha mengetahui resiliensi pada

penyintas erupsi Merapi 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah naratif. Pengumpulan

data dilakukan lewat wawancara semi terstruktur dengan subyek dua orang. Pemilihan subyek

dilakukan lewat dasar pengalaman selama erupsi. Subyek adalah wanita yang mana dalam

masyarakat Jawa menjadi subordinat dalam budaya patriarki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai-nilai kearifan lokal yang berpengaruh terhadap resiliensi wanita penyintas erupsi Merapi

2010 adalah nilai kebersamaan, nilai perjuangan, nilai ketaqwaan, dan nilai kepasrahan. Selain itu,

ditemukan adanya kecenderungan yang terarah pada Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat

kejadian traumatis selama erupsi Merapi.

  

Kata kunci: Resiliensi, Erupsi Merapi 2010, Wanita Jawa, Kearifan Lokal, Posttraumatic Stress

Disorder

  

WOMEN RESILIENCE WHO SURVIVE ON

MERAPI ERUPTION 2010

Albertus Guntur Prabawanto

  

ABSTRACT

Natural disasters are something beyond human control. After a disaster occurred, people

must choose to rise or even worse off. One of the natural disasters that have broad impact in

  

Yogyakarta is Mount Merapi eruption in 2010. Communities around have loss of property, natural

place of residence, even brothers. An experience of losing and traumatic atmosphere that occurs,

require the individual to rise up from bitter experience during the disaster and after the disaster

occurred. This study sought to know the resilience of the victims of Merapi eruption 2010. The

research method used is narrative. The data was collected through semi-structured interviews with

two subjects. Selection of subjects is based on the experience during eruption. Subjects were

women which in Java community became a subordinate in patriarchal culture. The results showed

that the values of local wisdom that affect the resilience of women victims of Merapi eruption in

2010 is the value of unity, the value of struggle, the value of devotion, and the value of surrender.

Else, there was found that directional tend to be Posttraumatic Syndrome Disorder (PTSD) due to

traumatic events during the eruption.

  Key words: Resilience, Merapi Eruption 2010, Java’s Women, Local Wisdom, Posttraumatic Syndrome Disorder

KATA PENGANTAR

  Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian penulis terhadap kesehatan mental pada survivors erupsi Merapi 2010, khususnya wanita.

  Terdorong keinginan untuk melihat bagaimana resiliensi survivors wanita erupsi Merapi 2010. Penelitian ini memberi perhatian kepada kaum wanitadan memberikan tambahan pengetahuan dalam psikologi kesehatan guna bersama- sama mengembangkan suatu proses trauma healing berbasis Kearifan Lokal.

  Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada semua pihak yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya.

  Terima kasih penulis haturkan kepada : 1.

  Prof. Dr. A. Supratikya selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan telaten membimbing saya dalam penulisan ini.

  2. FX. Suwondo, Mardinah, Ch dan Sekar Ayu Ning Tyas yang selalu mengingatkan untuk segera menyelesaikan kuliah.

  3. Keluarga Besar Praptowiharjo yang selalu memberi dukungan untuk menyelesaikan kuliah.

  4. Veronika Dwi Laksmi yang crewetin saya untuk menyelesaikan tulisan ini.

  5. Sahabat Sanggar Anak Akar, teristimewa Ibe Karyanto yang tak henti-

  6. Teman-teman Sekertariat Bersama Keistimewaan Yogyakarta, terkhusus Widhihasto yang selalu menyindir dan memotivasi dalam pengerjaan tulisan ini.

  7. Teman-teman TRC dan SAR DIY yang memfasilitasi saya dalam pengambilan data.

  8. Komunitas Sarikraman, terutama Nazarius Sudaryono yang selalu mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan kuliah.

  9. Komunitas Al-Qodir, pimpinan Kyai Masrur yang memfasilitasi saya untuk wawancara.

  10. Teman-teman PT. Ayodya Bumi Lestari yang sudah memberi kesempatan untuk ―libur‖ guna menyelesaikan tulisan ini.

  11. Ucil 08 dan Timo yang menemani saya ngeprint.

  12. Teman-teman Ex Seminari yang menemani saya minum bir dikala penat.

  13. Teman-teman Psi 06 yang bersama berjuang. Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya tulis ini. Terima Kasih.

  Yogyakarta, 24 Juni 2013

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ……............................................................................... i

  HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING............................... ii HALAMAN PENGESAHAN

  ………............................................................ iii HALAMAN MOTTO. ……..........……………….......................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN..

  ….………….…......................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. .................................. vi ABSTRAK...................................................................................................... vii

  ABSTRACT ...................................................................................................... viii

  HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …................ ix

  KATA PENGANTAR..................................................................................... x DAFTAR ISI................................................................................................... xii DAFTAR TABEL........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvii

  BAB I. PENGANTAR …............................................................................ 1 A.

  Latar Belakang …………........................................................ 1 B. Rumusan Masalah. .................................................................. 8 C. Tujuan Penelitian..................................................................... 8 D.

  Manfaat Penelitian................................................................... 9 1.

  Manfaat Teoritis................................................................ 9

  BAB II. LANDASAN TEORI...................................................................... 10 A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010.................. 10 B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD ….............................................................................. 17 C. Kearifan Lokal Jawa Sebagai Modal Sosial

  Meningkatkan Resiliensi.......................................................... 26 D. Wanita Jawa............................................................................. 30

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ….................................................. 33 A.

  Metode Naratif......................................................................... 33 B. Subyek Penelitian..................................................................... 35 C. Fokus Penelitian....................................................................... 36 D.

  Metode Pengumpulan Data..................................................... 37 1.

  Wawancara........................................................................ 37 2. Daftar Pertanyaan............................................................. 38 E. Metode Analisis Thematic Narrative....................................... 38

  1. Pengumpulan Data............................................................. 39 2.

  Pengkodean (coding).......................................................... 39

  3. Interpretasi dan Pembahasan.............................................. 40

  BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN................................................................... 41 A. Pelaksanaan Penelitian............................................................. 41 B. Analisis Data............................................................................ 44

  2. Ketika Erupsi (Middle)...................................................... 46 3.

  Setelah Erupsi (End).......................................................... 48 C. Pembahasan.............................................................................. 55

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 69 A. Kesimpulan............................................................................... 69 B. Saran......................................................................................... 72 1. Bagi Keluarga dan Masyarakat......................................... 72 2. Bagi LSM dan Pemerintah................................................ 73 3. Bagi Peneliti dengan Subyek Survivors............................. 74 DAFTAR PUSTAKA …................................................................................... 75

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1. Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010 di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah........................... 12 Tabel 2. Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi

  Gunung Merapi 2010 …………………...................................... 15

  Tabel 3. Nilai-nilai yang Berkembang di Kabupaten Sleman.................... 29

  DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi....... 13 Gambar 2. Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010.......................... 14

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Coding Wawancara Ibu Pur....................................................... 78 Lampiran 2. Kategorisasi Tema Ibu Pur......................................................... 87 Lampiran 3. Coding Wawancara Ibu Mur...................................................... 90 Lampiran 4. Kategorisasi Tema Ibu Mur........................................................ 98 Lampiran 5. Persamaan dan Perbedaan Pengalaman antara Ibu Pur

  dengan Ibu Mur ........................................................................... 101

  Lampiran 6. Pembagian Tema secara Kronologis...........................................103

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Belum hilang ‗trauma‘ Gempa 27 Mei 2006, bumi Yogyakarta

  kembali dilanda bencana. Pada tahun 2010 terjadi bencana alam erupsi Merapi. Gunung Merapi sendiri merupakan gunung api teraktif di dunia.

  Dikatakan teraktif karena Gunung Merapi memiliki periode waktu erupsi yang relatif singkat yaitu setiap 2-5 tahun sekali. Namun demikian, erupsi yang terjadi pada tahun 2010 ini tercatat sebagai peristiwa erupsi Merapi terbesar dalam kurun waktu 100 tahun terakhir.

  Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan 386 jiwa korban meninggal dunia; termasuk Mbah Maridjan (Juru Kunci Merapi). 227 jiwa meninggal di Provinsi D.I Yogyakarta dan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 109 jiwa (Pusdalops, 2011). Selain korban jiwa, erupsi Merapi 2010 juga merusak ratusan rumah (BNPB dan BAPPENAS, 2011), ribuan hektar sawah dan kebun gagal panen serta ratusan hewan ternak mati.

  Pada umumnya setiap bencana alam memiliki dampak yang sama, yaitu menimbulkan kerusakan secara fisik, memakan korban jiwa, menyisakan trauma, dan perubahan pola hidup pada korban selamat (survivors) atau penyintas. Secara umum, trauma psikologis disebabkan oleh suatu tekanan yang luar biasa sehingga si penyintas merasa menderita dan Merapi 2010, para penyintas biasanya merasa tidak berdaya yang luar biasa karena merasa tidak mampu menolong dirinya sendiri, menolong orang lain (anak, saudara, suami, istri, orang tua) ataupun menyelamatkan harta bendanya yang berharga sehingga mereka merasa ―menderita‖ yang sangat kuat.

  Perasaan ―menderita‖ yang sangat kuat inilah yang menjadi indikasi adanya trauma psikologis pada orang yang mengalaminya. Apabila keadaan tersebut tidak teratasi dengan baik maka akan mengakibatkan munculnya beberapa gangguan psikologis.

  Faktor alam atau yang biasa disebut sebagai bencana (disaster) adalah faktor yang dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa. Tekanan luar biasa yang dimaksud bukan hanya sekadar peristiwa yang tidak menguntungkan namun tekanan luar biasa dari peristiwa traumatis disebabkan oleh adanya ancaman yang serius terhadap hidup atau integritas diri (tubuh), atau bisa juga karena adanya pengalaman berhadapan langsung dengan ancaman kehilangan dan kematian. Peristiwa-peristiwa traumatis tersebut menghampiri manusia pada intensitas ekstrim sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya dan terancam, akhirnya memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007). Dalam bahasa klinis, reaksi yang muncul setelah peristiwa traumatis itu memiliki istilah Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau ‗stres pascatrauma‘ (Parkinson dalam Dewi, 2010).

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi kehilangan secara signifikan terkait dengan stres pascatrauma (Gist & Lubin, 1999). Trauma yang melebihi situasi stres yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar (Sidabutar, Dharmawan, Poerwandari, & Nurhaya, 2003). Bencana yang sifatnya tiba-tiba dan di luar kemampuan seseorang untuk menghadapinya membuat pengalaman menjadi bersifat traumatis. Stres pascatrauma adalah reaksi yang menyusul peristiwa traumatis. Terkadang digunakan istilah stres pascabencana untuk merujuk pada stres pascatrauma yang disebabkan oleh bencana. Menurut Parkinson (dalam Dewi, 2010), stres pascatrauma sebenarnya adalah reaksi wajar seseorang setelah mengalami peristiwa yang abnormal.

  Pengalaman langsung terhadap tekanan yang luar biasa atau peristiwa trauma tersebut akan mempengaruhi diri seseorang yang mengalaminya pada: fungsi tubuh (fisiologis), emosi, kognisi bahkan juga dapat merubah karakter atau kepribadian. Keadaan tersebut juga banyak dialami oleh penyintas dari peristiwa erupsi Merapi 2010 yang lalu, ada cukup banyak yang pengalami gangguan stres pascatrauma. Hal ini terjadi mungkin karena mereka melihat sendiri kematian yang tidak wajar, kehilangan orang yang mereka cintai, dan kehilangan semua harta bendanya. Peristiwa traumatis biasanya akan memblokir sistem normal yang pada umumnya membuat orang memiliki kendali minimal terhadap dirinya sendiri, memiliki hubungan dengan dunia di sekitarnya dan memiliki arti (Williams & Poijula, 2002).

  Reaksi psikologis setiap individu dalam menghadapi peristiwa traumatis sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor antara lain apakah individu tersebut mengalami langsung atau tidak langsung peristiwa tersebut. Karakteristik individu yang berpengaruh antara lain umur atau tahap perkembangan, kemampuan kognitif, temperamen, status sosial dan pengalaman trauma sebelumnya (Williams & Poijula, 2002).

  Dalam setiap peristiwa bencana alam, anak dan wanita digolongkan sebagai kelompok rentan. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa anak sebagai mahluk yang tidak berdaya dan pasif. Begitu pula dengan wanita, wanita juga digolongkan dalam kelompok rentan karena disadari atau tidak kita hidup dalam budaya patriarki. Dalam masyarakat Jawa golongan petani dan pedagang, wanita memiliki peran ganda. Selain berperan mengurus rumah tangga (domestik), wanita juga berperan dalam mencari nafkah (Handayani & Novianto, 2008). Berkaitan dengan peran ganda dan penempatan wanita dalam budaya Jawa yang patriarkis, penelitian dengan subjek wanita Jawa akan menjadi hal yang menarik.

  Dalam perkembangan ilmu psikologi dewasa ini, banyak temuan penelitian yang memberikan cara pandang baru dalam memahami peranan dan kehidupan wanita. Banyak penelitian memperlihatkan betapa besar peranan wanita sebagai entitas yang kuat, berdaya, dan memiliki jiwa yang mandiri (Komnas Perempuan [KP], 2007), meskipun mereka berhadapan dengan situasi kekerasan atau peristiwa traumatis lainnya. Dalam banyak penelitian ditemukan pula bahwa kebanyakan wanita mampu bertahan (survive) dari situasi sulit tanpa kesulitan yang berarti. Wanita-wanita ini membutuhkan energi yang besar untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka, namun mereka dapat bertahan. Keadaan seperti itu juga dapat kita temui dalam masyarakat Jawa. Banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat bertindak lebih taktis dan lebih rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial (Handayani & Novianto, 2008). Mereka memiliki kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit menekan hidup mereka (KP, 2007). Hal tersebut juga dapat kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.

  Dalam bahasa konseptual, kemampuan untuk melentur dan tidak hancur ketika situasi sulit disebut resiliensi. Ada banyak definisi mengenai resiliensi, akan tetapi kebanyakan ahli mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah peristiwa sulit (Bautista, Auretita, Myra dalam Dewi, 2010; Grotberg, 1995). Padanan resiliensi yang umum dipakai di Indonesia adalah lentur. Dalam ilmu psikologis daya lentur dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bangkit dan menjadi lebih baik setelah melewati kondisi sulit. Setelah melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi (Alexander dalam Dewi, 2010), mereka tidak mudah patah karena tekanan dan dapat menyesuaikan dengan keadaan. Menyesuaikan dengan keadaan adalah juga menyesuaikan diri terhadap peristiwa traumatis, yang menjadi bagian dari dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu disaat mengingat ataupun menceritakannya atau sering disebut pulih (Sidabutar dkk., 2003).

  Setiap individu pada dasarnya memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya; untuk menjadi bagian dan selalu terhubung dengan orang lain, memiliki perasaan mampu, aman dan memiliki makna (Bernard, 2004). Kebutuhan-kebutuhan ini membentuk kekuatan dalam diri manusia dan meningkatkan resiliensi. Dengan begitu, resiliensi lebih menunjuk atribut personal, namun lingkungan memiliki peran penting. Ada interaksi faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangannya (Turner dalam Sulastri, 2007). Faktor lingkungan yang mempengaruhi resiliensi meliputi karakteristik budaya kelompok, keluarga, spiritualitas, dan masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Sulastri (2007) mengenai penyintas gempa bumi Yogyakarta 2006 menyimpulkan adanya hubungan antara penyintas (survivors) dengan dunia sekitarnya atau kearifan lokal (Sulastri, 2007).

  Kearifan lokal yang dimaksud penulis dalam tulisan ini adalah kearifan lokal masyarakat Jawa yang bertempat tinggal di seputar lereng Gunung Merapi. Definisi kearifan lokal dalam penelitian ini adalah sistem sosial yang dijalankan oleh masyarakat pada suatu tempat dalam kehidupan mereka sehari-hari dan memiliki ciri khas tertentu. Untuk selanjutnya kekhasan ini menonjol ketika dilihat oleh orang lain (Handayani & Novianto, 2008). Masyarakat Jawa dalam tulisan ini adalah masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu bahasa yang dijumpai di pulau Jawa Tengah dan Jawa Timur.

  Orang Jawa yang masih menghidupi dan menjalankan nilai-nilai luhur nenek moyangnya juga biasa dianggap masyarakat Jawa Kejawen. Orang Jawa Kejawen tersebut memiliki kepercayaan bahwa manusia adalah jagad

  cilik dan alam serta isinya adalah jagad gede. Orang Jawa Kejawen

  mempunyai pandangan hidup bahwa pokok-pokok kehidupan sudah ada yang mengaturnya. Oleh karena itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki sikap hidup bahwa selalu bersikap sabar dalam menanggung kesulitan-kesulitan dalam hidupnya. Selain itu, Masyarakat Jawa Kejawen memiliki kepercayaan terhadap bimbingan adikodrati dan bantuan dari nenek moyang atau Tuhan dalam menghadapi suatu masalah termasuk dalam menghadapi suatu bencana alam: erupsi Merapi.

  Kearifan lokal inilah yang menjadi modal sosial yang meningkatkan resiliensi pada diri wanita penyintas (suvivors) dalam menghadapi suatu kesulitan-kesulitan pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam.

  Berkaitan dengan kearifan lokal yang menjadi modal resiliensi dan keberadaan wanita Jawa dalam strata sosial, maka penelitian mengenai resiliensi wanita Jawa yang menjadi penyintas erupsi Merapi akan menjadi hal yang menarik. Melalui kajian naratif, penulis akan mencoba mencatat narasi mengenai peristiwa erupsi Merapi 2010 yang terekam pada ingatan korban selamat (survivors) atau penyintas. Dalam upaya lebih lanjut, penulis hendak melihat dan mengkaji tentang kearifan lokal serta pengaruhnya terhadap resiliensi pada wanita penyintas. Oleh karena itu, untuk menggali melakukan wawancara dengan subyek. Selain itu, penulis akan menggunakan bantuan dari berbagai literatur yang berkaitan dengan tema-tema yang muncul dari hasil wawancara.

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian naratif. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis tematik yang dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada keseluruhan tema ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam penyempurnaan analisis (Braun, 2006). Penulis berharap bahwa hasil dari penulisan ini akan bisa memberikan sumbangan dalam menemukan sistem penanganan bencana yang baik dari sisi psikologis dan sesuai dengan kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat korban. Hal tersebut juga dapat kita temukan pada peristiwa Erupsi Merapi 2010 silam.

B. Rumusan Masalah

  Bagaimanakah kultur Jawa (kearifan lokal Jawa) yang dikembangkan melalui pola interaksi sebagai modal sosial berpengaruh pada wanita Jawa penyintas pada peristiwa erupsi Merapi 2010 sehingga lebih resilien? C.

   Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat peran kearifan lokal Jawa dalam meningkatkan resiliensi para penyintas terutama Wanita pada Erupsi Merapi 2010.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

  Hasil penulisan ini bisa memberikan sumbangan teoritis dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai resiliensi dan kearifan lokal dalam kajian naratif.

2. Manfaat Praktis a.

  Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat lebih bijaksana dan selalu siap siaga dalam menghadapi bencana.

  b.

  Bagi LSM dan Pemerintah Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi penanggulangan bencana yang baik sehingga bisa menekan jatuhnya korban jiwa dan harta benda.

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Kepustakaan Tentang Erupsi Merapi 2010 Secara etimologis, bencana adalah gangguan yang menyebabkan dan

  menimbulkan kesusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya. Kata bencana dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata

  disaster identik dengan sesuatu dan situasi yang negatif.Disaster berasal dari

  Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi (BAPPENAS & BNPB, 2011).

  Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BAPPENAS & BNPB, 2011).

  Dampak umum bencana baik alam dan non-alam dari bencana meliputi kehilangan jiwa, luka-luka, kerusakan infrastruktur, kerusakan kehidupan dan hasil panen, gangguan produksi, gangguan kehidupan sehari- hari, kehilangan keluarga, gangguan dalam pelayanan umum, kerusakan infrastruktur secara nasional dan gangguan dalam sistem pemerintahan, penurunan ekonomi nasional, dampak sosiologis dan psikologis setelah bencana terjadi.

  Pada penelitian ini, penulis akan memfokuskan diri pada bencana alam yaitu: Erupsi Merapi 2010. Definisi bencana alam dalam penelitian ini adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (BAPPENAS & BNPB, 2011).

  Gunung Merapi merupakan bagian dari rangkaian 129 gunung berapi aktif dari ring of fire yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga Indonesia bagian timur dan memiliki ekosistem yang unik. Sebagai suatu kawasan yang memiliki keunikan ekosistem maka kawasan Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor 134/Menhut-II/2004 tanggal 04 Mei 2004.

  Selain itu, Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di dunia sehingga banyak peneliti gunung berapi dari berbagai Negara menjadikan Gunung Merapi sebagai obyek penelitian mereka. Gunung Merapi termasuk dalam tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut.

  Secara geografis terletak pada posisi 7° 32.5¹ Lintang Selatan dan 110° 26.5¹ Bujur Timur. Secara administratif Gunung Merapi terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

  Propinsi Jawa Tengah terbagi atas tiga kabupaten yaitu: Kabupaten Boyolali

  Barat. Sedangkan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu: Kabupaten Sleman di sisi Selatan (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

  Pada tanggal 20 September 2010, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada, dan selanjutnya ditingkatkan kembali menjadi Siaga (Level III) pada 21 Oktober 2010. Sejak 25 Oktober 2010, pukul 06.00 WIB, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari ―Siaga ― (Level III) menjadi ―Awas‖ (Level IV), dan pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan berlanjut dengan erupsi lanjutan sampai awal November 2010 (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

  Erupsi Merapi 2010 ini merupakan bencana terbesar dibandingkan dengan bencana erupsi pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001, dan 2006.

  Berdasarkan data pusdalops BNPB pada tanggal 12 Desember 2010 data korban erupsi Merapi yang meninggal dunia sebanyak 386 jiwa. Selain itu, bencana tersebut mengakibatkan 15.366 jiwa mengungsi di titik-titik pengungsian yang tersebar seluruh wilayah di D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah bahkan ada yang sampai mengungsi sampai luar kota (BNPB dan BAPPENAS, 2011).

  Tabel 1. Data Korban Jiwa dan Pengungsi Erupsi Gunung Merapi 2010 di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah 1 LOKASI MENINGGAL PENGUNGSI

  

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 277 12.839

Provinsi Jawa Tengah 109 2.527

Total DIY dan Jawa Tengah 386 15.366

  

Gambar 1.

Grafik Fluktuasi Total Pengungsi Bencana Gunung Merapi

  

Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

  Selain menimbulkan korban jiwa dan luka-luka, bencana erupsi ini juga membawa dampak kerusakan dan kerugian yang terjadi di 4 (empat) kabupaten disekitarnya yaitu: Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

  Gambar 2. Sebaran Dampak Bencana Erupsi Merapi 2010

  

Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

  Berdasarkan data dari tim analisa gabungan BNPB, BAPPENAS, Pemda DIY dan Pemda Jawa Tengah pada bulan Januari 2011 teridentifikasi bahwa kerusakan rumah mencapai 2.856 unit.

  

Tabel 2.

Jumlah Rumah Rusak Berat Akibat Erupsi Gunung Merapi 2010

  Provinsi Kabupaten Jumlah Jawa Tengah Klaten 165

  Magelang

  9

  • Boyolali Total Jawa Tengah 174

  D. I. Yogyakarta Sleman 2.682

  TOTAL 2.856 Sumber: BAPPENAS & BNPB, 2011

  Dari data di atas, kita mengetahui bersama bahwa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terkena dampak terparah pada erupsi Merapi 2010.

  Dampak kerusakan terparah tersebut berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dimana sebagian besar dari total keseluruhan korban jiwa 227 jiwa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Selain merenggut ratusan korban jiwa, di Kecamatan Cangkringan ada 2.856 unit rumah rusak parah dan ribuan rumah yang lain rusak sedang hingga ringan serta ribuan hektar lahan pertanian dan pemukiman terkena keganasan awan panas. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut maka dalam penelitian ini, penulis memilih Kecamatan Cangkringan sebagai tempat penelitian dan secara spesifik memilih daerah Kinahrejo dusun dimana Mbah Marid jan ―Juru Kunci Merapi‖ hidup dan meninggal dunia dalam erupsi Merapi 2010 tersebut.

  Dampak dari erupsi Merapi 2010 sangatlah besar. Erupsi Merapi 2010 mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik maupun non fisik. Kerusakan dan kerugian fisik antara lain: rumah, ladang, pemukiman dan banyaknya korban jiwa. Kerusakan dan kerugian non fisik antara lain: rasa kehilangan, menderita yang luar bisa dan perubahan pola hidup para penyintas. Lebih dari itu semua, dampak bencana alam (disaster) akan mengakibatkan perasaan tidak berdaya dan terancam yang luar biasa pada penyintas, akhirnya memunculkan perasaan takut yang luar biasa (Sulastri, 2007) atau ‗stres pascatrauma‘ yang dalam istilah klinis disebut sebagai Posttraumatic Stress

  Disorder yang disingkat PTSD (Parkinson dalam Dewi, 2010). Apabila hal

  tersebut tidak ditangani dengan baik maka akan memunculkan gangguan psikologis pada penyintas, keadaan tersebut pada umumnya terjadi disetiap bencana alam.

  Akan tetapi, setiap individu mengalami reaksi yang berbeda-beda dalam merespon dampak bencana. Faktor-faktornya adalah: (1) tingkat intensitas kehilangan, semakin banyak kehilangan, akan menimbulkan reaksi yang lebih hebat, (2) kemampuan individu secara umum untuk menghadapi situasi emosional, dan (3) peristiwa lain yang menimbulkan stres mengikuti peristiwa traumatik yang baru dialaminya (American Psychiatri Association [APA], 2000).

  Data menunjukkan bahwa ada peningkatan prosentase yang cukup signifikan dari penyintas yang mengalami ganguan psikologis pasca bencana tetap mampu bangkit dan berubah menjadi lebih baik (resiliensi) pasca bencana alam itu.

B. Resiliensi dalam Konteks Erupsi Merapi 2010 dan PTSD

  Ada banyak definisi mengenai resiliensi, banyak ahli berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan setelah peristiwa sulit dialami (Grotberg, 1995). Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menghadapi penderitaan. Persamaan kata resiliensi dalam bahasa Indonesia adalah daya lentur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartiakan sebagai tidak mudah patah dan dapat dengan mudah menyesuaikan diri denga n keadaan. ―Daya Lentur‖ sepertinya lebih pas dengan definisi resiliensi di atas, yaitu kemampuan untuk bangkit dan berubah menjadi lebih baik setelah melewati kondisi yang sulit. Lebih dari itu, resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individual untuk bertahan atau survive dan mampu beradaptasi dalam keadaan stres dan mengalami penderitaan pada peristiwa traumatis.

  Resiliensi adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma serta bisa menyesuaikan diri dengan keadaan.

  Karakter individu yang memiliki resiliensi seperti terdapat dalam beberapa poin berikut ini (www.APAHelpCenter.org/resilience): a.

  Memiliki sikap optimis yaitu terdapat harapan akan masa depan; b.

  Individu memiliki keyakinan diri bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif atau menyelesaikan tugas secara mandiri; c.

  Individu juga percaya bahwa mereka tetap memiliki kendali yang baik terhadap lingkungan, terutama pasca kejadian trauma; d.

  Individu memiliki pemahaman yang baik bahwa setiap pengalaman hidup memiliki alasan tertentu, dan mereka masih memiliki sumber personal dan sosial untuk memenuhi tuntutan hidup tersebut;

  Serta individu yang bersangkutan biasanya aktif, percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menentukan jalan hidup mereka, terutama pasca kejadian traumatis. Menurut Alexander (dalam Dewi, 2010), setelah melewati peristiwa traumatis, hidup seseorang tidak akan pernah sama lagi.

  Dengan kata lain, individu yang resiliensinya baik akan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Menyesuaikan diri dengan keadaan adalah juga menyesuaikan diri tanpa membuatnya merasa terganggu kembali terhadap peristiwa traumatis yang menjadi bagian dari dirinya.

  Reaksi psikologis individu terhadap peristiwa traumatis bervariasi dan tergantung pada banyak faktor seperti karakteristik individu, sistem dukung yang ada dan pengalaman traumatis yang langsung dialami atau tidak pada peristiwa traumatis tersebut (Webb dalam Dewi, 2010). Hal tersebut juga traumatis. Narasi reseliensi pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam terealisasi dengan terbuktinya masyarakat korban erupsi bangkit dari keterpurukannya.

  Peristiwa traumatis pada umumnya berpotensi menimbulkan stres. Dalam fase yang lebih akut, stres ini akan memunculkan gangguan stres

  pascatrauma atau PTSD. Tanda-tanda PDSD meliputi ketakutan,

  ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Lebih lanjut, gejala gangguan ini antara lain: (a). mengalami kembali peristiwa traumatis, misalnya melalui mimpi buruk atau terbayang kembali peristiwa tersebut; (b). menghindari stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatis, tidak dapat merespons, atau berkurangnya responsivitas terhadap lingkungan sekitar; dan (c). meningkatnya ketergugahan, seperti sulit tidur atau tidur tidak nyenyak, mudah jengkel atau marah, kesulitan berkonsentrasi, dan menampilkan respons keterkejutan (APA, 2000).

  Pada penelitian ini, penyintas wanita dikatakan bebas dari PTSD ketika terbebas dari gejala-gejala PTSD. Deskripsi gejala-gejala PTSD berikut ini diadaptasi dari DSM IV (APA, 2000): a.

  Seseorang telah mengalami peristiwa traumatik dimana kedua hal berikut ini muncul:  Penderita atau korban mengalami, menyaksikan atau dikonforontasi dengan sebuah peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang melibatkan pengalaman kematian atau ancaman kematian, cedera yang serius, atau

   Respons penderita atau korban terhadap peristiwa tersebut melibatkan ketakutan yang intens, perasaan tidak berdaya, perasaan horror, atau persepsi anda terhadap peristiwa yang menyebabkan emosi-emosi tersebut b.

  Seseorang mengalami kembali peristiwa dengan satu atau beberapa cara berikut ini:  Penderita atau korban mengalami rekoleksi peristiwa yang mengganggu, intrusif dan sering muncul yang meliputi bayangan, pikiran dan persepsi  Penderita atau korban mengalami mimpi yang mengganggu dan berulang atas peristiwa yang terjadi  Penderita atau korban bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatis tersebut terjadi berulang ulang dan penderita atau korban mungkin mengalami perasaan dimana ia mengalami kembali peristiwa tersebut melalui halusinasi, ilusi dan kilas balik aktif  Penderita atau korban mengalami gangguan psikologis atau reaksi tubuh yang intens ketika terekspos pada tanda-tanda eksternal maupun internal yang menandakan atau menyerupai peristiwa traumatis tersebut (misalnya: penglihatan, bau, suara, tanggal), hal-hal ini disebut triggers (Pemicu) c.

  Seseorang tetap menghindari hal-hal atau peristiwa (pemicu) yang diasosiasikan dengan trauma dan mebekukan respon dengan tiga atau

   Penderita atau korban melakukan berbagai macam cara untuk menghindari munculnya pikiran, perasaan atau percakapan yang terkait dengan trauma tersebut atau menghindari aktivitas, tempat, atau orang- orang yang dapat menyebabkan anda mengingat trauma tersebut  Penderita atau korban tidak dapat menngingat aspek penting yang terjadi pada peristiwa tersebut  Minat dan partisipasi dalam aktivitas menjadi jauh berkurang  Penderita atau korban merasa terasing dari orang lain  Kemampuan penderita atau korban untuk merasakan emosi dan jumlah emosi yang dirasakan menjadi terbatas (misalnya: ia tidak dapat merasakan perasaan mencintai)  Penderita atau korban mengalami perasaan dimana pandangan terhadap masa depan menjadi terbatas. Penderita atau korban tidak dapat melihat jauh ke masa depan (misalnya: ia tidak memiliki pengharapan untuk memiliki karir, pernikahan, anak-anak, atau usia yang normal) d.

  Seseorang juga memiliki gejala persisten berupa rangasangan fisik yang meningkat yang tidak ada muncul sebelum terjadinya trauma seperti yang diindikasikan oleh dua atau lebih hal berikut ini:  Sulit tidur atau sulit untuk tetap tidur  Mudah tersinggung atau kemarahan yang meluap  Sulit berkonsentrasi  Waspada yang berlebihan e.

  Gejala tersebut berlangsung lebih dari sebulan f. Karena gejala ini, penderita atau korban mengalami stres dan gangguan dan fungsi sosial, kerja dan area yang penting lainnya.

  PTSD dianggap akut jika gejala-gejala tersebut telah berlangsung kurang dari tiga bulan dan dianggap kronis jika gejala telah berlangsung selama tiga bulan atau lebih. PTSD dianggap sebagai serangan yang tertunda jika gejala mulai muncul setidaknya setelah enam bulan setelah terjadinya peristiwa traumatis tersebut. Jika seseorang hanya memiliki beberapa gejala- gejala yang tersebut di atas maka ia baru bisa disebut sebagai penderita PTSD parsial.

  Dalam sebuah jurnal psikologi dikatakan bahwa perbedaan dari orang yang hanya mengalami tekanan untuk sementara dalam bagian kehidupannya dengan orang yang mengalami PTSD, secara mendasar dan sederhana dikatakan bahwa orang tidak mengalami PTSD apabila orang tersebut mampu untuk memulai mengelola hidupnya kembali ―berdampingan‖ dengan trauma yang mereka alami. Jadi, pada orang yang mengalami PTSD terdapat proses mengumpulkan kembali memori (recollection) yang mengganggu secara terus menerus (persistent) pasca terjadinya peristiwa traumatis. Persistent

  recollection terhadap kejadian-kejadian traumatis yang dialami dan dilakukan

  dengan sadar (bukan diluar kendali) tersebut biasanya akan mendorong gangguan secara biologis dan psikologis, yang merupakan bagian dari PTSD (Sulastri, 2007).

  Komponen lain yang membuat sebuah peristiwa traumatis dapat menjadi gangguan adalah penilaian subyektif dari penyintas terhadap seberapa parah mereka merasa tertekan, terancam atau merasa tidak berdaya oleh adanya pengalaman tersebut. Jadi, meskipun fakta adanya pengalaman yang tidak biasa (extraordinary atau unusual) bisa disebut sebagai inti dari munculnya PTSD, namun arti (meaning) yang dilekatkan penyintas terhadap peristiwa tersebut juga bisa menjadi bagian paling mendasar dari gangguan yang dialami (Herman, 1992). Proses interpretasi seseorang terhadap arti dari peristiwa traumatis biasanya akan terus terjadi terhadap trauma yang pernah dialami, walaupun peristiwa itu sendiri telah berhenti.

  Gejala khas dari PTSD dimulai dari fase, di mana bayangan-bayangan kejadian traumatis seperti terulang kembali (flashback) atau bayangan kejadian tersebut muncul kembali dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan ―beku‖ (daze) dan penumpukan emosi (emotional numbness), menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap lingkungan, tidak mampu merasakan perasaan senang (anhedonia), serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya (avoidance). Selain itu, juga muncul ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang meningkatkan kembali pada trauma yang pernah dialami.Walaupun jarang, kadang-kadang terjadi bisa terjadi reaksi yang dramatis dimunculkan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang pernah dialaminya serta memunculkan reaksi asli terhadap trauma itu. Hyperarousal seperti ini pada dasarnya jarang terjadi, namun simptom hyperarousal menjadi salah satu simptom kuat adanya gangguan PTSD. Munculnya PTSD harus didahului dengan dengan adanya traumatis, dengan masa laten (belum menampakkan secara nyata simtom-simtom PTSD, namun sudah mulai menjangkiti) yang berkisar antara beberapa minggu hingga beberapa bulan, jarang melampaui 6 bulan.

  PTSD tidak terbatas pada salah satu jenis peristiwa traumatis tak terkecuali peristiwa traumatis yang diakibatkan karena faktor alam (disaster).

  Disaster dikategorikan sebagai penyebab tekanan yang luar biasa.Tekanan