INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA (1)
INTERFERENSI DAN INTEGRASI BAHASA
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia. Bahasa digunakan oleh bangsa Indonesia dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari. Semua orang menyadari bahwa interaksi dan segala kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Menurut Chaer (2006:
1) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh penuturnya untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri.
Bahasa merupakan alat komunikasi dalam lisan maupun tulisan. Tanpa bahasa, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan baik antarsesama. Tidak sebatas pada kemampuan berbicara saja, bahasa juga merupakan alat komunikasi antarpenulis dan pembaca melalui sebuah tulisan. Sebuah tulisan berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada pembacanya, tanpa bahasa yang baik dalam sebuah tulisan, maka informasi yang diharapkan pembaca dalam suatu tulisan tidak akan tercapai. Orang yang bahasa tulisnya baik, biasanya cara berbicaranya pun baik. Oleh karena itu, bahasa yang dipakai oleh penutur seharusnya baik dan benar agar informasi yang didapatkan oleh pendengar maupun pembaca dapat berjalan dengan baik.
Bahasa bersifat arbitrer (mana suka), maka dari itu banyak sekali dijumpai beragam bahasa dari belahan dunia. Seperti Indonesia yang kaya suku bangsa. Suku tersebut memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan Republik Indonesia yang dapat menyatukan berbagai macam suku. Tetapi, bahasa Indonesia tidak selamanya merupakan bahasa ibu (B1) bagi masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Adakalanya bahasa Indonesia merupakan bahasa ajaran (B2) bagi masyarakat Indonesia. Keanekabahasaan seperti ini sangat berhubungan dengan pengajaran bahasa. Ketika seorang melanggar kaidah berbahasa Indonesia Bahasa bersifat arbitrer (mana suka), maka dari itu banyak sekali dijumpai beragam bahasa dari belahan dunia. Seperti Indonesia yang kaya suku bangsa. Suku tersebut memiliki bahasa daerahnya masing-masing. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan Republik Indonesia yang dapat menyatukan berbagai macam suku. Tetapi, bahasa Indonesia tidak selamanya merupakan bahasa ibu (B1) bagi masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Adakalanya bahasa Indonesia merupakan bahasa ajaran (B2) bagi masyarakat Indonesia. Keanekabahasaan seperti ini sangat berhubungan dengan pengajaran bahasa. Ketika seorang melanggar kaidah berbahasa Indonesia
Sebagian besar penutur bahasa Indonesia merupakan penutur yang bilingual atau dwi bahasa. Terjadinya kedwibahasaan disebabkan karena adanya kontak bahasa antara bahasa pertama dengan bahasa kedua. Di negara Indonesia bahasa pertamanya adalah bahasa ibu penutur (bahasa daerah) dan bahasa keduanya adalah bahasa Indonesia.
Di ibu kota Jakarta misalnya, banya ditemukan penutur bilingual. Penutur yang bilingual biasanya menggunakan bahasa daerahnya agar lebih terlihat akrab dan kekeluargaan dalam situasi tidak resmi, dan menggunakan bahasa Indonesia ketika berada pada situasi resmi. Mereka menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian. Berarti banyak pula masyarakat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pemerolehan bahasa Indonesia penutur asli itu bermacam-macam caranya. Ada orang yang dapat berbahasa Indonesia karena lingkungan masyarakatnya banyak terdapat penutur bahasa Indonesia, ada yang karena banyak mendengar pemakaian bahasa Indonesia melalui radio, televisi, atau langsung dari penutur bahasa Indonesia yang sedang berpidato dalam situasi resmi atau percakapan antarsuku dan sebagainya. Penyimpangan dalam pemakaian bahasa Indonesia masih terjadi baik lisan maupun tertulis. Salah satu penyebab penyimpangan dan pemakaian unsur-unsur bahasa tertentu dalam penggunaan suatu bahasa disebut dengan interferensi.
Berdasarkan penelusuran hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti kebahasaan, ditemukan adanya beragam penyimpangan aspek kebahasaan, salah satunya adalah interferensi. Interferensi yang dimaksud dalam tulisan ini mengacu pada pendapat Weinreich (dalam Haridjatiwidjaja, 1995: 10), yaitu penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasaan akibat pengenalan lebih dari satu bahasa.
Interferensi dipahami sebagai suatu penyimpangan yang terjadi pada biligualisme/dwibahasa yang masih dalam tahap pembelajaran bahasa kedua.
Interferensi juga timbul disebabkan oleh dominannya sistem bahasa pertama yang mempengaruhi pemakaian bahasa kedua dalam peristiwa komunikasi, emosi, kepekaan, dan sikap penutur. Peristiwa kontak bahasa yang terjadi tidak akan menyebabkan interferensi sepanjang sistem bahasa yang ada pada bahasa pertama memiliki kesamaan dengan sistem bahasa pada bahasa kedua. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan sistem antara bahasa pertama dan kedua, maka akan terjadi kekacauan yang akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan atau kesalahan yang dikenali dengan istilah interferensi.
Kedwibahasaan akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa. Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi menurut Weinrich (dalam Sukardi 1999:4) adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, interferensi bisa terjadi karena menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, meningkatnya kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber.
Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor penyebab terjadinya interferensi. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi. Masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah masing-masing. Proses komunikasi kedua bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosa kata bahasa daerah atau sebaliknya.
Dewasa ini, masyarakat sudah mulai mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Tentu dalam Dewasa ini, masyarakat sudah mulai mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Tentu dalam
Penyebab utama fenomena ini terjadi adalah kebiasaan bangsa Indonesia pada umumnya yang mengagungkan semua hal yang berbau internasional, luar negeri, atau dapat dibilang berbau barat. Dengan kata lain, secara kasar bangsa Indonesia kurang bangga dengan bahasanya dan budayanya sendiri. Pemakaian bahasa dan budaya asing dirasa lebih keren dan dapat diterima dalam pergaulan. Sekali lagi, jika digunakan pada konteks pergaulan sehari- hari hal ini tidak menjadi suatu masalah serius, namun yang disayangkan adalah jika hal ini terjadi pada sebuah forum ilmiah, media massa, kuliah, seminar, dan forum formal lain.
Keterampilan seseorang terhadap sebuah bahasa bergantung kepada adanya kesempatan untuk menggunakan bahasa tersebut. Karena itu, wajar kalau bahasa pertama lebih dikuasai daripada bahasa kedua. Apabila kesempatan untuk menggunakan dua bahasa atau lebih sama peluangnya, maka ada kemungkinan penguasaan atas kedua bahasa itu sama baiknya. Dapat juga terjadi keterampilan akan bahasa pertama menjadi berkurang, terutama dalam penguasaan kosa kata, kalau seseorang dalam waktu yang relatif lama tinggal di lingkungan masyarakat yang menggunakan bahasa lain. Kalau dalam waktu yang relatif lama dia tidak menggunakan bahasa pertama, kemampuannya bisa saja berkurang. Berkurangnya kemampuan tersebut dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, kemampuan tersebut akan terkubur di bawah keterampilan berbahasa lain. Kedua, bahasa pertamanya berkembang, sementara dia tidak sempat mengikuti perkembangan itu. Fenomena penguasaan bahasa pertama dan bahasa-bahasa lainnya terjadi dalam setiap bangsa di dunia. Dewasa ini, berkat perkembangan informasi dan komunikasi antarbangsa, ada kecenderungan masyarakat menguasai dua bahasa, bahkan tiga bahasa sekaligus.
Fenomena ini terkesan menelanjangi identitas kebangsaan kita. Seakan bahasa Indonesia tidak bisa terlihat lebih baik dibandingkan dengan pemakaian bahasa asing, dalam kasus ini bahasa Inggris. Mungkin dengan adanya tuntutan hidup di era globalisasi, maka masyarakat dituntut pula untuk dapat “bergaul” secara global. Namun pada akhirnya dalam pergaulannya, masyarakat kehilangan identitas kebangsaannya: Bahasa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini mencakup bagaimana gejala interferensi dan integrasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia terhadap penggunaan beberapa bahasa pada contoh penelitian yang dijadikan sebagai sumber data atau tinjauan pustaka dalam makalah ini?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui gejala interferensi dan integrasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia terhadap penggunaan beberapa bahasa pada beberapa contoh penelitian yang dijadikan sebagai sumber data atau tinjauan pustaka dalam makalah ini.
II. Kajian Teori
Interferensi dan integrasi bahasa pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur ( speech parole ) yang terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, interferensi diharapkan semakin berkurang atau sampai batas yang paling minim. Interferensi dan integrasi bahasa berhubungan dengan teori sosiolinguistik lainnya seperti kontak bahasa, bilingualisme/dwibahasa, alih kode dan campur kode.
2.1 Peristiwa Kontak Bahasa
Hubungan antara bahasa dan masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor non kebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin (Suwito, 1983: 2).
Chaer dan Agustina (1995: 4) mengatakan sosiolinguistik yaitu pengkajian bahasa (linguistik) sebagaimana bahasa itu berada dan berfungsi dalam masyarakat (sosiologis). Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.
Appeal (dalam Suwito, 1983: 5) juga mengemukakan bahwa sosiolinguistik merupakan studi tentang tata bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan. Ini berarti Appeal menambahkan unsur kebudayaan pada pengertian sosiolinguistik, sehingga dapat dikatakan sosiolinguistik sebagai fenomena sosial dan budaya. Suwito (1983: 5) berpendapat bahwa sosiolinguistik berarti studi interdisipliner yang menganggap masalah-masalah kebahasaaan dalam hubungannya dengan masalah sosial.
Nababan menambahkan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh linguistik dan nonlinguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor situasional. Adapun yang termasuk dalam faktor situasional adalah siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa dan ragam bahasa mana, atau disingkat SPEAKING (Dell Hymes dalam Nababan, 1984). Adanya faktor situasional dan sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dikaji dalam sosiolinguistik meliputi: Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dikaji dalam sosiolinguistik meliputi:
b. Macam bahasa beserta variasinya yang berkembang dalam masyarakat
c. Penggunaan bahasa sesuai dengan faktor kebahasaan maupun non kebahasaan termasuk kajian tentang kedwibahasaan.
Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, tidak mungkin terpisahkan adanya peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan sangat mungkin sebagai awal terjadinya interferensi dalam bahasa, sehingga antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat hubungannya. Interferensi merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.
Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Sebagai contoh, adanya kontak bahasa antara bahasa Ogan dan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur bahasa Ogan. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur. Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seseorang disebut kedwibahasaan (Weinreich dalam Suwito, 1983: 39).
Diebold dalam Suwito (1983: 39) menjelaskan bahwa kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang belajar bahasa kedua dalam masyarakat. Pada situasi seperti itu dapat dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang belajar bahasa. Dalam situasi belajar bahasa terjadi kontak bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan (bilingualisasi) serta orang yang belajar bahasa kedua dinamakan dwibahasawan.
Mackey dalam Suwito, (1983: 39) berpendapat kontak bahasa merupakan pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan kedwibahasaan berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseoarang penutur. Kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan cenderung sebagai gejala tutur (parole). Namun, karena langue pada hakekatnya sumber dari parole, maka Mackey dalam Suwito, (1983: 39) berpendapat kontak bahasa merupakan pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan kedwibahasaan berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseoarang penutur. Kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan cenderung sebagai gejala tutur (parole). Namun, karena langue pada hakekatnya sumber dari parole, maka
Berdasarkan beberapa pendapat seperti di atas, maka jelaslah kiranya bahwa pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya, atau kontak bahasa terjadi dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri.
2.2 Bilingualisme
Bilingualisme disebut juga sebagai kedwibahasaan, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Istilah kedwibahasaan mula-mula diperkenalkan oleh Bloomfield pada permulaan abad ke-20. Awalnya Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115) merumuskan kedwibahasaan sebagai “ Native like control of two languages ”. Maksudnya, kemampuan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2) dengan penguasaan yang sama baiknya oleh seorang penutur. Orang yang menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut kedwibahasaan. Proses memperoleh kebiasaan menggunakan dua bahasa disebut pendwibahasaan.
Mackey (melalui Chaer dan Agustina, 1995: 115) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Untuk dapat menggunakan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa dengan tingkat yang sama, artinya kemampuan penutur dalam penguasaan bahasa keduanya. Sependapat dengan Mackey, Weinreich (1986: 1) memberi pengertian kedwibahasaaan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian.
Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983: 41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa ( knowledge of two languages ). Maksudnya, dalam hal Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983: 41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa ( knowledge of two languages ). Maksudnya, dalam hal
Dari definisi-definisi di atas terlihat bahwa kedwibahasaan mempermasalahkan dua bahasa dalam penggunaannya baik secara aktif maupun pasif oleh dwibahasawan. Maka sudah tentu terjadilah kontak antara dua bahasa. Kontak bahasa ini terjadi dalam masyarakat pemakai bahasa atau terjadi dalam situasi kemasyarakatan tempat seseorang mempelajari unsur- unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri.
Batasan pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme memang relatif. Relatifnya cakupan dan acuan bilingualisme ini disebabkan sulitnya mengukur derajat kemampuan berbahasa dari seseorang (Alwasilah, 1985: 125). Akan tetapi, berbagai pendapat tokoh-tokoh mengenai pengertian bilingualisme atau kedwibahasaan tersebut masih dapat diambil suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut yaitu bilingualisme berkaitan dengan adanya dua bahasa dalam kehidupan berbahasa seorang penutur.
Persoalan mengenai kemampuan penutur dwibahasawan, Nababan (1991:31) membedakannya menjadi bilingualisme sejajar dan bilingualisme majemuk. Istilah bilingualisme sejajar dan bilingualisme majemuk dikutip Nababan dari Orvin dan Osgood (1965) yang meluncurkan istilah tersebut pertama kali. Bilingualitas sejajar adalah kemampuan yang penuh dan seimbang terhadap kedua bahasa serta kemampuan dan tindak laku dalam kedua bahasa tersebut adalah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Bilingualitas majemuk adalah apabila kemampuan dwibahasawan terhadap bahasa kedua belum sama baiknya dengan bahasa pertama, sehingga kebiasaan bahasa pertama berpengaruh pada penggunaan bahasa kedua.
Pembagian jenis kedwibahasaan oleh Nababan tersebut berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2004: 21-23) yang menambahkan jenis ketiga dari kedwibahasaan, yaitu kedwibahasaan kompleks. Oleh karena itu, Pembagian jenis kedwibahasaan oleh Nababan tersebut berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2004: 21-23) yang menambahkan jenis ketiga dari kedwibahasaan, yaitu kedwibahasaan kompleks. Oleh karena itu,
Mackey (dalam Rusyana, 1975: 33) berpendapat bilingualisme dipengaruhi oleh 4 aspek. Keempat aspek tersebut adalah fungsi, tingkat, pergantian dan interferensi. Masalah fungsi dimaksudkan untuk apa penutur menggunakan bahasa tersebut. Masalah tingkat dimaksudkan sejauh mana penutur mengetahui bahasa yang dipergunakan atau sejauh mana penutur tersebut menjadi dwibahasawan. Pergantian dimaksudkan seberapa luas penutur dwibahasawan mempertukarkan bahasa-bahasa tersebut, bagaimana dwibahasawan pindah dari bahasa satu ke bahasa lain dan dalam keadaan yang bagaimana. Masalah interferensi dimaksudkan bagaimana dwibahasawan menjaga bahasa-bahasa tersebut sehingga terpisah, seberapa luas dwibahasawan mencampurbaurkan bahasa-bahasa tersebut, serta bagaimana pengaruh bahasa yang satu pada bahasa yang lain.
Istilah penting yang berhubungan dengan kedwibahasaan antara lain adalah dwibahasawan. Dwibahasawan adalah seseorang yang yang mempunyai kemampuan menggunakan dua bahasa secara berganti-ganti. Wojowasito menjelaskan bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai kedua bahasa yang dimilikinya sama fasih, tetapi cukup apabila ia dapat menyatakan diri dalam dua bahasa tersebut atau dapat memahami apa yang dikatakan atau ditulis dalam bahasa itu (dalam Mustakim, 1994: 11).
Kedwibahasaan merupakan masalah bahasa, oleh karena itu masalah kedwibahasan inipun bukan hanya masalah perseorangan, tetapi juga masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa. Menurut Mackey dalam Hastuti (2003) bahwa kedwibahasaan dan kontak bahasa ini tidak dapat disamakan secara menyeluruh. Karena kedwibahasaan ialah penggunaan dua Kedwibahasaan merupakan masalah bahasa, oleh karena itu masalah kedwibahasan inipun bukan hanya masalah perseorangan, tetapi juga masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa. Menurut Mackey dalam Hastuti (2003) bahwa kedwibahasaan dan kontak bahasa ini tidak dapat disamakan secara menyeluruh. Karena kedwibahasaan ialah penggunaan dua
Kedwibahasaan atau bilingualisme ini merupakan salah satu peristiwa masalah kebahasaan yang terjadi akibat adanya kontak bahasa itu. Selain kontak bahasa juga ada beberapa peristiwa kebahasaan yang merupakan akibat adanya kontak bahasa dan sangat berkaitan erat dengan kedwibahasaan, diantaranya adalah integrasi dan interferensi.
2.3 Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode merupakan peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain, baik pada tataran antarbahasa, antarvarian (baik regional atau sosial), antarregister, antarragam, dan antargaya. Secara umum alih kode adalah pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau beberapa gaya dari satu ragam bahasa.
Faktor yang menjadi sebab dari adanya alih kode adalah faktor dari penutur bahasa yang berusaha melakukan alih kode karena suatu maksud tertentu. Faktor lain yang menyebabkan alih kode (1) lawan tutur (bicara), karena ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur (bicara); (2) penutur sadar melakukan alih kode karena suatu maksud; (3) hadirnya penutur ketiga (untuk netralisasi dan menghormati hadirnya orang ketiga itu); (4) pokok pembicaraan atau topik pembicaraan yang dominan yang menentukan alih kode, terutama di bidang ilmu pengetahuan dengan istilah yang belum tersedia (sumber dapat berupa bahasa asli dengan segala variasinya, atau bahasa asing bagi unsur yang belum tersedia istilahnya) (Suwito dalam Djjasudarma, 1994: 24).
Campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa yang mungkin memang diperlukan sehingga tidak dianggap suatu kesalahan. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi bahasa formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang terdapat dalam Campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa yang mungkin memang diperlukan sehingga tidak dianggap suatu kesalahan. Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi bahasa formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan demikian itu disebabkan karena tidak ada ungkapan yang terdapat dalam
Alih kode dan campur kode ini berkaitan dengan peristiwa interferensi. Di dalam peristiwa campur kode belum tentu ada interferensi, tetapi, dalam peristiwa interferensi sudah pasti terjadi peristiwa campur kode.
2.4 Interferensi Bahasa
2.4.1 Definisi Interferensi
Sejumlah pakar sosiolinguistik mengungkap, pada dasarnya interferensi adalah pengacauan bahasa yang terjadi dalam diri orang yang berbilingual atau lebih. 1 Bahasa yang dipakai oleh penutur bilingual adalah bahasa
pertama, yakni bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua, yakni bahasa ajaran (B2). Sama halnya pula dengan penutur multilingual, ia memiliki bahasa ibu (B1), bahasa ajaran pertama (B2), bahasa ajaran kedua (B3), dan mungkin bahasa ajaran ketiga (B4), bahasa ajaran keempat (B5), dan seterusnya. Bahasa Indonesia ada kalanya sebagai B1 dan ada kalanya sebagai B2. Ketika satu keluarga yang berlatar belakang bahasa Betawi ingin menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, maka bahasa Betawi adalah B1 (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai B2 (bahasa ajaran). Lain halnya ketika orang Indonesia yang menetap di negara Inggris, ketika ia ingin menggunakan bahasa Inggris saat bertutur, kedudukan bahasa Indonesia sebagai B1 (bahasa ibu) dan bahasa Inggris sebagai B2 (bahasa ajaran). Seseorang yang memiliki dua bahasa (bilingual) dan banyak bahasa (multilingual) berkesempatan untuk memilih bahasa dalam bertutur. Pemilihan bahasa mereka lakukan atas dasar psikologis diri masing-masing. Sedangkan penutur yang memiliki satu bahasa saja (monolingual) tidak memiliki kesempatan untuk memilih bahasa dalam berututur.
1 Wibowo, Wahyu. (2003). Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 11
Contoh penyebab terjadinya multilingual pada Kalala yang disebabkan karena faktor lingkungan
Kalala berumur 16 tahun. Dia tinggal di Bukavu, sebuah kota di Afrika di Timur Zaire dengan populasi 220.000 jiwa. Itu adalah suatu negara dengan banyak budaya dan bahasa dan lebih banyak orang yang datang dan pergi untuk bekerja dengan alasan bisnis daripada orang-orang yang tinggal menetap disana. Lebih dari empat puluh kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda dapat ditemukan di kota ini. Kalala seperti teman- temannya yang lain adalah pengangguran. Dia menghabiskan hari-harinya berkelana di jalan, kadangkala singgah di tempat-tempat yang biasa orang temui seperti di pasar, taman, atau tempat temannya. Selama dalam kesehariannya ia menggunakan sedikitnya tiga jenis atau kode bahasa
yang berbeda-beda bahkan terkadang lebih. 2
Berdasarkan contoh diatas, pemakaian bahasa penutur yang multilingual ataupun bilingual terjadi secara bergantian, karena mereka memiliki pilihan bahasa. Pemilihan bahasa dapat ia sesuaikan dengan situasi peristiwa tutur. Pemakaian bahasa secara bergantian itulah yang dapat memicu terjadinya interferensi pada penutur. Masyarakat bilingual atapun multilingual akan sulit menghindari interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain. Pendapat yang sama diungkapkan pula oleh Jendra:
Interferensi merupakan sebuah bentuk situasi atas penggunaan bahasa kedua atau bahasa lain dengan para penggunanya yang dianggap tidak
tepat untuk mempengaruhi bahasa tuturan si pengguna. 3
Berdasarkan pendapat Jendra di atas, memperjelas hakikat interferensi sesungguhnya, bahwa interferensi hanya dapat dilakukan oleh penutur bilingual dan multilingual.
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang
2 Holmes, Janet. (1994). An Introduction to Sociolingusitics. London and New York: Longman. Hal. 21
3 Jendra, Made Iwan Indrawan. (2010). Sosiolinguistics The Study of Societies Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 189 3 Jendra, Made Iwan Indrawan. (2010). Sosiolinguistics The Study of Societies Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal 189
bahasa lain yang berdiri sendiri pada struktur sebuah bahasa dianggap sebagai pengacauan. Interferensi dapat terjadi ketika penutur bilingual maupun multilingual tersebut memasukan dua bahasa sekaligus dalam suatu ujaran, baik segi fonem, morfem, kata, frase, klausa, maupun kalimat. Interferensi yang terjadi dapat dilihat pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, leksikon, dan semantik.
Hartmann & Stork dalam Chaer mengungkapkan bahwa interferensi juga dimaknai sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-
kebiasaan ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. 5 Interferensi bersifat merusak bahasa yang terinferensi, baik bahasa ibu (B1),
maupun bahasa ajaran (B2). Interferensi muncul bukan karena penutur mahir dalam menggunakan kode-kode dalam bertutur. Sebaliknya, interferensi
muncul karena kurang dikuasainya kode-kode tersebut dalam bertutur. 6 Penguasaan bahasa yang dimiliki penutur bilingual ataupun multilingual tidak
seimbang atau tidak sama baiknya. Penguasaan bahasa yang tidak seimbang dapat terjadi ketika bahasa ibu (B1) lebih dikuasai daripada bahasa ajaran (B2), ataupun sebaliknya. Sesungguhnya, interferensi berlaku bolak-balik, bisa dengan bahasa ajaran (B2) tercampur pada struktur bahasa ibu (B1), bisa juga dengan bahasa ibu (B1) tercampur pada struktur bahasa ajaran (B2).
Interferensi dikatakan sebagai peristiwa pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain yang terjadi pada segala tingkat unsur kebahasaan, yaitu cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk frasa dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, dan cara memberikan arti kata-kata tertentu (Suwito, 1988:64). “Interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individu dalam suatu bahasa, ciri-ciri bahasa lain itu masih kentara” (Harimurti, 1984:84). Richards berpendapat bahwa Interferensi sebagai transfer negatif yaitu penggunaan suatu aturan
4 Agustina, Leonie dan Abdul Chaer. (2004). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rhineka Cipta. Hal 120
5 Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Hal. 114 6 Rahardi, R. Kunjana. (2010). Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 125 5 Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Hal. 114 6 Rahardi, R. Kunjana. (2010). Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal. 125
Nababan (1991: 33) menyebut interferensi sebagai suatu “pengacauan” yang terjadi pada penutur dwibahasawan karena penguasaan bahasa yang tidak seimbang. Nababan (1993: 35) mengemukakan beberapa istilah mengenai interferensi. la menyebut adanya interferensi perlakuan ( performance interference ) dan interferensi sistemik ( systemic interference ). Interferensi perlakuan sering terjadi pada seorang dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua. Interferensi sistemik akan terlihat dalam bentuk perubahan satu bahasa dengan unsur-unsur atau struktur bahasa yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa interferensi sistemik menunjukkan gejala perubahan sistem sebuah bahasa akibat pengaruh bahasa lain.
Interferensi merupakan kata serapan dari bahasa Inggirs interference . Interference berarti gangguan, rintangan, percampuran (Darmanto, 2004: 198). Robert Lado (dalam Abdulhayi, 1985: 8) menyatakan bahwa interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi sebagai akibat perbedaan kebiasaan dengan bahasa pertama.
Definisi interferensi dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008: 95) yaitu penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa. Berdasarkan definisi tersebut, diketahui bahwa interferensi terjadi pada diri individu dwibahasawan ketika bertutur. Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Diebold (dalam Rusyana, 1988: 7) bahwa interferensi merupakan gejala parole dan pemakaiaannya pada diri dwibahasawan saja, bukan merupakan gejala langue yang terjadi pada masyarakat bahasa.
Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peran, yaitu bahasa sumber atau donor, bahasa penyerap atau risipen dan unsur serapan atau importasi (Suwito dalam Laela, 1999: 18). Di dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008) bahasa sumber berarti bahasa yang menjadi asal kata pinjaman. Bahasa penyerap atau bahasa sasaran merupakan bahasa yang Dalam proses interferensi terdapat tiga unsur yang mengambil peran, yaitu bahasa sumber atau donor, bahasa penyerap atau risipen dan unsur serapan atau importasi (Suwito dalam Laela, 1999: 18). Di dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2008) bahasa sumber berarti bahasa yang menjadi asal kata pinjaman. Bahasa penyerap atau bahasa sasaran merupakan bahasa yang
Menurut (Suwito, 1983: 59) interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah berlaku saling kontak, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki unsur bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya. Namun, untuk bahasa asing interferensi cenderung hanya secara sepihak, maksudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resipien dan bahasa asing sebagai bahasa donor. Berikut bagan interferensi antara ketiga bahasa tersebut:
Bahasa asing Bahasa daerah
A1 D1 A2 Bahasa D2
Indonesia A3 D3
Poedjosoedarmo (1989: 53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya elemen-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).
Interferensi menurut Jendra (1991: 106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:
a. Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu
kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga
( internal interference ) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga ( external interference ) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.
b. Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber,
bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.
c. Interferensi ditinjau dari segi pelaku Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan
dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.
d. Interferensi ditinjau dari segi bidang. Pengaruh interferensi terhadap bahasa penerima bisa merasuk ke
dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalam sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).
Ohoiwutun (2007: 72) mengatakan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah masyarakat. Kedua, dari dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa.
Dimensi pertama, menurut Ohuiwutun (2007: 72- 73), “Dari dimensi tingkah laku penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktik campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan.” Dimensi pertama ini terjadi karena murni rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa yang lain.
Dimensi kedua, menurut Ohuiwutun (2007: 73), “Dari dimensi sistem bahasa dikenal sebagai interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa.” Interferensi leksikal sistemik terjadi karena penyesuaian ejaan dari bahasa yang satu dalam konteks bahasa yang lain. Di dalam proses pungutan bahasa ini, interferensi leksikal sistemik dapat terjadi penggunaan leksikal bahasa asing dan yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing karena ketidaktahuan pengguna bahasa. Bahkan, dapat terjadi proses pungutan bahasa yang mengabaikan interferensi leksikal sistemik dengan cara penggunaan leksikal serapan langsung dan leksikal bahasa asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi leksikal, penggunaan leksikal yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing, leksikal serapan langsung, dan leksikal bahasa asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Dimensi ketiga dalam gejala interferensi yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2007: 74-75) biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Di dalam hal ini dikenal transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi apabila pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama dari bahasa kedua atau asing dengan bahasa pertamanya dan menggunakan sistem bahasa yang baru tersebut untuk mempermudah pembelajaran. Sebaliknya, dikatakan transfer negatif terjadi apabila bahasa pertama dan Dimensi ketiga dalam gejala interferensi yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2007: 74-75) biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Di dalam hal ini dikenal transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi apabila pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama dari bahasa kedua atau asing dengan bahasa pertamanya dan menggunakan sistem bahasa yang baru tersebut untuk mempermudah pembelajaran. Sebaliknya, dikatakan transfer negatif terjadi apabila bahasa pertama dan
Berdasarkan teori dan pendapat para tokoh mengenai interferensi, maka dapat disimpulkan bahwa interferensi merupakan fenomena kebahasaan yang timbul akibat adanya kontak bahasa yang pada dasarnya merupakan pemakaian dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa. Pada umumnya interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), dan hanya terjadi pada diri dwibahasawan, sedangkan peristiwanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap.
2.4.2 Faktor Penyebab Timbulnya Interferensi
Menurut Weinrich penyebab terjadinya interferensi adalah sebagai berikut: (1) kedwibahasaan para peserta tutur, (2) tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima, (3) tidak cukupnya kosakata bahasa penerima dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan, (4) menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, dan (5) kebutuhan akan sinonim. Oleh Hartman dan Stork ditambah lagi satu faktor, yaitu karena terbawanya kebiasaan B1 (dalam Mustakim, 1994: 15).
Kedwibahasaan peserta tutur dapat mengakibatkan terjadinya interferensi, baik yang berupa bahasa daerah maupun bahasa asing. Dapat dikatakan demikian karena di dalam diri penutur yang dwibahasawan terjadi kontak bahasa yang selanjutnya dapat mengakibatkan munculnya interferensi.
Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap yang kurang positif. Sikap ini dapat terlihat dalam bentuk pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dalam pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasainya secara tidak terkontrol. Akibatnya muncul berbagai bentuk interferensi dalam bahasa penerima, baik secara lisan maupun tertulis.
Kosakata yang dimiliki oleh suatu bahasa umumnya hanya terbatas pada pengungkapan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika Kosakata yang dimiliki oleh suatu bahasa umumnya hanya terbatas pada pengungkapan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika
Berkaitan dengan masalah sinonim, Haugen menyebutkan bahwa pengambilan kosakata yang sudah ada sinonimnya atau unsur pinjaman yang ada padanannya timbul karena sifat fungsi pemakai dan mungkin jarang dihubungkan dengan tipisnya ideologi tentang kesetiaan terhadap bahasa penerima (dalam Mustakim 1994: 18). Untuk menghindari pemakaian kata yang sama secara berulang-ulang yang dapat menimbulkan kebosanan pemakai bahasa dapat menggunakan sinonim. Dengan adanya sinonim pemakai bahasa dapat lebih bervariatif dalam memilih kata-kata. Dengan menggunakan sinonim berarti telah terjadi penyerapan atau peminjaman kosakata dari bahasa sumber untuk menambah kesinoniman dalam bahasa penerima. Hal ini dapat mendorong terjadinya interferensi.
Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang dipergunakan terjadi karena kurangnya kontrol bahasa dan karena kurangnya penguasaan terhadap bahasa penerima. Hal ini biasanya terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dwibahasawan kadang-kadang tidak sadar menggunakan unsur-unsur bahasa ibu yang sudah dikenalnya pada saat menggunakan bahasa kedua.
Kesulitan yang dihadapi oleh pemakai bahasa dalam menggunakan bahasa kedua terjadi karena perbedaan tingkat penguasaan bahasa itu. Hal itu mengakibatkan dwibahasawan menggunakan unsur-unsur bahasa yang telah dikuasainya, yang dalam hal ini adalah bahasa ibu.
Faktor kebiasaan dalam berbahasa mempunyai andil yang cukup besar dalam interferensi. Penutur yang terbiasa menggunakan bahasa daerah dalam tuturan sehari-hari suatu saat akan terbawa dalam pembicaraan ragam formal. Interferensi dapat terjadi karena terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau masuknya dialek bahasa ibu ke dalam bahasa kedua (Hortman via Alwasilah, 1985: 131), asalkan ia seorang dwi bahasa.
Faktor penyebab interferensi yang lain adalah usia, seperti yang telah diketahui perbedaan usia dapat menyebabkan perbedaan kemampuan berbahasa. Berdasarkan faktor kebiasaan, seseorang yang berusia lanjut frekuensi melakukan interferensi lebih besar karena usia juga mempengaruhi daya ingat seseorang. Peristiwa interferensi ini dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa sulit dihindari terutama pada diri orang yang sudah tua. Lebih lanjut Soepomo (1978: 34) menjelaskan kesalahan yang bersifat interferensi memang sulit dihindari, sebab hal itu tidak mudah dikontrol karena kebiasaan semacam itu sudah mendarah daging. Alasan lain terjadinya interferensi adalah untuk kepentingan eufemisme, gaya sopan, dan prestise.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya interferensi adalah faktor pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik kemampuan maupun kesadarannya dalam berbahasa. Paling tidak etika berbicara dapat mereka kuasai. Kemampuan intelektual seseorang mendukung penguasaan ilmu pengetahuan termasuk kaidah kebahasaan. Pendidikan merupakan suatu proses penyampaian nilai-nilai, pengalaman, kecakapan baik kognitif, efektif, maupun psikomotor. Dalam proses pendidikan bahasa memunyai peranan yang sangat penting karena penyampaian pengalaman, nilai-nilai dan kecakapan tersebut menggunakan bahasa.
Selain faktor usia, pendidikan, dan kebiasaan, mobilitas penduduk juga berpengaruh terhadap terjadinya interferensi. Mobilitas penduduk merupakan salah satu variabel kedwibahasaan. Perpindahan penduduk di dalam batas atau melintas batas bahasa, suku, dan bangsa. Mobilitas penduduk juga menjadi masalah sosiologi karena ia memengaruhi struktur sosial dan sistem budaya. Di antara aspek perpindahan penduduk yang melibatkan Selain faktor usia, pendidikan, dan kebiasaan, mobilitas penduduk juga berpengaruh terhadap terjadinya interferensi. Mobilitas penduduk merupakan salah satu variabel kedwibahasaan. Perpindahan penduduk di dalam batas atau melintas batas bahasa, suku, dan bangsa. Mobilitas penduduk juga menjadi masalah sosiologi karena ia memengaruhi struktur sosial dan sistem budaya. Di antara aspek perpindahan penduduk yang melibatkan
2.4.3 Macam-macam Interferensi
Interferensi sebagai gejala umum dalam peristiwa bahasa merupakan akibat dari kontak bahasa. Rindjin (dalam Irwan, 1994: 18) membagi interferensi menjadi empat macam yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: (1) peminjaman unsur suatu bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antara bahasa yang dipinjam unsur-unsurnya disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam. Aspek yang ditransfer dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima disebut aspek importasi, (2) penggantian unsur bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain, Di dalam penggantian ada yang dinamakan dengan substitusi, yakni aspek dari suatu bahasa yang disalin ke bahasa lain, (3) penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B, atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A, dan (4) perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara satu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa
A tertentu, yang menimbulkan perubahan (perluasan maupun pengurangan) fungsi-fungsi morfem bahasa B berdasarkan tata bahasa A.
Pada definisi interferensi yang dikemukakan oleh Weinreich, disebutkan mengenai adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain. Perubahan sistem bahasa yang dimaksudkan Weinreich seperti yang dikutip Ekowardono (1990: 15) terjadi pada tiga unsur, yaitu unsur fonologis, gramatikal dan leksikal. Unsur fonologis yaitu mengenai pengucapan atau lafal. Unsur gramatikal berkaitan dengan penggunaan imbuhan, pola susunan kelompok kata atau kalimat, Unsur leksikal mengenai penggunaan kata. Dengan demikian, kita mengenal interferensi fonologis, interferensi gramatikal, dan interferensi leksikal (Ekowardono, 1990: 15).
a. Interferensi Fonologis Interferensi fonologis merupakan interferensi pada pengucapan atau
lafal. Interferensi fonologis berupa terbawanya fonem bahasa utama ke dalam bahasa sasaran. Ekowardono (1990: 15) memberikan contoh interferensi fonologis bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, yaitu berupa pengacauaan fonem /d/ bahasa Jawa dan fonem /d/ bahasa Indonesia. Misalnya pada kata Supriyadi [supriyadi] dilafalkan [supriya ḍi]. Fonem /d/ pada bahasa Jawa yang merupakan bunyi apikodental dilafalkan dengan bunyi apiko-palatal seperti pada bahasa Indonesia. Padahal dalam bahasa Jawa, bunyi apiko-palatal merupakan bunyi dari fonem berbeda yaitu fonem /dh/.
Kridalaksana (1980: 28) membedakan interferensi fonologis menjadi dua macam, yaitu interferensi fonemis dan interferensi fonis.
Interferensi fonemis Interferensi fonemis merupakan jenis interferensi fonologis