TRANSFORMASI WACANA DAN PRAKSIS POLITIK
TRANSFORMASI WACANA DAN PRAKSIS
POLITIK LINGKUNGAN 1
Pendahuluan
Lingkungan menjadi sebuah isu yang semakin menempati posisi sentral dalam wacana politik nasional maupun global. Bahkan, di level global isu lingkungan telah bertransformasi menjadi sebuah nilai dan prinsip yang menjadi rujukan bersama bagi setiap stakeholders yang dianggap terlibat melalui konsep yang kita kenal sebagai ‘sustainable development’.
Lingkungan atau ekologi dalam kajian ini dipahami sebagai sebuah realitas yang sifanya diskursif, yang secara inheren juga bersifat politis. 2 Wacana ekologi yang kita kenal selama ini, secara umum, pada dasarnya merupakan sebuah upaya diskursif untuk
1 Penyiapan naskah ini dibantu sejumlah teman yang bekerja kerja keras untuk tersajikan telaah ini. Mereka adalah Joash Tapiheru SIP., MA; Rangga
Herdi SIP; Erwin Endaryanta, SIP, MT; dan Rafif Pamenang Imawan, SIP. Ucapan terima kasih yang tak terhingga harus penulis sampaikan; tanpa bermaksud sedikitnya membebani mereka dengan tanggung jawab terhadap isi naskah ini.
2 Santoso, Purwo, “Dimensi Politik di Balik Persoalan Lingkungan Hidup”, disampaikan dalam stadium general dalam paket acara Perayaan Hari
Lingkungan Hidup, diselenggarakan Kelompok Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup – KPALH, SETRAJANA, 4 Juni 2002.
memaknai ulang relasi antara sistem sosial manusia dan ekosistem sebagai sebuah lingkungan bio-fisik.
Watak politis dari proses ini akan nampak sekali ketika kita mencermati bahwa artikulasi nilai-nilai ekologis senantiasa mewarwai diskursus di arena publik. Wacana-wacana yang berisi kritik terhadap pembangunan ini menandai terjadinya pertarungan kuasa dalam memaknai realitas sosial, khususnya dalam interaksi
antara manusia dan lingkungan atau ekosistemnya. 3 Wacana yang berhasil mendominasi medan pertarungan
tersebut akan mendominasi pemaknaan akan realitas, dalam hal ini realitas antara hubungan manusia dengan lingkungannya dan manifestasinya dalam tindakan yang selama ini kita kenal dengan nama pembangunan. Perubahan wacana dominan akan diikuti oleh transformasi tata nilai dan perilaku dari subyek yang distruktur oleh wacana tersebut.
Makalah ini ingin melihat bagaimana pertarungan wacana dalam ekologi sebagai medan diskursifnya berlangsung saat ini di Indonesia. Kajian ini ingin mencermati dinamika pertarungan politik yang terjadi, wacana apa yang dominan serta transformasi sosial yang ditimbulkan sebagai akibat pertarungan wacana tersebut.
3 Pertarungan wacana yang terjadi di sini tidaklah sesederhana yang dibayangkan sementara orang, bahwa ada dua pihak yang terpisah oleh satu
garis tegas yang memisahkan keduanya dalam posisi berhadap-hadapan. Pertarungan yang terjadi lebih sering melibatkan beragam pihak, atau beragam wacana tentang pembangunan dan lingkungan dengan batas yang tidak selalu jelas dan senantiasa berubah.
Telaah ini menyoroti dinamika praktek diskursif politik lingkungan di Indonesia, di mana medan wacana lingkungan dan pembangunan relatif dihegemoni oleh wacana sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.
Hegemoni wacana sustainable development dalam medan wacana lingkungan dan pembangunan diawali sejak sekitar dekade 80-an. Wacana ini menjadi semakin sering digunakan untuk merepresentasikan wacana lingkungan sejak diperkenalkan secara formal pada tahun 1987 dalam 96 th plenarry meeting Sidang Umum
PBB tahun 1987 4 , sustainable development seakan-akan menjadi representasi dari keseluruhan wacana ekologi. Konstelasi peta wacana lingkungan pada saat itu berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, di mana medan wacana politik lingkungan didominasi oleh wacana-wacana radikal, yang saat ini kita kenal dalam istilah- istilah seperti zero – growth dan steady state.
Posisi hegemonik wacana ini juga mengimplikasikan transformasi dalam wacana pembangunan, di mana kebijakan di seluruh sektor pembangunan harus merujuk pada prinsip keberlanjutan, yang didasarkan pada konsep kelestarian ekologi.
Sejumlah ahli, seperti Lester R. Brown 5 , melihat bahwa adopsi
4 Definisi sustainable development dalam laporan yang disampaikan dalam sidang tersebut adalah “...meeting the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs, ..., UN General Assembly, Report of the World Commission on Environment th and Development, 96
plenary meeting, 11 December 1987, diakses 4 September 2011.
5 Lihat Brown, Lester R., 1981, Building a Sustainable Society, W.W. Norton & Company, pp. 349 – 354 5 Lihat Brown, Lester R., 1981, Building a Sustainable Society, W.W. Norton & Company, pp. 349 – 354
interaksinya dengan lingkungannya. Brown, mengutip Bruce Murray 6 melihat bahwa prinsip dan nilai yang telah ada sebelumnya harus direvaluasi berdasarkan prinsip dan nilai keberlanjutan ekologis ini untuk ditentukan relevansinya di kemudian hari.
memahami diri
serta
Terlepas dari beragam kritik terhadap sustainable development ini, baik yang melihat kemustahilan implementasinya sampai yang mengatakannya absurd 7 , konsep ini menjadi mampu menjadi sebuah terma payung yang mencakup beragam imajinasi orang tentang sebuah ecologically sound model of development. Ada perubahan cara berpikir dalam sekala global, dari yang tadinya semata-mata didominasi antroposentrisme menjadi lebih bersifat ekosentris.
Tanpa menutup mata akan sentralitas isu lingkungan dalam politik global maupun nasional di Indonesia, kajian ini bermaksud memperlihatkan bahwa bangunan wacana ini tidaklah sekokoh yang dibayangkan orang. Pertarungan wacana akan kuasa atas pemaknaan realitas tetap berlangsung. Ini terlihat dari tetap bermunculannya
6 Murray melihat bahwa, dalam konteks perang dingin, bahwa liberalisme maupun komunisme pada dasarnya sama-sama didasarkan pada pemikiran
yang melihat bahwa kebutuhan dasar manusia adalah bersifat material, dan ini membuat implementasi dari kedua konsep tersebut sama-sama tidak berkelanjutan. Ibid., hal. 350
7 Misalnya Meadows, H.D., Dennis L. Meadows, Jorgen Randers, dan William W. Behrens III, 1972, The Limits to Growth, New York: Universe
Books dan Daly, Herman, 1991, Steady–State Economics, Washington: Island Press Books dan Daly, Herman, 1991, Steady–State Economics, Washington: Island Press
Kritik terhadap sustainable development, sejauh ini, cenderung didominasi oleh kritik terhadap koherensi hubungan logis antar konsep yang membentuknya dengan turunannya pada fisibilitas praktisnya. Misal, kritik yang memunculkan konsep zero growth dan steady-state pada dasarnya mendobrak logika pembangunan itu sendiri. Bahwa pembangunan mau tidak mau dilakukan dengan mengkonsumsi sumber-sumber ekologi secara besar-besaran, dan pada dasarnya berlawanan dengan prinsip keberlanjutan. Bagi para pengkritis ini, jika ingin konsekuen dengan keberlanjutan secara ekologis, laju pembangunan harus dihentikan atau malah diputar
balik. 8 Kritik yang lain melihat konsep sustainable development
dengan kecurigaan.
melihat sustainable development sebagai instrumen lebih lanjut bagi negara-negara maju untuk menerapkan proteksionisme. Brunel melihat bahwa pihak yang
Brunel misalnya,
paling diuntungkan dari penerapan model ini adalah kapitalisme. 9 Reartikulasi elemen-elemen yang menjadi bagian dari
sustainable development juga menjadi sumber potensi dekonstruksi wacana tersebut sebagai wacana hegemonik. Beragam konsep dan praktek turunan yang menjadi implementasi dari pemikiran sustainable
development,
seperti
eco–efficiency, ecological
8 Meadows et. Al., op.cit; Daly, op.cit. 9 Brunel, Silvie, 2008, A qui profite le developpement durable? (Who benefits from Sustainable development?), 8 Meadows et. Al., op.cit; Daly, op.cit. 9 Brunel, Silvie, 2008, A qui profite le developpement durable? (Who benefits from Sustainable development?),
Bagian selanjutnya dari kajian ini akan membahas bagaimana sustainable development menjadi sebuah wacana yang menghegemoni medan wacana pembangunan dan ekologi di Indonesia
serta transformasi politik lingkungan yang ditimbulkannya. Pada bagian kedua, dengan merefleksikan kasus di Indonesia, tulisan ini akan membahas bagaimana transformasi sosial yang dihasilkan oleh hegemoni wacana sustainable development memunculkan sejumlah realitas baru yang berpotensi menjadi sumber dekonstruksi posisi hegemoniknya. Pada bagian ketiga, atau bagian akhir, penulis menawarkan sebuah alternatif transformasi praktek diskursif politik lingkungan yang diharapkan bisa merespon potensi dekonstruksi wacana lingkungan, yang di Indonesia dibahasakan sebagai sustainable development, sehingga niat untuk mencapai tujuan ideal untuk mewujudkan ecologically sound model of society bisa terjaga.
Sustainable development: Sebuah Formasi Hegemonik
Seperti sudah disampaikan di atas, adopsi sustainable development sebagai sebuah prinsip sudah pupuler pada dasarnya adalah sebuah mata rantai dari sebuah proses transformasi sosial. Transformasi ini ditandai dengan diperkenalkannya cara pandang, nilai, prinsip dan praktek baru dalam memandang dan memahami hakekat manusia dan lingkungan sekitarnya. Dalam lingkungan itu Seperti sudah disampaikan di atas, adopsi sustainable development sebagai sebuah prinsip sudah pupuler pada dasarnya adalah sebuah mata rantai dari sebuah proses transformasi sosial. Transformasi ini ditandai dengan diperkenalkannya cara pandang, nilai, prinsip dan praktek baru dalam memandang dan memahami hakekat manusia dan lingkungan sekitarnya. Dalam lingkungan itu
dan pemahaman tentang masyarakat dibangun” 10 .
Sustainable development bukanlah satu-satunya model alternatif yang merepresentasikan wacana lingkungan. Kemunculan sustainable development sebagai wacana yang dominan, baik dalam medan wacana lingkungan maupun medan wacana yang lebih luas, merupakan resultan dari sebuah proses pertarungan wacana yang berlangsung terus menerus. Wacana lingkungan muncul sebagai wacana tandingan dari wacana pembangunan yang sebelumnya menghegemoni medan wacana politik global pada masa pasca PD II, di mana negara-negara yang telah lama berdiri berupaya pulih dari dampak krisis ekonomi tahun 1930-an dan dampak Perang Dunia II yang menghancurkan, sementara negara-negara baru yang muncul sebagai akibat proses dekolonisasi berupaya mengejar ketertinggalan mereka dalam bidang pembangunan ekonomi dari negara-negara
10 Celik, Nur Betul, “The Constitution and Dissolution of Kemalist Imaginary” in Howarth, David; Alleta J. Norval; and Yanis Stavrakakis
(eds.), 2000, Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change, UK: Manchester University Press, p. 194 (eds.), 2000, Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change, UK: Manchester University Press, p. 194
Dikatakan hegemonik di sini karena sebagian besar orang yang hidup dan menjadi bagian dari masyarakat pada masa itu, menerima, memahami dan hidup dengan mempraktekkan prinsip ini sebagai bagian dari normalitas keseharian mereka. Hanya dengan sedikit pengecualian, hampir semua orang melihat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar sebagai sesuatu yang bersifat material melalui pembangunan ekonomi adalah sesuatu yang alamiah dan niscaya. Kalaupun ada yang memahami dan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda maka hal itu akan dianggap sebagai fenomena anomali, dengan berbagai label seperti terbelakang, eksotik, dsb. Dalam kasus ini, paradigma pembangunan ekonomi modern menjadi hegemoni karena berhasil menstabilkan makna kehidupan sosial sebagai kehidupan ekonomi modern dan
menyingkirkan pemaknaan lain terhadap kehidupan. 11 Namun, merujuk pada Laclau dan Mouffe, hegemoni di sini
tidak merujuk pada sebuah totalitas yang final, bahkan sebaliknya ia merujuk pada absen-nya totalitas tersebut. 12 Bahkan, hegemoni hanya bisa berlangsung ketika ada pemaknaan yang berbeda terhadap artikulasi yang berbeda tentang makna masyarakat dan
11 Lihat Laclau and Mouffe, Ernesto and Chantal Mouffe, 2001 Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics, London:
Verso, first published 1985, hal. 134 12 Laclau dan Mouffe, ibid., hal. 7 dan hal. 194 Verso, first published 1985, hal. 134 12 Laclau dan Mouffe, ibid., hal. 7 dan hal. 194
dekonstruksi sebagaimana direpresentasikan oleh kemunculkan isu lingkungan sebagai sebuah counter-discourse terhadap wacana pembangunan ekonomi modern yang hegemonik. Hal ini tidak akan dibahas lebih jauh lagi di sini. Kajian ini lebih berfokus pada bagaimana wacana tentang lingkungan berkembang menjadi wacana hegemonik melalui istilah yang kita kenal sebagai sustainable development.
hegemonik
mengalami
Ekosistem mengalami dislokasi sosial dalam kehidupan sosial yang dikonstruksikan berdasarkan pembangunan ekonomi modern. Manusia modern dikonstruksikan sebagai suatu entitas yang terpisah dari ekosistem dan berada pada posisi yang superior. Berkat perkembangan pengetahuan dan teknologi, manusia yang hidup pada jaman modern mampu menjadikan alam bukan lagi sebagai sesuatu yang harus ditakuti tetapi sebagai repositori sumber daya raksasa yang harus dieksploitasi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan
13 Op.cit., hal. 194 13 Op.cit., hal. 194
memaknai ekosistem mendekonstruksi bangunan wacana pembangunan ekonomi modern dengan memaknai alam sebagai sebuah entitas yang memiliki logika dan hukumnya sendiri dan mendudukan manusia sebagai salah satu elemen dari ekosistem tersebut. Artikulasi ini didukung oleh sebuah sistem pemaknaan baru yang melihat bahwa jika masyarakat manusia terus mengambil jalan yang mereka tempuh saat ini, suatu
Wacana
lingkungan
saat alam akan berbalik melawan manusia. 15 Wacana ini berhasil menjadi counter–hegemony bagi wacana pembangunan ekonomi modern, di mana bangunan realitas yang sampai saat itu diterima sebagai sebuah normalitas mulai dipertanyakan kembali.
Sebagai sebuah wacana, lingkungan atau ekologi juga memperoleh maknanya dengan menkombinasikan sejumlah simbol dalam kombinasi tertentu, di mana masing-masing simbol tersebut memperoleh maknanya yang spesifik berdasarkan posisinya dalam kombinasi tersebut. Kombinasi tersebut menjadi struktur yang kita kenal sebagai wacana lingkungan atau ekologi. Sama seperti wacana pembangunan ekonomi modern konstruksi struktur makna tersebut
14 Lihat Brown, op.cit. 15 Misal pemikiran Tragedy of the Commons yang disampaikan oleh Hardin,
Garret, (1968), “The Tragedy of the Commons” dalam Science vol. 162 no. 3859, hal. 1243 – 1248.
juga niscaya memunculkan dislokasi sosial dan dikontestasikan. Di awal kemunculannya, muncul sejumlah wacana yang meng-counter wacana lingkungan terutama wacana yang melihat pembangunan ekonomi modern sebagai kebutuhan yang tidak bisa dikompromikan begitu saja atas nama kelestarian lingkungan. Muncul juga wacana tandingan dari kelompok kiri dan negara-negara dunia ketiga yang melihat wacana ekologi sebagai strategi kapitalisme dan kelompok negara-negara maju untuk melestarikan posisi dominan mereka, senada dengan yang dikatakan Brunel. Proses pertarungan diskursif ini memicu beragam respon dari wacana ekologi itu sendiri, dan wacana ekologi mengalami proliferasi, terutama dalam memaknai hubungan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Sustainable development menjadi salah satu wacana yang muncul sebagai akibat pertarungan diskursif antara wacana antroposentris pembangunan ekonomi modern dan wacana ekosentris ekologi. Keberhasilan wacana sustainable development menjadi wacana hegemonik adalah berkat kemampuannya membangun sebuah struktur pemaknaan yang mereartikulasikan berbagai elemen dari wacana ekologi dan pembangunan ekonomi yang maknanya relatif tanpa memicu artikulasi dislokasi secara kuat.
Hal ini dimungkinkan karena dalam proses diskursif formasi hegemoni wacana sustainable development mampu membangun logic of equivalence yang bisa mengartikulasikan berbagai elemen yang pemaknaannya menjadi obyek kontroversi, seperti keberlanjutan industri, struktur korporasi, dan pembangunan ekonomi itu sendiri. Alih-alih membangun struktur pemaknaan yang menempatkan ekologi dan ekonomi dalam dua kubu yang Hal ini dimungkinkan karena dalam proses diskursif formasi hegemoni wacana sustainable development mampu membangun logic of equivalence yang bisa mengartikulasikan berbagai elemen yang pemaknaannya menjadi obyek kontroversi, seperti keberlanjutan industri, struktur korporasi, dan pembangunan ekonomi itu sendiri. Alih-alih membangun struktur pemaknaan yang menempatkan ekologi dan ekonomi dalam dua kubu yang
konsep baru dalam dunia industri dan bisnis seperti environmental
capital, eco – efficiency 16 , dsb.
Artikulasi semacam ini juga lebih mudah diterima oleh negara, terutama di negara-negara berkembang, yang melihat pembangunan ekonomi nasional-nya sebagai prioritas utama kebijakan. Bahkan, melalui wacana sustainable development itu pula wacana lingkungan dan paradigma ekosentrisme bisa masuk dan
Skema I Kaitan Antara konsep governance, manajemen lingkungan hidup dan environmental governance
mempengaruhi kebijakan
Interaksi dalam Interaksi dalam Sistem bio‐fisik Sistem Sosial (ekosistem)
“good manajemen governance”
lingkungan
16 Schmideniny, Stephan, 1992, Changing Course: A Global Business Perspective on Environment and Development, Cambridge, Mass: The MIT
Press Press
Wacana Sustainable Development dan Transformasi Kebijakan Pembangunan di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kemajuan pembangunan ekonomi yang menjanjikan saat wacana sustainable development muncul menjadi sebuah wacana hegemonik pada akhir tahun 1980-an. Proses diskursif pengintegrasian wacana ini dalam wacana lingkungan yang sudah ada dalam periode itu menjadi fokus
kajian penulis dalam disertasinya. 17 Dalam disertasi tersebut, penulis melihat pengadopsian dan pengintegrasian wacana ekologi dalam
wacana pembangunan dibangun melalui tiga instrumen utama yaitu teknokrasi, legalitas, dan gerakan sosial yang pada akhirnya berhasil mendorong negara dan mesin birokrasinya untuk menyesuaikan paradigma pembangunan ekonominya dengan paradigma ekologis: sustainable development.
Disertasi yang disusun oleh penulis berfokus pada periode 1967–1994, ketika Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru yang bersifat otoritarian dan bersendikan teknokratisme dan birokratisme. Pada tahun 1998, rezim ini runtuh bersamaan dengan pengunduran diri Suharto sebagai presiden, setelah gelombang krisis ekonomi sejak pertengahan 1997. Dampak yang semakin berat dari krisis ini
17 Santoso, Purwo, 1999, The Environmental Policy Making in Indonesia: A Study of State Capacity, 1967–1994, PhD thesis, Department of
Government, London School of Economics and Political Science, University of London.
mendorong menguatnya tuntutan yang kuat dari masyarakat akan demokratisasi, terutama setelah krisis tersebut membuktikan rapuhnya struktur ekonomi Orde Baru yang didominasi negara.
Perubahan rezim ini tidak membuat wacana lingkungan kehilangan posisi sentralnya. Bahkan bisa dikatakan, karena masuknya wacana lingkungan ke Indonesia berjejalin dengan wacana
demokrasi 18 , wacana lingkungan mendapatkan momentum yang semakin besar untuk mendominasi wacana politik di Indonesia. Ini dibarengi dengan adanya sentimen antipati terhadap segala sesuatu yang berbau “pembangunanisme” karena diasosiasikan dengan otoritarianisme negara di bawah rezim Orde Baru.
Manifestasi dari menguatnya hegemoni wacana lingkungan di Indonesia pada periode pasca 1998 adalah ditetapkannya sejumlah instrumen yang merupakan interpretasi yang lebih spesifik dari pemikiran sustainable development. Kita melihat ada kebijakan untuk mewajibkan setiap usulan proyek yang akan dilaksanakan dan berpotensi untuk menimbulkan dampak lingkungan untuk membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan – AMDAL pada tahun 1999
melalui Peraturan Pemerintah no. 27. 19 Hasil AMDAL ini menjadi salah satu dasar pertimbangan utama apakah usulan proyek tersebut bisa dilaksanakan atau tidak.
18 Merril, Thomas, “Forwards: Two Social Movements” dalam Ecology Law Quarterly, vol. 21, no. 2, 1994 dikutip dalam Santoso, Purwo, op.cit., hal. 65 19 Hal ini sejak awal telah diatur dalam Undang-undang No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
menjadi tonggak awal payung hukum kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Pemerintah Indonesia pasca 1998 juga mengeluarkan kebijakan yang secara lebih ketat, mengatur tentang tata ruang dan penggunaan lahan dengan mengacu pada prinsip sustainable development. Ini dijabarkan dalam UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Secara simultan, gerakan sosial dari civil society yang mengusung isu lingkungan juga makin mengemuka, bersamaan dengan berkembangnya tata pemerintahan yang lebih demokratis di Indonesia pasca-1998. Hal ini juga seiring dengan makin meluasnya kesadaran akan pentingnya kelestarian di kalangan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari kita semakin banyak mendengar dan melihat orang berbicara tentang makanan organik, produk-produk ramah lingkungan, ecotourism dan makin jamaknya label yang diasosiasikan dengan kelestarian lingkungan seperti green – atau eco – .
Gejala-gejala yang dipaparkan di atas menunjukkan bagaimana wacana lingkungan, khususnya sustainable development telah semakin tersedimentasi dalam rutinitas kehidupan masyarakat Indonesia. Keberlanjutan ekologi telah menjadi prinsip baru untuk menimbang berbagai alternatif pilihan, baik pilihan kebijakan maupun tindakan. Dengan kata lain prinsip-prinsip lingkungan telah relatif menjadi bagian dari “norma kepantasan” yang menstruktur pilihan kebijakan negara dan perilaku masyarakat Indonesia.
Namun posisi hegemonik wacana lingkungan saat ini, seperti dipaparkan di bagian sebelumnya juga memunculkan sejumlah dislokasi sosial dan arus dekonstruksi yang semakin subtle. Gejala ini mengkonfirmasi paparan teoritik di atas bahwa kekuatan wacana sustainable development untuk mengakomodasi berbagai elemen lain dalam arus wacana ekologi, ternyata juga menjadi sumber utama kelemahannya. Makalah ini melihat beberapa gejala yang terjadi dalam konteks Indonesia, yang menunjukkan adanya pembajakan makna atas sustainable development yang menggiring pada praktek diskursif yang lebih dalam yang berpotensi memunculkan dampak yang bertentangan dengan apa yang diharapkan melalui sustainable development.
Gejala yang pertama adalah pembajakan instrumentasi sustainable development dalam kebijakan pemerintah menjadi sekedar formalitas prosedural. Misalnya, secara normatif informasi yang dihasilkan dari analisis AMDAL merupakan basis pengambilan keputusan diterima atau tidaknya sebuah usulan proyek. Namun, prosedur ini bisa dengan mudah dipelesetkan menjadi sebuah usulan proyek dianggap bisa diterima asal disertai dokumen AMDAL. Logika alur sekuensial deliberasi pengambilan keputusan tergantikan oleh logika kelengkapan dokumen. Dalam lingkup yang lebih luas, berbagai instrumentalisasi wacana sustainable development juga mengalami proses pembajakan yang sama. Misalnya, instrumen environmental audit dibajak dengan lebih mengedepankan elemen audit daripada environment-nya.
Rencana tata ruang dan wilayah dianggap sebagai peluang ekonomi oleh para aktor kebijakan yang menganggap proses Rencana tata ruang dan wilayah dianggap sebagai peluang ekonomi oleh para aktor kebijakan yang menganggap proses
dari hak sipil warga negara. 20
Pada saat yang sama, pemerintah juga semakin mempertegas pentingnya aspek kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu masalah publik. Dalam logika administrasi negara, situasi ini diterjemahkan dalam bentuk kebijakan untuk membentuk suatu organ tersendiri untuk mengurus isu lingkungan hidup, yang pada gilirannya diklasifikasikan sebagai salah satu sektor urusan pemerintahan. Namun, kompartemenalisasi isu ekologi sebagai sebuah sektor tersendiri dalam logika ini sama saja dengan membatasi ruang gerak untuk menjadikan pertimbangan ekologi sebagai pertimbangan dasar kebijakan pembangunan, karena pada dasarnya masalah lingkungan adalah permasalahan lintas sektoral.
Dalam periode yang menjadi fokus kajian disertasi penulis, situasi seperti dipaparkan di atas direspon dengan memperkuat kapasitas memobilisasi dan mensinergikan governance jejaring. Pada
20 Ini juga mengacu pada ketentuan legal yang termuat dalam Undang- undang No.4 tahun 1982 Bab III Pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa
setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (cetak tebal dari penulis) setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (cetak tebal dari penulis)
Kapasitas diskursif semacam inilah yang saat ini tidak nampak dimiliki. Mungkin tidak harus oleh Menteri yang mengurusi sektor lingkungan hidup, tetapi juga elemen-elemen lain yang mengusung isu lingkungan. Ada situasi di mana nampaknya
Kementerian Lingkungan Hidup menjadi mapan di pinggiran. 21 Proliferasi wacana sustainable development ketika berusaha
dipraktekkan lebih jauh untuk secara diskursif mengkonstruksi tatanan sosial menuju ideal yang diharapkan ternyata, sampai saat ini menggiring pada sebuah situasi yang kompleksitasnya tidak mudah diurai. Di satu sisi, wacana ekologi telah menstruktur kehidupan sehari-hari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Tetapi di sini yang lain, proliferasi itu juga semakin memperbesar dislokasi serta potensi kontingensi pemaknaan berbagai elemen yang membentuk tatanan sosial itu sendiri.
21 Santoso, Purwo, “KLH: Mapan di Pinggiran” dalam Majalah Jendela, Edisi 12, 2008. Tulisan ini juga dimuat dalam Sudarsono, S.H., Bunga
Rampai: Bumiku Semakin Panas, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa
Instrumentasi wacana sustainable development menjadi sebuah keniscayaan ketika yang menjadi tujuan akhir adalah tatanan sosial sebagaimana diidealkan. Instrumentasi tersebut merupakan merupakan bagian dari praktek diskursif untuk mengkonstruksi realitas sosial menurut prinsip dan nilai sustainable development. Sementara, karena watak diskursifnya, pembajakan makna menjadi sebuah kenyataan karena pemaknaan itu sendiri bersifat kontingen.
Pembajakan-pembajakan tersebut pada dasarnya mengindikasikan adanya dislokasi yang diakibatkan oleh hegemoni wacana sustainable development di Indonesia. Elemen-elemen yang terdislokasi ini mencakup seperti birokrasi; politisi; pelaku bisnis dan siapa saja yang merasakan posisinya dalam formasi sosial di bawah hegemoni
tidak sepenuhnya mengaktualisasikan kediriannya.
sustainable
development
Dalam situasi yang berbeda, pembajakan makna sustainable tersebut juga jamak terjadi. Misalnya, orang merasa sudah peduli lingkungan ketika dia mengkonsumsi produk dengan label environment friendly. Pada saat yang sama, pelaku bisnis juga merasa sudah mendukung pelestarian
lingkungan, dengan memproduksi atau memasarkan produk-produk yang diklaim ramah lingkungan atau, lebih parah lagi, cukup dilabeli dengan eco – atau green – .
Kecenderungan yang terjadi di Indonesia untuk melihat gejala ini sebagai sesuatu yang normal dan merasa puas dengan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai jargon, sebetulnya Kecenderungan yang terjadi di Indonesia untuk melihat gejala ini sebagai sesuatu yang normal dan merasa puas dengan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai jargon, sebetulnya
Pada periode Orde Baru, kontingensi makna ini coba dibatasi dengan instrumen koersif, meskipun harus diakui rezim Orde Baru memiliki kapasitas diskursif yang luar biasa ketika memunculkan developmentalisme sebagai hegemoni di Indonesia. Konteks Indonesia pasca Orde Baru sangat berbeda ketika strategi- strategi koersif semakin tidak memungkinkan untuk digunakan.
Dalam makalah ini penulis ingin menawarkan sebuah strategi diskursif alternatif untuk mengawal proses konstruksi masyarakat bersendikan prinsip “sustainable development. Alternatif yang ditawarkan di sini mengacu pada gambaran ideal environmental governance yang disajikan dalam Skema I di atas.
Tawaran Alternatif:
Environmental Governance 22 Sebelum berbicara lebih jauh tentang governance, buru-
buru harus dikatakan bahwa penulis mengajak menggunakan terminologi environmental governance dengan pemaknaan yang kritis. Penggunaaan istilah goverenance, ingin dilakukan secara tidak latah. Sehubungan dengan hal itu, penting kiranya dibahas peristilahan
membahas lebih lanjut penggunaannya untuk mengupas environmental governance.
governance
sebelum
22 Bagian ini dikembangkan dari makalah yang ditulis oleh penulis dengan judul Environmental Governance: Filosofi Alternatif untuk Berdamai
dengan Lingkungan Hidup.
Governance Penggunaan istilah governance dalam makalah ini sengaja
tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena penulis belum menemukan kata ganti yang tepat untuk mewadahi makna yang terkandung di dalamnya. Yang jelas, penggunaan istilah ini menekankan pergeseran orientasi pemikiran tentang pemerintahan. Di masa lalu, wacana tentang pemerintahan terlampau dalam merujuk pada aktor yang terlibat atau pemegang otoritas. Akibatnya, wacana yang bergulir terlampau sarat dengan kepentingan sepihak pemerintah. Yang
berlangsung adalah pemerintahan demi pemerintah. Yang beredar adalah cara pandang yang sensitif terhadap kepentingan pemerintah namun tidak sensitif terhadap kepentingan masyarakat atau sektor non-pemerintah. Fokus amatannya adalah interaksi antara negara dengan rakyatnya. Artinya, negara difahami tidak sebagai entitas yang berdiri sendiri, sebagai entitas yang terpisan namun menguasai rakyatnya.
Jelasnya, koreksi terhadap kecenderungan untuk melebih- lebihkan arti penting pemerintah ini dilakukan dengan menggeser orientasi atau cara memahami persoalan. Untuk menghindari kesepihakan dan kesemena-menaan pemerintah, pengkajian isu pemerintahan perlu digeser sedemikian rupa sehingga lebih bisa mengedepankan fenomena interaksi fihak-fihak yang terkait. Hanya saja ada banyak cara pemetaan fihak-fihak yang terkait. Jan Kooiman, misalnya memetakan adanya dua fihak: pemerintah dan
masyarakat. 23 Yang populer di Indonesia adalah pemetaan ke dalam
23 Kooiman, Jan (ed.); Modern Governance: New Government-Society Interaction, Sage, London, 1993.
tiga kategori: pemerintah, swasta (komunitas bisnis) dan civil society. Berhubung dengan pergeseran alur perwacanaan yang lebih mengedepankan interaksi ini, maka istilah stake holders dan share holders menjadi ikut populer.
Dengan dikedepankan nuansa interaksi aktar fihak dalam konsep governance ini kapasitas kelembagam atau sistem tetap saja bisa difahami. Hanya saja, lembaga yang dijadikan andalan akhirnya bukan hanya lembaga pemerintah. Dari berbagai corak kelembagaan untuk mewadahi proses governance ini ada varian ekstrim yang
mengidolakan suatu governance without government. 24 Yang jelas, popularitas wacana governance membuka ruang yang sangat lebar bagi advokasi untuk meminimalkan peran negara, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Singkat kata, di balik popularitas istilah governance tersirat juga popularisasi agenda mengkoreksi peran negara dalam pengelolaan kepentingan publik sedemikian rupa sehingga interaksi yang dijalin oleh aktor-
aktor yang terkait bermuara pada suatu kinerja yang optimal. 25 Kalau untuk menghasilkan kinerja optimal ini negara harus mengurangi peran-peran dominatif, maka hal itu harus minimalisasi peran negara difahami sebagai keniscayaan.
Kita tahu bahwa bahwa penggunaan konsep governance dalam percakapan publik belakangan ini senantiasa terkait dengan
24 Rhodes, R.A.W; “The New Governance: Governing without government”, Political Studies, XLIV, 1996. Lihat juga, Young, Oran; Governance in
World Affairs, Cornel University Press, 1999, Ch.1.
25 Grindle, Merilee S. (ed.); Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries, Harvard Institute for
International Development, Harvad University Press, 1997.
persoalan baik-buruk. Istilah governance biasanya dipakai dalam rangka mengkampanyekan ide good governance. Sehubungan dengan hal ini, perlu dikemukakan bahwa makalah ini tidak dimaksudkan untuk membonceng popularitas retorika good governance belakangan-belakangan ini. Konsep good governance (penyelenggaraan pemerintahan yang baik) yang belakangan ini populer diwacanakan sebetulnya dimaknai secara tendensius. Pasalnya, persoalan good-bad (baik-buruk) dalam wacana good governance selama ini hanya diletakkan dalam bentang pemikiran yang anthropo-centric (antroposentrik). Lebih dari itu, ukuran baik- buruk yang dikedepankan dibangun di atas asumsi-asumsi yang diadopsi oleh komunitas yang terpolakan oleh pemikiran dan budaya
liberal. 26 Mengingat wacana tentang governance yang beredar di Indonesia selama ini senantiasa terlekat dengan wacana yang lebih spesifik, yakni good governance, maka penulis merasa perlu untuk menghindarkan diri terjebak dalam tendensi liberalisasi yang
berkembang ketika menggunakan istilah governance. 27
26 Popularitas wacana governance ini memandai pudarnya kerangka fikir yang melebih-lebihkan peranan pemerintah. Ketika kita
cermati bahwa tata fikir dan tata kerja kita selama ini sangat kental keberpihakannya kepada pemerintah toh ujung-ujungnya menyeret kita ke dalam kerusakan lingkungan, anjuran untuk menggeser kerangka fikir government menjadi kerangka fikir governance sulit untuk ditampik.
27 Terus terang, istilah governance belum lama dipakai. Ketika istilah ini baru dipopulerkan, banyak orang yang mencampuradukkan
dengan istilah yang sudah populer: government. Ketika itu, sejumlah orang sempat salah sangka. Dikiranya pengguna istilah itu salah ketik, kata yang seharusnya ditulis: government.
Konsep good ataupun bad pada dasarnya adalah persoalan pijakan atau keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Kalau kita sepakat bahwa penilaian good ataupun bad perlu dilakukan dalam bingkai penghormatan terhadap kedaulatan ekosistem maka pemikiran tentang baik buruknya environmental governance tidak harus dilihat dari kacamata antroposentrik. Dalam kaitannya dengan keperluan untuk keluar dari pendekatan yang managerialistik tersebut di atas, perlu dicermati bahwa pemaknaan good governance dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu dipastikan bahwa kita tidak terjebak dalam antroposentrisme. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa pemikiran tentang governance melupakan arti penting tentang pengkajian interaksi antar manusia.
Environmental governance Alternatif yang ingin dijajagi relevansinya dalam makalah
ini adalah bahwa interaksi kita dengan lingkungan hidup kita kelola dengan bingkai konseptual: environmental governance. Relevansi dari kosep environmental governance ini adalah pada keperluan untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu dikelola dengan mengedepanan nilai-nilai ekologis, dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui pengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan kajian-kajian ilmu sosial selama ini cenderung untuk memahami fenomena sosial sebagai fenomena yang berlangsung secara independen dari ini adalah bahwa interaksi kita dengan lingkungan hidup kita kelola dengan bingkai konseptual: environmental governance. Relevansi dari kosep environmental governance ini adalah pada keperluan untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu dikelola dengan mengedepanan nilai-nilai ekologis, dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui pengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan kajian-kajian ilmu sosial selama ini cenderung untuk memahami fenomena sosial sebagai fenomena yang berlangsung secara independen dari
Ilmu ekonomi, misalnya mengenal konsep eksternalitas. Ada banyak transaksi antar fihak yang ternyata memiliki dampak terhadap fihak lain. Dampak ini bisa bersifat positif maupun negatif. Terjadinya fenomenta eksternalitas ini, tidak jarang, bisa dieksplisitkan melalui kajian ekologis. Untuk memberi ilustrasi tentang hal ini, mari kita kejadian berikut. Seorang pengusaha membeli sebidang tanah untuk mendirikan pabrik. Yang melalukan transaksi jual beli dalam hal ini adalah pemilik tanah dan sang pengusaha. Ketiga sudah memiliki tanah, sang pengusaha harus mengurus sejumlah perijinan. Setelah ijin dikantonginya (dus dia menyelesaikan transaksi dengan pemerintah), dimulailah proses pembangunan pabrik. Setelah pabrik beroperasi, penduduk sekitar pabrik harus menerima kenyataan bahwa air sumur mereka mengering. Mengapa hal itu terjadi. Pabrik di dalam komunitas mereka telah menyedot air dalam volume besar-besaran. Dalam kasus ini jelas terlihat adanya interaksi ekologis, yakni penyedotan air bawah tanah, telah menyebabkan penduduk sekitar pabrik yang tidak terlibat dalam transaksi dengan pengusaha, harus memikul biaya eksternalitas yang diciptakan oleh pengusaha. Point yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa kesediaan untuk mengkaitkan dinamika ekologis akan memudahkan ekonom memahami biaya eksternalitas, dan proses pembangunan pabrik tadi bisa menekan konflik sekiranya perusahaan yang bersangkutan dikenai sanksi sekiranya gagal melakukan internalisasi biaya eksternalitas tadi.
Kegagalan untuk memasukkan dimensi ekologis ini secara tragis melanda ilmuwan poltik. Mereka telah meminjam konsep ‘sistem’ dari para ekolog. Konsep sistem ini tadinya dipakai oleh para ekologis untuk memahami (dan menjelaskan) keteraturan dalam interaksi ekologis. Melalui konsep sistem ini bisa dijelaskan tentang rantai makanan, ketergantungan antar makhluk hidup dan sebagainya. Point penting dari para ekolog dibalik penggunaan kata ‘sistem’ ini adalah bahwa ekuilibrium atau tatanan kehidupan akan runtuh ketika ada rantai interaksi yang terputus atau mengalami perubahan secara drastis. Nah, apa yang terjadi ketika ilmuwan politik menggunakan konsep ‘sistem’. Ilmuwan politik hanya memperhatikan keterkaitan antara tindakan manusia yang satu terhadap manusia yang lain, dan keterkaitan manusia dengan makhluk hidup yang lain tidak sempat dicermati. Padahal, melalui perubahan
hidup lain itulah kesejahteraan/kesengsaraan sosial terpola. Hal ini diperparah oleh kecenderungan satu disiplin ilmu tidak mencampuri disiplin ilmu lain. Ekolog tidak semestinya “masuk” ke pembahasan ilmu politik dan sebaliknya, ilmu politik “boleh” tidak menggubris pesan sentral ekolog. Justru disiplin ilmu ini ditegakkan dengan menghindari pencampur-adukan. Ironisnya, kedisiplinan dalam menegakkan disiplin ilmu ini justru membahayakan manusia sendiri.
kondisi
makhluk
Konsep environmental governance, menurut hemat penulis, perlu dibangun di atas premis sentral bahwa sistem sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu terlibat dalam interaksi (aksi-reaksi) yang tidak berkesudahan. Hal ini diperlihatkan dalam skema I. Pengelolaan lingkungan hidup perlu kekerangkai sebagai persoalan Konsep environmental governance, menurut hemat penulis, perlu dibangun di atas premis sentral bahwa sistem sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu terlibat dalam interaksi (aksi-reaksi) yang tidak berkesudahan. Hal ini diperlihatkan dalam skema I. Pengelolaan lingkungan hidup perlu kekerangkai sebagai persoalan
Sebagaimana diperlihatkan dalam dalam skema I, kosep good governance yang gencar diwacanakan selama ini sebetulnya didasarkan pada pengamatan atau teorisasi atas interaksi sosial. Interaksi sosial yang dijadikan rujukan untuk menentukan baik tidaknya suatu pola penyelenggaraan kepentingan publik adalah interaksi sosial yang tidak dikait-kaitkan dengan dinamika ekosistem, meskipun kaitan ini ada. Sementara itu, konsep menajemen
dari pengamatan dan pendayagunaan teori-teori ekologi yang diturunkan dari pengkajian interaksi sistem bio-fisik. Atas dasar pemahaman teori-teori ekonogi ini para manajer lingkungan hidup memanipulasi berkerjanya sistem bio-fisik. Pemaknaan good governance yang sifatnya teknosentrik, tidak dengan serta-merta menjamin kelestarian lingkungan. Di sisi lain, majamenen lingkungan hidup yang hanya mensiasati hukum- hukum ekologis tidak menjamin terkelolanya lingkungan hidup dengan baik.
lingkungan
didapatkan
Sehungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep environmental governance perlu dikembangkan sedemikian sehingga meminimalisir kedua kecenderungan antroposentik tersebut di atas. Artinya, good governance perlu didefinisikan sedemikian sehingga judgementnya tidak bersifat teknosentrik atau antroposentrik. Good dan bad harus dilihat dalam kerangka fikir yang konsisten dengan dalil-dalil ekologi! Lebih dari itu, yang perlu dikelola bukan hanya Sehungan dengan hal-hal tersebut di atas, konsep environmental governance perlu dikembangkan sedemikian sehingga meminimalisir kedua kecenderungan antroposentik tersebut di atas. Artinya, good governance perlu didefinisikan sedemikian sehingga judgementnya tidak bersifat teknosentrik atau antroposentrik. Good dan bad harus dilihat dalam kerangka fikir yang konsisten dengan dalil-dalil ekologi! Lebih dari itu, yang perlu dikelola bukan hanya
Pemaknaan environmental governance dalam makalah ini tidak
dengan pemaknaan yang antroposentrik. Konsep governance diambil untuk kepentingan tulisan
semestinya terus
terikat
ini justru dalam rangka mengedepankan urgensi memperlakukan lingkungan sebagai suatu cara pandang. Melalui bingkai pemikiran environmental governance diharapkan bisa dirumuskan pembaruan penyelenggaraan kepentingan publik dengan mengacu atau mengedepankan nilai-nilai ekologis. Jelasnya, baik- buruknya penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilihat dari kualitas hubungan negara dengan rakyatnya, namun juga dari kualitas interaksi ekologisnya, dari segi komitmennya untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip ekologis.
Sebagaimana diperlihatkan oleh skema I, sistem sosial menjalin interaksi yang intens dan berkelanjutan dengan sistem bio- fisik. Kerusakan lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan kelangsungan interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari, baik yang berlangsung secara resmi maupun yang tidak resmi. Kerusakan juga erat kaitannya dengan kecenderungan setiap pengguna lingkungan hidup untuk menikmati jasa lingkungan hidup tanpa menghiraukan efek pemanfaatan jasa lingkungan ini terhadap Sebagaimana diperlihatkan oleh skema I, sistem sosial menjalin interaksi yang intens dan berkelanjutan dengan sistem bio- fisik. Kerusakan lingkungan hidup sangat erat kaitannya dengan kelangsungan interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari, baik yang berlangsung secara resmi maupun yang tidak resmi. Kerusakan juga erat kaitannya dengan kecenderungan setiap pengguna lingkungan hidup untuk menikmati jasa lingkungan hidup tanpa menghiraukan efek pemanfaatan jasa lingkungan ini terhadap
Implikasi Konseptual
Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang yang antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini.
Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya diperlakukan sebagai benda yang independent. Lingkungan hidup tidak cukup difahami semata-mata sebagai realita bio-fisik. Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh tertentu terhadap bekerjanya sistem sosial. Sebaliknya, bekerjanya sistem sosial mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu, lingkungan hidup perlu senantiasa difahami kaitannya dengan
28 Fihak lain ini bisa berarti fihak-fihak yang tidak ikut bertransaksi dalam “jual beli” jasa lingkungan hihup. Mereka ini bisa jadi orang yang tiba-tiba
harus menanggung akibat dari persoalan yang telah terakumulasi selama berpuluh-puluh tahun. Orang yang hidup di jaman sekarang harus menanggung akibat pergeseran iklim, padahal mereka tidak pernah berniat mengubahnya. Orang yang berada di hilir sungai harus menanggung pendangkalan sungai, meskipun tidak ikut ambil bagian dalam penggundulan bukit di daerah hulu. Orang Singapura harus “rela” kena asap dari hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra, meskipun mereka tidak terlibat dalam pengelolaan hutan di sana.
masyarakat yang berinteraksi dengannya. Artinya; yang perlu di- manage bukan hanya lingkungan sebagai entitas bio-fisik tersebut, namun juga pola interaksi sosial yang berlangsung. Yang perlu dicermati bukan hanya perubahan kondisi bio-fisik lingkungan, namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang berlangsung.
Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring dengan kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik). Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin modern berjalan seiring dengan pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi, dan penciptaan limbah yang semakin besar. Modernitas membawa kehidupan yang secara sistemik semakin riskan. Pada saat yang sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara struktural dan membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut ketika ditunjang oleh suatu bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti bahwa, kerentanan pada tataan sistemik bisa meruntuhkan sistem sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari pengelolaan lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.
Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki bentuk yang beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat mengandalkan konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak yang sangat mengandalkan mekanisme transaksi suka rela. Pola interaksi yang pertama sangat jelas terlihat pada bekerjanya birokrasi pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal sebagai mekanisme pasar.
• Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang ditentukan dari atasan atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Bekerjanya sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap yang telah dirumuskan secara hierarkhis.
• Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah mekanisme transaksi suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang kelebihan dengan yang kekurangan, atau antara pemasok dan pembeli berlangsung.