Implikasi Praktis

Implikasi Praktis

Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk mengatasi persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian kecenderungan destruktif: seperti pola konsumsi sumberdaya alam yang terus meningkat dan bahkan semakin boros seiring dengan tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal itu, maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan kepentingan lingkungan menjadi kenharusan yang tidak bisa di tawar. Kalau toh pengelolaan lingkungan hidup harus mengandalkan mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut perlu mengadopsi etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis. Paralel dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat pengelolaan lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang diambilnnya sekiranya mereka juga mengadopsi etika lingkungan.

konseptual, environmental governance memang tidak menjanjikan solusi praktis dalam jangka pendek, namun diharapkan membantu kita membidik kelemahan mendasar yang tersembunyi di balik rutinitas, dibalik obsesi kita untuk melakukan kegiatan-kegiatan riil demi lingkungan hidup. Pragmatisme dalam pengelolaan lingkungan yang tidak disertai dengan refleksi yang memadai kiranya akan menjebak mereka dalam frustrasi manakala yang mereka jangkau hanyalah persoalan- persoalan yang superfisial.

Sebagai suatu

bingkai

Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan pengembangan governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem merupakan persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan tentang bekerjanya sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan justru para aktor strategis: pejabat, pengusana, teknokrat dan tokoh- tokoh yang lain.

Bagi para pejabat perlu disadari bahwa birokrasi pada dasarnya adalah suatu sistem, yang hanya bisa berfungsi secara sistemik sekiranya perilaku mereka konsisten dengan sistem tersebut. Para birokrat seringkali berfikir sebagai pribadi dan tidak jarang mengemas kepentingan pribadi seolah-olah merupakan kepentingan negara. Mereka mengandaikan bahwa sistem bisa berjalan meskipun dirinya bekerja diluar kerangka fikir sistem. Justru sistem menjadi rusak ketika ada aktor yang perilakunya menyimpang dari kaidah yang ditetapkan. Kalau yang menyimpang adalah minoritas, penyimpangan ini boleh disebut sebagai deviasi, dan hal ini mungkin bisa dimaklumi. Namun, kalau yang melakukan penyimpangan adalah kalangan mayoritas, maka yang terjadi adalah mengelabuhan sistemik. Dalam kondisi ini, sistem sebetulnya sudah tidak ada lagi. Kosen sistem, sebagaimana dilahirkan oleh para ekolog memang merupakan suatu abstraksi akademik. Hanya saja perlu diingat bahwa ketika para pelaku gagal mereplikasi interaksi yang sifatnya sistemik, maka abstaksi tersebut tidak memiliki manfaat apa-apa untuk menyelesaikan masalah.

Para teknokrat dan manajer perlu menyadari bahwa bahawa berbagai skema berfikir dan skema kerja yang mereka rumuskan Para teknokrat dan manajer perlu menyadari bahwa bahawa berbagai skema berfikir dan skema kerja yang mereka rumuskan

Kedua, kalau kita ingin tetap memakai framework managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi merupakan titik strategis dalam pengembangan environmental governance. Hanya saja, perlu dicatat bahwa koordinasi tidak cukup melibatkan aparat birokrasi atau para manager, melainkan melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita cermati contoh kasus berikut ini.

Beberapa waktu yang lalu penulis berkunjung ke Chiang May, Thailand. Dalam kunjungan itu penulis diajak melihat kasus bagaimana mereka bisa mengelola konflik kepentingan dalam suatu DAS. Ada daerah aliran sungai yang kemudian ada konflik yang sangat sulit dipecahkan, solusi yang ditawarkan mereka adalah sangat sederhana, mari kita segmentasi persoalan dalam DAS yang sifatnya memanjang itu. Mereka bersepat untuk melakulan segmentasi persoalan. Caranya tetap saja menggunakan konsep DAS, lebih tepatnya mereka menentukan batas-batas sub DAS. Dalam pada itu, DAS bagian yang hilir melibatkan para petani tanaman keras, dan DAS yang bagian tengah disitu kebetulan menjadi konsentrasi tempat bagi rekreasi resort hotel. Dengan menghudi DAS semacam ini kita tahu ada kebutuhan akan air itu sangat tinggi. DAS yang dibawah lagi yang dibutuhkan kota dan sebagainya.

Yang mereka lakukan adalah sebagai berikut. Supaya konflik bisa terkelola dengan baik maka mereka kemudian silahkan mengembangkan sebuah mekanisme perwakilan dalam sub DAS itu. Orang-orang yang bagian atas itu sepakat tentang esensi persoalan apa yang harus dinegosiasikan dengan sub das yang lain. Begitu juga Orang yang tinggal di DAS yang lain. DAS yang ditengah, karena isinya adalah perusahaan-perusahaan besar yang mengeksploitasi air dalam jumlah besar, akhirnya menjadi central point.

Dari perwakilan antar DAS ini terlihat upaya untuk terlihat bahwa upaya mengintegrasikan entitas ekologis dengan entitas politis/administratif adalah sesuatu yang mungkin. Menurut para pelaku yang ditemui dalam kunjungan tersebut, dengan cara itu maka berbagai macam bisa dibahas dan dicarikan pemecahan bersama. DAS yang tadinya diperlakukan sebagai intrumen pengelolaan lingkungan bio-fisik, bisa dikembangkan sebagai instrumen pengelolaan proses politik dalam rangka mengeloka konflik. DAS telah hadir sebagai intrumenn pengelolaan interaksi sosial.

Sepertinya kita mengalami kesulitan untuk meniru pengalaman Thailand tersebut di atas. Hal ini terkait teritori pejabat. Bupati atau Walikota itu sudah jelas teritorinya, dan bersikeras dengan kekuasaannya di dalam teritori tersebut. Mereka tidak dengan mudah menghilang tradisi politik sektoral tadi sektorisasi teritorial. Pertanyaannya, bersediakan mereka lebih mengedepankan DAS dari pada yurisdiksi administratifnya ?

Cara penyelenggaraan pemerintahan yang diinspirasi nilai ekologis (dalam hal ini DAS) hanya bisa berjalan manakala logika governance dihayati secara serius. Interaksi pengelolaan lingkungan Cara penyelenggaraan pemerintahan yang diinspirasi nilai ekologis (dalam hal ini DAS) hanya bisa berjalan manakala logika governance dihayati secara serius. Interaksi pengelolaan lingkungan

lembaga perwakilan memungkinkan masing-masing pihak untuk memposisikan diri untuk melakukan tawar menawar. Kalau egoisme masing-masing dibiarkan ujung-ujungnya dia sendiri juga akan rugi. Katakanlah hotel yang dibagian tengah tadi tidak mau tahu, ujung-ujungnya kemudian ada protes dan lain sebagainya yang akan menyebabkan dia rugi. Hal semacam itulah yang menjadi, tapi riot itu bisa diklasifikasi ketika dia sama-sama mengabaikan prinsip-prinsip ekologis.

Model good environmental governance di sini mencoba menawarkan solusi untuk merespon potensi pembajakan makna dari pembangunan yang berwawasan lingkungan, sekaligus menetralisir potensi dekonstruktifnya melalui praktek deliberasi yang juga bersifat diskursif. Alih-alih menggunakan instrumen represif seperti pada masa Orde Baru untuk menjaga kohesifitas struktur hegemonik, model ini membuka ruang bagi terjadinya praktek diskursif secara intensif dan ekstensif. Harapannya, dislokasi sosial yang dialami Model good environmental governance di sini mencoba menawarkan solusi untuk merespon potensi pembajakan makna dari pembangunan yang berwawasan lingkungan, sekaligus menetralisir potensi dekonstruktifnya melalui praktek deliberasi yang juga bersifat diskursif. Alih-alih menggunakan instrumen represif seperti pada masa Orde Baru untuk menjaga kohesifitas struktur hegemonik, model ini membuka ruang bagi terjadinya praktek diskursif secara intensif dan ekstensif. Harapannya, dislokasi sosial yang dialami

Proses discursive engagement dalam good environmental governance ini diharapkan bisa memberikan dua output yang mereproduksi dan memperkuat formasi hegemonik wacana lingkungan. Pertama, adanya penterjemahan prinsip lingkungan dalam pembangunan yang lebih spesifik yang, pada saat yang sama, sambung dengan ekspektasi dari subyek yang distruktur oleh prinsip- prinsip tersebut. Yang pertama dihasilkan melalui pertarungan wacana yang terus menerus dikelola dalam good environmental governance, sementara yang kedua dihasilkan dari engagement terus menerus dari berbagai aktor yang terlibat dalam pertarungan diskursif tersebut.

Dampak yang lebih jauh lagi diharapkan dari model governance ini adalah munculnya kesadaran environment sebagai sebuah model governance tersendiri. Sejauh ini, hanya ada dua model governance yang relatif dikenal luas, yaitu model governance berbasis logika pasar dan berbasis logika negara. Kasus pengelolaan DAS di Thailand yang diilustrasikan di atas memberikan gambaran bagaimana discursive engagement yang terus menerus terkait pengelolaan masalah lingkungan akhirnya memunculkan kesadaran Dampak yang lebih jauh lagi diharapkan dari model governance ini adalah munculnya kesadaran environment sebagai sebuah model governance tersendiri. Sejauh ini, hanya ada dua model governance yang relatif dikenal luas, yaitu model governance berbasis logika pasar dan berbasis logika negara. Kasus pengelolaan DAS di Thailand yang diilustrasikan di atas memberikan gambaran bagaimana discursive engagement yang terus menerus terkait pengelolaan masalah lingkungan akhirnya memunculkan kesadaran