JACKRY OCTORA TOBING NIM: 100707027

KAJIAN ORGANOLOGIS ALAT MUSIK GAMBUS BUATAN BAPAK SYAHRIAL FELANI

Skripsi Sarjana Dikerjakan

OL JACKRY OCTORA TOBING NIM: 100707027 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014

KAJIAN ORGANOLOGIS ALAT MUSIK GAMBUS BUATAN BAPAK SYAHRIAL FELANI

Skripsi Sarjana Dikerjakan

OL JACKRY OCTORA TOBING NIM: 100707027

Disetujui Oleh:

Pembimbing I Pembibing II

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Fadlin, M.A NIP 196512211991031001

NIP196102201989031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014

ii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologi Alat Musik Gambus Melayu Buatan Bapak Syahrial Felani.” Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui struktur, proses, teknik pembuatan, teknik memainkan, fungsi dari gambus, serta menjadi karya tulis bagi Etnomusikologi. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan penelitian dan terlibat dalam pembuatan gambus. Lalu penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, juga melakukan rekaman yang dianggap penting untuk mempermudah mengingat hasil wawancara kedalam tulisan tersebut. Gambus adalah salah satu alat musik tradisional Melayu yang masuk dalam klasifikasi kordofon yaitu bunyi yang dihasilkannya melalui senar (dawai) yang digetarkan dengan cara dipetik. Alat musik ini terbuat dari batang pohon (biasanya pohon nangka) dan memiliki lubang resonator yang dilapisi berupa membrane yang terbuat dari kulit sapi/kambing.

Kata kunci: gambus, organologi, struktur, fungsi

iii

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, atas kasih dan kemurahanNya yang begitu besar untuk semua umat manusia. Penulis berterimakasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih karena Engkau selalu ada ketika saya membutuhkan sahabat untuk berbagi suka dan duka.

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologi Alat Musik Gambus Melayu Buatan Bapak Syahrial Felani”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak hambatan yang penulis rasakan. Begitu juga dengan kejenuhan yang membuat penulis bosan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat orang-orang yang ada di sekitar penulis, membuat penulis kembali semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan terimakasih kepada orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Janes Tobing dan Ibunda Meryda Br Tambunan. Terimakasih buat segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga saya bisa seperti sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan sehingga saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih buat doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih kepada kakak-kakak dan abang-abang penulis yang penulis sayangi

iv

Lona Br Tobing, Hendrik Tobing, Ganda Simanjuntak, Andika Sembiring. Terimakasih buat doa dan semangat yang kalian berikan kepada saya.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi. Kepada yang terhormat Ibu Drs. Heristina Dewi, M.Pd selaku sekretaris Jurusan Etnomusikologi.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D. dosen pembimbing I saya, sekali gus dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta pengalaman yang telah bapak berikan selama saya berkuliah. Kiranya Tuhan selalu membalas semua kebaikan yang bapak berikan.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Fadlin, M.A. dosen pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimkasih untuk perhatian, ilmu dan semua kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan bapak.

Kepada seluruh dosen di departemen Entomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang Kepada seluruh dosen di departemen Entomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Syahrial Felani dan keluarga yang banyak memberikan informasi dalam tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan kunci, sehingga data yang diperoleh mendukung penulisan skripsi ini, dan kepada Bapak Retno Ayumi dan Bapak Nazri Effas yang telah memberikan banyak informasi dan saran yang membangun selama penulis melakukan penelitian.

Terimakasih juga penulis sampaikan teman-teman sekampung saya yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada penulis sehingga membuat penulis semakin semangat dalam pengerjaan tulisan skripsi ini, serta menjadi teman dalam suka maupun duka.

Kepada teman-teman seangkatan penulis yakni Etno ‘010, Tribudi Purba, Ayu Triana Matondang, Riska Pricilia, Kezia Purba, Chandra Marbun, Rican Sianturi, Lido Hutagalung, Luhut Simarmata, Benny Yogi Purba, Andi Farhan, Khairil Amri, Supriadi Tampubolon, Tumpak Sinaga, Fendri Marbun, Agus Tampubolon, Bang Mario 08, Bobby Situmorang, dan teman-teman yang lain yang tak bisa penulis jabarkan satu-satu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis. Terimakasih teman-teman.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi. Semoga saja disiplin etnomusikologi

vi vi

vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Melayu merupakan salah satu kelompok etnik (ras) besar di dunia. Berdasarkan penyebaran dan perpindahannya, asal mula penduduk sebagian besar di Asia Tenggara dan Polinesia adalah Melayu. Ini dapat ditinjau dari sejarah persebarannya yang disebut Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda). Etnik Melayu mendiami beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina (bagian selatan), Singapura, Pattani Thailand, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Indonesia (Muhamamad Husein, 2011:2).

Di Indonesia, etnik Melayu terdapat dibeberapa daerah, yaitu: daerah Tamiang di Nanggroe Aceh Darussalam, Pesisir Timur Sumatera Utara, Riau Kalimantan Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Di Pesisir Sumatera Utara, dahulu masuk wilayah Timur, wilayah budaya etnik Melayu berdasarkan pemekarannya meliputi kabupaten/kota: Langkat, Binjai, Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai, Batubara, Labuhan Batu (termasuk Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batun Selatan), dan Siak Sri Indrapura (Muhammad Husein, 2011: 3).

Dalam suatu kebudayaan pastilah ditemui unsur kesenian, yang didukung oleh musik dan tari, yang mana fungsinya adalah sebagai media pendukung terbentuknya suatu kebudayaan. Pada prinsipnya, musik terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur, formula melodi, dan lain- lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini merupakan organisasi suara. Sementara Dalam suatu kebudayaan pastilah ditemui unsur kesenian, yang didukung oleh musik dan tari, yang mana fungsinya adalah sebagai media pendukung terbentuknya suatu kebudayaan. Pada prinsipnya, musik terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur, formula melodi, dan lain- lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini merupakan organisasi suara. Sementara

Dalam suatu ensambel musik Melayu, biasanya alat-alat musik atau instrumen yang digunakan ialah gendang (gendang anak, gendang induk), marwas, biola, akordion, tamburin, rebana, dan gambus. Dalam tulisan ini penulis berfokus mengkaji aspek organologis alat musik gambus. Alat musik gambus Melayu ini biasa dimainkan untuk mengiringi pertunjukan zapin, yang secara fungsional musi adalah sebagai pembawa melodi. Gambus Melayu ini merupakan alat musik petik yang masuk dalam klasifikasi kordofon (salah satu klasifikasi alat musik yang proses bunyinya berasal dari getaran senar atau dawai).Alat musik ini juga termasuk pula ke dalam kelompok lute berleher panjang karena alat musik gambus ini mempunyai leher yang panjang dan bentuk badannya seperti buah pir yang dibelah dua.

Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana konteksnya dalam peradaban masyarakat Melayu. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja alat musik ini, seterusnya bagaimana fungsinya. Tetapi penulis lebih tertarik untuk mengkaji Pada saat awal melihat dan mendengarkan alat musik ini dimainkan, penulis merasa tertarik baik dari sisi ilmu maupun konteks budaya. Dari segi ilmu etnomusikologi adalah bagaimana konteksnya dalam peradaban masyarakat Melayu. Dari sisi konteks budaya, digunakan untuk apa saja alat musik ini, seterusnya bagaimana fungsinya. Tetapi penulis lebih tertarik untuk mengkaji

Pada tanggal 10 Februari 2014 di Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, yang beralamat Jalan Perintis kemerdekaan Nomor 204, Dusun IV, penulis bertemu dengan seorang pembuat alat musik gambus Melayu yang bernama Bapak Syahrial Felani. Ketika penulis mengemukakan maksud akan mengkaji organologis gambus buatan beliau, maka ia sangat menyambut niat baik penulis.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa teman beliau, termasuk ia sendiri, Syahrial Felani juga mahir memainkan gambus, gendang ronggeng, menarikan tarian Melayu juga tarian Minangkabau. Hingga sampai saat ini Bapak Syahrial Felani masih aktif di dalam dunia kesenian Melayu. Salah satunya ia menjadi pengelola seni dan seniman pada sanggar tari yang bernama Tamora 88 yang berlokasi di alamat rumahnya.

Pada saat itu penulis banyak berbincang tentang alat musik gambus, seperti bagaimana struktur organologis gambus yang dibuat oleh Bapak Syahrial Felani. Menurut sejarahnya, beliaumengatakan masuknya gambus di Sumatera Utara melalui penyebaran Islam oleh orang-orang Arab di Sumatera Utara di pesisir pantai timur. Salah satunya adalah dengan melalui media kesenian yang datangnya dari luar, khususnya zapin, telah banyak mempengaruhi masyarakatnya seperti salah satu alat musik yaitu gambus. Alat musik gambus yang berasal dari Arab ini dikenal dengan nama ‘ud.Tetapi, gambus Melayu ini lebih dikenal dengan gambus belalang karena berbentuk seperti belalang.

Pada tahun 1976 Bapak Syahrial Felani mulai belajar berkesenian Melayu dan di tahun 1982 tertarik dengan alat musik gambus tersebut dan untuk Pada tahun 1976 Bapak Syahrial Felani mulai belajar berkesenian Melayu dan di tahun 1982 tertarik dengan alat musik gambus tersebut dan untuk

dan ukuran maupun suara yang dihasilkannya. Bapak Syahrial Felani mengatakan 1 bahwa gambus Melayu biasanya memiliki 7 senar tetapi dengan didasari faktor

kreativitas, gambus yang dibuatnya memiliki 9 senar. Rinciannya adalah dengan susunan 5 baris, posisi senar 1 hingga 4 berlapis dua, dan senar kelima tidak berlapis.

Terdapat ukiran yang dihasilkannya adalah hasil idenya sendiri yang mempunyai arti simbol yang menandakan hasil karyanya, penuh dengan makna- makna dalam budaya Melayu. Seperti ukiran berbentuk bunga adalah simbol dari alam dalam budaya Melayu. Demikian pula pucuk rebung, simbol dari kehidupan, dan lain-lainnya.

Sampai saat ini, Bapak Syahrial Felani sudah membuat gambus lebih kurang sebanyak 300 buah hingga tahun 2014 berdasarkan kebutuhan permintaan pemesanan. Menurut informasi yang penulis dapatkan, ada beberapa pemain gambus di Sumatera Utara, seperti: Nasri Effas, Hendrik Perangin-angin, Rubino, dan lain-lain. Mereka adalah orang-orang yang telah memakai gambus buatan Bapak Syahrial Felani. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Rubino bahwa gambus yang di buat oleh Syahrial Felani memiliki kualitas yang baik. Apalagi gambus buatan Syahrial Felani memiliki 9 senar untuk mempermudah memainkannya pada nada yang tinggi. Bapak Rubino juga mengatakan bahwa Syahrial Felani sudah menjadi penyalur alat musik gambus di kota Medan. Gambus yang ia gunakan, sudah dimainkannya hingga ke beberapa wilayah Asia Tenggara seperti, Singapura, Thailand, Australia, hingga Eropa seperti Prancis dan Inggris. Bahan

1 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syahrial Felani pada tanggal 15 Maret 2014 1 Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syahrial Felani pada tanggal 15 Maret 2014

menutup pada bagian depan lubang resonator. Gambus ini menurut wawancara saya dengan beliau, dalam proses

pembuatannya dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan keuletan tangan dan dikerjakan dengan peralatan yang sederhana, seperti gergaji, kampak, martil, serta berbagai alat pahat dari ukuran kecil hingga besar, juga chinshaw (geraji mesin) untuk mempermudah pemotongan atau membelah kayu.

Dibutuhkan waktu 2 minggu untuk menyelesaikan 1 buah alat musik gambus. Menarik untuk dibahas dari uraian di atas karena pembuatannya membutuhkan proses yang memiliki ciri khas gambus yang dibuat oleh Bapak Syahrial Felani dan bagaimana struktur organologis gambus baik dari segi struktural maupun fungsional. Dengan demikian penulis memilih judul untuk penelitian ini yaitu: “Kajian Organologis Alat Musik Gambus Buatan Bapak Syahrial Felani.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, pokok permasalaan yang menjadi topik bahasan didalam tulisan ini adalah sebagai berikut ini.

1. Bagaimana struktur organologis gambus Melayu buatan Bapak Syahrial Felani baik dari segi struktural maupun fungsional?

2. Bagaimana proses pembuatan gambus Melayu buatan Bapak Syahrial Felani?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian alat musik gambus adalah:

1. Untuk mengetahui dengan cara meneliti langsung di lapangan dan mendeskripsikan bagaimana struktur organologis gambus Melayubuatan Bapak Syahrial Felani baik dari segi struktur maupun fungsi (musikal).

2. Untuk menganalisis dan memahami proses pembuatan gambus Melayu buatan Bapak Syahrial Felani.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terhadap aspek organologis alat musik gambus Melayu buatan Bapak Syahrial Felani adalah sebagai berikut.

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah refrensi mengenai gambus di Departemen Etnomusikologi

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gambus.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang di peroleh penulis selama perkuliahan di Departemen etnomusikologi.

4. Memberikan informasi tentang alat musik gambus kepada masyarakat umum khususnya Melayu diSumatera Utara.

5. Untuk memenuhi syarat memnyelesaikan studi progam S-1 di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Ada beberapa konsep dan teori yang dibutuhkan dalam membicarakan permasalahan terhadap objek penelitian ini, studi organologi yang dimaksud adalah sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124), bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik. Istilah tersebut mempunyai tendensi untuk dijadikan batasan dalam mendeskripsikan penampilan fisik, properti akustik, dan sejarah alat musik. Selanjutnya menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan “ilmu pengetahuan’’ dari alat musik itu sendiri antara lain: teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif, dan variasi dari sosial budaya.

Dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis gambus di Tanjung Morawa buatan Bapak Syahrial Felani, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik- teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari alat musik gambus tersebut.

Selanjutnya, istilah chordopone adalah klasifikasi alat musikyang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari senar

(klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, 1961). Berdasarkan konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji mengenai proses pembuatan instrumen gambus Melayu, termasuk juga teknik pembuatan, proses pembuatannya, di Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang tepatnya di Desa Tanjung Morawa B, juga mengenai teknik-teknik dalam memainkan, fungsi musik, ornamentasi (hiasan yang dibedakan dengan konstruksi),dan beberapa pendekatan sosial budayanya.

1.4.2 Teori

Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983:22-25)

Dalam tulisan ini, penulis membahas tentang pendeskripsian alat musik gambus Melayu yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima di dalam APTA (Asia Performing Traditional Art, 1978 :74), yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni teori struktural dan fungsional . Secara struktural yaitu: aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Di sisi lain, secarafungsional, yaitu fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.”

Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,

2. Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,

3. Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit,

4. Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. Mengacu pada teori tersebut, maka gambus Melayu adalah instrumen musik kordofon dimana penggetar utama bunyinya melalui senar atau dawai. Untuk gambus digolongkan kepada jenis lute, pada prinsipnya berarti gambus menggunakan kotak resonator suara. Selain itu jenis lute mempunyai leher (neck) yang berfungsi sebagai papan jari (fingerboard)atau juga sebagai penyangga dawai (string bearer).

Dalam tulisan ini juga dibahas mengenai gambus yang merupakan proses hasil perkembangan secara akulturasi dalam Dunia Islam. Oleh karena itu, maka penulis mengacu pada teori akulturasi dalam kebudayaan, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:247).

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Selain itu juga digunakan teori difusi atau persebaran.Proses penyebaran manusia yang membawa unsur kebudayaan, dalam hal ini berkaitan dengan Selain itu juga digunakan teori difusi atau persebaran.Proses penyebaran manusia yang membawa unsur kebudayaan, dalam hal ini berkaitan dengan

Kajian organologi atau kebudayaan material musik dalam etnomusikologi telah dikemukakan oleh Merriam (1964) sebagai berikut. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat. Selain masalah deskripsi alatmusik, masih ada sejumlah masalah analitis lain yang dapat menjadi sasaran penelitian lapangan etnomusikologi. Apakah ada konsep untuk memperlakukan secara khusus alat- alat musik tertentu di dalam suatu masyarakat? Adakah alat musik yang dikeramatkan? Adakah alat-alat musik yang melambangkan jenis-jenis aktivitas budaya atau sosial alain selain musik? Apakah alat-alat musik tertentu merupakan pertanda bagi pesan-pesan tertentu pada masyarakat luas? Apakah suara-suara atau bentuk-bentuk alat musik tertentu berhubungan dengan emosi-emosi khusus, keberadaan manusia, upacara-upacara, atau tanda-tanda tertentu?

Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan Nilai ekonomi alat musik juga penting. Mungkin ada beberapa spesialis yang mencari nafkahnya dari membuat alat musik. Apakah ada atau tidak spesialis pada suatu masyarakat? Apakah proses pembuatan alat musik melibatkan waktu pembuatnya? Alat musik dapat dijual dan dibeli, dapat dipesan; dalam keadaan

Sesuai pendapat Merriam tersebut, gambus Melayu, termasuk kajian budaya material musik. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi kordofon. Selanjutnya adalah music lute. Dipetik dengan plectrum yang diapit jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan, dan jari-jari tangan kiri sebagai penghasil nada-nada yang berfungsi sebagai modus penjarian (asabi). Alat musik ini akan penulis ukur, difoto, baik bagian eksternal maupun internalnya. Seterusnya penulis akan memperhatikan dekorasi, pengecatan, warna, dan seterusnya. Selain itu, penulis akan bertanya bagaimana persepsi pemain musik, seniman musik Melayu, dan masyarakat Melayu mengenai gambus ini. Apakah ia memiliki lambang? Semua yang dipertanyakan Merriam mengenai alat musik akan penulis teliti dalam penelitian ini. Aspek kedua adalah mengenai sisi ekonomi dalam alat musik, dalam hal ini gambus Melayu. Penelitian tentang hal ini berkaitan dengan distribusi dan penjualannya, terutama di Tanjung Morawa, Medan, Lubuk Pakam, Sumatera Utara, dan sekitarnya. Apakah bapak SyahrialFelani mengutamakan sisi ekonomi atau mengutamakan sisi budaya, atau gabungan keduanya dalam konteks pembuatan gambus Melayu ini.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong,1990:3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentudalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang- orang dalam bahasanyadan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatanalat musik gambus Melayu diperlukan tahap-tahap, yaitu tahap sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data, dan penulisan laporan(Maleong, 2002:109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yangdikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari keduadisiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study) (Meriam, 1964 :37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, yakni: menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires) dan menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25). Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan tiga tahap yaitu: (1) studi kepustakaan; (2) kerja lapangan; dan (3) kerja laboratorium.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku- buku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

Dalam hal ini, penulis langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan tiga hal yang telah diketahui sebelumnya yaitu, observasi, wawancara, dan pemotretan (pengambilan gambar) dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dianggap mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.

1.5.3 Wawancara

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985:139), yaitu wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview).

Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian. Menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handphone bermerk blackberry sebagai alat rekam Sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital bermerk Canon x-3s, di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan oleh informan.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi (Meriam, 1995:85).

1.5.5 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Syahrial Felani di Desa Tanjung Morawa B, Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 204 Dusun IV, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang yang juga merupakan lokasi bengkel Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Syahrial Felani di Desa Tanjung Morawa B, Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 204 Dusun IV, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang yang juga merupakan lokasi bengkel

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN, BIOGRAFI RINGKAS SYAHRIAL FELANI SEBAGAI WARGA MASYARAKAT MELAYU DAN SENIMAN MUSIK MELAYU

Pada bab ini penulis akan menjelaskan gambaran umum tentang lokasi penelitian dan biografi ringkas tentang beliau, yang menyatakan dirinya sebagai orang Melayu, yang pada dasarnya secara keturunan (darah) beliau adalah keturunan Jawa dan Mandailing. Ini juga menjadi salah satu fenomena menarik tentang identitas etnik di dalam kebudayaan Melayu. Beliau, karena lama berada dilingkungan masyarakat Melayu mulai dari bahasa, adat istiadat dan apalagi berbagai kesenian yang Beliau pelajari dari tari-tariannya, membuat instrumen musik, dan memainkan lat musik tersebut.

2.1 Sejarah Berdirinya Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang yang dikenal sekarang ini, sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan dua wilayah pemerintahan yang berbentuk kerajaan (kesultanan) yaitu Kesultanan Deli yang berpusat di Kota Medan dan Kesultanan Serdang berpusat di Perbaungan (lebih kurang 38 km dari Kota Medan menuju Kota Tebing Tinggi). Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatra Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar Negara Sumatera Timur yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk Negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk Permusyawaratan Rakyat se

Sumatera Timur menentang Kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional. Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan Negara Republik Indonesia (NRI), sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST) tidak bersedia. Akhirnya Pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain Undang-Undang Dasar Sementara Kesatuan yang berasal dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Atas dasar tersebut terbentuklah Kabupaten Deli Serdang seperti tercatat dalam sejarah bahwa Sumatera Timur dibagi atas 5 (lima) afdeling, salah satu di antaranya adalah Deli en Serdang. Afdeling ini dipimpin oleh seorang Asisten Residen beribukota di Medan serta terbagi atas 4 (empat) Onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota Medan, Bovan Deli beribukota Pancur Batu, Serdang beribukota Lubuk Pakam, dan Padang Bedagei beribukota Tebing Tinggi. Masing-masing afdeling ini dipimpim oleh seorang kontelir.

Selanjutnya dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur tanggal 19 April 1946, Keresidenan Sumatera Timur dibagi menjadi 6 (enam) Kabupaten ini terdiri atas 6 (enam) kewedanaan, yaitu: Deli Hulu, Deli Hilir, Serdang Hulu, Serdang Hilir, Bedagei, Padang (Kota Tebing Tinggi) pada waktu itu ibukota berkedudukan di Perbaungan. Kemudian dengan Besluit Wali Negara tanggal 21 Desember 1949 wilayah tersebut adalah Deli Serdang dengan ibukota Medan, meliputi Lubuk Pakam, Deli Hilir, Deli Hulu, Serdang, Padang, dan Bedagei.

Pada tanggal 14 November 1956, Kabupaten Deli dan Serdang ditetapkan menjadi Daerah Otonom dan namanya berubah menjadi Kabupaten Deli Serdang sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 yaitu Undang-undang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956. Untuk merealisasinya dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Namun, tahun demi tahun terus berlalu merubah perjalanan sejarah dan setelah melalui berbagai usaha penelitian dan seminar-seminar oleh para pakar sejarah dan pejabat Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang pada waktu itu (sekarang Pemerintah Kabupaten Deli Serdang), akhirnya disepakati penetapan Hari Jadi Kabupaten Deli Serdang tanggal 1 Juli 1946.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1984, ibukota Kabupaten Deli Serdang dipindahkan dari Kota Medan ke Lubuk Pakam dengan lokasi perkantoran di Tanjung Garbus yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara tanggal 23 Desember 1986.

2.1.1 Letak Geografis Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ Lintang Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah 2.497,72 km2. Dari luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas sebagai berikut:

(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumatera, (b) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, (c) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai, dan

(d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, secara administratif terdapat dua puluh dua (22) Kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang salah satunya adalah Kecamatan Tanjung Morawa.

Berdasarkan hasil sensus penduduk 2013, penduduk Kabupaten Deli Serdang mayoritas bersuku bangsa Jawa (51,77 %), Karo (10,84 %), Toba (10,78 %), Mandailing (6,71%), Melayu (6,22 %), Minangkabau (2,91%) Simalungun (1,68 %), dan lain lain (1,24 %). Sedangkan Agama yang dianut oleh masyarakat Deli Serdang beragama Islam paling besar (78,22%), Kristen (19,30 %), Budha (2,03 %), Hindu (0,17 %), dan lainnya (0,29 %).

2.1.2 Letak Lokasi Penelitian

Kecamatan Tanjung Morawa merupakan tempat tinggal Bapak Syahrial Felani, secara administratif kecamatan Tanjung Morawa mempunyai luas wilayah 13.175 ha yang terdiri atas 26 Desa. Adapun batas-batas wilayah kecamatan Tanjung Morawa adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan STM Hilir, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Patumbak, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Pakam.

Dari 26 desa tersebut, beliau tinggal di Desa Tanjung Morawa B, tepatnya berada di Jalan Perintis Kemerdekaan Nomor 204 Dusun IV. Di lokasi tersebutlah beliau membuka bengkel instrumen gambus, membuka sanggar tari bernama Tamora 88 dan tinggal bersama keluarganya.

2. 2 Latar Belakang Budaya Melayu

Deskripsi Melayu bisa dilihat kedekatannya dengan agama Islam. Melayu memang sangat erat hubungannya dengan Islam, sehingga adapun sebuah ungkapan ataupun gagasan adat yang bersendikan syarak syarak besendikan kitabbulah , yang artinya asas kebudayaan Melayu adalah hukum Islam (syarak). Sehinnga untuk menjadi orang Melayu harus mengikuti adat isriadat Melayu dan beragama Islam (Takari dan Fadlin, 2009).

Syahrial Felani adalah seorang seniman Melayu yang asalnya bukan dari Melayu asli. Beliau adalah keturunan Jawa dan Mandailing, akan tetapi dia menyatakan bahwa dirinya adalah orang Melayu, dengan kemampuannya bisa berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu dan beragama Islam.

Di samping itu identitas Melayu juga dapat dilihat melalui unsur-unsur kebudayaan Melayu. Secara antropologis, unsur-unsur mencakup : agama, bahasa, organisasi, mata pencaharian hidup, kesenian, pendidikan, dan teknologi. Di bawah ini terdapat tujuh unsur berikut.

2.2.1 Agama

Islam adalah kepercayaan setiap warga masyarakat Melayu, karena Melayu sendiri pun berlandaskan Islam. Untuk itu saya akan menjelaskan bagaimana proses masuknya agama islam ke peradaban Melayu. Jika di Indonesia Islam berkembang pada Zaman kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan Negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para Islam adalah kepercayaan setiap warga masyarakat Melayu, karena Melayu sendiri pun berlandaskan Islam. Untuk itu saya akan menjelaskan bagaimana proses masuknya agama islam ke peradaban Melayu. Jika di Indonesia Islam berkembang pada Zaman kerajaan Hindu-Budha berkat hubungan dagang dengan Negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad VII hingga abad XIV,kerajaan Budha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera. Hal ini di deskripsikan oleh seorang penjelajah Tiongkok yang bernama I-Tsing, yang mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada saat puncak kejayaannya Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah, dan Kamboja (Luckman Sinar, 1986:65).

Di abad XIV juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, yaitu Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dari Wiracarita Ramayana(sejarah dari Ramayana).

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke XII, melahirkan kerajaan- kerajaan bercorakan Islam, seperti Samudra Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit sekaligus menandai akhir dari era ini (Takari dan Fadlin 2009).

Di samping itu ada pendapat dari yang Mansur menyatakan: “Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawah oleh para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari tarikh Hijriyah atau abad ke VII-M. hal ini menjadi lebih kuat, menurut Arnold dalam The Preaching of Islam sejarah Di samping itu ada pendapat dari yang Mansur menyatakan: “Besar kemungkinannya bahwa Islam dibawah oleh para wirausahawan Arab ke Asia Tenggara pada abad pertama dari tarikh Hijriyah atau abad ke VII-M. hal ini menjadi lebih kuat, menurut Arnold dalam The Preaching of Islam sejarah

Perkampungan perdagangan ini dimulai dibicarakan lagi pada 618 dan 626. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perdagangan ini dimulai mempraktekan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat disepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara. Mansur juga mengkritik keras adanya upaya sebagian sejarawan yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Indonesia setelah runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit (1478) dan ditandai berdirinya kerajaan Demak.

Pada umumnya keruntuhan Kerajaan Hindu Majapahit sering didongengkan akibat serangan dari kerajaan Islam Demak. Pada hal realitas sejarahnya yang benar adalah Kerajaan Hindu Majaphit runtuh akibat serangan raja Girindrawirdhana dari kerajaan Hindu Kediri pada tahun 1478 M. al-Atts mengatakan sarjana Barat melangsungkan penelitian ilmiah terhadap sejarah dan kebudayaan Kepulauan Melayu-Indonesia telah lama menyebarkan bahwa masyarakat kepulauan ini seolah-olah merupakan masyarakat penyaring, penapis, serta penyatu unsur-unsur berbagai kebudayaan.

Banyak pertanyaan mengatakan kenapa Melayu sangat erat hubungan dengan Islam? Atau apa pengaruh yang diberikan Islam kepada masyarakat Melayu harus berdasarkan Islam. Al-Attas menguraikan bahwa ajaran Islam selalu memberikan keterangan dan memiliki sifat asasi insan itu ialah akal, dan unsur hakikat inilah yang menjadi perhubungan antara dia dan hakikat semesta.

Sebagaimana kegelapan lenyap dipancari sinar surya yang membuat setiap umat Islamselalu mencari kebenaran berdasarkan akal. Demikian juga kedatangan Islam dikepulauan Melayu di Indonesia yang membawa Rasionalisme dan pengetahuan akhlakserta menegaskan suatu sistem masyarakat yang terdiri rari individu- individu. Jadi Islam membawa peradaban yang mudah diterima, intelektualitasme, dan ketinggian budi insane ditanah Melayu. Al-Attas juga menunjukan bukti bahwa dari tangan ulama-ulama Islam lahirlah budaya sastra, tulisan, falsafah, buku, dan lain-lain,yang tidak dibawa peradaban sebelumnya. Islam memang tidak meninggalkan kebudayaan patung (candi) sebagaimana kebudayaan Pra- Islam (sumber: www.wikipedia.com).

Disisi lain ada juga disebut dengan ras Proto-Melayu pedalaman, yaitu orang Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang memiliki kepercayaan adat istiadat sendiri. Memang pada dasarnya orang luar mengenal sebagian orang Asia itu adalah orang Melayu, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan lain sebagainya. Tetapi pada kenyataannya mereka tidak mengatakannya mereka sebagai orang Melayu, karena mereka memiliki agama, bahasa dan kebudayaan yang tidak sama dengan konsep kebudayaan Melayu.

Seperti contoh penulis. saya beragama Kristen Protestan, saya berasal dari suku Batak Toba, saya menggunakan bahasa Batak dan bercampur dengan bahasa Indonesia, dan saya juga melakukan adat istiadat suku saya sendiri. Namun demikian, jika orang luar menyatakan saya orang Melayu saya pasti akan menjawab saya juga orang Melayu, karena pada dasarnyabahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Begitu juga dengan objek penelitian saya, Syahrial Felani adalah seorang yang bukan berasal dari Melayu asli melainkan suku Jawa, akan tetapi beliau memyatakan dirinya Melayu, karena beliau menggunakan adat Seperti contoh penulis. saya beragama Kristen Protestan, saya berasal dari suku Batak Toba, saya menggunakan bahasa Batak dan bercampur dengan bahasa Indonesia, dan saya juga melakukan adat istiadat suku saya sendiri. Namun demikian, jika orang luar menyatakan saya orang Melayu saya pasti akan menjawab saya juga orang Melayu, karena pada dasarnyabahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Begitu juga dengan objek penelitian saya, Syahrial Felani adalah seorang yang bukan berasal dari Melayu asli melainkan suku Jawa, akan tetapi beliau memyatakan dirinya Melayu, karena beliau menggunakan adat

2. 2.2 Bahasa

Bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bahasa pengantar di semua lembaga publik di sebagian Asia, seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca penduduk Nusantara sejak sekian lama. Bahasa Melayu juaga telah dipergunakan oleh mayarakat Indonesia, termasuk etnik Melayu.

Akan tetapi dalam kebudayaan Melayu penggunaan bahasa khususnya dialek memiliki perbedaan dari lima kabupaten, jika orang Melayu di pesisir Timur, Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai bahasa Melayu dengan mengalihkan huruf vokal “o” di ujung kosa-kosa kata yang baku menggunakan vocal “a,” sebagai contoh kemano (kemana), siapo (siapa). Di Langkat dan di Deli mengalihkan hurufvokal “a” menjadi “e” di ujung kosa-kosa katanya, seperti contoh, kemane (kemana), siape (siapa).

Dari sini kita bisa melihat meskipun akar kebudayaan etnik Melayu itu satu rumpun, namun ada juga perbedaan-perbedaan kecil yang membedakan etnik Melayu. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut dikarenakan adanya kebiasaan yang sudah dibawa dari nenek moyang yang pada saat itu mereka memiliki satu pengelompokan yang berbeda-beda (Zein, 1975:89).

Bahasa yang digunakan dan difungsikan oleh Syahrial Felani adalah bahasa Indonesia. Biarpun beliau sendiri orang Jawa, akan tetapi dia lebih senang menggunakan dalam pergaulan sehari-hari.Beliau juga dalam berkesenian Bahasa yang digunakan dan difungsikan oleh Syahrial Felani adalah bahasa Indonesia. Biarpun beliau sendiri orang Jawa, akan tetapi dia lebih senang menggunakan dalam pergaulan sehari-hari.Beliau juga dalam berkesenian

2.2.3 Mata Pencaharian

Bagi orang Melayu yang tingal di desa, mayoritas mereka menjalankan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian termasuk mengusahakan tanaman padi, karet, kelapa sawit, kelapa, dan tanaman campuran (mixed farming). Dikawasan pesisir pantai, umumnya orang Melayu bekerja sebagai nelayan, yaitu menangkap ikan dilaut dengan menggunakan alat-alat penangkap ikan. Orang Melayu yang tinggal di kota kebanyakannya bekerja dalam sektor dinas, sebagai pekerja disektor perindustrian, perdagangan, pengangkutan, dan lain-lain.

Penguasaan ekonomi dikalangan orang Melayu perkotaan relatif masih rendah dibandingkan dengan penguasaan ekonomi oleh penduduk non-pribumi, terutama orang Tionghoa. Banyak yang tinggal di kota-kota besar dan mampu hidup berkecukupan. Selain itu banyak orang Melayu yang mempunyai pendidikan yang tinggi, seperti di universitaas di dalam maupun di luar negeri.