PUSAT TERAPI BERMAIN ANAK DENGAN PENDEKA

Oleh: Septina A.

I.0206100

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

xvi

LAMPIRAN .................................................................................................

xviii

Gambar II.2. Contoh Acting-out-Aggressive-Realease-Toys ................

II.11

Gambar II.3. Contoh Permainan Ekspresi .............................................

II.11

Gambar II.4. Terapi Bermain Grup ........................................................

II.11

Gambar II.5. Skema Psikologi Warna ..................................................

II.33

Gambar II.6. Warna-Warna Lembut ......................................................

II.35

Gambar II.7. Parket Kayu .....................................................................

II.36

Gambar II.8. Tekstur .............................................................................

II.36

Gambar II.9. Pencahayaan Tidak Langsung .........................................

II.37

Gambar II.10. Sirkulasi Mengalir Pada Permainan ..............................

II.38

Gambar II.11. Struktur Organisasi Yayasan Al Islam ...........................

II.40

Gambar II.12. Peruangan Mutiara Center ............................................

II.44

Gambar II.13. Play Room, Activity Room, Sandtray Room ...................

II.47

Gambar II.14. Aktivitas Outbound ........................................................

II.52

Gambar II.15. Aktivitas Outing dan Training .........................................

II.54

Gambar III.1. Peta Kota Surakarta .......................................................

III.1

Gambar III.2. Peta Lokasi Rumah Sakit di Surakarta ...........................

III.6

Gambar III.3. Peta Lokasi Fasilitas terapi Non Fisik di Surakarta .........

III.8 Gambar III.4. Sub Wilayah Pembangunan ........................................... III.10 Gambar IV.1. Bagan Struktur Pusat terapi bermain Yang Direncanakan IV.2 Gambar IV.2. Bangunan Atraktif Sesuai Karakter Anak ........................

IV.8

Gambar IV.3. Permainan Menyusun Balok ...........................................

IV.8

Gambar V.1. Alternatif Site ....................................................................

V.1

Gambar V.2. Peta Site I. Kelurahan Jajar .............................................

V.2

Gambar V.3. Peta Site II. Kelurahan Jajar ...........................................

V.3

Gambar V.4. Peta Site III. Kelurahan Kerten .........................................

V.5

Gambar V.5. Foto Udara Site Terpilih ...................................................

V.7

Gambar V.6. View Lingkungan Site Terpilih ..........................................

V.7 Gambar V.7. Bagan Organisasi Makro Pusat Terapi Bermain Anak .... V.12 Gambar V.8. Bagan Organisasi Ruang Unit Publik dan Penerima ...... V.13 Gambar V.9. Bagan Organisasi Ruang Unit Terapi Indoor ................... V.14 Gambar V.10. Bagan Organisasi Ruang Unit Terapi Outdoor ............. V.15

Terapi Bermain Terapi bermain adalah hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk secara penuh dapat mengekspresikan dan eksplorasi diri anak (perasaan, pikiran, pengalaman, dan

perilaku) melalui media bermain. 1 Pusat

Pokok pangkal atau yang menjadi pumpunan (berbagai-bagai urusan, hal, dan sebagainya). 2 Tempat yang dijadikan sentra sebuah kegiatan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pusat kegiatan terapi bermain.

Healing Environment Lingkungan fisik dan pengorganisasian budaya yang mendukung pasien dan keluarga dari tekanan akibat penyakit maupun dalam proses

penyembuhan. 3

1 Landreth, Garry L, 2001. Innovations In Play Therapy: Issue, Process, and Special

Populations. United State of America: Brunner-Ruodledge.

2 www.KamusBahasaIndonesia.org 2 www.KamusBahasaIndonesia.org

B. LATAR BELAKANG Setiap anak terlahir dengan kondisi yang berbeda-beda baik fisik maupun psikologisnya. Beberapa anak terlahir normal dengan kondisi fisik dan psikologis yang baik. Namun, ada pula anak yang terlahir kurang beruntung dengan kondisi fisik dan atau kondisi psikologis yang kurang baik. Anak dengan kelainan kondisi fisik atau sering disebut cacat bawaan antara lain cacat penglihatan (tuna netra), cacat tubuh (tuna daksa), cacat pendengaran dan atau bisu (tuna rungu dan atau tuna wicara). Sedangkan kelainan psikologis atau penyakit mental pada anak dikelompokkan dalam populasi khusus menurut Landreth (2001) yaitu anak-anak agresive, anak-anak autis, anak-anak yang mengidap penyakit kronis, anak-anak traumatik, anak-anak yang mengalami kesulitan berbicara.

Anak aggressive cenderung sering melakukan hal-hal yang diluar kendali seperti suka melempar barang ke orang lain ataupun suka melukai dirinya sendiri. Perilaku ini sebagai ungkapan diri mereka karena merasa tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak dihargai oleh keluarga dan lingkungan sekitar mereka. Berbeda dengan anak autis, anak autis

Penyakit kronis merupakan penyakit yang berlangsung sangat lama dan menyebabkan kematian pada penderitanya. Anak-anak yang mengidap penyakit kronis seperti kanker, kelainan pada jantung, asma, dan lain-lain juga memiliki gangguan psikologis. Mereka harus mengalami berbagai tekanan psikologis, seperti pengobatan ketat yang harus sesuai prosedur, tekanan yang berasal dari keluarga (segi financial), dan ketidakyakinan diri anak akan masa depan.

Gangguan trauma atau traumatik tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Trauma pada anak diakibatkan oleh ketakutan berlebih pada sesuatu di masa lalu. Objek trauma dapat berupa benda maupun situasi (kejadian). Dampak dari gangguan ini bermacam-macam, mulai dari anak menjadi kesulitan berbicara sampai pada kondisi dimana anak tidak bisa berinteraksi dengan orang lain.

Anak-anak dengan populasi khusus seperti yang disebutkan diatas cenderung memiliki hambatan lebih dibanding anak normal dalam melakukan aktivitasnya. Hambatan ini dapat bersifat internal dari diri mereka yaitu kelainan yang ada pada diri mereka. Serta faktor eksternal yaitu masyarakat luas yang masih sulit menerima kehadiran dan berinteraksi dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi anak-anak tersebut yang nantinya akan menghambat tumbuh kembang anak-anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan hasil berbagai penelitian, didapati bahwa penderita Berdasarkan hasil berbagai penelitian, didapati bahwa penderita

Dari sumber diatas, jika dianalisa dengan jumlah kelahiran rata- rata di Surakarta sebesar 8000 jiwa per tahun (sumber: Surakarta Dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Surakarta), dapat diasumsikan bahwa jumlah penderita autis mencapai 51 jiwa per tahun. Jumlah ini belum termasuk anak-anak yang mengalami sakit kejiwaan yang lain yang jumlahnya masih sulit diprediksi.

Di Surakarta terdapat beberapa pusat terapi baik untuk terapi fisik maupun non-fisik. Pusat terapi fisik merupakan terapi untuk penyembuhan pasca rawat inap. Seperti yang terdapat di rumah sakit dr Moewardi dan dr Oen. Fasilitas ini menampung jenis terapi motorik atau yang berhubungan dengan gerak syaraf.

Sedangkan untuk terapi penyembuhan penyakit psikologi atau kejiwaan di Surakarta, terdapat beberapa pusat terapi seperti Mutiara Center (Jalan Veteran Surakarta) dan Yayasan Bina Anak Torison. Namun, kedua yayasan ini hanya ditujukan bagi penderita autis dan itupun belum mencukupi kapasitas untuk menampung penderita autis di Surakarta. Hal ini dikarenakan setiap yayasan rata-rata hanya

Selain fasilitas terapi yang belum memadai baik segi kualitas maupun kuantitas, berbagai jenis pusat terapi telah ada di Indonesia terutama di kota Surakarta masih tergolong mahal. Biaya terapi anak penyandang autis misalnya masih relatif mahal yaitu rata-rata mulai 750 ribu rupiah per bulan hingga 3 juta rupiah per bulan tergantung kebijakan penyelenggara terapi ( www.hottopics.com ). Biaya yang tinggi ini adalah masalah yang seringkali sulit ditanggung oleh para orang tua. Semula anak-anak berkebutuhan khusus belum menjumpai kesulitan. Tetapi setelah terapi berjalan cukup lama maka masalah financial menjadi kendala yang dapat menghentikan proses terapi.

Kondisi yang lebih sering terjadi adalah orang tua terpaksa memakai terapis yang murah tapi kehandalannya dalam terapi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemajuan yang selama ini dialami anak menjadi sia-sia karena terjadi regresi yang menyebabkan kemunduran perilaku kembali.

Fenomena diatas mengakibatkan hanya orang-orang dari kalangan menengah keatas yang mampu mengikuti terapi. Padahal penyakit apapun tidak mengenal tingkat ekonomi manusia. Oleh karena itu diperlukan jenis terapi yang efektif yaitu tidak mengurangi nilai kualitas penyembuhan sebuah penyakit, serta dengan biaya murah sebagai salah satu solusi bagi keluarga menengah kebawah.

Terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi bermain sosial terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan anak dengan gangguan khusus.

Selain itu, terapi ini efektif diterapkan pada anak-anak karena bermain merupakan dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang diinginkan. Tidak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang dimiliki. Selain itu dalam bermain memperbolehkan orang dewasa untuk masuk dalam dunia anak-anak, untuk menunjukkan bahwa anak-anak

berkebutuhan khusus dihargai dan diterima. Keuntungan lain dari terapi bermain yaitu merupakan salah satu terapi yang murah dan belum banyak diterapkan di Indonesia. Dikatakan murah, karena media terapi yang digunakan adalah media yang sederhana seperti tanah liat, pasir, boneka serta pemainan anak lain.

Keberhasilan proses penyembuhan merupakan kompleksitas yang terjalin antara kondisi fisiologis dengan kondisi psikologis (inner mind) manusia. Kedua kondisi mempunyai kontribusi dalam proses penyembuhan. Untuk mendukung kondisi psikologis pasien perlu diciptakan lingkungan yang menyehatkan, nyaman, dalam arti secara psikologis lingkungan memberikan dukungan positif bagi proses

Dalam proses terapi bermain dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik dalam bangunan.

Ditinjau dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa faktor lingkungan mempunyai peran besar dalam proses penyembuhan, maka seharusnya faktor lingkungan tersebut mendapat perhatian yang cukup besar pada sebuah fasilitas penyembuhan. Dalam praktik di lapangan tidak jarang faktor tersebut diabaikan dan dianggap tidak penting. Seperti yang ada di Surakarta, pusat-pusat terapi yang ada tidak menggunakan lingkungan sebagai salah satu media terapi.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah wadah penyembuhan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang menerapkan metode terapi bermain dengan menggunakan pendekatan lingkungan sebagai media yang mendukung proses penyembuhan pasien.

C. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan fenomena diatas, maka didapat rumusan permasalahan yaitu bagaimana mewujudkan fasilitas atau bangunan terapi di Surakarta, sebagai wadah penyembuhan bagi anak-anak dengan populasi khusus, melalui metode terapi bermain dengan mengkondisikan lingkungan fisik yang membantu proses penyembuhan (psikologis).

b. Bagaimana konsep jenis kegiatan, pola kegiatan, kebutuhan ruang, besaran ruang, organisasi ruang, dan pola peruangan.

c. Bagaimana konsep bahan dan material, bentuk, serta tampilan bangunan yang mendukung proses penyembuhan pasien.

d. Bagaimana konsep sistem struktur dan utilitas bangunan yang sesuai dan mendukung aktivitas di dalam Pusat Terapi Bermain Anak.

D. TUJUAN DAN SASARAN

1. Tujuan

Menghasilkan suatu desain atau usulan desain fasilitas atau bangunan terapi di Surakarta, sebagai wadah penyembuhan bagi anak-anak dengan populasi khusus, melalui metode terapi bermain dengan mengkondisikan lingkungan fisik maupun non fisik yang membantu proses penyembuhan.

2. Sasaran Menentukan konsep desain bangunan terapi yang meliputi:

a. Konsep perencanaan, yaitu meghasilkan konsep tata site yan meliputi pencapaian, sirkulasi,

b. Konsep perancangan, meliputi:

1) Konsep penataan site • Pencapaian • Sirkulasi

ƒ Penentuan kelompok kegiatan ƒ Penentuan kebutuhan ruang ƒ Organisasi ruang ƒ Penentuan jumlah pelaku kegiatan ƒ Penentuan besaran ruang

3) Konsep penampilan bangunan ƒ Tata masa ƒ Gubahan masa ƒ Penataan ruang dalam ƒ Penataan ruang luar

4) Konsep struktur dan material bangunan ƒ Material struktur bangunan ƒ Material finishing bangunan

5) Konsep sistem Utilitas ƒ Kenyamanan bangunan, meliputi pencahyaan dan

penghawaan ƒ Keamanan dan keselamatan bangunan, meliputi aksesibilitas dan sistem evakuasi kebakaran ƒ Sistem bangunan, meliputi sistem air bersih, air

limbah, listrik dan komunikasi.

PROPOSAL

LATAR BELAKANG

TINJAUAN

• Meningkatnya anak

berkebutuhan khusus TINJAUAN TEORI • Pusat terapi yang ada

• Pengertian Play

Therapy

belum memadai dari kuantitas

• Macam anak

• Terapi yang ada masih berkebutuhan khusus tergolong mahal

• Metode Play Therapy

ANALISIS DAN

• Terapi bermain

pada anak

KONSEP

SINTESIS

berkebutuhan khusus

sebagai alternative

PERENCANAAN

terapi yang efektif dan

(Garry L Landreth)

Persoalan desain

DESAIN

• Stimulus fisik desain

murah

PUSAT TERAPI

secara lebih

KONSEP

• Lingkungan sebagai

anak berkebutuhan

BERMAIN ANAK

terperinci :

khusus (Mattew,1994)

PERENCANAAN

DENAH

PROYEK

salah satu yang

YANG

• Pola kegiatan

• Desain lingkungan

DAN

TAMPAK,

POTONGAN oenyembuhan

mendukung proses

PERSPEKTIF PERMASALAHAN

pada tempat bermain

• Fungsi bangunan

• Tata site

anak (Mitsuri Senda)

secara terperinci

• Bntuk dan

MAKET, 3D

bagaimana mewujudkan TINJAUAN EMPIRIS

• Sistem

tampilan

fasilitas atau bangunan • Tinjauan mengenai

pengelolaan

bangunan

terapi di Surakarta fasilitas terapi yang

• Sistem struktur

dan utilitas Menghasilkan suatu

TUJUAN telah ada di Surakarta

maupun di luar kota

desain atau usulan

Surakarta

desain fasilitas atau TINJAUAN OBJEK bangunan terapi di

Tinjauan Kota Solo

Surakarta secara terperinci

Transformasi

Septina Artyastuti I02016100 Desain

Pencarian Data

Site Terpilih

ditemukan di lapangan yang kemudian dirumuskan dalam latar belakang. Dari latar belakang dikerucutkan menjadi sebuah permasalahan yang akan diangkat berdasarkan teori secara umum, yang kemudian memunculkan beberapa persoalan desain meliputi tata site, pola kegiatan, tampilan bangunan serta persoalan sistem struktur dan utilitas bangunan yang menunjang aktivitas terapi. Barulah dirumuskan tujuan dan sasaran yang akan dicapai.

Tahap II dan III

Gambar I.1. Skema Analisis Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Analisis Konsep

Perencanaan

Konsep Perencanaan

TAHAP II

TAHAP III

Kesimpulan • Fungsi

• Fasilitas Utama • Site Terpilih • Problem desain

Teori

Empiris

Objek

teori-teori yang berkaitan dengan terapi bermain, anak berkebuthan khusus dan konsep healing environment. Tinjauan empiris yaitu dengan melakukan pencarian data dan analisis tentang pusat terapi bermain yang telah ada baik di Surakarta maupun di luar kota Surakarta dengan berdasar pada teori yang telah ada. Sedangkan tinjauan objek yaitu tinjauan kota Surakarta sebagai lokasi pusat terapi bermain yang direncanakan. Tinjauan ini juga mendasari analisis konsep perencanaan. Tahap III. Merupakan tahap kesimpulan dari latar belakang dan tinjauan yaitu berupa fasilitas pusat terapi yang direncanakan meliputi fungsi bangunan, fasilitas pelayanan utama yang akan disediakan, site terpilih serta persoalan dan strategi desain.

Tahap IV Merupakan tahap analisa atau penguraian secara lebih terperinci mengenai persoalan desain meliputi:

• Tata site : proses pengelolaan dan penzoningan site berdasarkan analisis klimatologi, kebisingan dan orientasi.

• Pola kegiatan

: proses pengorganisasian ruang yang berdasarkan pola kegiatan baik itu terapis, pengelola maupun anak.

• Tampilan bangunan

: proses mewujudkan tampilan : proses mewujudkan tampilan

Berikut adalah skema analisis untuk mewujudkan gagasan desain:

Gambar I.2. Skema Analisis Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Analisis dimulai dari penentuan tujuan dan dasar petimbangan dari setiap persoalan desain. Proses dimulai dari data yang dianalisis berdasarkan pada teori dan standart arsitektural terkait. Proses ini menghasilkan beberapa solusi alternatif yang kemudian menghasilkan desain terpilih.

Tahap V Merupakan tahap sintesis atau penggabungan dari konsep- konsep perancangan. Tahap ini adalah proses transformasi desain yaitu proses perubahan dari konsep menjadi desain yang meliputi site plan dan gubahan masa. Berikut adalah skema proses sintesis:

Tujuan

Dasar Pertimbangan

Solusi Alternatif

Terpilih

Gambar I.3. Skema Analisis Sumber : Analisa Pribadi, 2010

Tahap VI Merupakan tahapan hasil dari konsep yang terbentuk berupa desain denah, tampak, potongan, perspektif (gambar 3 dimensi) dan maket untuk kemudian dapat dipresentasikan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I

Pendahuluan Pembahasan mengenai pendahuluan meliputi judul, pengertian judul, latar belakang, perumusan permasalahan dan persoalan, tujuan dan sasaran, metodologi pembahasan, dan sistematika pembahasan.

BAB II

Tinjauan Pusat Terapi Bermain Menjelaskan tentang tinjauan teori atau kepustakaan, tinjauan kota Surakarta dan tinjauan empirik. Mengemukakan pengertian dan jenis bermain pada dunia anak secara umum, pengertian terapi bermain, pengertian dan jenis anak-anak dengan populasi khusus (Landreth, 2001), tinjauan teori mengenai lingkungan baik fisik maupun non fisik yang mempengaruhi proses

Konsep Tampilan Bangunan

Utilitas

Gubahan Masa

Detail Konstruksi

Material

Bahan

Potongan Detail Arsitektural Perspektif

3D

non fisik kota Surakarta meliputi Luas wilayah dan jumlah penduduk, Kondisi kesehatan masyarakat, Rencana pemanfaatan ruang kota Surakarta, Pembagian Sub Wilayah Pembangunan (SWP) kota Surakarta. Mengenai prospek bangunan pusat terapi bermain anak di kota Surakarta.

BAB IV Bangunan Pusat Terapi Bermain Yang Direncanakan Merumuskan bangunan pusat terapi bermain anak di Surakarta sebagai wadah penyembuhan bagi anak-anak dengan populasi khusus, dengan pendekatan healing environment yang direncanakan.

BAB V

Analisis dan Sintesis Mengungkapkan analisa perancangan sebagai usaha pemecahan masalah dengan meninjau tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Menyimpulkan hasil analisa perancangan untuk kemudian ditransformasikan dalam wujud desain fisik bangunan.

BAB VI

Konsep Perencanaan dan Perancangan Mengungkapkan konsep perencanaan dan perancangan yang merupakan hasil akhir dari proses analisa, untuk kemudian ditransformasikan dalam wujud desain fisik bangunan.

A. Terapi Bermain

1. Karakteristik Dunia Anak

Dunia anak tidak bisa terlepas dari dunia bermain. Dimanapun anak-anak berada dan di w aktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang diinginkan. Tidak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang dimiliki.

Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan agam a. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et al. 1991), bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa mendatang yang penting untuk bertahan hidup.

Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991) melihat berm ain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak

(dikutip dari

www.klinis.wordpress.com , 2010 ) www.klinis.wordpress.com , 2010 )

a. Bermain m empengaruhi perkembangan fisik anak

b. Bermain dapat digunakan sebagai terapi

c. Bermain dapat mempengaruhi pengetahuan anak

d. Bermain mempengaruhi perkem bangan kreativitas anak

e. Bermain dapat mengembangkan tingkah laku sosial anak

f. Bermain dapat mempengaruhi nilai moral anak Faktor-faktor yang mempengaruhi permainan anak:

a. Kesehatan Anak-anak yang sehat mempunyai banyak energi untuk berm ain dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga anak-anak yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk bermain yang membutuhkan banyak energi.

b. Intelegensi Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak- anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas lebih menyenangi permainan-permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak m erangsang daya berpikir mereka, misalnya permainan drama, menonton film, atau membaca bacaan-bacaan yang bersifat intelektual.

menghabiskan banyak energi, misalnya m emanjat, berlari-lari, atau kegiatan fisik yang lain. Perbedaan ini bukan berarti bahwa anak perempuan kurang sehat dibanding anak laki-laki, melainkan pandangan masyarakat bahwa anak perem puan lebih baik menjadi anak yang lembut dan bertingkah laku yang halus.

d. Lingkungan Anak yang dibesarkan di lingkungan yang kurang menyediakan peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak, akan menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.

e. Status sosial ekonomi Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi, lebih banyak tersedia alat-alat permainan yang lengkap dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan di keluarga dengan status ekonomi rendah.

Macam perm ainan dan m anfaatnya bagi perkembangan jiwa anak:

a. Permainan Aktif

1) Bermain bebas dan spontan atau eksplorasi Dalam perm ainan ini anak dapat melakukan segala hal yang diinginkannya, tidak ada aturan-aturan dalam permainan tersebut. Anak akan terus bermain dengan permainan tersebut selama permainan tersebut menim bulkan kesenangan dan anak akan berhenti apabila permainan tersebut sudah tidak menyenangkannya. Dalam permainan ini anak m elakukan eksperimen atau menyelidiki, m encoba, dan mengenal hal-hal baru.

menirukan karakter yang dikagumi dalam kehidupan yang nyata, atau dalam mass media.

3) Bermain m usik Bermain musik dapat mendorong anak untuk m engembangkan tingkah laku social anak, yaitu dengan bekerja sama dengan teman-teman

sebayanya

dalam

memproduksi musik,

menyanyi, berdansa, atau memainkan alat musik.

4) Mengumpulkan atau m engoleksi sesuatu Kegiatan ini sering m enimbulkan rasa bangga, karena anak mempunyai koleksi lebih banyak daripada teman-temannya. Selain itu, mengumpulkan benda-benda dapat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak. Anak terdorong untuk bersikap jujur, bekerja sama, dan bersaing.

5) Permainan olah raga Dalam permainan olah raga, anak banyak m enggunakan energi fisik, sehingga sangat membantu perkembangan fisik. Di samping itu, kegiatan ini mendorong sosialisasi anak dengan belajar bergaul, bekerja sama, memainkan peran pemimpin, serta menilai diri dan kemampuan secara realistik dan sportif.

b. Permainan Pasif

1) Membaca Membaca merupakan kegiatan yang sehat. M em baca akan memperluas waw asan dan pengetahuan anak, sehingga kreativitas dan kecerdasan anak akan berkem bang.

positif maupun negatif. Pengaruh positifnya adalah akan menambah pengetahuan, sedangkan pengaruh negatifnya yaitu apabila anak meniru hal-hal yang disiarkan di radio seperti kekerasan, kriminalitas, atau hal-hal negatif lain.

3) Menonton televisi Pengaruh televisi sama seperti mendengarkan radio, baik pengaruh positif maupun negatif. (dikutip dari www.iqeq.web.id , 2009)

Perkembangan perilaku bermain dalam penjangkaan kondisi psikologis anak-anak dikutip dari www.ed.gov/offices/OSERS/O SE P dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Freud Tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi belum digunakan.

dasar konsep psikoanalisa, mereka memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.

c. Margaret Lowenfeld Memperkenalkan yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”. Teknik

tersebut

m erupakan

sistem

pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Teknik tersebut memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam situasi terapi. Nam un sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut sebagai alat diagnostik.

d. Erikson Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi kombinasi

perkembangan individual, dinamika keluarga, dan harapan m asyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara tersebut m aka observer dapat mengetahui dan m em utuskan apakah perilaku subjek dalam bermain dapat dikatakan perkembangan individual, dinamika keluarga, dan harapan m asyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara tersebut m aka observer dapat mengetahui dan m em utuskan apakah perilaku subjek dalam bermain dapat dikatakan

e. Piaget Perubahan perilaku bermain m enunjukkan perkembangan intelektual, sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain

individu untuk

mempraktekkan apa yang sudah dipelajari.

f. Virginia Axline Axline menyatukan dengan pendekatan nondirective client- centered m ilik Rogers yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas. Perasaan m ereka, sikap, dan pikiran- pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar m em ahami diri mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika berm ain mereka dapat melakukan apapun, m enciptakan dunia sendiri, m enciptakan atau menghancurkan sesuatu.

g. Garry L Landreth Menerapkan m etode terapi bermain sebagai terapi anak berkebutuhan khusus. M enurutnya, terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan m em fasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk g. Garry L Landreth Menerapkan m etode terapi bermain sebagai terapi anak berkebutuhan khusus. M enurutnya, terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan m em fasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk

2. Perkembangan Anak

‘pertumbuhan’ dan ‘perkembangan’ secara bergantian. Anak tetapi dalam kenyataannya kedua kata tersebut berbeda, meskipun tidak dapat berdiri sendiri. Pertum buhan berkaitan dengan kuantitatif, yaitu perkembangan struktur dan ukuran. Tidak hanya akan membesar secara fisik, terapi struktur dalam organ di otak dapat m eningkat.

Sedangkan perkem bangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif (H urlock, 1997). Faktor yang m empengaruhi perkembangan anak secara garis besar dapat dibagi m enjadi dua, yaitu:

a. Faktor Endogen Yaitu faktor yang berada dalam diri anak tersebut.

1) Faktor fisik: dapat dikelom pokkan antara lain faktor kesehatan, cacat sejak lahir, tidak berfungsinya salah satu indera, dan yang lain.

2) Faktor psikis: antara lain faktor intelegensi, bakat, minat, emosi, kepribadian, gangguan jiwa, atau gangguan kepribadian yang lain.

b. Faktor Eksogen

Yaitu faktor yang berasal dari luar diri sang anak (Sum ber: Isnaeni, 2008), antara lain: Yaitu faktor yang berasal dari luar diri sang anak (Sum ber: Isnaeni, 2008), antara lain:

2) Faktor sekolah, dim ana anak belajar bersekolah, belajar mencari teman, perlakuan teman dan guru, dan lainnya. Selain

mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan anak. Hal ini dapat dilatih dengan belajar membagi waktu, cara belajar, dan menyelesaikan pekerjaan rumah.

3) Faktor lingkungan, dimana anak tumbuh dan berkembang, yang dapat dibagi menjadi:

a) Faktor m edia massa (televise, radio, video, film)

b) Faktor teman bergaul dan aktivitas lingkungan

c) Faktor keluarga dim ana anak tersebut tinggal

3. Terapi berm ain Terapi bermain didefinisikan oleh Landreth (2001) sebagai hubungan interpersonal yang dinam is antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi diri (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilaku) melalui media bermain. Sedangkan International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di A merika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi berm ain sebagai penggunaan secara sistematik

dari model

teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dim ana terapis bermain m enggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien m encegah atau teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dim ana terapis bermain m enggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien m encegah atau

a. Metode te Dalam p bermain y

1) Child

a)

g , 2009) erapi berma

roses terap yaitu:

d-C entered P

Anak diber melalui ma Permainan menjadi tiga

i. Real-l

anak perasa contoh

ii. Acting

menge keben dan bo

ain pi bermain m

Play Therapy

ikan kebeba acam perma

sebagai f

a (Landreth: life Toys, un

terhadap aan marah

h: boneka m

g-O ut—Aggr

ekspresikan ncian. C onto

oneka tenta

Gambar II.1. Sumber: www.c

menggunaka

y (Traditiona

asan untuk ainan (Tradi

fasilitator e

2001: 14-15 ntuk merepr

anggota

h, takut da manusia.

ressive-relea

em osi, kem oh: boneka

ra.

Contoh Real-li childrens_toys.

an dua met

al Play Thera mengekspr isional play ekspresi an

5): resentasikan

keluarganya an kecewa

ase-Toys, marahan, fru

binatang, p

ife Toys com , 2009

tode terapi

apy) resikan diri

y Therapy). nak dibagi

n perasaan

a. Seperti . Sebagai

untuk ustasi, dan pisau karet untuk ustasi, dan pisau karet

Relea pasir,

) Pendekat

atau batas Group Play T

) Terapi be

berbagai dalam m toleransi berinterak

Gambar

for creati se, menge

air dan tana

an secara p san kepada

Therapy

ermain di

macam p mengeksplora

dan

me ksi dengan o

Gambar II.4 Sumber: ww

II.2. Contoh Ac

Sumber: www

Gambar II.3. Co

Sumber: www.c

ive expres ekspresikan

ah liat.

personal tan

anak oleh te

dalam grup elatihan ya

asi tingkah enemukan

orang lain.

4. Terapi Berm ww.playtherapy.

cting-Out—Agg w.childrens_toy

ontoh permaina

childrens_toys.

sion and perasaan

npa mem be erapis.

p dapat m ang memba laku, me kenyaman

main Grup

.com , 2009

gressive-releas ys.com , 2009

an ekspresi

com , 2009

Emotional . Contoh:

eri tekanan

memberikan antu anak ningkatkan

nan saat

se-Toys

khusus yang membutuhkan terapi berm ain, yaitu:

1) Anak Agresive (Aggressive Acting-Out Children)

Yaitu anak yang melakukan tindakan agresive untuk menutupi perasaan ketidak diinginkan, ketidak berharganya, tidak dicintai dan tidak berada dalam suasana yang penuh cinta.

Agresif secara psikologis berarti cenderung ingin menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, m enghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12). Perilaku ini dapat membahayakan anak atau orang lain. Misal, menusukan pensil yang runcing ke tangan tem an, atau mengayun-ngayunkan tas sehingga mengenai orang yang berada di sekitar anak. Ada juga anak yang selalu m em aksa temannya untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan, bahkan tidak sedikit pula anak yang mengejek atau membuat anak lain menjadi kesal.

Agresif terjadi pada masa perkem bangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Namun, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkem bangan mereka dan sering kali m enimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku

Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain. Keadaan ini m enciptakan lingkaran setan, semakin anak tidak diterima oleh tem an- teman mereka, m aka sem akin m enjadilah perilaku agresif yang ditampilkan anak terhadap lingkungan.

Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan digambarkan karakteristik perilaku

(2005) dala m delsajoesafira.blogspot.com (diunduh 7 Juli 2010):

a) Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal. Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni perilaku agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat onar. Padahal, anak yang tidak mengalam i masalah emosi atau perilaku juga menam pilkan perilaku seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima oleh teman-temannya Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat onar. Padahal, anak yang tidak mengalam i masalah emosi atau perilaku juga menam pilkan perilaku seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima oleh teman-temannya

b) Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial. Perilaku anti sosial sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif, ancaman secara verba l terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik, pencurian,

kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku panduan diagnostik (dalam Masykouri, 2005: 12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalam i gangguan perilaku antisosial (termasuk agresif) bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat dalam seseorang secara bersama-sam a paling tidak selama enam bulan. Perilaku tersebut sebagi berikut:

i.

Mencuri tanpa m enyerang korban lebih dari satu kali.

ii.

Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua.

iii.

Sering berbohong.

iv.

Dengan sengaja melakukan pembakaran.

v.

Sering bolos sekolah.

vii.

Mengonarkan milik orang lain dengan sengaja.

viii.

Menyiksa binatang.

ix.

Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam

perkelahian.

x.

Sering memulai berkelahi.

xi.

Mencuri dengan menyerang korban.

xii.

Menyiksa orang lain. Perilaku agresif dapat ditampilkan oleh anak individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok (agresif tipe group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/ grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan tem an-teman sekelompok untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak- anak yang bergabung m em punyai masalah yang ham pir sama lalu m em berikan kesempatan yang sama lalu memberikan kesempatan pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik.

Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si anak untuk m enyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaan anak tersebut.

dengan cara-cara yang agresif. Sehingga, terdapat anak atau sekelompok anak yang m enjadi korban atas perilaku anak agresif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (M asykouri, 2005: 12.7) sekitar 5-10% anak usia sekolah menunjukan perilaku agresif. Secara umum, anak laki-laki lebih banyak menampilkan perilaku agresif, dibandingkan anak perempuan. M enurut penelitian, perbandingan anak laki-laki dan perempuan mencapai 5 berbanding 1, artinya jumlah anak laki-laki yang melakukan perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

Penyebab perilaku agresif diindikasikan oleh empat faktor utama yaitu gangguan biologis dan penyakit, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya negatif. Faktor-faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab timbulnya perilaku agresif.

Penjelasan dari keempat faktor penyebab tersebut adalah sebagai berikut:

a) Faktor Biologis

Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiga tersebut. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari gangguan perilaku Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiga tersebut. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari gangguan perilaku

Semua anak lahir dengan keadaan biologis tertentu yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamen, meskipun

temperamen

dapat

berubah sesuai pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi penyebab tim bulnya gangguan emosi atau tingkah laku.

b) Faktor Keluarga

Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak berperilaku agresif dapat diidentifikasikan seperti berikut:

i.

Pola asuh orang tua yang m enerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang m enyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak hukum an tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. Hal ini memicu

perilaku

agresif

pada anak. Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang pada anak. Ketidakonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang

ii.

Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anak, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku

agresif

cenderung menetap.

iii.

Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif.

iv.

Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan m eningkatkan sikap perilaku agresif anak.

v.

Memberi hadiah

pada perilaku

agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial.

vi.

Kurang mem onitor dimana anak-anak berada

vii.

Kurang memberikan aturan

viii.

Tingkat komunikasi verbal yang rendah

ix.

Ibu yang depresif yang mudah marah Ibu yang depresif yang mudah marah

i.

Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial.

ii.

Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam timbulnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan m odel oleh anak.

iii.

Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan

sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk pehatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan.

d) Faktor Budaya

Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditam pilkan di media, terutama televisi dan film . Menurut Bandura (M asykouri,

dikutip dari

www.belajarpsikologi.com ,

mengungkapkan mengungkapkan

Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala m asalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.

kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.

iii.

Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan

penderitaan

(menumpulkan

empati dan

kepekaan sosial).

iv.

Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.

Akibat sering melihat salah satu kartun dan film robot di beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh tersebut. Terkadang orang tua melarang putra – putrinya untuk menonton film kartun dan film robot tersebut dengan

memberikan

penjelasan,

tetapi belum

membuahkan hasil yang maksimal. Selain itu, faktor tem an sebaya juga m erupakan sum ber yang paling mempengaruhi anak. Ini m erupakan faktor yang paling m ungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada tem an yang mempengaruhi m ereka agar melakukan tindakan- tindakan agresif terhadap anak lain. Terdapat ketua membuahkan hasil yang maksimal. Selain itu, faktor tem an sebaya juga m erupakan sum ber yang paling mempengaruhi anak. Ini m erupakan faktor yang paling m ungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada tem an yang mempengaruhi m ereka agar melakukan tindakan- tindakan agresif terhadap anak lain. Terdapat ketua

2) Anak Yang Mengidap Penyakit Kronis (Children with chonic Illness)

Yaitu anak yang mengalami tekanan baik intern m aupun ekstern dari lingkungannya akibat penyakit yang dideritanya. Penyakit kronis adalah suatu kondisi dimana pasien sakit untuk waktu yang lama. Ada bantuan sem entara dengan beberapa obat, tetapi masalah akan tetap bertahan. Karena pada penyakit kronis jangka panjang, seorang pasien harus minum obat untuk waktu yang lama atau selam a sisa hidup pasien.

Hal ini membatasi apa yang dapat dilakukan seseorang dan tidak pernah hilang. Ada ratusan penyakit kronis dari diabetes dan asma untuk serangan jantung dan penyakit paru- paru. Penyakit-penyakit tersebut mungkin tidak menular tetapi umumnya diwariskan. Tidak mudah untuk mengatasi penyakit kronis, karena pasien akan perlu mengam bil tindakan pencegahan, ham pir

sepanjang

hidup, mungkin ada

ketidaknyamanan tertentu

atau gejala

tertentu yang berhubungan dengan penyakit dan ini juga bertahan lama. Dalam keadaan seperti itu, pasien akan merasa jengkel dan frustrasi, ini lebih relevan ketika pasien adalah anak-anak. Orang tua dari anak itu memainkan peran yang sangat penting

harus m em pertahankan pikiran positif pada diri mereka. Memberikan informasi sebanyak mungkin kepada anak berkaitan dengan penyakit. Selain itu, penting dilakukan untuk melibatkan anak dalam sekolah, sehingga mereka dapat menghadapi situasi sosial atau kemasyarakatan. Serta mendorong anak untuk am bil bagian dalam kegiatan-kegiatan dan juga m em buat tem an baru. Anak tidak perlu merasa terisolasi karena sakit sebagai penyakit kronis tidak m enular.

Kadang-kadang anak m ungkin lebih sakit secara psikologis daripada secara fisik, dan karena itu, penting untuk mem buat anak merasa norm al dan tidak m em perlakukan dia sebagai abnormal atau dengan terlalu banyak sim pati.

3) Anak Traum atik (Traumatic Children)

Yaitu anak-anak yang memiliki ketakutan berlebih terhadap sesuatu dan umumnya ketakutan terhadap sebuah situasi yang terjadi di m asa lalu.

Pada daerah pengungsian akibat konflik, missal, bukan berarti begitu anak-anak atau wanita diungsikan lalu masalah selesai. Justru suatu masalah m ungkin sedang dim ulai karena yang tertinggal adalah trauma yang berkepanjangan akibat kekerasan psikologi yang mereka alami akibat penggusuran.

Jika berbicara tentang tindak kekerasan psikologi dan traum a, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (gangguan stres pasca trauma). Yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa

PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya. Secara umum gejala PTSD dibagi m enjadi tiga macam, yaitu:

i.

Pertam a, Reexperiencing. Perderita seperti mengalami kem bali kejadian traum atis yang pernah dialami. Biasanya kondisi ini akan m uncul ketika penderita sedang melamun atau melihat suasana yang mirip dengan pengalaman traumatis yang pernah dialami. Penderita dapat berperilaku mengejutkan, tiba-tiba berteriak, menangis, atau berlari ketakutan. Fenomena lain juga dapat muncul seperti takut untuk tidur, karena begitu ia tidur peristiwa traumatis m uncul kem bali. M isal, peristiwa diperkosa atau pembunuhan yang berlangsung didepan m ata.

ii.

Kedua, Hyperarousal. Suatu keadaan waspada berlebihan, seperti mudah kaget, tegang, curiga menghadapi gejala sesuatu, benda yang jatuh dia anggap seperti sebuah bom yang jatuh, serta tidur sering terbangun-bangun.

iii.

Ketiga, Avoidance. Seseorang akan selalu menghindari situasi yang mengingatkan ia pada kejadian traumatis. Jika kejadian tersebut terjadi disaat suasana ramai, dia akan menghindari m all atau pasar. Begitu juga

Jika PSTD tidak ditangani dengan benar, m aka mempengaruhi

kepribadian

seseorang

(perubahan kepribadian), seperti paranoid atau mudah curiga. Penderita kesulitan ini jarang secara sadar datang ke para ahli. Apalagi stigm a yang beredar dimasyarakat bahwa psikiater identik dengan

gila. (sumber:

www.psikologizone.com )

4) Anak yang m engalami Kesulitan Berbicara, (Selective Mute Childran)