PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA BERDASARKAN PASAL 7A UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

(1)

BAHAN AJAR

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

DALAM MASA JABATANNYA BERDASARKAN

PASAL 7A UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Oleh :

I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... 1

DAFTAR ISI ... 2

BAB I PENDAHULUAN... 3

BAB II PEMBAHASAN ... 11

BAB III PENUTUP ... 19


(3)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu dinamika ketatanegaraan yang secara nyata menunjukkan adanya keterkaitan erat antara proses hukum dan proses politik adalah proses pemberhentian presiden sebagai kepala negara. Proses pemberhentian presiden dikenal dalam praktik ketatanegaraan diberbagai negara, secara istilah proses ketatanegaraan ini disebut sebagai pemakzulan, namun banyak nomenklatur dan pemberitaan yang menyebutnya sebagai

impeachment, adalah kata yang biasa ditujukan kepada seorang kepala negara, dalam hal

ini presiden.1 Di Indonesia, mekanisme impeachment dikenal sebagai suatu sistem atau lembaga permakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan kata lain bahwa objek mekanisme impeachment di Indonesia hanyalah ditujukan untuk mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden saja.2 Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya.3

Menengok sejarah, dua Presiden Republik Indonesia tidak mampu menyelesaikan masa jabatannya. Dua diantaranya adalah Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid, diberhentikan oleh parlemen (MPRS/MPR). Walaupun pemberhentiannya taat pada konstitusi, namun pemetaan politik dan kepentingan cukup mewarnai proses pemberhentian kedua presiden tersebut. Pemberhentian Presiden oleh parlemen

1

Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechts Vinding, ISSN 2089-9009, Volume 2, Nomer 3, Desember 2013, http:// www. rechtsvinding. bphn.go.id/ artikel/ART %203% 20JURNAL% 20VOLUME% 202% 20NO% 203_PROTEKSI.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

2

Rusdianto S, Proses Impeachment Presiden Dalam Konstitusi Negara-Negara Modern (Studi

Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan), http:// www.

202.154.59.182/.../08% 20RUSDIANTO %20SH %20M..., diakses Minggu 27 April 2014.

3

Jimly Asshiddiqie, 2005, Pengantar pada LAPORAN PENELITIAN “Mekanisme Impeachment dan

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan

Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.


(4)

(MPRS/MPR) tersebut menunjukkan tingginya kontrol parlemen atas institusi kepresidenan. Hal ini setidaknya dapat menjadi modal awal untuk membangun proses demokratisasi di Indonesia di mana salah satu pilarnya adalah kontrol terhadap kekuasaan agar tidak mengarah kepada terciptanya penguasa tungal.4

Sejarah menunjukkan sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno sudah menunjukkan tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol diawali dengan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar Penetapan Presiden No. 4/1960, dibentuk DPRGR. Kemudian pada tanggal 13 November 1963, Presiden Soekarno merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan demikian kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya. Di tengah krisis ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan konstelasi politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya

reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari

100 menteri dengan kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi. Setelah itu, akhirnya Soekarno melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, dengan melakukan yang disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban sukarela. DPRGR tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan pernyataan pendapat kepada Presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki dilengkapinya pidato Nawaksara oleh Presiden. Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.5

4

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/ membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.

5

Mekanisme Dan Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa

Jabatannya, http://syamsul89.com/2012/10/mekanisme-dan-prosedur-pemberhentian.html, diakses Minggu


(5)

Demikian pula pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden pada masa jabatannya adalah sangat kental dengan nuansa politik. Alasan yang menyebabkan jatuhnya Gus Dur dari kursi Kepresidenan karena Gus Dur mengeluarkan beberapa keputusan yang kontroversial yang mengganggu kepentingan beberapa pihak status quo. Gus Dur menyebarkan pluralisme dan membela hak-hak kelompok terpinggirkan yang tentu ada pihak-pihak dominan yang terganggu kepentingannya, contohnya :6

1. Gus Dur mendukung penuntasan pelanggaran HAM di Timor-Timur, mencopot Jendral Wiranto sebagai menkopolkam dan akibatnya kalangan militer tidak senang. 2. Mengatakan DPR seperti taman kanak-kanak yang menyebabkan perseteruan dan

terjadilah penggembosan politik oleh DPR.

3. Mengganti Kapolri Bimantoro dengan Chaeruddin tanpa prsetujuan DPR dan Bimantoro tidak mau menyerahkan tongkat komando.

Gus Dur akhirnya diberhentikan sebagai Presiden melalui TAP MPR No II/MPR/2001 karena yang bersangkutan tidak hadir dalam Sidang Istimewa MPR untuk menyampaikan pertanggungjawaban serta karena kebijakannya mengeluarkan Maklumat (Dekrit) Presiden 23 Juli 2001, yang antara lain berisi pembekuan MPR dan DPR.7 Gus Dur mengeluarkan Dekrit karena itulah senjata terakhirnya menghadapi gempuran politik saat itu. Isi Dekrit Gus Dur saat itu, adalah :8

1.Membubarkan DPR/MPR 2.Pemilu dpercepat dalam 1 tahun. 3.Bubarkan Golkar.

Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak terelakkan. Sebab, produk pertarungan politik itu adalah menang, kalah, atau kompromi; beda dengan hukum yang mendasarkan pada benar dan salah.9

Impeachment telah menjadi tema yang seksi dalam proses politik di Indonesia

dalam beberapa tahun terakhir. Sejak terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu II pada

6

Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/ fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.

7

Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa, https://www.mpr.go.id/blog/drs-h-lukman-hakim-saifuddin/news/ 9147/ gus-dur-dan-rekonsiliasi-bangsa-2, diakses Selasa 29 April 2014.

8

Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/ fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.

9

Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?, http://politik.kompasiana.com/2013/07/07/pemakzulan-gus-dur-konstitusional--575102.html, diakses Selasa 29 April 2014.


(6)

2009, isu impeachment muncul hanya dalam waktu beberapa bulan saja, sampai menjelang akhir jabatan Presiden SBY 2014 isu ini terus bergema. Isu impeachment pada saat itu dimulai dari penggunaan hak angket yang dilakukan oleh Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan yang bergabung bersama partai-partai lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Hak angket diajukan partai-partai tersebut untuk menanggapi pemberian dana talangan (bail out) terhadap Bank Century. Isu Bank Century tersebut bertahan sejak sebelum Pemilu 2009 hingga saat ini. Meskipun pengajuan hak angket sah secara prosedural bahkan sampai mengarah kepada impeachment pun sah secara prosedural hukum ketatanegaraan yang berlaku, namun fenomena ini menjadi fenomena yang janggal dalam politik. Kejanggalan ini dilatarbelakangi oleh konsepsi koalisi partai yang baru saja terbentuk antara partai pemenang yaitu Partai Demokrat yang mengusung Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai-partai lainnya seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan. Kejanggalan ini bukanlah fenomena biasa dalam politik, pengajuan hak angket interpelasi bahkan

impeachment dari partai koalisi memperiihatkan bahwa pemerintahan Presidensial yang

baru saja dibentuk sebenarnya memiliki fondasi yang rapuh.10 Dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia, sejatinya preisden harus memiliki posisi yang kuat. Dalam sistem pemerintahan presidensiil hubungan antara presiden dan parlemen dapat saling melakukan kontrol dan berkesinambungan (checks and balances). Presiden tidak tunduk pada parlemen, sekaligus tidak dapat membubarkan parlemen.11

Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan Undang-Undang Dasar

10

http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=11482&type=2#.U1xy8Xbj6ho, diakses Minggu 27 April 2014.

11

Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Cet. I, Setara Press, Malang, hlm. 1-2.


(7)

1945 banyak merubah sistem hukum Indonesia, yang juga mempengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ketentuan penting yang lahir dari perubahan tersebut yakni mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk mempertahankan sistem presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem presidensial. Selain itu, adanya pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya pemikiran bahwa negara yang identik dengan kekuasaan perlu adanya pembatasan kekuasaan dan adanya fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan.

Setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.

Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945. Istilah impeachment sendiri berasal dari Inggris di abad ke-14. Pada saat itu, parlemen Inggris menggunakan lembaga impeachment untuk memroses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang memiliki kekuasaan besar di dalam negara dan terkait kasus korupsi atau hal lain yang berada diluar kewenangan pengadilan. Lembaga

impeachment tersebut mengeluarkan artikel impeachment yaitu surat resmi yang berisi

tuduhan yang menyebabkan terjadinya proses impeachment. Impeachment menurut Jimmly Asshidiqie, impeachment berasal dari bahasa Inggris, yaitu "to impeach" yang artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggung jawaban. Dalam hubungannya dengan kepala pemerintahan, impeachment bukan berarti pemberhentian


(8)

kepala negara akan tetapi pemanggilan atau pendakwaan untu diminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan. Dengan kata lain, proses impeachment diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum bukan hanya faktor politik semata.12

Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik13, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial.

Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat

bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan

impeachment presiden. Bila MPR setuju mengadakan Siding Istimewa, dan MPR tidak

menerima pidato pertanggung jawaban presiden, maka presiden harus berhenti dari jabatannya. Kuatnya posisi DPR sebelum perubahan UUD 1945 terlihat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan pada bagian Sistem Pemerintahan Negara pada angka VII yang menyatakan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat, yang selanjutnya dinyatakan:

...Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap14 bahwa Presiden sungguh melanggar haluan

negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis

12

http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=11482&type=2#.U1xy8Xbj6ho, diakses Minggu 27 April 2014.

13

Dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945 terlihat faktor politik dominan terhadap hukum. Hubungan hukum dengan politik ada tiga model yaitu: Pertama, hukum determinan atas politik, pandangan ini dianut secara kuat di negara-negara yang menganut supremasi hukum karena politiklah yang diposisikan sebagai variabel terpengaruh

(dependent variable); Kedua, politik determinan atas hukum, hukum dikonsepkan sebagai undang-undang

bahkan mencakup konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berkompetisi, baik melalui kompromi atau dominasi oleh kekuatan politik yang kuat, sehingga pernyataan “hukum adalah produk politik” menemukan kebenarannya.; Ketiga, Hubungan politik dan hukum adalah simetris atau saling mempengaruhi, seperti pernyataan “politik dan hukum itu interdeterminant”, sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”, lihat uraian Mohammad Mahfud MD, Tolak-tarik Antara Hukum Dan

Politik Sebagai Fakta, dalam Daniel S Lev, 2013, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Cet. 3, LP3ES, Jakarta, hlm. vii-viii.

14

Kata menganggap cetak miring oleh penulis, menurut penulis kata menganggap sangat bersifat multi intepretasi, artinya ketika DPR berlawanan haluan politiknya dengan Presiden maka bisa saja DPR beranggapan bahwa Presiden telah sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.


(9)

Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.

Mudahnya impeachment presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan. Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden. Seperti disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Selanjutnya mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya diatur dalam Pasal 7B UUD 1945 setelah amandemen yang intinya menyatakan adanya pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah kemudian memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut. Apabila putusan Mahkamah membenarkan pendapat DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR kemudian menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul tersebut, dengan terlebih dahulu


(10)

memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak bersifat mengikat.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertanyaan yang mendasar terhadap rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen adalah:

1). Apakah yang dimaksud dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden ? Apakah

2). Apakah pengertian atau definisi perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen dapat menimbulkan multi tafsir atau multi interpretasi ?


(11)

BAB II PEMBAHASAN

Indonesia adalah negara demokrasi15 yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum16, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, negara wajib menjunjung supremasi hukum (supremacy of the law) sebagai salah satu sendi politik bernegara, disamping sendi-sendi lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi. Dalam konsep negara hukum bahwasannya semua tindakan para penyelenggara negara harus berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah dokumen nasional dan juga alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara.17

Konsep negara hukum moderen di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti penentu dalam penyelenggaraan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu:18 1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

15

Demokrasi terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak dan kratos yang artinya kekuasaan. Jadi demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani kuno berarti kekuasaan yang berada di tangan rakyat, Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep,

Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 53.

16

Negara hukum (bahasa Belanda: rechtstaat): negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum, Negara

Hukum, Ensiklopedia Indonesia (N-Z), N.V, W Van Hoeve, hal. 983 dalam Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 3.

17

Pemikiran dari Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam bukunnya Written Constitution yang dikutip oleh Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan

Kekuasaan, 1998, Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta, hlm. 95.

18

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm.122 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan


(12)

3. Pemerintah berdasarkan undang-undang 4. Peradilan tata usaha negara

Adapun A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law, yaitu:19 1. Supremacy of Law

2. Equality before the Law

3. Due Process of Law

International Commission of Jurist menentukan pula syarat-syarat representative government under the rule of law, sebagai berikut:20

1. Adanya proteksi konstitusi.

2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak. 3. Adanya pemilihan umum yang bebas.

4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat. 5. Adanya tugas oposisi.

6. Adanya pendidikan civic.

Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” mengemukakan bahwa jika ditinjau dari aspek penegakan hukum (law enforcement), negara hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran.21

Namun prinsip negara hukum belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Kenyataan atau fakta menunjukkan bahwa hukum terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-kekuatan lain, misalnya kekuatan politik. Padahal seharusnya anasir meta yuridis tersebut tunduk terhadap hukum. Kenyataan ini salah satunya tercermin dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

19

Prinsip-prinsip The Rule of Law di Inggris lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of

the Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education LTD, 1959) dalam Jimly Asshiddiqie,

2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 130.

20

Sri Sumantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan VI, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.12-13 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar

Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131.

21

Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem

Ketatanegaraan Indonesia, http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2012/05/06/

pemberhentian-presiden- danatau- wakil- pemberhentian-presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia/, diakses Sabtu 19 April 2014.


(13)

masa jabatannya atau dikenal dengan istilah impeachment sebagaimana diatur dalam Pasal 7A sampai 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemberhentian presiden pada masa jabatannya karena suatu tuduhan atau dakwaan diartikan sebagai pemakzulan (impeachment ). Istilah impeachment berasal dari kata “to

impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka

hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Black's Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer,

before a quasi political court, instituted by a written accusation called “articles of impeachment”; for example, a written accusation by The House of Representatives of the United State to the Senate of the United State against the President, Vice President, or an officer of the United State22. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana

terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan

quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana.

Mekanisme impeachment dalam pemerintahan presidensil ini dipersiapkan untuk mengingatkan Presiden, di mana jabatannya sewaktu-waktu dapat terancam diberhentikan di tengah jalan jabatannya apabila benar-benar telah melanggar ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan ketiga, “bahwa Presiden dan /Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

22

Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Publishing Co., page. 678.


(14)

Berdasarkan ketentuan ini, maka jenis pelanggaran hukum yang dapat dijadikan alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden dan/wakil Presiden dalam masa jabatannya, bukan karena alasan-alasan politik. Dengan demikian hal yang menjadi alasan hukum yang dimaksud dalam UUD 1945 sesuai dengan ketentuan pasal 7A yaitu: 1. Pengkhianatan terhadap negara.

2. Korupsi. 3. Penyuapan.

4. Tindak pidana berat lainnya. 5. Perbuatan tercela.

6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 7A UUD 1945 maka ada 6 jenis pelanggaran hukum untuk dapat memberhentikan seorang Persiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatan. Dengan kata lain, seorang Presiden dan/wakil Presiden diberhentikan ditengah jalan dari jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesui ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945. Dengan begitu terminologi yang digunakan dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945 pada perubahan ketiga ialah terminologi hukum (pidana) dan juga sebagian dipengaruhi oleh faktor politik.23 Sehingga untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila sudah dapat benar-benar teruji keabsahan menyangkut pelanggaran hukum pidana ataupun subjektivitas faktor politik.

Hal yang perlu diperhatikan dalam proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana ketentuan tersebut di atas, minimal tuduhan tersebut harus dapat teruji di dalam peradilan Mahkamah Konstitusi baik karena tuduhan hukum pidana atau karena sebab faktor politik, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

23

Hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta, hlm. 1.


(15)

Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dimana untuk kasus tuduhan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang disebabkan oleh faktor subjektivitas politik DPR prihal tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden harus benar-benar teruji objektivitasnya. Karena itu terdapat dua alasan pemberhentian Presiden (faktor-faktor pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden) menurut UUD 1945 yaitu karena terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum (pidana) dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden secara objektivitas (politik).

Untuk mengetahui lebih lanjut, meskipun UUD 1945 tidak merincikan apa yang dimaksud dengan jenis-jenis pelanggaran hukum yang tercantum pada Pasal 7A UUD 1945 tersebut. Dalam hal ini secara lebih rinci telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan tentang jenis-jenis tidak pidana yang tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 “khususnya” sebagai mana yang dalam hal ini tercantum yakni: 1. Pengkhianatan terhadap negara.

Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang diatur pada Pasal 10 ayat (3) huruf a, yang menyatakan: “pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur dalm Undang-Undang Hukun Pidana (KUHP) tentang Kejahatan, pada Bab I Kejahatan Terhadap Keamanan Negara disebut dalam Pasal 104 sampai dengan 129. Selain itu, ada juga Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana terhadap


(16)

keamanan negara selain yang terdapat dalam KUHP, yaitu tindak pidana terorisme sebagaimana tang diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Korupsi dan penyuapan

Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya pasal 10 ayat (3) huruf b, yang menyatakan: “korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Definisi dan pembrantasan mengenai tindak pidana korupsi ataupun penyuapan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula korupsi dan penyuapan yang terkait dengan penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

3. Tidak pidana berat lainnya.

Tidak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf c yang menyatakan: “tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Artinya bahwa tindakan atau perbuatan pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dikategorikan sebagai tindak pidana berat.

4. Perbuatan tercela

Perbuatan tercela yang dimaksud adalah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf d yang menyatakan: “perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Definisi yang di jelaskan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3) huruf d memang masih mengandung multitafsir. Sebab bentuk-bentuk perbuatan yang dimaksud perbuatan tercela ini juga sangat beragam dan mengundang perdebatan. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang dilakukan oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela akan


(17)

terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar untuk membingkai tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan aturan yang menjelaskan perilaku menjadi salah satu kendalanya.24

5.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah penilaian pada seorang Presiden dan/atau wakil Presiden, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan: “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen menyatakan:

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.

Pendekatan hukum pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis pelanggaran yang dilakukan Presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan Presiden pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden berkewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Presiden yang bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan, termasuk di dalamnya KUHPidana. Pertimbangan aspek pidana dalam proses pengawasan dan pemberhentian presiden bukan untuk semata-mata melindungi lembaga kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas kembali nilai-nilai keadilan bagi Presiden dan juga Legislatif. Pendekatan hukum pidana

24

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/ membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.


(18)

juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang tak hanya secara politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut sering hilang dalam sejarah pemberhentian presiden yang dimiliki indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban Presiden berhenti setelah turunnya Presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum ketatanegaraan sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai.25

25

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/ membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.


(19)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan perlanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. Setidaknya terdapat lima jenis pelanggaran hukum yang dapat “menurunkan” presiden berdasar pasal tersebut. Pemaknaan terhadap jenis pelanggaran atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden pada rumusan Pasal 7A UUD 1945 tersebut masih perlu diperjelas dan dirumuskan pada aturan yang lebih konkret agar tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran, terutama perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selama proses impeachment yang terjadi di Indonesia pemaknaan terhadap jenis pelanggaran tersebut dapat saja tergantung tergantung pada konstelasi politik yang sedang berlangsung. Disertai rumusan Pasal 7B UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan adanya proses di DPR dan MPR dalam hal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang bisa saja nuansa politiknya sangat besar, hal inilah yang disebut sebagai quasi political court.


(20)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Daniel S Lev, 2013, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Cet. 3, LP3ES, Jakarta.

Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan Kekuasaan, 1998,

Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta.

Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta.

Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Publishing Co.

Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang. Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Cet. I, Setara Press,

Malang. B. Artikel

Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Jurnal Rechts Vinding, ISSN 2089-9009, Volume 2, Nomer 3,

Desember 2013, http:// www. rechtsvinding. bphn.go.id/ artikel/ART %203% 20JURNAL% 20VOLUME% 202% 20NO% 203_PROTEKSI.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/

fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.

Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa,

https://www.mpr.go.id/blog/drs-h-lukman-hakim-saifuddin/news/ 9147/ gus-dur-dan-rekonsiliasi-bangsa-2, diakses Selasa 29 April 2014.

http://www.theglobal- review.com/ content_detail.php? lang= id&id=11482 & type =2#. U1xy8Xbj6ho, diakses Minggu 27 April 2014.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Pengantar pada LAPORAN PENELITIAN “Mekanisme


(21)

Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

http://www. mahkamahkonstitusi. go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment. pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http:// hamdanzoelva. wordpress.com/

2007/ 12/21/ membangun -mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.

Mekanisme Dan Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya, http://syamsul89. com/2012/10/ mekanisme- dan-

prosedur-pemberhentian.html, diakses Minggu 27 April 2014.

Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?, http://politik.kompasiana. com/ 2013/ 07/07/

pemakzulan- gus- dur -konstitusional--575102.html, diakses Selasa 29 April 2014.

Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia, http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/

2012/05/06/ pemberhentian-presiden- danatau- wakil- presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia/, diakses Sabtu 19 April 2014.

Rusdianto S, Proses Impeachment Presiden Dalam Konstitusi Negara-Negara

Modern (Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan), http://www 202.154.59.182/.../08% 20RUSDIANTO %20SH


(1)

keamanan negara selain yang terdapat dalam KUHP, yaitu tindak pidana terorisme sebagaimana tang diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

2. Korupsi dan penyuapan

Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya pasal 10 ayat (3) huruf b, yang menyatakan: “korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang”. Definisi dan pembrantasan mengenai tindak pidana korupsi ataupun penyuapan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula korupsi dan penyuapan yang terkait dengan penyelenggara negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.

3. Tidak pidana berat lainnya.

Tidak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf c yang menyatakan: “tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Artinya bahwa tindakan atau perbuatan pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dikategorikan sebagai tindak pidana berat.

4. Perbuatan tercela

Perbuatan tercela yang dimaksud adalah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf d yang menyatakan: “perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Definisi yang di jelaskan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3) huruf d memang masih mengandung multitafsir. Sebab bentuk-bentuk perbuatan yang dimaksud perbuatan tercela ini juga sangat beragam dan mengundang perdebatan. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang dilakukan oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela akan


(2)

terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar untuk membingkai tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan aturan yang menjelaskan perilaku menjadi salah satu kendalanya.24

5.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah penilaian pada seorang Presiden dan/atau wakil Presiden, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan: “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen menyatakan:

(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.

Pendekatan hukum pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis pelanggaran yang dilakukan Presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan Presiden pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden berkewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Presiden yang bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan, termasuk di dalamnya KUHPidana. Pertimbangan aspek pidana dalam proses pengawasan dan pemberhentian presiden bukan untuk semata-mata melindungi lembaga kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas kembali nilai-nilai keadilan bagi Presiden dan juga Legislatif. Pendekatan hukum pidana

24

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/ membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.


(3)

juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang tak hanya secara politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut sering hilang dalam sejarah pemberhentian presiden yang dimiliki indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban Presiden berhenti setelah turunnya Presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum ketatanegaraan sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai.25

25

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/ membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.


(4)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan perlanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. Setidaknya terdapat lima jenis pelanggaran hukum yang dapat “menurunkan” presiden berdasar pasal tersebut. Pemaknaan terhadap jenis pelanggaran atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden pada rumusan Pasal 7A UUD 1945 tersebut masih perlu diperjelas dan dirumuskan pada aturan yang lebih konkret agar tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran, terutama perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selama proses impeachment yang terjadi di Indonesia pemaknaan terhadap jenis pelanggaran tersebut dapat saja tergantung tergantung pada konstelasi politik yang sedang berlangsung. Disertai rumusan Pasal 7B UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan adanya proses di DPR dan MPR dalam hal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang bisa saja nuansa politiknya sangat besar, hal inilah yang disebut sebagai quasi political court.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Daniel S Lev, 2013, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Cet. 3, LP3ES, Jakarta.

Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan Kekuasaan, 1998,

Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta.

Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta.

Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West Publishing Co.

Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta.

Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang. Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Cet. I, Setara Press,

Malang.

B. Artikel

Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Jurnal Rechts Vinding, ISSN 2089-9009, Volume 2, Nomer 3,

Desember 2013, http:// www. rechtsvinding. bphn.go.id/ artikel/ART %203% 20JURNAL% 20VOLUME% 202% 20NO% 203_PROTEKSI.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/

fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.

Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa,

https://www.mpr.go.id/blog/drs-h-lukman-hakim-saifuddin/news/ 9147/ gus-dur-dan-rekonsiliasi-bangsa-2, diakses Selasa 29 April 2014.

http://www.theglobal- review.com/ content_detail.php? lang= id&id=11482 & type =2#. U1xy8Xbj6ho, diakses Minggu 27 April 2014.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Pengantar pada LAPORAN PENELITIAN “Mekanisme


(6)

Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

http://www. mahkamahkonstitusi. go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment. pdf, diakses Minggu 27 April 2014.

Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http:// hamdanzoelva. wordpress.com/

2007/ 12/21/ membangun -mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.

Mekanisme Dan Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya, http://syamsul89. com/2012/10/ mekanisme- dan-

prosedur-pemberhentian.html, diakses Minggu 27 April 2014.

Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?, http://politik.kompasiana. com/ 2013/ 07/07/

pemakzulan- gus- dur -konstitusional--575102.html, diakses Selasa 29 April 2014.

Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia, http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/

2012/05/06/ pemberhentian-presiden- danatau- wakil- presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia/, diakses Sabtu 19 April 2014.

Rusdianto S, Proses Impeachment Presiden Dalam Konstitusi Negara-Negara

Modern (Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan), http://www 202.154.59.182/.../08% 20RUSDIANTO %20SH