Relevansi semangat hidup dan pelayanan Santo Damian De Veuster bagi pendampingan pastoral penderita HIV/AIDS - USD Repository
RELEVANSI SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN
DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL PENDERITA
HIV/AIDS
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Oleh:
Gerardus Basenti Kelen NIM: 061124028
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada sahabat-sahabat ODHA di Yogyakarta
MOTTO
“Jika saya tidak bisa menyembuhkan mereka, maka saya akan menjadi penghiburan bagi mereka.” (Santo Damian de Veuster)
ABSTRAK
Judul skripsi RELEVANSI SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL PENDERITA HIV/AIDS dipilih berdasarkan pengalaman keterlibatan penulis dalam mendampingi seorang penderita HIV/AIDS di Yogyakarta. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa mendampingi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bukanlah sebuah usaha yang mudah. Di dalam pendampingan tersebut, seorang pendamping harus setia mendampingi ODHA dalam menghadapi penderitaan, baik fisik maupun mental, sebagai dampak logis dari penyakitnya. Bertitik tolak pada kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk menghadirkan butir-butir inspirasi semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster yang relevan dengan usaha pendampingan pastoral ODHA, yang menyentuh inti hidup ODHA itu sendiri sehingga iman mereka semakin dewasa dalam pergulatan hidupnya sehari-hari.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster menjadi inspirasi bagi para pendamping ODHA yang memutuskan untuk mendampingi ODHA oleh karena imannya. Untuk mengurai masalah ini, penulis mengadakan studi pustaka untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan inspiratif yang dibutuhkan. Selain itu, penulis juga mengadakan observasi partisipatif di sebuah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di Yogyakarta.
Pada akhirnya, skripsi ini menghadirkan butir-butir semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster yang relevan dengan pendampingan pastoral ODHA untuk zaman sekarang. Semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster memberi inspirasi bagi para pendamping ODHA bahwa dalam pendampingan kita seharusnya peduli pada usaha membangun komunitasnya, membangun pribadinya yang bermartabat, menjalin persahabatan dengannya, melayaninya dengan antusias dan total dan bersedia berkorban baginya.
ABSTRACT
The thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT AND LIFE SERVICES OF SAINT DAMIEN DE VEUSTER FOR THE PASTORAL ASSISTANCE OF PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS was chosen based on the experience of the author's involvement in assisting a person with HIV/ AIDS in Yogyakarta. Author's experience shows that accompany the PLWHA (People Living with HIV/AIDS) is not an easy matter. In such assistance, a companion must be faithful in accompanying people living with HIV in facing suffering, both physically and mentally, as a logical impact of the disease. Based on this fact, the thesis is intended to bring some inspirational points of St. Damian de Veuster’s life and ministry that are relevant to the pastoral effort of assisting PLWHA, which touch the core of their lives so that their faith increasingly becomes mature in their daily struggle.
The principal issue in this thesis is how the spirit of life and ministry of St. Damian de Veuster become inspiration for a new PLWHA pastoral companion who has decided to assist because of his faith. To unravel this problem, the author conducted literature studies to get ideas for reflection to acquire inspiring ideas needed. In addition, the authors also conducted participative observation in a Peer Support Group (PSG) in Yogyakarta.
In the end, this thesis presents inspirational points of St. Damien de Veuster’s life and ministry that are relevant to the todays PLWHA pastoral care. Life and ministry of St. Damian de Veuster give inspiration to new PLWHA companions that we should care about the effort to found their community, build personal dignity, make friends with them, serve them with enthusiasm and total and will to sacrifice for them.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa Sang Penyelenggara Ilahi karena kasih- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul RELEVANSI
SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL ORANG DENGAN HIV/AIDS.
Skripsi ini diilhami oleh keterlibatan penulis sendiri dalam karya pendampingan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di kota Yogyakarta dan ketertarikan penulis untuk mendalami semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster yang sangat inspiratif. Meskipun usaha pendampingan ODHA yang ada di kota Yogyakarta ini sudah berkembang dengan baik, namun pendampingan ODHA yang menggunakan pendekatan pastoral masih belum nampak nyata. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mendalami kekayaan makna pelayanan Santo Damian de Veuster dan sekaligus menjadikannya sumber inspirasi pelayanan penulis ke depan. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan tulus hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.
Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., selaku dosen pembimbing skripsi penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan- kritikan, sehingga penulis dapat lebih termotivasi dalam menuangkan gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
2. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M. Hum., selaku dosen wali dan penguji kedua yang terus-menerus memberi semangat di setiap percakapan yang ramah sehingga penulis selalu mendapatkan energi baru dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ., selaku ketua panitia penguji dan Kepala Program Studi IPPAK yang selalu memberi dukungannya melalui sapaan dan tegurannya sehingga penulis selalu merasa percaya diri dalam penulisan skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini. Keramahan mereka menjadi inspirasi bagi saya dalam berelasi.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dan penulisan skripsi ini.
6. Seorang sahabat ODHA (yang namanya tidak bisa saya sebut pada kesempatan ini), yang telah menjadi sumber inspirasi paling nyata dalam penulisan skripsi ini. Dia telah mengajarkan banyak hal bagi penulis, baik dalam hal pendampingan, maupun dalam menghadapi hidup ini.
DAFTAR ISI
JUDUL ……………………………………………………………........ i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………….. ii PENGESAHAN ………………………………………………………. iii PERSEMBAHAN ……………………………………………………... iv MOTTO ……………………………………………………………….. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………………. vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS …………………… vii ABSTRAK …………………………………………………………….. viii ABSTRACT ………………………………………………………........ ix KATA PENGANTAR ……………………………………………........ x DAFTAR ISI …………………………………………………………... xiii DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………… xvi BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………….
1 A.
1 Latar Belakang Penulisan Skripsi ……………………………...
B.
6 Rumusan Permasalahan ………………………………………..
C.
6 Tujuan Penulisan ……………………………………………….
D.
7 Metode Penulisan …………………………………………........
E.
7 Sistematika Penulisan ………………………………………….
BAB II. SANTO DAMIAN DE VEUSTER ………………………....
9 A.
10 SANTO DAMIAN DE VEUSTER DAN KELUARGANYA ...
B.
14 PANGGILAN HIDUP SANTO DAMIAN DE VEUSTER…..
1.
14 Pergumulan Awal ……………………………………….....
2. Damian de Veuster, Seorang Biarawan Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.) …………………………
15 3.
17 Damian de Veuster, Seorang Misionaris …………………..
4.
20 Damian de Veuster, Seorang Imam ………………………..
C.
22 KARYA SANTO DAMIAN DE VEUSTER …………………
BAB III. HIV/AIDS DAN PENDAMPINGAN PASTORAL ………
31 A.
32 HIV/AIDS DI KOTA YOGYAKARTA ……………………… 1.
32 HIV/AIDS ………………….………………………….......
2.
37 Penderitaan dan Ancaman HIV/AIDS …………………….
3.
42 Keadaan Kesehatan Penduduk Yogyakarta ……………….
4.
43 Perkembangan Kasus HIV/AIDS di Yogyakarta ………….
5.
44 Peduli HIV/AIDS di Yogyakarta ………………………….
B.
48 PENDAMPINGAN PASTORAL ……………………………..
1.
48 Makna Pendampingan Pastoral …………………………….
2.
55 Pendampingan Pastoral Orang Sakit ……………………….
a.
56 Dasar Pendampingan Orang Sakit ……………………..
b.
58 Dinamika Pendampingan Orang Sakit ………………… c. Sikap dan Ketrampilan Dasar Dalam Pendampingan
Orang Sakit ………………….…………………………
61 3.
63 Pendampingan Pastoral Orang Dengan HIV/AIDS ……….
C. TUNTUNAN PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA MENURUT SEAN CONNOLLY …………………………….
68 1.
68 Memahami HIV/AIDS ………………….………………….
2.
69 Memahami Isu yang Mempengaruhi ODHA ……………… 3.
72 Memahami Dinamika Relasi ……………………………… 4.
74 Memahami Makna dan Proses Dukacita …………………..
BAB IV. SEMANGAT DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA ….
79 A.
HIV/AIDS DI TENGAH RELASI KASIH ANTARA ALLAH DAN MANUSIA ………………….…………………………...
81 B. PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA BERDASARKAN
VEUSTER ………………….………………….………………
106 b. Menentukan Pola Pendampingan ………………………
121 B. SARAN ………………….………………….………………….
BAB V. PENUTUP ………………….………………….……………. 121
A. KESIMPULAN ………………….……………………………..116
113 e. Menghadapi Penderitaan …………………..…………..
111 d. Memberi Perhatian Khusus …………………………….
108 c. Memberi Dukungan ………………….………………...
106 a. Mengenal Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ……….
85 1. Butir-butir Inspirasi Semangat Santo Damian de Veuster …
104 2. Strategi Praktis Pendekatan Terhadap ODHA …………….
101 e. Cinta yang Bersedia Berkorban ………………………..
98 d. Melayani dengan Antusias dan Total……….…………..
92 c. Usaha untuk Menjalin Persahabatan …………………...
86 b. Membentuk Pribadi yang Bermartabat ………………...
86 a. Peduli Pada Usaha Membangun Komunitas …………...
122 DAFTAR PUSTAKA ………………….………………….…………... 125 LAMPIRAN ………………….………………….………….................. 127
DAFTAR SINGKATAN
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome , sekumpulan gejala- gejala yang dijumpai pada fase akhir dari infeksi HIV APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ARV: Antiretroviral , obat yang dapat memperlambat kegiatan HIV menulari sel CD4 yang masih sehat.
CB: Kongregasi Suster-Suster Cintakasih St. Carolus Borromeus CD4: Cluster of Differentiation 4 , sel-sel limfosit T yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh.
D.I.: Daerah Istimewa DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY: Daerah Istimewa Yogyakarta HIV: Human Immunodeficiency Virus , virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
KDS: Kelompok Dukungan Sebaya, kelompok ini bertujuan untuk menciptakan suasana nyaman dan terjaga kerahasiaannya; tempat untuk berkenalan, bicara secara terbuka, didengarkan dan mendapat dukungan..
KLMT: Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas KPA: Komisi Penanggulangan AIDS, komisi yang dibentuk negara untuk mengatasi penyakit HIV/AIDS.
(provinsi dan kabupaten /kota) LP: Lembaga Pemasyarakatan LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat Napi: Nara Pidana ODHA: Orang Dengan HIV/AIDS, penderita HIV/AIDS PLWHA: People Living With HIV/AIDS RNA: Ribonucleic Acid , bahan genetik yang hanya mampu memperbanyak diri (replikasi) dalam sel yang hidup.
SS.CC.: Sacrorum Cordium, yang berarti Hati Kudus; Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Suci Maria.
TB: Tuberkulosis UU: Undang-Undang WCC:
World Council of Churches
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN SKRIPSI Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, manusia masih memiliki berbagai
Salah satu keresahan yang melanda umat manusia di tiga dekade terakhir ini adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia, atau yang lebih dikenal dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, memperlemah dan merusaknya, sehingga tubuh menjadi lebih mudah diserang oleh berbagai penyakit. Atau dengan kata lain, ketika sistem kekebalan tubuh manusia itu menjadi lemah dan berhenti berfungsi karena terinveksi HIV, tubuh tidak mampu lagi melindungi dirinya dari segala jenis penyakit atau virus lain yang hendak menyerang.
persoalan yang belum bisa diselesaikan. Perkembangan teknologi belum mampu menuntaskan segala persoalan yang ada. Kemiskinan, penderitaan dan keresahan masih merupakan ciri wajah manusia sekarang.
Wikipedia Indonesia menjelaskan HIV, demikian: HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4
- (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4
- secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4
- dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4
- hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS.
Keresahan umat manusia akan epidemi HIV/AIDS ini bukan tidak beralasan. HIV/AIDS bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal batasan usia, jenis kelamin dan jabatan atau kedudukan seseorang di dalam masyarakat. HIV/AIDS juga bisa menyerang sahabat, rekan kerja dan anggota keluarga.
Teror atau ketakutan yang disebarkan oleh HIV/AIDS tidak hanya berhenti di sini. Kemajuan ilmu kedokteran hingga sekarang belum berhasil menemukan obat atau vaksin yang bisa mematikan atau menghentikan penyebaran virus ini. Sekali seseorang dinyatakan HIV positif, orang tersebut tidak bisa menghindari kenyataan yang memilukan itu. Bayang-bayang kematian yang akan datang lebih cepat terus menghantui pasien dan orang-orang terdekatnya.
Kecemasan pasien atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) semakin bertambah ketika menghadapi stigma yang ada di dalam masyarakat. ODHA menghadapi situasi hidup yang sulit. Mereka sendiri sering menghadapi kenyataan tanpa dukungan dari teman dan keluarga. Keadaan ini menimbulkan kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri yang merupakan “contoh kegagalan, ketiadaan harapan dan tragedi dalam kehidupan manusia” (Campbell, 1994: 33). ODHA dalam situasi seperti ini sangat membutuhkan
Sebuah pendampingan terhadap ODHA perlu diusahakan di tengah kenyataan ini. Namun pendampingan yang diharapkan tersebut bukanlah sebuah pendampingan yang biasa. Sebuah pendampingan yang tidak hanya membutuhan kerja keras, dukungan dana dan penemuan baru di bidang ilmu yang terlibat seperti psikologi, antropologi dan kesehatan, tetapi juga dilandasi kasih Allah yang setia mencintai semua manusia tanpa terkecuali. Pendampingan yang dimaksud adalah pendampingan Pastoral.
Kata pendampingan berarti penemanan. Penemanan di sini dimaksudkan agar ’orang yang sedang menderita tidak merasa sendirian dan diringankan beban psikisnya” (Totok Wiryasaputra, 1995: 7). Pendampingan jenis ini memiliki dua fungsi yakni yang pertama adalah yang bersifat penggembalaan seperti menyembuhkan, meneguhkan, mendorong, mendukung sehingga orang yang didampingi semakin berkembang, berani menghadapi pergumulan dan perjuangan hidup. Sedangkan fungsi yang kedua adalah untuk membangkitkan potensi- potensi dalam diri orang yang didampingi, sehingga mempunyai harapan untuk bergerak maju.
Melalui tulisannya, Alastair Campbell merumuskan tujuan dasar pendampingan Pastoral sebagai sebuah usaha membantu orang untuk mengenal kasih. Dengan kasih orang dibantu untuk ”menemukan jalan keluar dari hutan belantara yang telah dibuat mereka ataupun orang lain, sebelum mereka terlambat untuk ditolong” (1994: 12).
Pendampingan Pastoral dengan demikian langsung menyentuh inti sendiri, yakni mengasihi Allah (yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita) dan mengasihi sesama. Dengan kasih, orang dapat keluar dari penderitaan dan mulai merangkul sebuah kehidupan baru dengan semangat baru, bahkan dengan bebas menjumpai kematiannya.
Situasi yang dialami oleh para ODHA dan keluarganya mengingatkan kita akan pergulatan yang dialami oleh para penderita kusta di masa silam. Sebelum ditemukan obat pembunuh bakteri yang menyerang bagian kulit, saraf tepi dan jaringan lain pada manusia ini, penderitanya hidup dalam tekanan, ketiadaan harapan atau putus asa, diskriminasi yang menyakitkan dan bahkan keterasingan dari segala akses kehidupan masyarakat sosial. Banyak dari mereka yang diasingkan di tempat tertentu supaya Mycobacterium Leprae tidak menyerang manusia lain. Pengasingan ini membuat penderita kusta mengakhiri hidupnya dalam penderitaan fisik dan mental yang memilukan.
Santo Damian de Veuster, seorang imam dari Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.), merasa terpanggil untuk mendampingi para penderita kusta tersebut. Beliau menerima dengan sepenuh hati tawaran Bapa Uskup Maigret untuk menempatkan seorang imam Katolik di sebuah tempat pembuangan orang kusta yang ditentukan oleh pemerintahan Kerajaan Hawai, yakni di Pulau Molokai. Gereja, melalui Uskup Maigret merasakan sebuah kebutuhan yang mendalam untuk secara efektif melayani sekitar dua ratus umat Katolik yang ada di tempat pembuangan kusta tersebut (Stewart, 2000: 89).
Santo Damian de Veuster menjalankan sebuah pendampingan Pastoral kepahlawanan telah berani menyerahkan diri sepenuhnya kepada para penderita kusta, agar mereka dapat menerima dan membagikan kasih, memiliki martabat sebagai anak-anak Allah, dan berani merangkul penderitaan dan kematiannya. Santo Damian de Veuster tampil dan merangkul mereka, baik fisik maupun spiritual, dan memampukan mereka untuk berkembang di tengah ketakberdayaan mereka sendiri.
Berdasarkan kisah hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster di atas dan tanpa mengabaikan masing-masing penderitaan yang khas yang dialami oleh penderita kusta dan ODHA, penulis memiliki sebuah pertanyaan yang mendasar: bagaimana semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster terhadap penderita kusta bisa dijadikan inspirasi baru dalam mendampingi ODHA di masa sekarang ini?
Sebagai seorang pendidik iman, penulis hendak membagikan kekayaan yang terkandung dalam semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster kepada pribadi-pribadi yang oleh imannya akan Yesus Kristus merasa terpanggil dan memutuskan untuk mendampingi ODHA. Oleh karena itu, judul skripsi ini adalah: ”Relevansi Semangat Hidup dan Pelayanan Santo Damian de Veuster Bagi Pendampingan Pastoral Penderita HIV/AIDS”.
Judul ini dipilih karena penulis, sebagai seorang pengagum Santo Damian de Veuster, pernah diminta untuk mendampingi seorang penderita HIV/AIDS dan mengalami kesulitan dalam membantu si penderita untuk menemukan kembali semangat hidupnya. Kenyataan ini membuat penulis juga merasa terpanggil untuk terus belajar mendampingi si penderita tersebut dan ODHA yang lain di bawah terang semangat Santo Damian de Veuster.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN 1.
Bagaimana Santo Damian de Veuster menghayati tugas pelayanannya terhadap para penderita kusta di Molokai?
2. Bagaimana pendampingan ODHA pada zaman sekarang dilaksanakan di kota
Yogyakarta? 3. Bagaimana butir-butir semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de
Veuster relevan dengan pendampingan Pastoral ODHA? C.
TUJUAN PENULISAN 1.
Skripsi ini ditulis untuk memperkenalkan kisah hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster dalam melayani penderita kusta di Molokai.
2. Skripsi ini ditulis untuk menghadirkan kenyataan pendampingan pastoral ODHA yang dilaksanakan di kota Yogyakarta sekarang ini.
3. Skripsi ini ditulis untuk memaparkan butir-butir inspirasi semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster yang relevan dengan pendampingan Pastoral ODHA di kota Yogyakarta.
4. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik – Universitas Sanata
D. METODE PENULISAN
Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk menjelaskan relevansi antara butir-butir semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster dan usaha pendampingan Pastoral ODHA di zaman sekarang. Selain berdasarkan sumber-sumber pustaka yang ada, penulis juga mengolah data dengan menggunakan metode observasi partisipatif di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di kota Yogyakarta.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar, penulis akan membagi skripsi ini dalam lima bagian atau bab, yakni:
BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab satu ini, penulis akan menguraikan latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan skripsi ini. BAB II. SANTO DAMIAN DE VEUSTER Bab II menjelaskan semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster. Penulis akan membagi bab ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama
membicarakan mengenai Santo Damian de Veuster dan keluarganya. Bagian kedua akan menjelaskan panggilan hidup Santo Damian de Veuster. Sedangkan bagian ketiga akan menguraikan karya pelayanan Santo Damian de Veuster terhadap penderita kusta di Molokai.
Bab tiga akan menguraikan kenyataan pendampingan ODHA di Yogyakarta baik pendampingan sekuler maupun pendampingan pastoral. Oleh karena itu, bab III ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menggambarkan situasi kehidupan ODHA di Kota Yogyakarta sebagai bagian dari gambaran kehidupan ODHA pada umumnya. Bagian kedua menguraikan Pendampingan Pastoral ODHA. Sedangkan bagian ketiga dari bab ini akan menghadirkan sebuah usulan petunjuk pendampingan pastoral ODHA yang dikembangkan oleh Sean Connolly.
BAB IV. SEMANGAT DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE
VEUSTER DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA Penulis akan menguraikan relevansi atau keterkaitan antara semangat hidup danpelayanan Santo Damian de Veuster dan pendampingan Pastoral ODHA dalam
bab ini. Namun sebelumnya, penulis akan menghadirkan pemikiran yang reflektif mengenai keberadaan HIV/AIDS sendiri di tengah konteks kehidupan beriman Kristiani, agar kita dapat terbebas dari jebakan pemikiran mengenai HIV/AIDS sebagai hukuman atau kutukan Allah.
BAB V. PENUTUP Bagian terakhir dari skripsi ini akan menyajikan kesimpulan yang disertai dengan
saran-saran penulis berdasarkan uraian dan analisa di bagian-bagian tulisan sebelumnya.
BAB II SANTO DAMIAN DE VEUSTER Santo Damian de Veuster bukanlah seorang teolog atau penulis buku
spiritual. Beliau adalah seorang imam yang aktif. Ketika hidupnya, beliau menulis beberapa surat kepada keluarganya di Belgia, kepada pemimpin biaranya di Paris dan kepada Dinas Kesehatan di Honolulu. Dari surat-surat tersebut, kita bisa menemukan kekayaan pemikiran, semangat dan karya Santo Damian de Veuster yang mampu membawa kebahagiaan dan harapan di tengah-tengah kehidupan penderita kusta di Molokai.
Santo Damian de Veuster juga merupakan seorang gembala yang ulung dan inspiratif. Beliau memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk karya penggembalaannya yang kemudian membuat seluruh mata dunia tertuju padanya. Bahkan, hingga sekarang karyanya yang menakjubkan tersebut mampu menginspirasi dunia yang sakit, baik oleh karena penyakit, maupun oleh dosa.
Paus Benediktus XVI (www.stmonica.c om .) dalam homilinya yang disampaikan pada hari orang sakit sedunia yang jatuh pada tanggal 11 Februari 2010 yang lalu menyebutkan secara eksplisit nama Santo Damian de Veuster sebagai salah seorang tokoh yang peduli pada orang sakit:
Dalam Magnificat kita mendengar suara para orang kudus (laki-laki dan perempuan), secara khusus saya teringat akan mereka yang menghabiskan hidupnya di antara orang sakit dan menderita, seperti … Damian de Veuster …. Siapa saja yang melalui waktu yang lama untuk berada dekat dengan orang-orang yang menderita, yang mengenal duka dan air mata, tetapi juga keajaiban akan kebahagiaan, buah cinta.
Tanpa bermaksud untuk menyajikan sebuah data biografi yang lengkap mengenai Santo Damian de Veuster, bab ini hendak menguraikan beberapa bagian penting dari kehidupan beliau yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menguraikan kehidupan Damian de Veuster selama masa muda di tengah keluarganya. Bagian kedua menyajikan kisah panggilan hidup Santo Damian de Veuster. Sedangkan bagian ketiga akan mengisahkan karyanya di tengah-tengah penderita kusta yang terbuang di pulau Molokai.
A. SANTO DAMIAN DE VEUSTER DAN KELUARGANYA
Santo Damian de Veuster dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1840 di Tremelo, sebuah desa kecil di Belgia. Nama aslinya adalah Yosef de Veuster.
Beliau berasal dari sebuah keluarga sederhana golongan menengah ke bawah yang berbahasa Flemish dan dikenal sebagai keluarga yang beriman dan saleh.
Ayahnya bernama Frans de Veuster dan ibunya bernama Anna Wauters. Keluarga besar de Veuster memiliki usaha perdagangan dan perkebunan gandum.
Pasangan Frans dan Anna de Veuster memiliki delapan orang anak, empat putera dan empat puteri. Yosef adalah anak laki-laki termuda dan merupakan anak ketujuh (Eynikel, 1999: 1). Walaupun Anna dikenal sebagai ibu yang mudah marah, tetapi melalui asuhannya, dari delapan bersaudara tersebut, dua putera menjadi biarawan dan dua puteri menjadi biarawati.
Pada saat Yosef de Veuster berusia tiga tahun, kakak perempuan tertuanya, Eugenie, masuk biara Ursulin (Stewart, 2000: 18), tetapi enam tahun setelah itu meninggal dunia karena penyakit tipus. Kakak perempuannya yang lain, Pauline, kemudian memutuskan untuk bergabung di biara yang sama.
Pada bulan Agustus 1853, saudaranya Auguste yang berusia lebih tua dua
1
tahun darinya masuk biara Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.) di Malines (Stewart, 2000: 18). Auguste kemudian memilih nama Pamphile, sesuai dengan nama St. Pamphilus, untuk menjadi nama biaranya, dan selanjutnya beliau dikenal dengan nama Pater Pamphile.
Tidak banyak orang yang tahu mengenai masa kecil Yosef de Veuster. Kisah mengenai masa kecilnya kebanyakan berasal dari catatan pribadi Pater Pamphile, saudaranya. Dari catatan pribadi itu kita bisa mengetahui bahwa pengalaman masa kecil Yosef de Veuster cukup banyak mempengaruhi kualitas hidup dan karyanya di kemudian hari.
Semasa kecilnya, Jef – begitu beliau disapa – sempat tinggal di rumah kakeknya, Hendrik de Veuster bersama dengan dua sepupunya, Henri Vinckx dan Felix de Veuster. Jef melalui saat yang bahagia bersama kakeknya. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama untuk mengelilingi ladang gandum sambil mempelajari beberapa keterampilan berladang dan menunggang kuda. Kakeknya mengajari mereka untuk membedakan tanaman yang beracun dari tanaman yang berkhasiat untuk menyembuhkan sakit. Kakeknya juga mengajari bagaimana
1 Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Hati Suci Maria adalah sebuah Kongregasi
yang didirikan pada tanggal 24 Desember 1800, oleh Pater Pierre Coudrin dan seorang gadis keturunan bangsawan, Henriette Aymer de Chevalerie di Prancis. SS.CC. merupakan singkatan dari kata bahasa Latin, Sacrorum Cordium, yang menggemburkan tanah yang sangat basah sehingga mudah ditumbuhi tanaman yang bermanfaat.
Kebahagiaannya tinggal bersama sang kakek tidak berlangsung lama. Setelah kakeknya meninggal dunia pada bulan Juni 1845 (Eynikel, 1999: 2), Jef kembali ke rumah dan memulai aktivitas seperti sebelumnya, di bawah asuhan ibunya yang dikenal sebagai ibu yang tempramental (mudah marah).
Pada usia sepuluh tahun, Jef menerima Komuni Pertama di gereja Paroki Tremelo. Pada usia yang masih muda itu, Jef sudah mencintai kesunyian dan kontemplasi. Menurut catatan Pater Pamphile yang ditulis kembali oleh Pater Richard Stewart, teman-teman kelasnya memanggil dia dengan sebutan le petit
berger – sang gembala kecil karena pada saat itu ‘dia suka menjelajahi padang
rumput dalam kesunyian bersama teman-teman gembala yang lain dengan kawanan dombanya ... selama berjam-jam’ (2000: 18). Ketertarikannya akan kesunyian dan kontemplasi tidak serta merta membawanya ke depan gerbang biara. Jef harus terlebih dahulu mendapatkan restu dari kedua orang tuanya yang pada saat itu masih berduka dengan kematian kakaknya Eugenie di biara yang menghidupi semangat kemiskinan (Eynikel, 1999: 12).
Setelah menyelesaikan sekolah dasar yang mempelajari beberapa ilmu dasar, Jef melanjutkan masa kecilnya di ladang gandum milik keluarga.
Berdasarkan keterampilan yang diajarkan oleh kakeknya, dia menunjukkan keahlian dan keuletannya dalam bekerja. Hal inilah yang meyakinkan ayahnya, Frans de Veuster, untuk menyekolahkan Jef di sebuah sekolah bisnis. Frans de putera termudanya itu. Frans akhirnya memutuskan untuk mengirim Jef kembali ke bangku sekolah.
Pada tahun 1857, Frans de Veuster mendaftarkan Jef di Cours Moyen College di Braine-le-Comte, sebuah sekolah berasrama di Hainault yang warganya berbahasa Prancis dan kurang bertoleransi dengan orang yang tidak mampu berbahasa Prancis (Stewart, 2000: 20). Melalui sekolah ini Jef diharapkan untuk bisa mempelajari bahasa Prancis yang kemudian akan sangat berguna saat dia melanjutkan studi di sekolah bisnis. Pada saat itu, Jef berusia enam belas tahun.
Hari-hari pertama Jef di tempat yang baru ini adalah hari-hari yang penuh dengan tantangan. Teman-teman kelasnya yang berbahasa Prancis selalu menggoda Jef karena keterbatasannya dalam berbicara dengan bahasa Prancis. Hilde Eynikel menggambarkan situasi awal sekolah Jef sebagai berikut:
Dia duduk di kelas seolah-olah tuli dan bisu dan merasa seperti seorang yang bodoh. Teman kelasnya yang berasal dari daerah tersebut memanggilnya dengan sebutan seorang petani berbahasa Flemish dan menertawai dia karena dia tidak bisa berbahasa Prancis (Eynikel, 1999: 12). Di tengah situasi sulit seperti itu, Jef tetap semangat dalam memaknai semua pelajaran yang diberikan. Dia harus merubah cara menulis huruf dan mengeja setiap kata Bahasa Prancis yang baru. Dia meminta teman kelasnya untuk menyebut semua benda yang dijumpai dan berusaha menghafal setiap kata baru dan menulis kembali setiap kata tersebut selama berjam-jam lamanya, hingga dia menguasainya. Dia melakukan banyak latihan, bahkan sampai di meja makan
(Eynikel, 199:13). Dengan daya ingatannya yang kuat, kerja kerasnya ini akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
B. PANGGILAN HIDUP SANTO DAMIAN DE VEUSTER 1. Pergumulan Awal
Menurut catatan saudaranya, Pater Pamphile, benih panggilan dalam diri Jef sudah ada dan bertumbuh sejak masih kecil. Namun, ada banyak hal yang memaksanya untuk tidak mengungkapkan adanya benih panggilan itu di hadapan keluarga. Bahkan saudaranya tersebut mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh Pater Richard Stewart, Jef pernah “mengabaikan idamannya untuk menjadi seorang imam” (2000:19).
Setidaknya ada dua alasan mengapa Jef sempat mengabaikan idamannya untuk menjadi seorang imam. Pater Richard Stewart mengemukakan alasan pertama yang berasal dari keadaan Jef sendiri pada saat itu. Jef belum pernah belajar Bahasa Latin, Bahasa Prancis dan ilmu Humanistik, yang pada saat itu menjadi syarat bagi seseorang untuk masuk seminari SS.CC.. Sedangkan alasan kedua datang dari kehendak keluarganya sendiri yakni menghendaki Jef untuk meneruskan usaha gandum keluarga. Pada saat yang sama, Joseph Goovaerts – kakeknya, mewariskan kepemilikan perusahaan dan bisnis gandumnya kepada Jef.
Di tengah situasi seperti itu, ayahnya memutuskan Jef untuk kembali bersekolah agar dapat mengelola usaha dagang gandum ayahnya dengan lebih baik di kemudian hari. Keputusan ini memaksa Jef untuk pindah ke lain daerah di Belgia
Di tempat baru inilah Jef de Veuster mendapat kesempatan retret yang diadakan oleh para imam Redemptoris. Dari retret tersebut dia menemukan kembali panggilannya yang sempat ‘diabaikan’. Dia melukiskan panggilan di hatinya sebagai ‘penderitaan jiwa’ yang sulit disembuhkan, dengan mengutip sebuah kalimat yang amat terkenal saat itu: penderitaan jiwa sulit untuk disembuhkan (Eynikel, 1999:13).
Dia merasakan panggilan ini sebagai sebuah kehendak Allah atas dirinya, dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Dia berusaha untuk meyakinkan orangtuanya bahwa keputusannya untuk masuk biara tidak sekedar mengikuti jejak ketiga kakaknya. Inilah saatnya untuk memilih jalan hidup yang harus dia jalani: “saya berharap bahwa inilah saatnya bagi saya … untuk memilih jalan yang saya dambakan untuk dijalani” (Eynikel, 1999:14).
2. Damian de Veuster, Seorang Biarawan Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.)
Jef de Veuster masuk biara Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.) di usia sembilan belas tahun. Pada saat itu, dia hadir sebagai seorang tamu biara. Dia masih mengenakan pakaian pribadinya dan masih dikenal dengan nama ‘Jef’.
Hanya beberapa pekan awal kehadirannya di Novisiat, Caprais Verhaerghe yang adalah pemimpin novisiat saat itu telah berhasil menangkap kualitas hidup membiara yang dijalankan oleh Jef. Jef mampu beradaptasi dengan kehidupan biara yang monoton dan ketat. Jef sanggup bangun lebih awal di pagi hari, tenang tetap bertahan dalam keheningan selama sarapan. Meskipun pelajaran Kitab Suci diberikan dalam ruangan yang kotor dan panas, Jef tidak pernah mengeluh. Dia bahkan memberi perhatian yang penuh terhadap surat para misionaris yang dibacakan selama makan siang berlangsung (Eynikel, 1999:17).
Sebuah langkah pertama yang penting dalam memenuhi idaman hati diambilnya pada tanggal 2 Februari 1859. Pada hari itu Jef mengucapkan tiga kaul kebiaraan untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, Jef mengikatkan dirinya dengan masa percobaan dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.). Beliau mulai dikenal dengan nama Damian Yosep de Veuster (Eynikel, 1999: 18). Ternyata sejak kecil, Damian Yosep de Veuster sangat mengagumi kisah hidup Santo Damian, yang menyerahkan hidupnya untuk melayani orang miskin, bersama saudara kembarnya, Santo Kosmas. Kisah kedua dokter kembar yang kemudian mati sebagai martir itu menyentuh hatinya hingga beliau memilih nama ‘Damian’ sebagai nama biaranya.
Karena Damian de Veuster belum belajar Bahasa Latin, maka beliau diterima sebagai seorang calon bruder di biara SS.CC. di Louvain. Namun keinginan yang besar untuk menjadi seorang imam membuat beliau untuk bersungguh-sungguh belajar bahasa Latin di bawah asuhan saudaranya, Pater Pamphile dan Pater Germain. Usahanya ini berhasil dalam waktu yang relatif cepat dan kemudian beliau diterima sebagai seorang calon imam.
Setelah mengucapkan kaul kekal pada tanggal 7 Oktober 1860 di Paris – Prancis, di mana rumah induk biara berada, beliau kembali lagi ke Louvain untuk bersemangat dalam mempelajari sesuatu, padahal saudaranya Pamphile-lah yang terkenal di keluarga sebagai putera yang memiliki keunggulan itu.
Damian sangat menikmati kehidupan di biara. Beliau bahagia dan terlihat sering tertawa dan bercanda. Beliau juga sangat menikmati kehidupan doa, adorasi dan keheningan. Tidak jarang beliau menempati ‘posisi kedua’ pada saat makan, di mana makanan mulai terlihat berkurang. Beliau bahkan sering membagikan jatah makanannya untuk saudara yang lain. Beliau juga sering melakukan penyangkalan diri dan memilih cara hidup yang susah seperti tidur di atas lantai tanpa alas tidur dan menghabiskan banyak waktu tidurnya untuk berdoa (Eynikel, 1999: 23).
3. Damian de Veuster, Seorang Misionaris
Tiga tahun setelah Damian de Veuster mengucapkan kaul kekal, tepatnya tanggal 28 Februari 1863, saudaranya Pamphile ditahbiskan menjadi imam (Stewart, 2000:31). Perayaan pentahbisan tidak hanya menjadi perayaan biara, tetapi juga merupakan perayaan keluarga besar de Veuster. Hilde Aynikel, penulis buku Molokai, The Story of Father Damien yang menjadi sumber pembuatan film dengan judul yang sama, mencatat bahwa pada saat itulah, Damian de Veuster mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah keluarganya di Tremelo untuk merayakan pesta pentahbisan tersebut. (1999:24)
Sebagai seorang imam muda, tugas misi pertama yang diberikan kepada Pater Pamphile adalah menjadi salah seorang misionaris yang akan dikirim ke Hawai (Stewart, 2000:32). Pater Pamphile akan menjalankan misi Kongregasi di daerah tersebut bersama dengan lima belas imam Kongregasi SS.CC. sesuai dengan permintaan Uskup Louis Desire Maigret, pemimpin Kevikepan Kepulauan Hawai.
Pater Pamphile secara diam-diam mengungkapkan isi hatinya terhadap tugas baru tersebut kepada Damian de Veuster. Pater Pamphile mengungkapkan bahwa dia akan menerima tantangan itu tetapi tidak dengan semangat yang tinggi. Baginya, hidup di daerah asing yang terpencil seperti itu akan terasa sangat sulit dan penuh dengan tantangan. Bukan sekedar persoalan meninggalkan rumah, kampung halaman atau orang-orang yang dicintai, tetapi hidup di daerah yang jauh dan terpencil menuntut seseorang untuk beradaptasi dengan cara hidup dan makanan masyarakat lokalnya.
Di tengah kecemasan itu, Pater Pamphile akhirnya jatuh sakit. Wabah tipus kembali melanda kota Louvain. Pater Pamphile adalah salah satu korbannya.
Stamina imam muda tersebut menjadi lemah dan demam memaksa dia untuk tetap berada di tempat tidur. Dia sering menderita sakit kepala dan otot-otot tubuhnya pun terasa sakit.
Damian de Veuster menghabiskan banyak waktu luangnya untuk merawat kakaknya dan berdoa mohon kesembuhannya. Bagaimana pun juga, rasa duka yang meliputi keluarga atas meninggalnya Eugene oleh karena wabah yang sama menghantui kedua saudara tersebut.
Dalam keadaan seperti itu, Pater Pamphile tidak bisa lagi terhitung dalam menghapus namanya dari daftar nama misionaris yang akan berlayar ke kepulauan Sandwich pada bulan Oktober tahun itu. Sebagai gantinya, pimpinan biara menawarkan posisi yang kosong tersebut kepada anggota biara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi imam.
Tawaran ini kemudian sampai di telinga Damian de Veuster. Seperti saudaranya Pauline yang menggantikan posisi Eugene, Damian de Veuster langsung menulis surat kepada pemimpin biara di Paris untuk menyatakan kesediaannnya menggantikan posisi saudaranya, Pater Pamphile yang sedang menderita sakit.
Pemimpin biara di Louvain – tempat tinggal Damian dan Pater Pamphile saat itu, Pater Wenceslas, memiliki pandangan yang berbeda. Menurut beliau, “Allah menghendaki imam-imam yang berkualitas atau misionaris yang sudah terlatih dan yang sudah dithabiskan. Tantangan di tanah misi tidak bisa diabaikan begitu saja, tetapi harus ditaklukan oleh missionaris yang bermutu” (Stewart, 2000: 36). Secara tidak langsung, Pater Wenceslas tidak mengizinkan frater atau bruder yang sedang menjalankan studinya untuk berangkat ke tanah misi.
Meskipun demikian, pemimpin umum biara di Paris menerima kesediaan Damian de Veuster dan mengizinkan beliau untuk ikut dalam kelompok misi ke kepulauan Sandwich. Di hadapan Pater Pamphile, surat izin itu ditanggapi Damian de Veuster dengan semangat: “Yes! Yes, I am to go instead of you! I am to go instead of you!” (Stewart, 2000: 36).
Kehadiran surat dari París itu sekaligus menyatakan kepada Damian de rekan-rekannya di Louvain. Semua orang turut berbangga karena pada zaman itu, khususnya di desa kecil Tremelo, jarang sekali seorang imam dikirim ke tempat- tempat yang jauh dan terpencil.