Relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam tugas pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada masa kini bagi kaum difabel.

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.

Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.

Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.

Dalam skripsi ini ditawarkan suatu bentuk penyegaran kembali panggilan sebagai penganut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel sehingga di masa yang akan datang, para SFD mengalami perjumpaan dengan Tuhannya dalam diri orang yang terpinggirkan dalam masyarakat.


(2)

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.

The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.

Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.

This undergraduate thesis offers some refreshment of vocation as adherents of minority spirit of St. Francis of Assisi in the serving disabled people so that in the future the SFD will have an encounter with God in society.


(3)

RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA

(SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Susiati NIM: 111124042 PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Santo Fransiskus Assisi, Muder Constansia van Der Linden dan Persaudaraan Kongregasi Suster Fransiskus Dina dan siapa saja yang telah

mendukung saya dengan cara dan bentuknya masing-masing


(7)

v MOTTO

Deus est Fidelitas, Allah adalah Setia”.

Benarlah perkataan ini: "Jika kita mati dengan Dia, kita pun akan hidup dengan Dia; jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita; jika kita tidak setia, Dia tetap

setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya. (2 Tim 2:11-13)


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL. Penulis memilih judul ini bertolak dari kesan pribadi akan para suster SFD yang berkarya melayani Anak-anak Berkebutuhan Khusus (difabel) yang tampak begitu setia menghidupi semangat kongregasi seturut teladan Santo Fransiskus Assisi dan para pendiri. Karya tersebut merupakan salah satu usaha untuk menghidupi semangat kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Mereka yang menyandang nama sebagai seorang SFD harus sungguh-sungguh tampil dan hadir dalam karya perutusan dengan membawa nama tersebut.

Para suster SFD bercermin dari hidup Santo Fransiskus Assisi dan semangat kedinaan yang menjadi pilihan utama dalam hidupnya. Hal ini pulalah yang menjadi warisan agung bagi para pengikutnya terutama kongregasi SFD.

Bertitik tolak dari alasan di atas, skripsi ini dimaksudkan untuk menyadarkan kembali semangat hidup kedinaan para suster SFD dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel. Juga untuk memperkaya serta mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut. Selain itu juga untuk membantu menghayati semangat kedinaan sebagai SFD yang menyandang nama sebagai orang ‘Dina’ dalam pengabdian terhadap kaum difabel, maka dalam skripsi ini akan dibahas siapakah kaum difabel itu dan apa arti kedinaan berhadapan dengan kaum difabel dengan menggunakan kajian pustaka metode deskriptif, dan untuk memperkaya relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis akan melengkapi dengan life story. Penulis mempelajari dan mendalami buku-buku spiritualitas kongregasi dan buku-buku sumber lain yang relevan guna memperkaya dan mendalami gagasan refleksi rohani.

Dalam skripsi ini ditawarkan suatu bentuk penyegaran kembali panggilan sebagai penganut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan terhadap kaum difabel sehingga di masa yang akan datang, para SFD mengalami perjumpaan dengan Tuhannya dalam diri orang yang terpinggirkan dalam masyarakat.


(11)

ix ABSTRACT

This undergraduate thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT OF POVERTY OF SAINT FRANCIS ASSISI FOR THE SERVICE OF THE SISTERS OF MINOR FRANCIS (SFD) AT PRESENT FOR DISABLED PEOPLE. The author started from the personal impression of the work of the sisters of SFD to serve children with special needs (disabilities) who seemed so faithful to live the spirit of the congregation according to the example of Saint Francis of Assisi and the founders. This work is an effort to enlive the spirit of minority according to the spirit of St. Francis of Assisi. Those who bear the name of SFD should earnestly perform and present in the work of the mission to carry its name.

The sisters of SFD reflect the life of St. Francis of Assisi and the spirit of minority which is the main choice in their lives. This is precisely the great legacy for his followers, mainly the congregation of SFD.

Based on the above reasons, this undergraduate thesis is intended to revive the spirit of minority of the Sisters of SFD to serve the disabled, and to enrich and to realize the relevance of the minority spirit. In addition, to help the spirit of minority as SFD which bears the name as 'Minority' in loyalty to the disabled, this paper will discuss who the disabled was and what it meant by minority dealing with disabled people using literature review descriptive methods, and to ensure the relevance of the spirit of minority, the author will equip life story. The author studies and explores the spirituality of the congregation books and books from other relevant sources in order to enrich and to deepen the idea of spiritual reflection.

This undergraduate thesis offers some refreshment of vocation as adherents of minority spirit of St. Francis of Assisi in the serving disabled people so that in the future the SFD will have an encounter with God in society.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan setia, karena segala rahmat dan kasih setia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM TUGAS PELAYANAN PARA SUSTER FRANSISKUS DINA (SFD) PADA MASA KINI BAGI KAUM DIFABEL.

Skripsi ini merupakan karya ilmiah dan sumbangan terhadap para pembaca, secara khusus para suster Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) dan sekaligus untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan di FKIP-JIP-Prodi PAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar karena dukungan dan kebaikan dari banyak orang sehingga memampukan penulis untuk tetap semangat meskipun menghadapi banyak tantangan dan kesulitan. Penulis sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya, kemudahan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktu yang tepat. Secara khusus terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku Kaprodi PAK Universitas Sanata Dharma, yang telah berkenan membimbing dan mendukung penulis selama kuliah di kampus PAK-USD.

Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., sebagai pembimbing utama dalam skripsi ini yang penuh kesabaran, kerelaan meluangkan waktu, kemudahan dalam


(13)

xi

mendampingi, dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai.

3. Drs. M. Sumarno Ds. S.J, M.A., sebagai dosen penguji II sekaligus dosen pembimbing akademik yang memberi semangat, keramahan, masukan dan dukungan serta kelancaran baik selama kuliah berlangsung dan secara khusus dalam penyusunan skripsi ini.

4. Drs. L. Bambang Hendarto Y. M. Hum., sebagai dosen penguji III yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan serta dukungan kepada penulis.

5. Para dosen dan staf karyawan Prodi PAK, yang telah membimbing dan memberi dukungan selama penulis kuliah di kampus PAK Sanata Dharma Yogyakarta.

6. Ministra Umum Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) Sr. Imelda Tampubolon, SFD, staf dewan ministra dan seluruh anggota Suster Fransiskus Dina di mana pun berada yang telah memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis untuk menjalani studi di PAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Ministra Komunitas Fonte Colombo Jl. Rajawali 3A, Sr. Patrisia Bangun, SFD dan para saudari sekomunitas serta semua suster yang pernah tinggal bersama dengan penulis selama menjalani studi di PAK Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Teman-teman seperjuangan selama kuliah, angkatan 2011/2012 yang telah memberi dukungan, semangat, kegembiraan dan kebersamaan yang


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penulisan ... 7

D.Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA………... ... 10

A.Hidup Fransiskus Assisi ... 10

1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus ... 10

2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus ... 12

a. Situasi Politik... 12

b. Situasi Ekonomi... 14

c. Situasi Gereja... 14

3. Panggilan Fransiskus……… .... 15


(16)

xiv

a. Pengertian Kedinaan………… ... 17

b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo………. .... 19

c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan………... 20

B.Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus.. ... 23

1. Perjumpaan dengan Orang Kusta ... 25

2. Peristiwa Kapel San Damiano ... 25

3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa ... 26

C.Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi dan Injil Sumber Hidup Fransiskus ... 26

1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi……….. ... 26

2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi……… ... 27

D.Kedinaan Santo Fransiskus dan Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan ... 28

1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya……… ... 28

a. Kedinaan Santo Fransiskus………... 29

b. Kedinaan Para Saudaranya ... 31

2. Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan……… ... 33

a. Penciptaan………... 33

b. Penjelmaan………. ... 33

c. Yesus dikandung dalam Rahim Maria………... ... 34

d. Kelahiran Yesus dari Perawan Maria………. ... 34

e. Pengungsian Keluarga Kudus ke Mesir……….. ... 34

f. Penderitaan dan Wafat Yesus di Salib………... 35

g. Kerendahan Allah dalam Ekaristi………. ... 36

BAB III. KARYA PELAYANAN DALAM KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA SETURUT TELADAN SANTO FRANSISKUS ASSISI ... 37

A. Sekilas tentang Kongregasi Suster Fransiskus Dina ... 37

1. Sejarah Kongregasi SFD ... 37

2. Sejarah Lahirnya SFD Indonesia ... 39


(17)

xv

a. Semangat Cinta Kasih………. ... 41

b. Kesederhanaan Kristiani yang Sejati……….. ... 42

c. Semangat Rajin dan Giat……… ... 43

d. Sikap Lepas Bebas………. ... 45

e. Semangat Doa………. ... 46

4. Visi dan Misi Kongregasi SFD ... 48

B.Karya Pelayanan dan Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD ... 51

1. Pengertian Pelayanan ... 51

2. Pelayanan dalam Gereja ... 52

3. Pelayanan sebagai Fransiskan ... 54

4. Corak Hidup Kongregasi SFD………. ... 56

5. Macam-macam Karya Pelayanan SFD di Masa Sekarang….. ... 57

a. Karya Pelayanan di Bidang Pendidikan………. ... 58

b. Karya Pelayanan di Bidang Kesehatan………... 59

c. Karya Pelayanan di Bidang Sosial……….. ... 60

d. Karya Pelayanan di Bidang Pastoral……… .... 62

6. Nilai-nilai Rohani dalam Karya Kongregasi SFD………... 63

a. Huruf S, adalah Semangat……… .... 65

b. Huruf F, adalah Fraternitas……….. ... 66

c. Huruf D, adalah Dina……….. ... 67

C. Kaum Difabel pada Masa Kini dalam Karya Pelayanan SFD…… ... 68

1. Definisi ... 68

2. Klasifikasi Difabel………... 69

a. Tunanetra………. ... 69

b. Tunarungu………... 69

c. Tunagrahita……….. ... 70

3. Sejarah Karya Pelayanan bagi Kaum Difabel dalam Kongregasi SFD………. ... 71

4. Visi dan Misi Karya SFD bagi Kaum Difabel……… .. 72


(18)

xvi

BAB IV. RELEVANSI SEMANGAT KEDINAAN SANTO FRANSISKUS ASSISI DALAM PELAYANAN KONGREGASI SUSTER FRANSISKUS DINA

BAGI KAUM DIFABEL……….. 75

A. Difabilitas sebagai Medan Pelayanan Kongregasi SFD ... 76

B. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Insprasi dalam Pelayanan .... 80

1. Semangat Kedinaan sebagai Sumber Inspirasi dalam Pelayanan………. ... 80

2. Semangat Kedinaan sebagai Dasar Pelayanan bagi Kaum Difabel……… 84

C. Semangat Kedinaan sebagai Tujuan dan Model Pelayanan bagi Kaum Difabel ... 86

1. Suara Salib San Damiano adalah Suara orang Difabel Pada Masa Ini……….. 87

2. Difabel sebagai Saudara yang Dina………. 89

D. Buah-buah Penghayatan Kedinaan dalam Karya Pelayanan SFD bagi Kaum Difabel ... 90

E. Usaha Meningkatkan Pelayanan dalam Tugas Perutusan………. 91

F. Life Story Suster SFD yang Melayani Kaum Difabel……… 92

G. Usulan Program Rekoleksi……… 98

1. Latar Belakang Program………. 98

2. Alasan Pemilihan Program………. 99

3. Tujuan Program………... 100

4. Rumusan Tema dan Tujuan………. 101

5. Matriks Program Rekoleksi Bagi Para SFD……… 103

6. Persiapan Rekoleksi………. 106

BAB V. PENUTUP………... 119

A. Kesimpilan……… 119

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122 LAMPIRAN


(19)

xvii

Lampiran 1: Life Story 1 Suster SFD ... (1)

Lampran 2: Life Story 2 Suster SFD... (3)

Lampran 3: Life Story 3 Suster SFD... (4)

Lampran 4: Lirik Lagu……… (6)


(20)

xviii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia ditambah dengan Kitab-kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia, 2009.

Flp : Filipi Gal : Galatia Kej : Kejadian

Kis : Kisah Para Rasul 1 Kor : 1 Korintus 2 Kor : 2 Korintus Luk : Lukas Mat : Matius Mrk : Markus Mzm : Mazmur Rm : Roma Yoh : Yohanes 1 Yoh : 1 Yohanes


(21)

xix B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

Deus Caritas Est : Allah adalah Kasih, Ensiklik Paus Benediktus XVI, 25 Desember 2005

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965. LG : Lumen Gentium, Konsili Dogmatik Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964.

C. Singkatan Dokumen St. Fransiskus AD : Anggaran Dasar

AD III : Anggaran Dasar Ordo ketiga

AngBul : Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla AngTBul : Anggaran Dasar Tanpa Bulla

Cel : Celano (Thomas dari Celano) Fsl : Fasal

IbSeng : Ibadat Sengsara K3S : Kisah Tiga Sahabat LM : Legenda Mayor

OFM : Ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara Dina) Pth : Petuah Santo Fransiskus

SalKeut : Salam Kepada Keutamaan SurBerim : Surat Kepada Orang Beriman


(22)

xx SurOr : Surat Kepada Seluruh Ordo Was : Wasiat Santo Fransiskus

D. Singkatan Lain:

ABK : Anak Berkebutuhan Khusus

ADHD : Attention Deficit and Hyperactivity Disorder Art : Artikel

BKIA : Balai Kesehatan Ibu dan Anak

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jl : Jalan

Kap : Kapitel Konst : Konstitusi

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia

KLMTD : Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas, dan Difabel KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

LPJ. DPU : Laporan Pertanggung Jawaban Dewan Pimpinan Umum MTB : Maria Tak Bernoda

MYY : Muder Yohana Yesus

P : Pastor

PAK : Pendidikan Agama Katolik PK : Pedoman Karya

Pusdatin : Pusat Data dan Informasi


(23)

xxi SLB-C : Sekolah Luar Biasa Kategori C SPP : Sejarah Para Pendahulu

Sr : Suster St : Santo/a Thn : Tahun


(24)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan

Salah satu karya perutusan yang khas dari para Suster Fransiskus Dina (SFD) di Indonesia adalah pelayanan dan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau kaum difabel. Wujud karya tersebut berupa Sekolah Luar Biasa Kategori C (SLB-C) yang secara khusus mendidik anak-anak cacat mental. SLB-C Karya Tulus yang sekaligus berasrama di Namopecawir, Medan, yang telah berdiri sejak tanggal 17 Juli 1987 menjadi salah satu contoh kesetiaan para suster SFD menghidupi spiritualitas kongregasi seturut semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Dalam Anggaran Dasar Ordo Ketiga (AD III) Santo Fransiskus Assisi mengamanatkan agar dalam Persekutuan Dina cinta kasih diwujudkan dengan menjadi yang paling dina dalam hidup dengan sesama sehingga ada tempat bagi orang sakit, orang cacat dan orang berdosa (AD III, No.19).

Karya pelayanan bagi penderita keterbelakangan mental seperti SLB-C Karya Tulus tersebut mengusung visi, “Komunitas kasih persaudaraan yang melayani orang kecil dan lemah seturut teladan Bapa yang mencintai dan meninggikan setiap orang yang dicintai-Nya” (LPJ. DPU, 2015, No.93). Visi tersebut dikonkritkan dalam misi; 1) Siap sedia melayani mereka yang mengalami keterbelakangan mental, yang dijiwai dengan semangat perayaan Ekaristi, doa bersama, pribadi dan semangat berkorban yang tinggi; 2) Menciptakan komunitas yang bahagia, dengan bekerja sama dan saling pengertian, serta jujur dan tulus; 3)


(25)

Membangun sikap tanggung jawab dalam tugas pelayanan untuk nama baik karya dan komunitas.

Sekalipun usia karya pelayanan bagi kaum difabel tersebut telah begitu lama dan visi-misi karyanya tersusun rapi namun pelaksanaan pelayanan oleh para anggota SFD tidak dapat dikatakan berjalan mulus apalagi mudah. Selain hal material dan manajerial, salah satu tantangan bahkan hambatan yang menghadang gerak laju karya pelayanan ini adalah tantangan spiritual atau motivasi, keyakinan atau semangat cinta kasih dari para pelayannya khususnya para anggota SFD yang berkarya di bidang tersebut. Selain kemampuan, keahlian dan keterampilan menghadapi anak dengan keterbelakangan mental, para suster SFD pun dituntut memiliki penghayatan spiritualitas kedinaan Fransiskus yang kuat dan selalu diperbarui dengan berbagai kegiatan rohani dan akademis. Dengan kata lain, bagi seorang suster SFD yang terpanggil untuk berkarya bagi kaum difabel, terdapat pergulatan batin atau mental yang istimewa (khusus) untuk dapat benar-benar menjiwai, berdaya tahan dan mengembangkan karya pelayanan tersebut sesuai amanat perutusan Gereja melalui kongregasinya.

Tak mudahnya pergulatan spiritual para suster SFD tersebut semakin dapat dibayangkan jika melihat situasi dan mentalitas masyarakat dunia zaman ini yang begitu mengagungkan kemudahan, kenginan “instan” alias mendapatkan hasil sebanyak dan secepat mungkin tanpa usaha, kenikmatan, keindahan dan kesempurnaan fisik serta hasrat kekuasaan, kekayaan dan ketenaran dibandingkan nilai-nilai rohani-keagamaan, kesederhanaan, asketisme, keugaharian dan keluhuran budi pekerti lainnya. Perkembangan mentalitas, ilmu pengetahuan dan


(26)

teknologi mutakhir di satu sisi memang memberi suatu sumbangan yang sangat positif, di mana orang dapat melakukan segala sesuatunya dengan lebih mudah dan cepat. Tetapi di sisi lain juga terdapat dampak negatifnya; di mana manusia jatuh pada keinginan serba instan dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan atau menyenangkan bagi dirinya, tanpa peduli pada orang lain.

Singkatnya, zaman ini ditandai dengan keinginan untuk menjadi lebih unggul dari yang lain dan untuk mendapatkannya ditempuh dengan menghalalkan segala cara. Dunia saat ini menawarkan serba kemudahan dalam hidup hingga tak jarang disertai dengan cara-cara untuk menyingkirkan sesama tanpa adanya belas kasihan. Manusia yang rakus akan harta dan kuasa. Maka pada zaman ini kita sering dan mudah melihat sikap tak terpuji di mana orang menuntut banyak hal demi kesenangannya tetapi tidak mau menerima suatu tugas tertentu yang mungkin sulit dan berat baginya. Ketulusan memberi, keiklasan berkorban, rela dan bertanggung jawab tanpa pamrih dalam karya menjadi pemandangan yang semakin langka. Begitu pula dengan semangat melayani sesama yang menderita dan penuh dengan persoalan hidup. Cinta kasih, rasa simpati dan empati atau sikap bela rasa menjadi semakin mengering dari manusia zaman ini.

Kecenderungan mentalitas masyarakat modern sebagaimana tergambar di atas tentu berdampak sangat kuat bagi kaum difabel. Menurut Diono (2014: 20), hingga saat ini, sejumlah hal yang berkaitan dengan mental masyarakat bahkan termasuk keluarga penyandang disabilitas masih menjadi permasalahan eksternal yang membelenggu usaha menghargai kaum difabel dalam berbagai aspek


(27)

kehidupan. Contoh permasalahan eksternal tersebut antara lain rendahnya pemahaman masyarakat tentang disabilitas, dan stigma bahwa disabilitas adalah bagian dari kutukan atau nasib yang membuat keluarga cenderung menyembunyikan kondisi anggotanya yang difabel dan masyarakat tidak memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Secara konkrit, dengan mengelola data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial Tahun 2012, Adi Prasetyo (2014:34-35) menyimpulkan bahwa di Indonesia, akses kaum difabel pada dunia pendidikan yang berkualitas masih sangat rendah di mana dari sejumlah 1.389.519 orang dengan disabilitas, terdapat 838.343 orang tidak sekolah, dan semakin tinggi jenjang sekolah, semakin rendah pula partisipasi kaum difabel. Akibatnya, partisipasi kaum difabel pada pekerjaan yang layak pun masih sangat rendah. Kaum difabel pun semakin terjerat dalam kemiskinan dan terkucil dari kehidupan. Kondisi dan mentalitas masyarakat masa kini yang belum ramah pada kaum difabel tersebut menjadi kondisi dan pengalaman yang dihadapi para suster SFD yang berkarya bagi kaum difabel dalam lembaga-lembaga karya SFD. Pergulatan batin untuk mengasah spiritulitas para SFD tersebut kian perlu direfleksikan jika mengingat pesan, ajaran dan teladan Yesus Kristus yang memanggil Santo Fransiskus Assisi dan para suster SFD untuk menjadi pelayan-Nya melalui karya-karya cinta kasih (LPJ. DPU, 2015, No. 94). Alkitab dengan jelas menggambarkan apa yang dilakukan Yesus, bahwa Kristus Yesus walau dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri, dan mengambil rupa


(28)

seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia merendahkan diri-Nya, taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Flp 2:5-8).

Dalam Petuah Santo Fransiskus Assisi (Pth), kelahiran Kristus di dalam palungan merupakan ungkapan tertinggi dari pengosongan diri Sang Putra Allah. “Lihatlah, setiap hari Ia merendahkan diri, seperti tatkala Ia turun dari tahta kerajaan ke dalam Rahim Perawan, setiap hari Ia turun dari pangkuan Bapa ke atas Altar di dalam tangan imam” (Pth, 1:16-17). Pengalaman Santo Fransiskus Assisi akan Allah yang Maha kuasa, Maha tinggi, Maha mulia, Maha tahu itu sudi turun dari tahta Kerajaan-Nya dengan menempuh jalan perendahan diri Yesus Kristus, inilah yang membuat Santo Fransiskus Assisi semakin menyadari akan panggilan hidupnya untuk bersatu dalam perendahan diri yang nyata bagi dunia.

Sementara itu, dalam Wasiat Santo Fransiskus (Was), Ia mengalami dan memberi kesaksian tentang penghampaan diri dengan memilih orang-orang kecil, hina dan papa, memeluk orang kusta dan terbuang. Bagi Santo Fransiskus Assisi menjadi gambar yang mengagumkan tentang pertemuan dengan Yesus Kristus yang tersalib. Tetapi untuk menjalankan itu semua tidaklah mudah untuknya. Ia berkata, “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta, tetapi Tuhan menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka dengan penuh kasih” (Was 1-2). Santo Fransiskus Assisi memasuki jalan perendahan hati dengan pertemuan yang mesra ini. Dia mengalahkan dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga para pengikutnya, mampu memahami pernyataannya: “Apa yang tadinya terasa memuakkan berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan”


(29)

(Was 3). Rendah atau dina di hadapan Allah bukan berarti “lembek”. Orang-orang lembek ini adalah mereka yang mengakui ketergantungan mereka pada Allah dan tidak memperlakukan orang lain secara angkuh sombong. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki disposisi batin “kedinaan” atau “kerendahan hati” di hadapan Allah. Seseorang yang sungguh rendah hati (dina) mengakui kenyataan bahwa dia menerima segalanya yang baik dari Allah dan membagikannya kepada sesama.

Dengan teladan Yesus dengan dan melalui hidup, karya dan ajaran-Nya untuk mengasihi sesama yang diterjemahkan Santo Fransiskus Assisi dalam semangat Kedinaan itulah yang menjadi spiritualitas hidup dan karya para suster SFD termasuk dalam karya pelayanan bagi kaum difabel. Namun dalam konteks kondisi sosial dan mentalitas masyarakat masa kini pada umumnya dan mentalitas serta cara pandang terhadap kaum difabel khususnya juga dialami dan dihadapi oleh para SFD yang berkarya melayani kaum difabel. Untuk itu, tampak jelas bahwa diperlukan refleksi yang mendalam dan sistematis untuk terus-menerus mengaktualisasikan semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam hidup dan karya pelayanan para SFD bagi kaum difabel pada masa kini. Karena itu, didorong oleh realitas dan pemikiran sebagaimana terurai di atas, penulis memilih topik Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum Difabel. Menurut hemat penulis, pendalaman topik ini dapat menjawab kebutuhan mengaktualisasikan semangat kedinaan, menginspirasi dan menguatkan panggilan para suster SFD khususnya dalam karya pelayanan bagi kaum difabel.


(30)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, sehubungan dengan semangat kedinaan dalam pelayanan kongregasi SFD di masa sekarang ini, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dipahami, dimengerti dan dihayati oleh para Suster Fransiskus Dina (SFD) dalam menjalani panggilan mereka?

2. Sejauh mana semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi menjadi inspirasi dan motivasi bagi para suster Fransiskus Dina (SFD dalam karya pelayanan masa kini khususnya bagi kaum difabel?

3. Hal-hal mana yang perlu diperhatikan oleh para suster Fransiskus Dina (SFD) dalam mengaktualisasikan semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi bagi karya pelayanan masa kini khususnya bagi kaum difabel?

C. Tujuan Penulisan

1. Menggali, mengetahui dan menggambarkan semangat kedinaan yang diteladankan oleh Santo Fransiskus Assisi sebagaimana dipahami dan dihayati para suster SFD dalam menjalani panggilan mereka.

2. Menggali, memahami dan menggambarkan spiritualitas para suster SFD yang bersumber pada teladan semangat kedinaan Santo Fransikus Assisi dalam karya pelayanan bagi kaum difabel.


(31)

3. Merefleksikan dan memberikan sumbangan pemikiran akademis tentang relevansi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan masa kini para SFD bagi kaum difabel.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui secara mendalam dan memahami semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi sebagaimana yang dihayati dan dihidupi para suster SFD dalam karya pelayanan.

2. Memberikan sebuah perspektif baru pada cakrawala spiritualitas semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam pelayanan kongregasi SFD khususnya karya pelayanan SFD bagi kaum difabel.

3. Mendapatkan inspirasi, mengobarkan dan meneguhkan semangat penulis dan segenap anggota kongregasi SFD yang memiliki karya pelayanan bagi kaum difabel serta semua orang berkehendak baik lainnya yang melakukan karya sosial membantu kaum difabel.

E. Metode Penulisan

Metode utama penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang menggambarkan data-data yang diperoleh melalui studi pustaka. Penulis juga menggunakan metode reflektif untuk merefleksikan gagasan-gagasan tentang semangat kedinaan yang diperoleh dari studi pustaka untuk memperoleh gagasan relevansinya terhadap pelayanan suster SFD bagi kaum difabel. Untuk


(32)

memperkaya dan mengonkritkan relevansi semangat kedinaan tersebut, penulis juga akan melengkapi dengan metode life story berupa wawancara beberapa suster SFD yang sedang dan pernah bekerja pada karya SFD bagi kaum difabel.

F. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah: Relevansi Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam Tugas Pelayanan para Suster Fransiskus Dina (SFD) pada Masa Kini bagi Kaum Difabel.

Secara garis besar, skripsi ini dibagi ke dalam lima bab yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:

Bab I adalah pendahuluan; terdiri dari latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang Semangat kedinaan menurut Santo Fransiskus Assisi. Pembahasan dimulai dari riwayat hidup Santo Fransiskus Assisi dan situasi sosial yang memengaruhinya, Dasar Biblis Kedinaan, Pengalaman kedinaan, Kerendahan Hati Fransiskus, Allah Sumber hidup Fransiskus, Kedinaan Fransiskus dan Para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Spiritualitas Fransiskan.

Bab III membahas spiritualitas kongregasi SFD yang bersumber pada semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi. Uraian bab ini mencakup sejarah Kongregasi, semangat dan visi-misi Kongregasi, karya pelayanan SFD dan nilai-nilainya, profil pelayanan bagi kaum difabel dan penerapan semangat kedinaan


(33)

dalam karya dengan menampilkan hasil wawancara dari beberapa suster yang pernah dan yang sedang bekerja bagi kaum difabel dengan metode life story.

Bab IV merupakan sebuah refleksi semangat kedinaan Santo Fransiskus Assisi dalam karya pelayanan para SFD di zaman sekarang khususnya karya pelayanan bagi kaum difabel. Di dalamnya akan dimuat tentang difabilitas sebagai bagian dari medan pelayanan kongregasi SFD, semangat kedinaan sebagai sumber inspirasi dan dasar pelayanan bagi kaum difabel, semangat kedinaan sebagai tujuan dan model pelayanan bagi kaum difabel, buah-buah penghayatan kedinaan, dan usaha untuk meningkatkan pelayanan dalam tugas perutusan.

Bab V merupakan penutup: dalam bab ini penulis ingin menegaskan kembali isi pokok atau kesimpulan dan beberapa saran guna membantu para SFD dalam tugas pelayanan pada masa kini bagi kaum difabel.


(34)

BAB II

HIDUP SANTO FRANSISKUS ASSISI DAN SEMANGAT KEDINAANNYA

Pada bab sebelumnya penulis telah berbicara tentang latar belakang penulisan skripsi yang menjadi acuan dari bab berikutnya. Pada bab II ini, penulis akan menguraikan hidup Santo Fransiskus dari Assisi dan semangat kedinaannya. Pembahasan dimulai dengan situasi masyarakat dan Gereja yang memengaruhinya sampai Fransiskus dari Assisi mengambil jalan kedinaan sebagai bagian inti dari semangat hidup para pengikutnya.

A. Hidup Fransiskus Assisi

1. Kelahiran Fransiskus dan Masa Muda Fransiskus

Sesudah dua tahun wafat, penulis riwayat hidup Fransiskus yang bernama Thomas dari Celano menulis di sebuah kertas kulit pernyataan berikut: “Di kota Assisi hidup seorang yang bernama Fransiskus yang semenjak kecilnya dididik orangtuanya dalam kemewahan sia-sia”. Daerah Assisi yang dimaksud, tepatnya di lembah Spoleto (Italia) pada akhir tahun 1181 atau permulaan tahun 1182 lahirlah Fransiskus Asisi. Ayahnya bernama Pietro Bernardone, seorang pedagang kain wol dan cukup kaya. Ibunya Donna Pica, berasal dari keluarga Perancis dan terkemuka (Groenen, 1970: 149). Mula-mula oleh ibunya ia diberi nama Yohanes. Ketika ayahnya kembali dari Negeri Prancis ia diberi nama Fransiskus.


(35)

Sebagaimana lazimnya pada zaman itu, Fransiskus bersekolah pada seorang imam yang bekerja di Gereja Santo Georgio di Assisi. Di sana Fransiskus belajar membaca, menulis, menghitung dan sedikit belajar bahasa Latin. Pada usia dewasa ayahnya meminta Fransiskus untuk ikut berdagang kain wol ke Perancis. Selama bersama dengan ayahnya, Fransiskus tidak mempunyai bakat sebagai pedagang. Apalagi watak Fransiskus sangat berbeda dengan ayahnya. Fransiskus jauh lebih riang dan murah hati, gemar bersenda gurau dan suka bernyanyi.

Dalam Kisah Tiga Sahabat (K3S) diceritakan bahwa sebagai orang kaya, Fransiskus bersama dengan kelompok sebayanya, siang dan malam hidup berfoya-foya. Ia begitu gemar mengeluarkan uang sehingga segala apa yang mungkin ia miliki atau peroleh sebagai laba dihabiskan dengan makan minum. Ia adalah seorang pemboros namun murah hati pada sesamanya. Dalam berpakaian ia sangat berlebih-lebihan (Groenen, 2000: 27-28).

Waktu berumur 20 (dua puluh) tahun Fransiskus secara aktif mengambil bagian dalam perang yang pecah antara warga kota terutama antara para pedagang dengan kaum bangsawan yang diam di kota Assisi. Golongan masyarakat yang kecil atau buruh, dan termasuk kaum pedagang yang disebut “minores” mengalahkan kaum bangsawan yang disebut “mayores” dan mengusir mereka. Kaum bangsawan melarikan diri ke kota Perugia yang letaknya dekat Assisi dan di sanalah mereka menyusun strategi untuk melawan. Hal itu menyebabkan hubungan antara Assisi dan Perugia selalu bermusuhan.

Maka pecahlah perang antara kota Assisi dan Perugia tahun 1202. Kota Perugia memihak kepada Paus Innosensius III, sedangkan warga kota Assisi


(36)

memihak kepada Kaisar Frederik Barbarosa II di Jerman. Fransiskus ikut dalam serangan itu, tetapi gagal dan bersama dengan beberapa orang lain Fransiskus masuk tawanan (Groenen, 1970: 150). Dalam tahanan yang cukup keras itu, Fransiskus tetap mempertahankan semangat gembira dan tetap berusaha menghibur teman-temannya. Dan dalam tahun berikutnya, ayahnya berhasil menebusnya. Fransiskus pulang ke rumah, dan dalam beberapa hari kemudian Fransiskus sakit keras (Groenen, 2000: 11).

Thomas dari Celano, menuliskan bahwa penyakit itu ternyata menjadi sentuhan pertama rahmat Tuhan. Pengalaman sakit membawa pertobatan bagi Fransiskus. Pemandangan yang indah di sekitar kota Assisi tidak lagi menarik untuk Fransiskus. Ia merasa bahwa segalanya tidak lagi berarti apa-apa. Orang-orang yang selama ini mengaguminya dianggapnya sebagai sebuah kebodohan. Fransiskus mulai merenungkan arti dan tujuan hidupnya (Celano, 1984: 3).

2. Situasi Masyarakat dan Gereja di Jaman Fransiskus

Situasi masyarakat dan Gereja pada zaman Fransiskus disampaikan di sini untuk dapat membantu memahami pertobatan Fransiskus dengan lebih baik. a. Situasi Politik

Bruder Bram Homel, MTB (Maria Tak Bernoda) dalam catatannya pada kursus Fransiskan bagi para novis kongregasi SFD dan MTB pada tanggal 5-12 Januari 2001 di Pati, mengatakan bahwa organisasi politik masyarakat Eropa pada abad XI sampai abab ke XII seluruh kehidupan masyarakat terikat dalam sistem feodal-agraris. Penguasa tertinggi adalah Kaisar, raja-raja lokal menjanjikan


(37)

kesetiaan kepadanya dan tuan-tuan tanah yang lebih kecil menjanjikan lagi ketaatan kepada raja-raja itu. Antara tuan tanah dan bawahan ada ikatan perjanjian yang mengatur semua hak timbal balik umpamanya: Bawahan wajib membayar upeti dan atasan wajib menjamin keamanan mereka.

Setiap bangsawan memiliki sejumlah hamba yang terikat pada tuannya seumur hidup. Biasanya mereka itulah yang menggarap tanah, mengurus rumah dan harta serta melayani segala kebutuhan tuannya. Karena setiap tuan tanah biasanya mencukupi kebutuhannya sendiri dari tanah yang dimilikinya.

Selain para hamba, ada juga para pegawai yang bertugas mengawasi pekerjaan atau melayani kebutuhan atasan setempat. Dalam kelompok ini termasuk para ksatria atau tentara bangsawan yang bertugas untuk membela dan melindungi setiap kesatuan hidup kelompok tadi.

Selain kelompok ini dalam masyarakat masih terdapat para rohaniwan, pedagang dan seniman. Mereka adalah orang-orang bebas yang tidak takluk kepada tuan-tuan tanah. Mereka tidak termasuk kelompok atasan atau kelompok hamba, tetapi dalam relasi sosial mereka lebih dekat dengan kaum atasan.

Dengan gambaran ringkas ini tampak bahwa hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat diatur secara ketat berdasarkan fungsi dalam relasi atasan dan bawahan; atasan adalah penguasa dan pemilik, sedangkan bawahan adalah hamba dan pekerja. Walaupun antara kelompok-kelompok ini ada pembagian status yang jelas namun dalam kehidupan sehari-hari mereka saling mengisi (Homel, 2001: 4).


(38)

Stratifikasi sosial di atas secara umum berlaku dalam wilayah kekaisaran Roma dan Gereja. Walaupun tetap ada kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha mempertahankan wilayah dan kekuasaan sendiri. Persaingan antara kelompok tuan tanah dan kelompok lain pun sering memicu permusuhan dan peperangan antara kelompok atau daerah yang satu dengan kelompok atau daerah yang lain. Karena persaingan itu masing-masing kelompok berusaha berasosiasi dengan daerah atau kelompok lain untuk menguatkan posisinya. Untuk mencapai tujuan tertentu suatu daerah atau kota dapat menarik kembali dukungannya dan mendukung pihak lain. Maka dapat terjadi bahwa Assisi yang semula mendukung Kaisar Jerman sebagai penguasa tertinggi, setelah berontak terhadap penguasa lokal menempatkan diri di bawah perlindungan pihak kepausan (Groenen, 1970: 150).

b. Situasi Ekonomi

Pertumbuhan jumlah para pedagang dan tukang-tukang yang profesional cenderung membentuk pusat-pusat di kota-kota dan memotori suatu pembaharuan. Mereka menuntut hak-hak tertentu dari penguasa lokal, seperti hak untuk melindungi kota mereka dengan tembok benteng dan memprotes pungutan pajak (upeti) yang terlalu tinggi. Di Italia Utara dan Tengah yang padat penduduknya dan perdagangan maju, perkembangan ini menghasilkan konflik-konflik antara penduduk kota dan penguasa atau bangsawan setempat.

Kota menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan kesenian serta mulai mengambil alih peranan biara-biara serta istana. Dengan perkembangan


(39)

perdagangan maka uang pun menjadi makin penting. Sistem barter makin beralih ke ekonomi uang. Dengan demikian tanah sebagai milik utama dalam masyarakat feodal agraris mulai diganti dengan uang walaupun tanah masih tetap menjadi milik utama (Homel, 2001: 5).

c. Situasi Gereja

Pada zaman Fransiskus Assisi, Gereja menjadi bagian tak terpisahkan dari situasi masyarakat. Para uskup dan pemimpin biara (Abas) seringkali berperan sebagai tuan tanah yang wajib menjanjikan kesetiaan kepada seorang raja.

Peran ganda sebagai pemimpin rohani dan pemimpin politik berakibat pada Gereja dalam konflik. Sedangkan kehidupan beragama orang banyak dikaburkan oleh beberapa aliran bidaah yang mengkritik pola hidup para pejabat Gereja, dan menyebarkan ajaran sesat. Mereka ini disebut sebagai kelompok Kathar.

Pengampunan dosa berat seringkali hanya dapat diperoleh dengan mengadakan ziarah ke makam-makam suci (Yerusalem, Roma, Compostella dan lain-lain). Para peziarah dan pentobat atau peniten, serta para pedagang dan trubador (penyanyi keliling) ikut menyebarluaskan berita dan ajaran baru itu.

Pelayanan tradisional di sekitar biara-biara pedesaan kurang mampu menjangkau dan membina orang kota yang lebih berpengalaman dan terpelajar. Dalam hidup beragama devosi kepada para santo dan santa mendapat peranan penting. Mereka yang dekat dengan Allah pemilik dan penguasa atau raja alam semesta dianggap sakti dan mampu untuk melindungi berbagai usaha dan kelompok. Kota Assisi menghormati secara istimewa Santo Rufino, martir dan


(40)

uskup pertama Assisi dan Vitorino uskup Assisi yang kedua. Relikwi diperlakukan sebagai jimat yang memiliki kekuatan luar biasa dan hari peringatan perlindungan dirayakan sebagai pesta rakyat dengan berbagai acara dan atraksi (Homel, 2001: 5).

3. Panggilan Fransiskus

Kira-kira usia 20 (dua puluh) tahun, tepatnya pada tahun 1201, Fransiskus memulai perjalanan ke Apulia, dan dalam perjalanan ia jatuh sakit dan beristirahat sejenak di Spoleto. Dalam istirahatnya, ia bermimpi dikunjungi oleh Tuhan. Dia mendengar ada suara yang bertanya tentang maksud perjalanannya. Fransiskus mengutarakan maksud dan tujuan dari rencananya untuk menjadi seorang ksatria. Suara itu pun bertanya lagi, “Siapa yang dapat memberi lebih banyak, tuan atau hamba?” Fransiskus menjawab, “Tentu saja tuan”. Kalau begitu mengapa engkau meninggalkan tuan dan menggantinya dengan hamba? Sekarang pulanglah ke tempatmu, di sana akan disampaikan kepadamu apa yang harus kau buat” jawab suara itu (Groenen, 2000: 36-37). Panggilan ini mengajak Fransiskus untuk semakin meniti hatinya dan bermawas diri dalam hidup.

Penglihatan itu membuatnya berbalik pulang dan kebingungan. Fransiskus terus merenungkan arti dari penglihatan itu. Selama masa penyembuhan, Fransiskus mulai kehilangan selera akan dunia bisnis, sehingga membuat ayahnya khawatir, ia menjadi semakin haus akan hal-hal rohani (Talbot, 2007: 256).

Fransiskus semakin percaya bahwa Allah merencanakan sesuatu untuk dirinya, namun ia belum tahu pasti. Ia pun berhenti di sebuah Gereja kecil, San


(41)

Damiano dan berdoa mohon petunjuk atas apa yang ia alami belakangan ini. Dan dari atas salib Fransiskus mendengar suara Yesus: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku seperti yang kamu lihat telah rusak”. Fransiskus melaksanakan perintah ini secara harafiah, memperbaiki gedung gereja yang mau roboh (Marpaung, 2009: 26). Fransiskus membuang semuanya lalu mulai mengemis untuk membeli batu dan membangun kembali gereja tersebut dan dua gereja lainnya hingga menyadari maksud dari Yesus (Talbot, 2007: 256).

Fransiskus berubah, ia selalu mencari waktu untuk berdoa, hingga menemukan suatu kedamaian di dalam lubuk hatinya (Bodo, 2002: 16). Dalam buku 1 Celano II. 3, Ia memandang dirinya rendah dan meremehkan segala sesuatu yang dulu dianggapnya manis. Fransiskus mulai menemukan Kristus dalam dirinya. Semua harta ia tinggalkan demi harta yang abadi. Perubahan itu mendorong Fransiskus untuk melayani orang miskin dan orang sakit, terlebih orang kusta (Groenen, 2000: 41). Dia semakin bermurah hati dengan orang miskin. Bahkan ia rela memberikan apa yang dia miliki demi orang miskin dan sakit.

Perubahan Fransiskus yang paling menarik adalah saat perjumpaannya dengan orang kusta. Ia memeluk dan mencium orang sakit kusta: “Apa yang dulu dirasa pahit yaitu melihat dan menjamah orang kusta, berubah menjadi manis” (Groenen, 2000: 48).

4. Semangat Kedinaan Santo Fransiskus Assisi a. Pengertian Kedinaan


(42)

Fransiskus mengajukan anggaran dasarnya ke Paus sebagai kelompok Minor. Dalam kamus Latin, istilah minor artinya kecil. Kata minor bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah dina. Dalam konteks semangat Fransiskan, minor artinya dina, rendah, hina, tidak setara dengan lain. Fransiskus menjadikan hidupnya fratrum minorum yang artinya saudara dina. Fransiskus dalam anggaran dasar tanpa bulla mengatakan: "Tidak seorang pun boleh disebut ‘prior’, tetapi semuanya mesti disebut ‘saudara dina’. Dan mereka harus saling mencuci kaki" (AngTBul 6:3). Fransiskus menyebut ordonya adalah frater minor. Minores adalah Assisi sedangkan Mayor diidentik dengan kota Perugia (Groenen, 2000: 35-37).

Kedinaan atau Dina adalah merupakan suatu sikap atau cara untuk berada di hadapan Allah Yang Mahatinggi (Iriarte, 1995: 111). Dalam Anggaran Dasar Tanpa Bulla (AngTBul) disebutkan bahwa kedinaan berarti, “Menjadi yang lebih rendah dan tunduk kepada semua orang” (AngTBul 7:2). Selain itu dina juga bisa diartikan sebagai kekecilan dan ketelanjangan di hadapan Allah. Ketelanjangan sama dengan ungkapan kemiskinan yang paling luhur di hadapan Allah (Kelana, 2007: 11-13). Dan Thomas Celano menuliskan dina sama dengan rendahan, dan tunduk pada orang lain, dengan selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina, dan melakukan tugas yang hina (1 Cel XV, 38), yang berarti mengarah pada suatu bentuk atau corak pelayanan pada sesama. Jadi konsep kedinaan ini bila dikaitkan dengan pelayanan sebagai saudara, kerendahan hati dan sifat tunduk. Pendorong semua itu adalah cinta, seperti dalam diri Kristus, yang datang bukan untuk


(43)

dilayani tetapi untuk melayani (Mat 20:28). Karena itu, diperlukan sikap, “menyangkal diri” (AngTBul No. 4).

Kedinaan juga mengandung makna sikap sederhana, rendah hati, jujur, tidak pongah atas keutamaan besar atau usaha dan upaya luhur. Terutama sekali tidak memandang diri sendiri lebih sempurna dari orang lain. Tentang dirinya Fransiskus berkata orang yang tak layak, lemah, hina dan hamba dari semuanya’. Dalam surat-suratnya kepada seluruh ordo (SurOr) terbaca bagaimana dia menempatkan diri pada ‘kaki’ orang, ‘mahluk Tuhan Allah yang tak pantas’ (SurOr No. 47; dan AngTBul No. 7); ‘kami tidak terpelajar dan menjadi bawahan orang’ (Was 19).

Dina adalah nama kelompok pertapa dari Assisi, tapi Fransiskus merasa tidak tepat juga dengan sebutan itu bagi ordonya. Dalam hal ini Fransiskus sungguh terinspirasi dengan bacaan dari Injil Matius tentang “gila hormat tapi, enggan untuk melayani” (bdk. Mat 23:6-11).

Mengenai asal mula pemberian nama ini dikatakan: Sudah dari awal Fransiskus ingin menyebut para pengikutnya sebagai saudara dina (minor) sehingga langsung dituliskannya dalam Anggaran Dasar (AngBul 1:1). Makna dari "kedinaan" ialah "menjadi bawahan semua orang" (Was 19). "Mereka menjadi 'dina' dengan tunduk kepada semua orang. Mereka mencari tempat terakhir; melakukan pekerjaan dina dan bersedia menanggung kekerasan majikan. Ini mereka lakukan dengan tekad menempatkannya atas dasar-dasar yang mantap kerendahan hati sejati bangunan rohani, yang menggumpal pada satu arkitektur bahagia dari bermacam keutamaan" (1 Cel 38). "Kedinaan" ini sangat erat


(44)

hubungannya dengan "kerendahan hati". Puncak dari pengalaman kerendahan hati ini diungkapkan Fransiskus:

Sebagai superior saya mengadakan kapitel dan memberikan pengarahan dan mengutarakan pandangan. Dan pada akhirnya orang berkata: 'Engkau tak perlu lagi bersama kami, sebab engkau tidak terpelajar, tak memiliki bakat bicara, tak berbudaya, engkau dina'. Saya diusir dengan kasar, diejek di mana-mana. Saya berkata, sekiranya saya tidak sanggup menerimanya dengan tabah, dengan kegembiraan batin serta tetap bertekad mengusahakan kekudusan, saya sama sekali bukan lagi Saudara Dina (LM 6:5).

b. Latar Belakang Pemilihan Nama Ordo

Cara hidup Fransiskus menarik perhatian banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat dan mereka mau mengikuti Fransiskus dan hidup seperti dia, dalam persaudaraan Injili Fransiskus.

Setiap hari bertambahlah jumlah orang yang mengikuti Fransiskus. Maka ditulisnyalah sebuah aturan hidup yang disebut dengan Anggaran Dasar bagi dirinya sendiri pun bagi saudara-saudara yang telah ada sekarang dan yang akan datang secara sederhana dan singkat (1 Cel, XIII, 32).

Fransiskuslah yang pertama-tama menyebut dan memberikan nama Ordo Saudara Dina pada persaudaraan yang selama ini ia bangun. Dalam anggaran dasar yang ditulisnya: “Dan mereka hendaklah menjadi rendahan atau sama dengan dina’, dan mereka sungguh-sungguh adalah dina, yang tunduk pada orang lain, selalu mencari tempat kerja yang dipandang hina, dan melakukan tugas yang hina dan tidak diperhitungkan oleh orang lain (1 Cel, XV, 38).

Dengan menekankan keutamaan kesederhanaan dan kerendahan hati, Fransiskus memutuskan bahwa pengikutnya harus disebut “Ordo Saudara Dina”. Fransiskus berkata:


(45)

“Ordo Saudara Dina adalah kawanan kecil, yang tentang Putra Allah telah memohon kepada Bapa Surgawi dengan berkata, ‘Bapa Aku menghendaki agar Engkau sudi membentuk dan memberikanku orang-orang baru dan rendah hati pada masa terakhir ini, yang tidak akan serupa dengan pendahulu mereka dalam kerendahan hati dan kemiskinan dan hanya senang memiliki Aku saja’. Bapa berkata kepada Putra terkasih, Anakku, terjadilah seperti yang Kau minta” (Dister, 2000: 95).

Demikianlah, Fransiskus yang terberkati itu menyakini bahwa Allah sungguh berkenan bahwa mereka harus disebut sebagai saudara-saudara dina. Maka pada tahun 1209, Fransiskus bersama beberapa saudara berangkat ke Roma untuk bertemu dengan Paus Innosensius III guna mendapatkan pengesahan dan persetujuan dari tahta suci tentang cara hidup Anggaran Dasar.

Setelah menjelaskan cara dan bentuk hidup yang mau mereka hidupi, akhirnya Paus menyetujui cara hidup dan anggaran dasar secara lisan. Maka pada tahun 1210 lahirlah ordo Fransiskus dari Assisi dengan Anggaran Dasar yang Tanpa Bulla dengan disingkat ‘AngTBul’. Fransiskus mengusulkan kepada pengikutnya supaya menamakan diri Saudara-saudara Dina (Frater Minores) (Groenen, 2000: 33-35).

c. Dasar Biblis sebagai Pilihan Kedinaan

Berkat kesaksian hidup Fransiskus, banyak orang yang mau mengikutinya. Namun ia mulai bingung dengan saudara baru itu. Maka ia dan saudara baru pergi ke gereja Santo Nikolaus untuk menanyakan kepada Tuhan perihal hidup mereka. Lalu Fransiskus membuka Injil tiga kali, dan menemukan ayat-ayat berikut ini: Kalau kamu hendak sempurna, pergilah dan juallah segala milikmu, dan berikanlah itu kepada orang miskin (Mat 19:21). Kemudian Fransiskus membuka


(46)

Injil lagi dan menemukan ayat dengan bunyinya: Janganlah membawa apa-apa dalam perjalanan (Luk 9:3). Serta untuk yang ketiga kali, Fransiskus menemukan: Siapa hendak mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya lalu mengikut Aku, (Mat 16:24) (Marpaung, 2009: 32).

Secara biblis, Fransiskus menetapkan Injil Matius 10:7-10 sebagai pedoman dan arah hidup guna meneruskan cita-citanya. Mewartakan Kerajaan Surga sudah dekat. Dalam Injil ini, Yesus mengajarkan para murid-Nya bahwa mereka harus pergi mewartakan Kerjaan Allah, namun mereka dilarang untuk membawa uang, tongkat atau memakai sepatu (Marpaung, 2009: 30). Dalam kutipan Injil tersebut jelas dikatakan bahwa Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk mentahirkan orang kusta. Ini sangat cocok dengan apa yang dicari dan dirindukan oleh Fransiskus.

Untuk memahami dasar biblis dari kedinaan, Fransiskus memandang dan menghadap Allah. Fransiskus sungguh menghayati keluhuran dan kemuliaan Allah. Di hadapan Allah yang mahakuasa, dan mahatinggi Fransiskus merasa kecil, takluk bahkan takut. Katanya: “Allah yang Mahakuasa, Mahatinggi, Mahakudus dan Mahamulia, Tuhan, Raja surga dan alam, kami bersyukur demi Engkau sendiri” (AD 1221, 23). Dalam pandangan Fransiskus tampak perpaduan yang sempurna antara kebesaran dan kebaikan Allah.

Secara konkret kebaikan Allah hadir dalam Putra yang menjelma menjadi manusia bahkan hidup di tengah-tengah manusia. Fransiskus melihat Allah melalui Yesus Kristus, tidak membedakan di dalam Kristus itu keallahan dan kemanusiaan-Nya. Peristiwa inkarnasi menjadi tanda kebaikan-Nya


(47)

mendatangkan sikap hormat, kagum bahkan ia mencintai Kristus. Kristus yang dimaksud Fransiskus sebagaimana tertera dalam Injil bahkan seluruh Perjanjian Baru yakni Kristus sebagaimana Ia nyata sebagai Putera Allah yang menjadi manusia, tetap Allah dan tetap manusia. Kristus adalah penampakan Allah (Groenen, 1970: 47-48).

Diri Kristus itu, Kristus dari Injil, meresap seluruh jiwa dan hidup Fransiskus, sehingga ia nampak kepada orang sezamannya sebagai Kristus yang lahir (I Cel. 112). Diri Kristus sebagai kebaikan Allah dirangkum oleh Fransiskus lewat Kitab Suci terutama tulisan Paulus kepada Jemaat di Filipi yang mengatakan bahwa Kristus “yang mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba. Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib" (Flp 2:7-8).

Tindakan pengosongan diri bermula dari kerelaan menjadi manusia rendah yang mengambil wujud sebagai manusia. Peristiwa pengosongan diri Kristus menjadi dasar kedinaan yang patut dihayati dalam hidup secara konkret. Kepada para pengikutnya, Fransiskus berkata:

Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan menjadi sama dengan manusia. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di salib (Flp 2:4-8) (2 Cel 18).

Dalam kesempurnaan-Nya, Kristus rela menghampakan diri-Nya sebagai manusia biasa. Ia yang adalah Putra Bapa, menjadi serupa dengan manusia tanpa memperhitungkan harga diri-Nya. Ia rela menghamba, menjadi terbatas seperti


(48)

manusia yang memuncak pada misteri salib (O’Collins dan Farrugia, 1996: 138-139). Misteri ini biasa disebut misteri pengosongan diri Kristus atau “Kenosis”.

Sekalipun peristiwa kenosis tidak semata berdimensi kristologis, namun juga tidak lepas dari perananRoh Kudus. Kenosis, sehubungan dengan kodrat manusia, berarti seruan terus menerus kepada Roh Kudus danpenyangkalan diriterhadap hasrat dan kehendak pribadi. Berkenaan denganKristus, pengosongan diri (kenosis) dariPutra Allahberupa suatu perendahan diri dan pengorbanan untuk penebusan dan keselamatan semua umat manusia.Manusia juga dapat berpartisipasi dalam karya keselamatan Allah melalui suatu proses transformasi yang bertujuan menjadiserupa dengan Allah(theosis), yakni menjadikudusdengan pertolongan rahmat Allah.

Oleh karena itu kenosis merupakan suatuparadoksdanmisterikarena "mengosongkan diri" sebenarnya berarti mengisi diri seseorang dengan anugerah ilahi dan menghasilkan baginya persatuan dengan Allah. Sebagai inti pokok dari kehidupan berimannya, bagi Fransiskus peristiwa kenosis menjadi peristiwa yang perlu dilakukan secara terus menerus sampai pada tindakan menyerupai Kristus.

B. Pengalaman Kedinaan Santo Fransiskus

Setelah mendengar Injil Matius 10:7-10, Fransiskus sangat bersukacita mendengarnya bahkan dalam catatan dari Thomas Celano dijelaskan, bahwa Fransiskus mengungkapkan kegembiraannya dalam Roh Allah dengan berkata: “Inilah yang aku cari, dan inilah yang ingin kulakukan dengan segenap hatiku” (1 Cel XI. 22). Ia mulai mewartakan Injil kepada orang miskin.


(49)

Isi teks ini adalah mengenai perutusan para Rasul yang diutus oleh Yesus kepada domba-domba yang hilang. Tugas Fransiskus dan saudaranya adalah mewartakan bahwa “Kerajaan surga sudah dekat”, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta, dan mengusir setan (Marpaung, 2009: 31).

Percikan api cinta terhadap Tuhan telah menyulut sebuah unggun api yang membakar habis semua rasa acuh tak acuh dan menyalakan iman yang radikal tanpa kompromi. Hasrat Fransiskus menit demi menit adalah untuk mengikuti semakin dekat, sebagaimana ditulis dalam doanya bagi para pengikut gerakannya: Tuhan yang mahakuasa, abadi, adil dan pengampun, ijinkan kami dalam kesengsaraan agar kami bisa melakukan bagi Engkau semata apa yang Engkau inginkan kami lakukan, dan senantiasa rindu akan apa yang menyenangkan hati-Mu, sehingga dengan hati yang bersih dan tercerahkan serta menyala-nyala oleh kuasa Roh Kudus, kami bisa mengikut jejak Putra-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus, sehingga membawa kami kepada-Mu (Tallbot, 2007: 7).

Dalam peristiwa hidupnya, Fransiskus mau melakukan isi Kitab Suci seradikal mungkin. Maka ketika ia mendengar dan memahami Sabda Allah, Fransiskus langsung mempraktekkannya dalam hidupnya sendiri. Baginya Firman itu adalah kehidupan. Kalau orang tidak menghayati Firman, itu berarti orang menghindarkan diri dari hidup nyata (Bodo, 2002: 91). Hal tersebut dapat di lihat dari beberapa peristiwa yang dilakukan oleh Fransiskus untuk menunjukkan sikap radikalnya terhadap teks Injil di atas.


(50)

Pada suatu hari ketika Fransiskus sedang khusuk berdoa kepada Tuhan, ia mendapat jawaban ini: Hai Fransiskus, segala apa yang secara manusiawi engkau cintai dan ingin engkau miliki, mesti engkau pandang rendah, dari apa yang dahulu kau jijikkan akan kau tarik kemanisan besar dan kenikmatan yang tak terukur (1 Cel, VII, 17).

Karenanya Fransiskus merasa gembira dan dikuatkan oleh Tuhan. Dalam suasana batin yang demikian itu Fransiskus naik kuda dan bertemu dengan orang kusta. Biasanya ia merasa sangat jijik terhadap orang kusta, namun kali ini sungguh luar biasa, Fransiskus merasakan suatu kemanisan dan suka cita. Ia turun dari kuda, memberi mata uang kemudian mencium tangan si sakit. Sejak saat itulah Fransiskus mulai memandang rendah dirinya. Selang beberapa hari, dengan membawa banyak uang Fransiskus pergi ke tempat penampungan orang kusta. Ia mengumpulkan mereka semua dan memberi masing-masing sedekah sambil mencium tangan orang sakit itu. Ketika meninggalkan tempat itu, apa yang dahulu pahit rasanya, yaitu melihat dan menjamah orang kusta, sudah berubah menjadi manis (K3S 11).

2. Peristiwa Kapel San Damiano

Pada suatu hari Fransiskus hendak berdoa di padang dan berjalan di dekat gereja San Damiano, yang terancam keruntuhannya karena amat tuanya, maka ia merasa terdorong untuk masuk ke dalam dan untuk berdoa. Ia bersujud di depan gambar Yang tersalib dan sementara ia berdoa, ia diliputi dengan hiburan rohani yang berlimpah-limpah. Ketika ia dengan mata yang berlinang-linang memandang kepada salib Tuhan, maka didengarnya, dengan telinganya sendiri suara dari salib itu, yang sampai tiga kali berkata: “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah rumah-Ku, yang seperti kau lihat bobrok seluruhnya ini!” (Bonaventura, II. 1). Fransiskus gemetar, karena ia seorang diri di dalam gereja dan terperanjat mendengar suara yang amat ajaib itu. Dan dalam hatinya ia merasai kekuatan


(51)

ucapan Ilahi itu, maka ia sangat terpesona. Akhirnya ia sadar lagi dan segera menyiapkan diri untuk menaati perintah itu (Groenen, 2000: 53).

3. Perjumpaan dengan Allah di Jalan Assisi dan dalam Doa

Setelah kembali ke kota Assisi, selang beberapa hari oleh teman-temannya Fransiskus terpilih menjadi ketua. Maka disuruhnya menyediakan suatu pesta besar-besaran, seperti sering dibuatnya dahulu. Setelah kenyang mereka keluar rumah, dan teman-temannya mendahului Fransiskus berkeliling sambil bernyanyi. Ia tidak bernyanyi tapi asyik bermenung. Tiba-tiba ia disentuh oleh Tuhan dan hatinya dipenuhi dengan kemanisan begitu hebat, sehingga ia tidak dapat lagi merasa atau mendengar apa-apa kecuali kemanisan itu. Ia tersentak dari rasa badani begitu rupa, seperti dikemudian hari dikatakannya sendiri sehingga tidak dapat bergerak dari tempat itu kalau seandainya ia dicincang-cincang sekalipun (K3S 7). Sejak saat itu Fransiskus mulai memandang dirinya rendah dan meremehkan segala apa yang sebelumnya ia gemari, tapi belum seluruhnya, namun demikian ia banyak mengundurkan diri dari keramaian dunia (K3S 8).

C. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi, dan Injil Sumber Hidup Fransiskus

1. Kerendahan Hati Santo Fransiskus Assisi

Misteri Allah sebagai sumber hidup berasal dari peristiwa Sabda Allah menjadi Daging. Penjelmaan Yesus tersebut menjadi tanda pengosongan diri Allah. Bagi Santo Fransiskus pengosongan diri ini merupakan peristiwa yang


(52)

harus dihayati dan bila perlu memperagakan pengosongan itu karena bagi Fransiskus penjelmaan Allah menjadi manusia merupakan bentuk konkret dari Kerendahan Hati Allah yang layak dicontoh.

Untuk memahami pengosongan diri Allah, Santo Fransiskus memperagakan peristiwa penjelmaan Allah menjadi manusia di kota kelahirannya dengan memperagakan dan merayakan natal yang hidup.

Kesadaran bahwa Allah yang menjelma menjadi manusia yang meninggalkan kemahakuasaanNya membuat Fransiskus rela menanggalkan pakaian yang berasal dari Ayahnya yang bernama Pietro Bernadone di depan Uskup Guido.

2. Injil Sumber Hidup Santo Fransiskus Assisi

Allah menjadi sumber hidup bagi Santo Fransiskus. Ia selalu menyempatkan diri untuk merenungkan Allah yang berbicara lewat Kitab Suci teristimewa dalam Injil. Pun Ekaristi yang menjadi tanda kehadiran Allah yang dapat dilihat oleh kita. Injil dan Ekaristi menjadi posisi sentral bagi hidup Fransiskus. Dalam wasiatnya (Was), Fransiskus menulis: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorang pun yang menunjukkan kepadaku apa yang harus aku perbuat, tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci” (Was 14).

Setiap kali membuka Kitab Suci, Fransiskus bersuka cita dan bersyukur kepada Allah. Ia merasa mendapat peneguhan dari apa yang diniatkannya. Fransiskus menjadikan Injil sebagai peraturan hidup dalam mewartakan kabar


(53)

suka cita kepada semua orang terutama kepada orang miskin. Bagi Fransiskus Injil adalah jalan menuju Allah (1 Cel, 24-25). Fransiskus pun sering mengartikan Injil secara harafiah.

Bagi Fransiskus sabda Allah merupakan tonggak penuntun arah dalam hidupnya dan pengikutnya. Maka dalam merenungkan ini dibutuhkan cinta kasih dan kerendahan hati yang dalam, karena hal ini merupakan sumber pengetahuan mengenai Allah dan diri sendiri (2 Cel, 102).

D. Kedinaan Santo Fransiskus dan para Saudaranya, serta Allah Yang Dina dalam Semangat Fransiskan

1. Kedinaan Santo Fransiskus dan Para Saudaranya

Tuhan sendiri telah menjadi hina dina, maka Fransiskus merasa bahwa dia harus juga menjadi dina. Karena Tuhan sendiri telah merendah dan merunduk, maka tidak ada lagi alasan bagi Fransiskus untuk tidak merendah dan merunduk seperti Tuhan. Hidup Kristus yang dihayatinya membawa perubahan besar bagi diri Fransiskus. Dia menjadi dina dan bebas bagi semua mahluk dan sesama. Ini jualah yang diungkapkan dalam penghayatannya.

Kepada para pengikutnya, Fransiskus sangat tegas menekankan sikap rendah hati ini. Ini dengan jelas dikatakan dalam Surat kepada seluruh Ordo artikel (untuk selanjutnya disingkat dengan SurOr) 28: Saudara-saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; rendahkanlah dirimu, agar kamu ditinggikan oleh-Nya (SurOr 28). Jadi, alasan utama Fransiskus memilih kemiskinan dan kedinaan adalah Tuhan sendiri. Dalam


(54)

Anggaran Dasarnya ia mengatakan bahwa Tuhan sendiri telah membuat diri-Nya menjadi miskin di dunia ini bagi kita. Melihat, menyadari, mengagumi dan mengalami kerendahan Tuhan itu merupakan, bagi Fransiskus, suatu penemuan harta karun yang sangat berharga. Dan setelah ditemukan, maka ia ingin memilikinya, dan untuk itu perlu merendahkan diri dan melepaskan segalanya.

a. Kedinaan Santo Fransiskus

Santo Fransiskus telah menggali dan menemukan kerendahan dan kedinaan. Karena itulah ia menyebut dirinya sebagai hamba yang kecil. Hamba dan bawahan, hamba semua orang, hamba yang kecil dan ternista dalam Tuhan Allah, orang yang hina dan rapuh, hamba yang kecil, dan makhluk Tuhan yang tak pantas, orang yang paling kecil dari antara para hamba Allah.

Fransiskus memilih kemiskinan dan kedinaan karena Tuhan sendiri telah ‘merendah’ dan ‘merunduk’. Fransiskus berkata: “Tuhan sendiri telah membuat diri-Nya menjadi miskin di dunia ini bagi kita” (AngBul VI, 3). “Saudara-saudara, pandanglah perendahan diri Allah itu dan curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; rendahkanlah dirimu juga, agar kamu ditinggikan oleh-Nya” (SurOr 28). Kristus Yesus yang berwujud Allah tidak mau berpegang teguh pada kemuliaan-Nya yang setara dengan Allah. Ia menghampakan diri dengan mengambil keadaan hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp 2:6-7).

Fransiskus merasa wajib untuk melayani semua orang, menaati mereka, berada di bawah kaki orang lain, mencuci dan mencium kaki para saudara. Agar tetap sadar akan dan melaksanakan kerendahan ini, Fransiskus selalu ingat akan


(55)

dirinya sebagai orang lemah dan pendosa. Ia tidak lupa akan hal itu agar ia tidak menjadi sombong. Seperti Rasul Paulus, Fransiskus hanya dapat berbangga atas kelemahannya. Untuk mempertahankan kerendahan inilah maka Fransiskus dulu tidak mau ditahbiskan menjadi imam, ia mau tetap tinggal sebagai diakon. Juga karena alasan itulah maka Fransiskus dulu melarang saudaranya menceriterakan kemartiran saudara yang pertama, agar jangan dengan itu mereka mencari pujian dan kemuliaan.

Dalam doa di depan Salib, Fransiskus memohonkan kerendahan yang mendalam. Ia mau memusatkan perhatian pada kerendahan itu dan tidak mau memikirkan yang lain. Kerendahan kelahiran Yesus dan kasih penderitaan-Nya selalu hadir dalam benaknya. Setiap hari ia mengingat dan merenungkan kerendahan Putra Allah itu serta contoh-contoh kerendahan itu dan dari situ ia menemukan kelembutan, kemurahhatian Kristus, kemanisan dan penghiburan. Kerendahan itu adalah jalan injili yang disingkapkan oleh Allah sendiri kepada Fransiskus, si Miskin itu. Dalam Wasiatnya, ia mengakui bahwa Yang Mahatinggi sendirilah yang mendorong dia untuk merendah dan merunduk untuk menemui dan mencium orang kusta.

Kedinaan, tidak menginginkan kuasa, melainkan menempatkan diri di bawah semua orang, sering dikaitkan oleh Fransiskus dengan sikap rendah hati. Tentang kerendahan hati dikatakan berazaskan kebenaran, para saudara melihat yang baik dan yang buruk ada dalam diri secara objektif, tepat sebagaimana Allah melihat. Sebab, seperti apa nilai seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih” (Pth 19). Saudara membawakan dirinya sebagaimana adanya


(56)

(Pth 23); “nilai manusia itu hanyalah sekadar nilainya di hadapan Allah, dan tidak lebih dari itu” (St. Bonaventura, Riwayat Hidup Fransiskus: Kisah Besar, VI:1). Seperti Fransiskus, saudara merasa sedih bila ia melihat dirinya dihormati sebagai orang kudus (Cermin Kesempurnaan 45).

Saudara ingin menerima koreksi dari para saudara dan bersedia membuka diri kepada mereka seraya memahami kelemahan masing-masing. Ini didorong oleh cinta akan kebenaran: “Berbahagialah hamba, yang menerima peringatan, tuduhan dan teguran, yang disampaikan orang lain, dengan begitu sabarnya seperti kalau dari dirinya sendiri datangnya. Berbahagialah hamba, yang menerima dengan rela bila ditegur, menurut dengan hormat, mengakui kesalahan dengan rendah hati, dan mengadakan pemulihan dengan senang hati” (Pth 22:1-2). Fransiskus mengajarkan: “Kita tidak pernah boleh ingin berada di atas orang lain, tetapi sebaliknya kita harus menjadi hamba dan bawahan semua orang karena Allah” (2SurBerim 47).

b. Kedinaan para Saudaranya

Kerendahan yang diterima dari Tuhan sendiri, di situlah Santo Fransiskus mendirikan ordonya. Kerendahan itu menjadi batu padas di mana Santo Fransiskus membangun persaudaraannya. Kerendahan adalah dasar di mana Santo Fransiskus membangun Ordonya. Santo Fransiskus, begitu gigih mengikuti kerendahan Tuhan, begitu ter-resapi oleh kerendahan itu sendiri. Kerendahan itu telah menyebar, menjalar dan menjangkiti seluruh sisi hidupnya: dalam berpakaian, dalam kata dan bahasa, dalam tubuh, dalam setiap langkah, dalam


(57)

setiap aksi, di mata, di telinga, dalam pikiran, atau seluruh dirinya telah diresapi oleh kerendahan itu: seluruh hati dan karyanya. Selain untuk dirinya sendiri, Santo Fransiskus juga meminta para saudaranya (pengikutnya) dari berbagai jenis tugas dan kedudukan mereka agar berusaha merendahkan diri dalam segalanya: “Aku mohon dengan sangat kepada semua saudaraku; baik pengkhotbah, pendoa, pekerja, rohaniwan dan awam, agar mereka berusaha merendahkan diri dalam segalanya” (AngTBul XVII, 5).

Fransiskus mengajak para pengikutnya agar mengikuti dalam segala hal contoh kerendahan dan kemiskinan Putra Allah (2 Cel 148). Jadi, dengan ini, Fransiskus telah menempatkan diri dan persaudaraannya dalam perendahan yang permanen. Mereka siap dengan gembira dan rela menjadi rendah, sekalipun kerendahan itu “pahit” pada mulanya, tetapi menjadi “manis” akhirnya. Kekuatan cinta Tuhan sendirilah yang mengajarkan hal itu kepada Fransiskus dan para saudaranya. Fransiskus memeluk hidup minor dan humilis bukanlah atas inisiatifnya sendiri, tetapi diwahyukan Allah kepadanya. Dalam memandang dan mengalami Allah, ia terpusat pada minoritas, humilitas (Situmorang, 2014:5).

Allah itu, yang nyata dalam sejarah keselamatan. Bagi Fransiskus, Allah itu adalah yang merendah, yang miskin dan hina dina. Karena minoritas dan humilitas Allah itu, maka Santo Fransiskus merasa terperangkap dan tak bisa berbuat lain lagi selain menjadi minor dan humilis. Dia dan saudaranya adalah Saudara Dina (Fratres Minores), dan Ordonya adalah OFM: Ordo Fratrum Minorum.


(1)

5. Semangat Fransiskan yang harus ditingkatkan supaya karya menjadi lebih dicintai para suster SFD? Menyandang nama sebagai Suster Fransiskus Dina (SFD) bukanlah mudah, tapi membutuhkan suatu perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai dan semangat dari Santo Fransiskus Assisi dalam persaudaraan dan karya pelayanan bagi sesama. Ada banyak teladan hidup yang diwariskan oleh bapak spiritualitas kongregasi SFD. Salah satunya adalah teladan kedinaan dalam hidup. Hal ini perlu untuk di pupuk dan dihayati secara lebih sempurna supaya ke khasan SFD itu tampak dan dirasakan oleh banyak orang. Dengan semangat kedinaan akan semakin mampu memberi perhatian dan cinta yang tulus bagi sesama yang dilayani baik di komunitas pun dalam karya perutusan.

6. Pemahaman saya tentang kedinaan? Dina berarti dengan semangat doa dan pertobatan yang terus menerus menumbuhkan sikap sederhana, rendah hati, bermati raga, tulus, rela berkorban serta tanpa pamrih dalam melakukan tugas pelayanan. Maka ini dapat diwujudkan melalui keyakinan akan penyelenggaran ilahi, pembaharuan diri yang terus menerus (metanoia), sederhana, mati raga, tidak sombong mampu menerima semua orang apa adanya termasuk anak-anak difabel, bermurah hati, memberikan waktu dan tenaga, iklas, serta berani menjadi yang terkecil di antar sesama hingga harus menjadi orang yang lepas bebas dan setia pada panggilan-Nya. Sikap kedinaan seperti inilah yang sangat dibutuhkan dalam memberikan pelayanan di karya bagi kaum difabel.


(2)

Lampiran 2: Life story 2

Nama : Sr. Marcellina Ginting, SFD Komunitas : Portiuncula Namopecawir, Medan

1. Karya pelayanan kongregasi bagi kaum difabel sangat cocok dan sesuai dengan semangat SFD yang menyandang nama sebagai Suster Fransiskus Dina. Semua ciptaan adalah saudara dan anak-anak Allah yang secitra dan segambar dengan-Nya dan mau mengangkat serta meninggikannya. Kita semua adalah saudara dan se-Bapa. Jadi kita yang satu Bapa dipanggil untuk saling mencintai dan menerima satu sama lain. Terutama kita dipanggil untuk mengasihi mereka

yang menderita dengan merawat dan mendidiknya supaya menjadi “manusia”.

2. Tanggapan suster SFD yang lain tentang karya ini secara umum semua merasa bangga dan kagum karena memiliki karya yang secara khusus memperhatikan orang-orang yang menderita secara fisik dan mental. Melalui karya ini, suster SFD merasa semakin merasakan dorongan dari teladan hidup Santo Fransiskus yang mencintai dan merawat orang kusta pada masanya.

3. Semangat Fransiskan yang menyinggung tentang karya difabel. Pelayanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ada kaitannya dengan orang kusta pada masa Santo Fransiskus Assisi. Pada masa itu, Santo Fransiskus melihat Allah yang Mahatinggi dan Mahaluhur itu, bersemayam dalam diri orang yang menderita dan terpinggirkan yakni, orang kusta. Maka bagi Fransiskus dengan mengasihi orang menderita berarti mengasihi Allah sendiri. Hal inilah yang menjadi inspirasi kongregasi SFD untuk melayni orang difabel.

4. Karya pelayanan bagi anak-anak difabel sangat cocok dengan visi dan misi SFD. Karena visi misi ini karya pelayanan menjadi lebih terarah. Seperti visi SFD untuk selalu terbuka dengan kebutuhan zaman. Hal ini sejalan dengan keadaan zaman pada masa ini, dimana anak-anak banyak yang menderita, terutaman yang cacat (difabel) membutuhkan uluran tangan-tangan kasih untuk membantu mereka, di situlah SFD hadir bagi mereka. Mengangkat dan meninggikan mereka yang menderita.

5. Semangat kedinaan Fransiskan yang perlu untuk pertahankan dan ditingkatkan dalam karya pelayanan karena dengan semangat kedinaan ini, SFD akan semakin sanggup menerima dan mencintai semua orang dengan segala keberadaannya. Baik mereka yang sehat jasmani dan rohani maupun mereka yang kurang beruntung menurut anggapan masyarakat.

6. Pemahaman saya tentang kedinaan berarti menjadi orang yang bisa mencontoh teladan hidup Yesus dan Santo Fransiskus yang mencintai semua orang tanpa diskriminasi. Mencintai dan melayani orang miskin dan yang menderita jasmani rohani dengan segenap hati tanpa pamrih.


(3)

Lampiran 3: Life story 3

Nama : Sr. M. Genovevi Sembiring SFD Komunitas terakhir : Portiuncula Namopecawir, Medan

1. Bagaimana pendapat suster tentang karya kongregasi bagi karya difabel ? Keterlibatan kongregasi dalam menangani karya bagi kaum difabel sangatlah tepat dan bagus. Karena dengan karya ini kita (SFD) ikut serta mengangkat martabat seseorang yang menurut pandangan banyak orang tidak memiliki masa depan yang cerah dan membawa malu bagi nama keluarga kerena itu mereka (difabel) akan disembunyikan dari perhatian orang banyak. Namun karya kita ini justru sebaliknya yakni, memperhatikan, merawat, mendampingi dan mendidik mereka untuk menjadikan pribadi yang mandiri dan berguna baik untuk dirinya sendiri, keluarganya maupun masyarakat.

2. Bagimana pendapat suster yang lain, yang suster dengar tentang karya kongregasi dibidang difabel.

Kebanyakan ungkapan para suster yang lain menilai atau menaruh positif dan mendukung akan adanya karya ini. Namun saja tidak semua orang (suster) siap untuk ditugaskan ke karya tersebut dengan berbagai alasan. Masih ada para suster beranggapan bahwa karya difabel karya yang menjijikkan dan tidak menyenangkan, karena setiap hari bersama dengan anak-anak yang kurang mandiri bahkan segala sesuatunya tergantung dengan orang lain dan harus dibantu. Selain itu ada juga alasan para suster karena tidak memiliki bakat untuk mendampingi orang-orang difabel. Menurut saya mendampingi mereka tidak terlalu membutuhkan bakat khusus namun yang dibutuhkan di sini adalah ketulusan hati.

3. Semangat Fransiskan manakah yang menyinggung karya difabel.

Semangat Fransiskus yang menyinggung karya difabel yakni, semangat dan cinta Fransiskus terhadap orang kusta. Dalam diri orang kusta Fransiskus menyadari bahwa Allah hadir dalam diri mereka. Hal ini memperdamaikan dia dengan keberadaannya sendiri yang rapuh, dan membuat dia menjadi saudara bagi mereka. Dengan menganggap dirinya yang paling hina di antara semua manusia sesamanya, Fransiskus memperoleh mereka bagi Allah.

4. Menurut suster apakah karya difabel ini sudah cocok dengan visi & misi SFD. Sudah.

Allah adalah Bapa kita bersama. Dia mencintai setiap orang serta ingin meninggikannya. Inilah visi yang menyemangati sekaligus merupakan tujuan hidup kongregasi. Sebagaimana Bapa meninggikan setiap orang maka karya kita juga terlibat akan karya perutusan Tuhan ini dengan mencintai dan meninggikan mereka yang kita layani setiap hari.

5. Semangat Fransiskan manakah yang harus ditingkatkan agar karya lebih dicintai para suster SFD.

Semangat Fransiskus yang perlu ditingkatkan menurut saya tidak jauh beda dengan jawaban nomor tiga. Fransiskus menyadari dan melihat Allah hadir terhadap orang kusta, sehingga Fransisikus mencintai orang kusta maupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Jadi apabila para suster memiliki semangat seperti Fransiskus, melihat Yesus hadir dalam setiap pribadi yang


(4)

kita layani dalam aneka ragam karya maka otomatis karya apapun yang diberikan kepada kita akan menumbuhkan rasa cinta dan rasa memiliki. Karena kita sadar bahwa yang kita layani bukan hanya pribadi orang itu saja melainkan diri Yesus sendiri yang hadir dalam pribadi orang tersebut.

6. Apakah yang suster pahami tentang kedinaan.

Kedinaan merupakan sikap yang sederhana, atau sikap yang ugahari. Kedinaan tidak hanya berhubungan dengan materi namun lebih ditekankan pada sikap bertindak setiap suster. Bagaimana sikap seorang suster bertutur kata terhadap sesamanya, sikap menerima tugas perutusan dengan kerendahan hati, dan tidak memamerkan diri dengan kelebihan yang dia miliki.


(5)

Lampiran 4: Lirik lagu

DATANGLAH ROH MAHA KUDUS (MB. 448) Datanglah Roh Maha Kudus, Masukilah hati umat-Mu Siramilah jiwa yang layu, dengan embun kurnia-Mu Roh cinta Bapa dan Putera, taburkanlah cinta mesra Dalam hati manusia, cinta anak pada Bapa

Datanglah Roh Maha Kudus, bentara cinta Sang Kristus Tolonglah kami jadi saksi, membawa cinta ilahi

Lidah api angin taufan, lambang Roh Kudus yang datang Muka bumi dibarui, oleh pembaru yang suci

Roh Kristus ajari kami, bahasa cinta ilahi Satulah bangsa semua, karena bahasa cinta

Cinta yang laksana api, kobarkanlah semangat kami Agar musnahlah terbasmi, jiwa angkuh hati dengki Sang penghibur umat Allah, kuatkanlah iman yang lemah Agar hati bergembira, walau dilanda derita

Penggerak para rasul-Mu, lepaskanlah lidah yang kelu Supaya kami wartakan, karya keselamatan Tuhan. Amin

Aku Melayani Tuhan Aku melayani Tuhan, aku melayani Tuhan Dengan segala rendah hati, aku melayani Tuhan Aku senantiasa menjadi saksi Tuhan

Mewartakan Injil Tuhan dan kasih karunia Allah

Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati, layani Tuhan, layani Tuhan

Biar banyak rintangan yang datang menghadang, aku tetap layani Tuhan


(6)

Agar dunia bertobat kepada Allah dan percaya kepada Yesus Kristus Tuhan

Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati layani Tuhan Layani Tuhan, layani Tuhan, layani Tuhan

Lampiran 5: Teks Kitab Suci

Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Filipi 2:1-11

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,

2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!