PERNIKAHAN DINI DALAM AL QUR’AN : TELAAH ATAS PENAFSIRAN LAFAD WA AL LA’I LAM YAHIDN SURAT AL TALAQ AYAT 4 DALAM KITAB JAMI‘ AL BAYAN ‘AN TA’WIL ’AY AL QUR’AN LI IBN JARIR AL TABARI.

(1)

PERNIKAHAN DINI DALAM AL-QUR’AN

(Telaah Atas Penafsiran Lafad

Wa Al-La>’i> Lam Yah}id}n Surat Al-T}alaqayat 4

Dalam Kitab Ja>mi‘ Al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ’A<y Al-Qur’a>nLi Ibn jari>r Al-T{abari>

)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1)

Oleh:

MOH. ILYAS NIM: E03212063

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Pernikahan Dini Dalam al-Qur’an, Telaah Atas Penafsiran Lafad Wa al-La>’i> Lam Yah}id}nDalam Kitab Ja>mi‘ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ’A<y al-Qur’a>n Li Ibn Jari>r al-T{abari>ini adalah hasil penelitian yang dilatar belakangi oleh maslah sosial mengenai maraknya praktek pernikahan dini di setip penjuru kota maupun desa yang mengkibatkan perbedaan persepsi dari berbagai kalangan mengenai praktek pernikahan dini, Undang-Undangpun telah mengatur batas usia pernikahan yaitu perempuan 16 tahun sedangkan laki-laki 19 tahun, lain dengan pandangan al-Qur’an mengenai batasan minimal usia pernikahan dengan

acuan surat al-T{ala>q ayat 4. dari maslah yang terdapat di latar belakang penulis

menemukan beberapa rumusan masalah yaitu: 1) Bagaimana Penafsiran lafad wa

al-la>’i> lam yah}id}n dalam Kitab Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ’a>y al-Qur’a>n?, dan 2)

Bagaimana Pernikahan Dini dari Dampak Penafsiran Ibn Jari>r al-T{abari>?.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) adapun yang

menjadi sumber data adalah data-data tertulis dari berbagai sumber, baik penelitian sejenis, artikel, jurnal, maupun buku-buku yang berkaitan dengan bahasan dalam penelititan ini.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa adanya pernikahan usia

muda dalam al-Qur’an, yang jadi fokus penelitian dalam skripsi ini adalah lafad wa

al-la>’i> lam yah}id{n surat al-t}ala>q ayat 4 telaah penafsiran al-T{abari> dalam kitab

Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ’A<y al-Qur’a>n.

al-T{abari> menafsirkan lafad tersebut dengan “perempuan yang masih kecil”

penafsiran yang berdasarkan ’asba>b al-nuzul, yang mana ayat ini turun sesuai

dengan pertanyaan sahabat mengenai iddahnya perempuan yang masih kecil dan perempuan yang sudah tua. Namun ada sebagian mufassir yang menafsirkan ayat tersebut dengan perempuan-perempuan yang tidak mengalami haid sama sekali, dikarenakan penyakit, atau karena memang bawaan darii lahir,

Dari telaah terhadap penafsiran al-T{abari>mengenai lafad tersebut, yang

menafsrikan dengan “pemempuan yang masih muda” dampaknya terhadap para Ulama fikih yang menjadilkannya dalil tentang bolehnya pernikahan pada usia dini.

Penafsiran al-T}abari serta penafsiran yang senada dengannya, paling banyak

dijadikan hujjah oleh para Ulama. Dari itu orang-orang Islam khususnya menganggap legalnya pernikahan usia dini. Dan menganggap bukanlah masalah dan bukan pula hal yang perlu dipermasalahkan, dalam hal ini sebagian kalangan hanya menganggap sisi kebolehannya saja, tanpa memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengannya. Walaupun terdsapat kebolehan pernikahan usia muda dalam al-Qur’an bukan berarti al-Qur’an meng-idealkan pernikahan usia muda.

Kata Kunci: Pernikahan, Pernikhan Dini, al-T}abari>


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITRASI ... viii

KATA PENGANTAR ... x

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 7

G. Metode Penelitian ... 10


(8)

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Definisi Pernikahan Dini ... 20

B. Sejarah Pernikahan Dini ... 22

C. Kebijakan Pemerintah Indonesia Mengenai Pernikahan Dini ... 27

D. Pernikahan Dini Perspektif Fikih ... 28

E. Metode Tafsir Tah}li>li> ... 31

F. Pendekatan Kaidah Penafsiran ... 39

1. Kaidah ‘Asba>b al-Nuzu>l ... 39

2. Kaidah ‘A<m Kha>s ... 43

3. Kaidah Mant}u>q Mafhu>m ... 45

4. Kaidah Muna>sabah ... 48

BAB III. PENAFSIRAN LAFAD WA AL-LA’I< LAM YAHID{DN DALAM KITAB TAFSI>R AL-T{ABARI> JAMI’ AL-BAYA>N ‘AN TA’WI>L A<Y AL-QUR’A>N A. Biografi Ibn Jari>r Al-T{abari> ... 50

1. Sejarah Kehidupan dan Pendidikan Al-T{abari> ... 50

2. Karir Intelektual Al-T{abari> ... 53

3. Sekilas Tentang Penafsiran Al-T{abari> dan Sumbangsihnya Dalam Perkembangan Tafsir ... 55


(9)

iii

B. Ayat dan Terjemah Surat Al-T{ala>q Ayat 4 ... 68

C. Makna ’Al-Mufrada>t ... 69

D. Muna>sabah Ayat ... 69

E. ’Asba>b Al-Nuzu>l Ayat ... 70

F. Penafsiran Surat Al-T{ala>q Ayat 4 Dalam Kitab Ja>mi ‘ Al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ’A<y Al-Qur’a>n ... 71

BAB IV.PERNIKAHAN DINI DALAM AL-QUR’AN A. Telaah Atas Penafsiran Wa Al-La>’i> Lam Yah}id}n ... 84

B. Dampak Penafsiran Ibn Jari>r Al-T{abari> Terhadap Lafad Wa l-La>’i> Lam Yah}id}n ... 92

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 96

B. Saran-saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan usia anak atau lebih dikenal dengan istilah pernikahan di bawah umur merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi di berbagai tempat di tanah air, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan. Setelah menikah seorang gadis sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya di tuntut lebih memiliki tanggung jawab karena harus mencari nafkah. 1

Dalam berbagai literatur , umur yang ideal untuk melakukan pernikhan tersebut dilihat dari kedewasaan sikap dari anak itu sendiri disamping persiapan materi yang cukup. Untuk melakukan perkawinan tidak ada ukuran dan ketentuan baku, namun pada umumnya anak sudah dinilai sudah dewasa untuk menikah adalah di atas usia 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-laki.2

Kebanyakan para pelaku pernikahan di bawah umur adalah remaja desa yang memiliki tingkat pendidikan kurang. Remaja desa kebanyakan malu untuk menikah pada umur 20 tahun keatas. Anggapan remaja desa lebih memungkinkan untuk menikah di usia muda karena disana ada anggapan atau mitos bahwa perempuan yang berumur 20 tahun keatas belum menikah berarti “Perawan Tua”.

      

1 Ahmad, Dampak Sosial Pernikahan Dini Studi Kasus di Desa Gunung Sindur-Bogor. FDK UIN

Syarif Hidatullah, Jakarta, 2011, 5 


(11)

2

Persoalan mendasar dari seorang anak perempuan yaitu ketika dia memasuki usia dewasa, banyak orang tua menginginkan anaknya untuk tidak menjadi perawan tua. Menjadi perawan tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri perempuan. Untuk itu, dalam bayangan ketakutan yang tidak beralasan banyak orang tua yang menikahkan anaknya pada usia muda. Kondisi itulah yang menjadikan timbulnya persepsi bahwa remaja desa akan lebih dulu menikah dari pada remaja kota. Anggapan-anggapan tersebut muncul karena kurangnya pengetahuan dari masyarakat mengenai pentingnya pendidikan bagi remaja. Sedangkan Undang-undang perkawinan di Indonesia membatasi usia dengan batas terendah bagi Laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan.3

Salah satu prinsip yang dianut dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia adalah calon suami istri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berpikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Maka dari itu, usia pernikahan perlu ditentukan batas minimalnya.4

Di Indonesia, Undang-undang yang mengatur masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan usia minimal kawin diatur dalam pasal 7.

Dalam undang-undang tersebut sudah diatur dalam pasal 1 bahwasannya minimal usia pernikahan bagi seorang lelaki ialah 19 tahun, sedangkan minimal pernikahan bagi seorang wanita ialah 16 tahun.

      

3 Ahmad, Dampak Sosial Pernikahan, 7 


(12)

3

Sedangkan Dalam hal penyimpangan terhadap pasal satu, juga dapat dilaksanakan pernikahan usia dini dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua, dari pihak orang tua lelaki maupun dari pihak orang tua perempuan.

Usia 19 tahun ditetapkan sebagai batas terendah seorang laki-laki dapat melangsungkan pernikahan setelah mendapat izin dari wali atau orang tuanya, sementara usia 16 tahun ditetapkan sebagai batas terendah bagi seorang gadis untuk dapat melangsungkan perkawinan. Namun demikian Undang-undang ini masih memberikan ‘celah’ bagi pasangan yang belum mencapai usia tersebut untuk memohon dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk jika memang dibutuhkan.5

Tidak semua kalangan menerima dengan lapang atas batasan usia yang ditentukan oleh Undang-undang, seperti dalam Islam, jelas perbedaanya mengenai batasan usia yang ditentukan dalam Undang-undang dan Agama. Dalam perspektif Islam, penulis tidak menemukan adanya batasan minimal usia melangsungkan pernikahan, banyak dalil-dalil yang membolehkan menikah pada usia dini. Salah satu dalil dibolehkannya pernikahan dini yang terdapat dalam al-Qur’an:

ﱠﺪِﻌَﻓ

ُْْـﺒَـْرا

ِنِإ

ْ ُﻜِﺎَﺴِ

ْ ِ

ِﺾ ِﺤَْا

َ ِ

َ ْﺴَِ

ِ ﱠ اَو

َ ْﻀَِ

َْﱂ

ِ ﱠ اَو

ٍﺮُﻬْﺷَأ

ُﺔَﺛ ََﺛ

ﱠ ُﻬُـ

اًﺮْﺴُ

ِِﺮَْأ

ْ ِ

َُ

ْ َﻌَْ

َﱠﻪا

ِﻖﱠَـ

ْ ََو

ﱠ ُﻬََْﲪ

َ ْﻌَﻀَ

ْنَأ

ﱠ ُﻬَُﺟَأ

ِلﺎَْﲪَْﻷا

ُت َوُأَو

      

5 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. VII, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982) ,

26. 


(13)

4

Salah satu argumentasi yang disampaikan oleh para ulama tentang bolehnya pernikahan dini adalah adanya pengaturan al-Qur’an tentang ‘iddah-nya

perempuan yang belum haid. Logika ini menarik untuk direnungkan karena ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya mengandung pesan ideal atau sesuatu yang dimaksudkan agar tejadi disepanjang masa. Melainka juga mengandung pesan kontekstual yang dimaksudkan agar memberikan petunjukan yang praktis atas problem konkrit yang ada saat itu.

Dari sinilah penulis mencoba mengangkat dan mengkaji serta menelaah, tentang apa yang melandasi adanya ketidak samaan dalam hal ini, dengan harapan bisa menilai dan merespond serta menerima manfaat yang terkandung di dalamnya.

B. Identifikasi Masalah

Untuk memberi arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pembahasan, maka perlu adanya pembatasan suatu permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang bagaimana para mufassir menafsirkan lafadz wa al-La‘i> lam yah{id{n dan ayat ayat

yang mengindikasikan adanya pernikahan dini dalam al-Qur’an, serta akan mengulas aturan nikah menurut Hukum Konvensional. Dalam penelitian ini akan mengulas beberapa masalah antara lain:


(14)

5

1. Bagaimana yang dimaksud lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.7?

2. Bagimana Undang-undang perkawinan mengatur minimal usia bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan perkawinan.?8

3. Apa sebab-sebab dari seringnya ditemukan kasus pemalsuan persyaratan administrasi pencatat Nikah di KUA, diantaranya pemalsuan Umur.9?

4. Ada berapa ayat dalam al-Qur’an yang mengindikasikan adanya pernikahan dini didalam al-Qur’an.?

5. Bagaimana pera Mufassir menfasirkan lafad wa al-La‘i> lam yah{id{n} al-Qur’an

surat al-T}alaq ayat 4.10?

6. Apa saja syarat-syarat pernikahan dalam Islam. 11 ?

7. Berapa minimal Usia yang ditentukan oleh Undang-undang Perkawina? 8. Adakaha minimal usia dalam al-Qur’an. ?

9. Bagaimana jawaban M. Fauzil Adhim mengenai kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial mengenai pernikahan dini dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh

Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”:

bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah

      

7 Tim Permata Pres, Undang-Undang Perkawinan Dan Administrasi Kependudukan,

Kewarganegaraan, (t.t, Permata Press, 2015), 2 

8 Ibid, 5 

9 Ade Kurniawan, Peran Penghulu Dalam Upaya Mencegah Pemalsuan Persyaratan Administrasi

Pencatatan Nikah, Jurnal Inklusif (Cirebon, Nurjati Press), 46 

10 Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan, dan Keserasian AL-Qur’an. (Jakarta,

Lentera Hati, 2002) 298 


(15)

6

penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.12

10.Apa saja Manfa ‘at serta mud{arrahdari berlangsungnya pernikahan dini ?

11. Berapa ukuran usia muda, dewasa, dan tua dalam Isalm ?

C. Rumusan Masalah

Dari krangka latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas, agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu diformulasikan beberapa rumusan masalah yang jadi fokus penulis yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana Penafsirkan Lafad wa al-La>’i> lam yah{id}n Surat al-T{ala>q ayat 4

Dalam tafsir Ja>mi‘ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ’A<y al-Qur’a>n ?

2. Bagaimana Pernikahan Dini Dari Dampak Penafsiran Ibn Jari>r al-T{abari> ?

D. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah:

1. Mengetahui Penafsiranterhadap Lafad wa al-La>’i> lam yah{id}n Surat al-T{ala>q

ayat 4 Dalam tafsir Ja>mi‘ al-Baya>n ‘An Ta’wi>l ’A<y al-Qur’a>n.

2. Mengethui Bagaimana Pernikahan Dini Dari Dampak Penafsiran Ibn Jari>r al-T{abari>

      


(16)

7

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam studi al-Qura’an dan dapat memberikan informasi ruang gerak yang luas terhadap pemahaman studi tafsir tahli>l>>, terutama tentang metodologinya. Penelitian ini juga berfungsi untuk menambah literatur khususnya di Perpustaak UIN Sunan Ampel Surabaya, yang berkenaan dengan kajian Tafsir.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi peikiran kepada pemerhati diskursus tafsir dalam rangka memahami ayat-ayat al-Qur’an melalu pengembang metodologinya agar dapat menghasilkan sebuah pemahaman yang utuh dan integral. Selain itu agar dapat memahami penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang Pernikahan Dini.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan uraian singkat hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang masalah sejenis, sehigga diketahui secara jelas posisi dan kontribusi peneliti.

Al-Qur’an yang luas dan lengkap materi pembicaraannya menuntut para peneliti muslim melakukan kajian-kajian akan teks dan kontribusinya dengan


(17)

8

cermat, berkesinambungan dan sesuai dengan motivasi, urgensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Konsekwensi logisnya adalah kerja intelektual yang memfokuskan bahasannya kepada term-term yang termaktub di dalam al-Qur’an, bisa jadi berlangsung simultan, berkesinambungan atau pengulangan disamping independen dan baru sebagai perwujudan dari fa istabiqu> al-khayra>t dengan berusaha menghindarkan diri dari tradisi plagiat dan berupaya menumbuhkan etika akademik.

Tinjauan Hukum Terhadap Pernikahan Dini Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Di Indonesia, Skripsi ini dutulis oleh Iip Adinata Mahasiswa

UIN Sunan Kali jaga. Bahasan dalam skripsi ini, bahwa perkawinan dini dalam Islam tidak pernah diatur, akan tetapi Islam hanya mengatur tentang batas kedewasaan dalam perkawinan. Sementara itu dalam Hukum Perkawinan di Indonesia telah diatur tentang usia perkawinan, yang berarti adanya larangan tentang perkawinan dini.

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Urgensi Pernikahan Dini di Desa Labuhan Kecamatan Kreseh Kabupaten Sampang, Skripsi ini ditulis oleh Alfian

Alfarisi, Skripsi ini adalah hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan : bagaimanarndeskripsi tentang urgensi pernikahan dini di Desa Labuhan Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap urgensirnpernikahan dini di Desa Labuhan Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang. Skripsi ini juga menyebutkan faktor terjadinya urgensitas pernikahan


(18)

9

dini di Desa Labuhan adalahrnkarena beberapa faktor, diantaranya karena masalah ekonomi, kurangnya pendidikan, desakan masyarakat/ aparat desa dll.

Fikih reproduksi perempuan : tinjauan terhadap aborsi dan pernikahan dini, Skripsi ini ditulis oleh Rusli UIN Sunan Ampel Surabaya Skripsi ini

menelaah terhadap isu-isu kontemporer penting, seperti pernikahan dini dan aborsi. Keduanya berkaitan erat dengan kesehatan wanita. Islam yang mempunyai konsen pada isu-isu ini telah meletakkan tata aturan legal yang bersifat general. Dalam skripsi ini sangat memandang terhadap kesehatan wanita.

Studi Kompraratif Pemikiran Husein Muhamada dan Siti Musdah Mulia Tentang Pernikahan Dini, Skripsi ini ditulis oleh Syamsul Arifin, dalam Skripsi

ini memaparkan Pemikiran Husein Muhammad dan Musdah Mulia terkait Pernikahan dini, Menurut keduanya, Pernikahan Dini Tidak baik untuk dilakukan, Husein Muhammad menyatakan pernikahan dini harus diliat adak tidaknya ke-mudharratannya, kalo ada lebih baik dihindarkan. Sedang musdah mulia berpendapat bahwa perikahan dini melanggar HAM, karna memutuskan masa pendidikan anak, serta ditilik dari kesehatan.

Penyesuaian Diri Dan Keharmonisan Suami Istri Pada Keluarga Pernikahan Dini (Studi Kasus Terhadap Dua Pasutri Keluarga Pernikahan Dini)

Skripsi yang ditulis Oleh Nur Erlina sari ini merupakan penulisan kualitatif yang dilakukan secara langsung terhadap obyek yang diteliti, untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan penyesuaian diri dan upaya memberntuk prnikahan Dini.


(19)

10

Selama peninjauan peneliti terdahulu yang ada, penulis belum menemukan penelitian yang khusus membahas Pernikahan Dini dengan Tinjauan Tafsir tahli>li>,

lebih banyak karya Pernikahan Dini yang di spesifikasian terhadap penelitian daerah tertentu, perlu adanya sebuah penelitian yang khusus membahas tentang hal tersebut.

Disini peneliti mencoba mengkaji Pernikah Dini yang telah termaktub dalam Hukum Konvesionl dan seperti apa pernikahan dini dalam al-Qur’an dengan focus lafadz wa al-La’i> lam yah{id{n surat al-T{ala>q ayat 4.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan, mengingat data-data primer dan sekundar yang diperlukan, dikumpulkan, di analisis dan ditafsirkan semuanya berasal dari sumber-sumber informasi tertulis berupa ayat-ayat al-Qur’an. selanjutnya dengan macam penelitian di atas dan tujuannya, maka metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah

deskriptif. Metode Deskriptif tertuju pada masa sekarang, masalah-masalah actual. Pelaksanaanya tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Data yang terkumpul mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Pada tahap yang terakhir, metode ini harus sampai kepada kesimpulan-kesimpulan atas dasar penelitian data.13

      

13 Winarno Surakhmad, Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan tehnik (Bandung: Tarsito, 1998),


(20)

11

Sehubungan materi bahasaannya menyangkut masalah tafsir, maka metode penelitian dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode penafsiran al-Qur’an dari segi tafsir tahli>li>. yaitu, metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut..14

Ringkasnya metode penafsiran tahli>li> dapat diringkas dengan beberapa langkah sebagai berikut:

a. Urutan-urutan ayat dan surat berdasarkan mus}h}af

b. Menafsirkan kosa-kata pada ayat al-Qur’an. c. Menjelaskan munasabah (korelasi) antar ayat.

d. Menjelaskan latar historis turunnya ayat.

e. Menjelaskan dalil-dalil yang terkandung dalam ayat.

Setelah semua langkah tersebut sudah ditempuh, mufassir tahlili lalu

menjelaskan seluruh aspek dari semua penafsiran dan lalu memberikan penejelasan final dari semua penafsiran tersebut.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan dokumenter yaitu dengan berdasarkan kejadian yang sebenarnya, nyata, realitas. Tidak imajinatif, latar belakang otentik, melakukan observasi berdasarkan fakta. Melakukan penelitian apa adanya, serta konsentrasi pada isi dan pemaparan.

      


(21)

12

3. Sumber Data

Kajian yang menelaah kitb-kitab tafsir, khususnya yang menelaah penafsiran terhadap lafadz wa al-La’i> lam yah{id{n dapat dilihat dari sumber

rujukan yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, baik dari buku dan kitab yang memiliki literatur Arab maupun Indonesia, penulis menemukan beberapa literatur baik dari sumber data primer maupun sumber data sekunder yaitu :

a. Data Primer

Objek penelitian dalam skripsi ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang mengindikasikan adanya Pernikahan Dini. Oleh sebab itu data primer yang digunakan adalah al-Qur’a>n al-Kari>m.

Sehubungan masalah pokok penelitian ini tercakup dalam wilayah kajian tafsir, maka sumber-sumber data primer lainnya yang amat relevan dan urgen serta dapat mengantarkan penelitian ini ke tataran representatif

ialah kitab-kitab tafsir seperti

1) Tafsi>r al-T{abari> ‘An Ta’wi>l ’A>y al-Qur’a>n, karya Ibn Jari>r al-T}abari>, ditulis pada akhir kurun yang ketiga dan mulai mengajarkan kitab karangannya ini kepada para muridnya dari tahun 283 sampai tahun 290 hijriyah.15 Tafsir ini dikenal dengan tafsir bi al-Ma’thu>r, wlaupun demikian al-T{abari> dalam menentukan makna yang palig tepat pada sebuah lafad juga menggunakan Ra’y. tafsir ini menggunakan metode

      

15 Abu> Ja ‘far Muhammada Ibn Jari>r al-T}abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ’Ay al-Qur’a>n, (Kairo,


(22)

13

tahli>li>, sebab penafsirannya berdasarkan pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam urutan mus}h}af .16

b. Data Sekunder

Adapun sumber data dan informasi pendukung dan sekunder, semacam kitab-kitab ‘Ulu>m al-Qur’a>n dan kamus bahasa Arab dan serta buku-buku yang membahas tentang pernikahan dini seperti

1) al-Munawwir karya Achmad Warson Munawwir. Munawwir adalah

salah satu kamus yang sangat lengkap, lenggkap digunakan, ketika data yang digunakan dalam bentuk bahasa arab. Kamus ini sangat mudah ketika mencari kosakata yang dianggap sulit.

2) Tafsi>r al-Jala>layn karya Jala>l al-Di>n al-Mahalli> dan Jalal al-Di< al-Suyu>t{i>, Tafsir ini merupakan tafsir yang menggunakan bentu bi al-ra’y.

Karen dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtiha>d , adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jala>layn menggunakan metode ’ijmali sebagaimana diungkpkan oleh al-Suyu>t}i> bahwa beliau menafsirkan sesuai metode yang digunkan oeh al-Mahalli>, yakni berangkat dari qawl yang kuat, ’i‘rab lafad yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap yang beda diungkapkan dengan simple dan padat, serta meninggalkan ungkapan yang panjang dan tidak perlu.17

      

16 Abu> Ja ‘far Muhammada Ibn Jari>r al-T}abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an . 149 

17 Jala>l al-Din al-Suyu>t{i> dan jala>l al-Din al-Mahalli>, Tafsi>r al-Jala>layn, (Arabia: Da>r Ihya>


(23)

14

3) Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya ‘Ima>d al-Di>n Ab al-Fida>’ ’Isma>‘i>l Ibn Kathi>r, tafsir ini salah satu tafsir yang menggunakan pendekatan bi al-ma’thu>r , Ibn Kathi>t lebih banyak mencantumkan periwayatan baik dari hadis-hadis Nabi, perkataan para Sahabat dan tabi’in sebagai sumber argumentasinya, tak jarang Ibn Kathi>r juga memberikan penjelasan tentang jarh} wa ta‘di>l pada periwayatan, men-s}ah}i>h}-kan dan men-do‘if-kan hadis.18

4) Ru>h} al-Ma‘a>ni> karya al-’Alu>si>, sumber-sumber yang dipakai al-’Alu>si> adalah memadukan sumber al-ma’thu>r dan ra’y. artinya dalam menafsirkan suatu ayat al-’Alu>si> menggunakan sumber riwayat dari Nabi atau Sahabat atau bahkan Tabi‘i>n tentang penafsiran al-Qur’a>n, dan terkadang menggunakan ’jtiha>d dirinya sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal inilah tafsri al-’Alu>si> digolongkan kepada tafsir bi al-ra’y karena dalam tafsrinya lebih mendominasi ’ijtiha>d-nya. Hal ini juga bias dilihat pada isi

muqaddimah-nya. Ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bi al-ra’y

dan argument tentang bolehnya tafsir bi al-ra’y termasuk kitabnya sendiri.19

5) Al-Bah{r al-Muh}i>t{} Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang

tergolong bi al-Ra’y karya Shaykh Muhammad Ibn Yu>suf Ibn H{ayya>n

      

18 Muhammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Da>r al-Hadith, t.t. ), 9  19 Sayyid Muhammad al-’Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m we Sab‘u


(24)

15

al-’Andalusiyyi>. Tafsir ini berjumalalh 8 jilid.20 Karakteristik dari tafsir ini ialah dilengkapi dengan cabang ilmu nah{w, s}arraf, bala>ghah,

hokum-hukum fikih dll. Ab H{ayya>n dalam menafsirkannya bergantung pada kitab tafsir sebelumnya, selain itu dalam penafsirannya Ab H}ayya>n, kereap menyebutkan isra’iliyyat , meletakan shawa>hid dalam menulis tafsir, serta mnyebutkan qira’ah dan ’I’ra>b. 21

6) Taysi>r al-Kari>m al-Rahma>n Fi> Tafsi>r Kala>m al-Manna>n karya ‘Abd.

Al-Rahma>n Ibn Na>s}ir al-Sa‘di>, dalam muqaddimah-nya dijelaskan

bahwasanya ‘Abd. Al-Rahma>n Ibn Na>s}ir al-Sa‘di berusaha menafsirkan ayato-ayat al-Qur’an semudah mungkin untuk difahami, ‘Abd. Al-Rahma>n Ibn Na>s}ir al-Sa‘di lebih banyak menafsirkan daengan pendapat-pendapat Ulama tafsir terdahulu, tidak panjang-panjang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau hanya beliau kerap meringkas dari tiap maksud-maksud dari penafsirannya, kadang beliau kerap menyampaikan siya>q al-kala>m dan siya>q li ’ajlih dari makna lain dari setiap ayat, beliau juga menyebutkan asba>b al-Nuzu>l dari ayat yang ditafsiri, beliau juga menempat kan pendapatnya dan pendapat Ulama lain, tanpa menyebutkan dari tiap tiap perbedaannya.22

7) Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, karya Ibn ‘Ashu>r, beliau kerap menyampaikan wawasan umum mengena dasar-dasar penafsiran dan bagaimana seorang penafsir berinteraksi dengan kosakata, makna,

      

20 Abu> Hayya>n al-’Andalusiyy, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 1, (Beirut: Da>r al-’Ilmiyyah, 1993),. 2  21 Ibid,. 4 

22 ‘Abd. Al-Rahma>n Ibn Na>s}ir al-Sa‘di>, Taysi>r al-Kari>m al-Rahma>n Fi> Tafsi>r Kala>m al-Manna>n,


(25)

16

lafad dari al-Qur’an. Yaitu pada bagian pertama beliu membahas tentang tafsir, takwil dan posisi tafsir sebagai ilmu, kemudian berbicara tentang refrensi dalam ilmu tafsir, keabsahan tafsir bi al-ma’thu>r dan bi al-Ra’y , menjelaskan maksud dari seorang mufassir, menjelaskan latar belakang turunnya ayat, selain itu dicantumkan juga, tentang qira>’ah dan kisah-kisah dalam al-Qur’an, tentang nama, jumlah ayat dan surat, susunan dan nama-nama al-Qur’an, berisikan tentang

’i‘ja>z al-Qur’a>n 23

8) Al-Mar’ah Bayn al-Fiqh wa al-Qanu>n, karya Dr. Must}afa> al-Siba>‘i>, kitab ini menjelaskan tentang fikih-fikih wanita, aturan tentang wanita, serta peran bagi wanita. Menurut al-Siba‘i> dalam

muqaddimah-nya, kitab ini tidak ada maksud untuk meninggikan

posisi wanita ataupun membela wanit, melainkan hanya menjelaskan posisi winita yang sebenarnya serta memaparkan yang dialami wanita dalam agama maupun negara.24

9) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1747 Tentang Perkawinan &

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Buku ini disusun oleh Yoga

Anggoro yang berisi undang-undang tentang perkawinan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga termasuk produk hokum Negara Indonesia yang wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami undang-undang

      

23 Ibn ‘Ashu>r, Al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, juz 28, (Tu>nas, Da>r al-Tu>nasiyyah, 1984 H), 80  24 Mus}t}afa> al-Siba>‘i>, al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2010), 3 


(26)

17

tersebut, seluruh masyarakat Indonesia diharapkan semakin menyadari hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bagi berlangsungnya kehidupan.25

Selain buku-buku di atas, juga buku-buku lain yeng memiliki relevansidengan penelitian ini derekrut untuk dijadikan literature.

4. Teknik Alanilisi Data

Teknik analisi data yang penulis gunakan adalah Content analysis yaitu

penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam

Tahapan Proses Penelitian Content Analysis Terdapat tiga langkah

strategis penelitian Content Analisis

a. Penetapan desain atau model penelitian. Di sini ditetapkan berapa media, analisis perbandingan atau korelasi, objeknya banyak atau sedikit dan sebagainya.

b. Pencarian data pokok atau data primer, yaitu teks itu sendiri. Sebagai analisis isi maka teks merupakan objek yang pokok bahkan terpokok. Pencarian dapat dilakukan dengan menggunakan lembar formulir pengamatan tertentu yang sengaja dibuat untuk keperluan pencarian data tersebut.

c. Pencarian pengetahuan kontekstual agar penelitian yang dilakukan tidak berada di ruang hampa, tetapi terlihat kait-mengait dengan faktor-faktor lain.

      

25 Yoga anggoro, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1747 Tentang Perkawinan & Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet I (Jakarta: Visimedia, 2007), 5 


(27)

18

Dasar-dasar Rancangan Penelitian Content Analysis prosedur dasar

pembuatan rancangan penelitian dan pelaksanaan Content Analysis terdiri atas

6 tahapan langkah, yaitu:

a. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesisnya

b. Melakukan sampling terhadap sumber-sumber data yang telah dipilih c. Pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis

d. Pendataan suatu sampel dokumen yang telah dipilih dan melakukan pengkodean

e. Pembuatan skala dan item berdasarkan kriteria tertentu untuk pengumpulan data

f. Interpretasi/ penafsiran data yang diperoleh.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini, penulis menyusun krangka pemikiran secara sistematis, yang disajikan dalam bab sebagai berikut:

Pada bab pertama dimulai dengan pendahuluan yang dijelaskan tentang latar belakan maslah berikut pokok masalah sebgai dasar yang memotivasi dan mengilhami penulis untuk membahasnya. Bagian ini meliputi pula perumusan masalah yang mencakup identifikasi masalah, pembatasan masalah beserta pertanyaan masalah. Selanjutnya pada bagian ini diutarakan tujuan dan kegunaan penelitian yang menjadi arah sekaligus sasaran pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Kemudian pada bab ini dibahas dan diungkapkan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metodelogi penelitian serta sisitematika pembahasan. Dengan demikian


(28)

19

akan diperoleh kejelasan mengenai konteks penelitian berikt penjelasan bagi masing-masing bab dalam setiap topic yang dikaji.

Dalam bab kedua, dikemukakan tentang landasan teori berupa definisi pernikahan dini, factor-faktor pernikahan dini, serta pernikahan dini dari berbagai perspektif, serta tidak lepas juga membahas metode dan kaidah tafsir sebagai teori dalam memahami ayat-ayat yang di teliti.

Adapun dalam bab ketiga, memaparkan tentang biografi Ibn Jari>r al-T}abari> dan memaparkan seputar tentang kitab Ja>mi ‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ’A>y al-Qur’a>n penafsiran Ibn jari>r al-T{abari> mengenai lafadz wa al-La’i> lam yah{id{n. Tidak lepas juga membahas tntang penafsiran yang sedikit berbeda.

Sedangkan pada bab ke empat, menjelaskan tentang bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai batasan usia pernikahan. yang meliputi telaah penafsiran lafad wa al-la>’i> lam yah}id}n, dampak dari penafsrian al-T{abari>, tentang Hukum Positif Pernikahan Dini yang menjadi landasan dilarangnya Pernikahan usia dini. Dilanjutkan dengan mengupas tentang dinamika pernikahan dini.

Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan dari pembahasan-pembahasan yang ada di bab-bab sebelumnya dan saran-saran.


(29)

20

BAB II

PERNIKAHAN DINI

A. Definisi Pernikahan Dini

Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai Pernikahan Dini, penulis akan memaparkan mengenai Definisi-Definisi tentang Pernikahan Dini;

1. Definsi Nikah

Nikah berasal dari kata nakah{a, yankihu,{ nika>h{an yang secara etimologi

berarti menikah (al-tazawwuj), bercampur (’ikhtila>t{) , dan bersenang-senang

(’istimta>‘).1

Al-Qur’an menggunakan kata nika>h{ yang mempunyai makna

“perkawinan”, disamping secara majazi (metaphoric) diartikan dengan

“hubungan seks”. Selain itu juga menggunakan kata zawj asal kata al-zawj

yang berarti “pasangan”, untuk makna nikah ini karena menikah menjadikan orang memiliki pasangan.2

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan oleh para ahl al-fiqh

yang mana tidak ada perbedaan pada dasarnya, hanya berbeda dalam redaksi saja, adapun nikah secara etimologi, nikah adalah:

      

1 S{aleh ibn Gha>nim > al-Sudla>n, Risa>lah fi al-Fiqh al-Muyassar, (Arab Sa‘udi: wuzara>t al-shu’u>n

al-‘islamiyyah wa al-‘auqa>f wa al-da’wah wa al-‘irsha>d, 1425 H), 121 

2M. Quraish Shihab,Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.


(30)

21

a. Menurut H}anafiyyahnikah adalah:

اﺪ

ﺔ ﳌا

ﺪ ﻔ

ﺘﺎﻜ ا

b. Menurut al-Shafi‘iyyahnikah adalah:

ﺎﳘﺎ

وا

وﺰ

وا

ﺘﺎﻜ إ

ﻆﻔ ﺑ

ﻃو

ﺘﺎﻜ ا

c. Menurut Ma>likiyyah nikah adalah:

ﺔ د

ذﺬ ا

دﺮﳎ

ﺘﺎﻜ ا

d. Menurut H}ana>bilah nikah adalah:

عﺎ ﻹا

ﺔ ﻔ

وﺰ

وا

ﺘﺎﻜ إ

ﻆﻔ ﺑ

ﺘﺎﻜ ا

Adapun definisi menurut Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) adalah:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang maha Esa.6

2. Definisi Dini

Definisi Dini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu/hal yang belum pada waktunya.7

      

3 ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ja>ziri>, al-Fiqh ‘ala> al-Maz}ahib al-‘arba‘ah, cet. I (Bayru>t: Dar al-Fikr,

2002,), 3 

4 Ibid.,, 5. 

5 ‘Abd al-Basit Mutawalli>, Muha>d{arah fi Fiqh al-Muqa>ran, (Mesir.,t.p,t.t), 120 

6Tim Permata Pres, Undang-Undang Perkawinan Dan Administrasi Kependudukan,

Kewarganegaraan, (t.t, Permata Press, 2015), 2 


(31)

22

Anak usia dini adalah anak yang berada pada usia 0-8 tahun. Menurut Beichler dan Snowman.8 Anak usia dini adalah anak yang berusia antara 3-6

tahun. Sedangkan hakikat anak usia dini adalah individu yang unik dimana ia memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosioemosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus yang sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut.

Dari berbagai definisi, peneliti menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia yang sedang dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun mental.

B. Sejarah Pernikahan Dini

Sejarah Pernikahan dini, bukanlah masalah baru-baru ini, melainkan pernikahan dini sudah sering terjadi di ratusan tahun silam, ada beberpa artikel yang telah membahas mengenai sejarah pernikahan dini dibelahan duni antara lain:

1. Yunani Kuno

Seorang gadis di Yunani kuno dijodohkan pada usia 5 tahun dan menikah pada usia rata-rata 14-15 tahun dan mempelai prianya sekitar 30 tahun.9

      

8 Dwi Yulianti, Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak, (Jakarta: PT Index, 2010),

9


(32)

23

2. Romawi Kuno

Pada umumnya, pada kisaran tahun 530M, usia legal seorang mempelai wanita menikah adalah 12 tahun dan untuk mempelai pria 14 tahun, pertunangan dilakukan jauh sebelum usia tsb, umumnya pada usia 7 tahun. Kaisar Agustus yang berkuasa jauh sebelumnya (7M) menetapkan batas usia minimal perkimpoian adalah 10 tahun. Penetapan usia legal menikah ini tidak mempertimbangkan seorang gadis telah mencapai puber atau belum. Asalkan usia legalnya sudah terpenuhi, pernikahan bisa dilaksanakan.10

3. Mesir Kuno

Usia umum pernikahan di Mesir kuno, untuk wanita 12/13 tahun dan laki-laki 14 tahun, bahkan catatan yang pernah ditemukan tentang usia pernikahan seorang gadis mesir kuno pada masa yunani-roma adalah 8 tahun. 4. China

Setiap dinasti memiliki batas usia pernikahan yang berbeda-beda, dinasti Han menetapkan batas usia pernikahan 15 tahun, dinasti Tang 25 tahun, Qing 16 tahun. Pada pertengahan dinasti Ching, suku Lolo di Propinsi SzeChuan bahkan menikahkan anak-anaknya pada usia 4-5 tahun.

5. Eropa

Di Eropa, pada abad pertengahan, wanita kelas atas biasanya menikah pada usia 12 tahun dan maksimal 14 tahun, sedangkan laki-laki biasanya menikah pada usia 17 tahun.

      

10


(33)

24

Sedangkan wanita kelas menengah ke bawah, khususnya masyarakat petani, orang tua dari mempelai tidak punya kekuasaan untuk menentukan pernikahan anaknya. Di sebagian wilayah eropa, pernikahan para wanita kelas menengah ke bawah diatur oleh para bangsawan tuan tanah, penguasa feudal setempat. Dan para penguasa ini merenggut keperawanan mempelai wanita sebelum menikah dengan pasangannya.

Aturan penguasa feudal itu disebut dengan Jus Primae Noctis yang artinya Jus = Hukum, Primae Noctis = “malam pertama”, di Perancis disebut Droit de Seigneur yang artinya Hak Tuan Tanah, di Jerman disebut dengan das Recht der ersten nacht yang artinya Hak atas malam pertama.

Mungkin para pembaca sering mendengar kisah Romeo dan Juliet. Dalam kisah tersebut digambarkan Juliet berusia 13 tahun saat menikah, dan ibu Juliet baru berusia 26 tahun. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa masyarakat di Eropa pada abad pertengahan menganggap biasa menikah pada usia tersebut.11

Dalam kaitan sejarah mengenai Pernikahan dini di Eropa, penulis menemukan penulis menemukan artikel yang berisi table tentang legal usia pernikahan dari tahun 1880 dan 1920 hingga tahun 2007, yang ditulis oleh Stephen Robertson, University of Sydney, Australia, Age of Consent Laws12

      

11

https://ahmadfarisi.wordpress.com/2015/10/02/sejarah-pernikahan-dini-di-berbagai-belahan-dunia/, Senin 13, Juni, 2016, 00:56 

12http://chnm.gmu.edu/cyh/teachingmodules/230?section=primarysources&source=24, Senin 13


(34)

25

Age Limit in Age of Consent Laws in Selected Countries

1880 1920 2007

Austria 14 14 14

Belgium - 16 16

Bulgaria 13 13 14

Denmark 12 12 15

England & Wales 13 16 16

Finland - 12 16

France 13 13 15

Germany 14 14 14

Greece - 12 15

Italy - 16 14

Luxembourg 15 15 16

Norway - 16 16

Portugal 12 12 14

Romania 15 15 15

Russia 10 14 16

Scotland 12 12 16

Spain 12 12 13

Sweden 15 15 15

Switzerland Various 16 16

Turkey 15 15 18

Argentina - 12 13

Brazil - 16 14

Chile 20 20 18

Ecuador - 14 14

Canada 12 14 14

Australia

New South Wales 12 16 16

Queensland 12 17 16

Victoria 12 16 16

Western Australia 12 14 16

United States

Alabama 10 16 16

Alaska - 16 16

Arizona 12 18 18

Arkansas 10 16 16

California 10 18 18

Colorado 10 18 15


(35)

26

District of Columbia 12 16 16

Delaware 7 16 16

Florida 10 18 18

Georgia 10 14 16

Hawaii - - 16

Idaho 10 18 18

Illinois 10 16 17

Indiana 12 16 16

Iowa 10 16 16

Kansas 10 18 16

Kentucky 12 16 16

Louisiana 12 18 17

Maine 10 16 16

Maryland 10 16 16

Massachusetts 10 16 16

Michigan 10 16 16

Minnesota 10 18 16

Mississippi 10 18 16

Missouri 12 18 17

Montana 10 18 16

Nebraska 10 18 17

Nevada 12 18 16

New Hampshire 10 16 16

New Jersey 10 16 16

New Mexico 10 16 17

New York 10 18 17

North Carolina 10 16 16

North Dakota 10 18 18

Ohio 10 16 16

Oklahoma - - 16

Oregon 10 16 18

Pennsylvania 10 16 16

Rhode Island 10 16 16

South Carolina 10 16 16

South Dakota 10 18 16

Tennessee 10 18 18

Texas 10 18 17

Utah 10 18 16

Vermont 10 16 16

Virginia 12 16 18


(36)

27

Hampir di setiap Negara bagian menunjukkan pada tahun 1880 usia kedewasaan rata-rata adalah 10 tahun, bahkan di Negara bagian Delaware hanya 7 tahun. Tahun 1880 berjarak cukup dekat dengan waktu saat ini.

C. Kebijakan Pemerintah Indonesi Mengenai Pernikahan Dini.

Dalam masalah batas umur untuk kawin di Indonesia Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.13

Pembatasan usia minimal melangsungkan perkawinan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kawin dibawah umur. Selain itu juga dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami istri dan perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin C disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas undang-undang ini

      

13 Tim Permata Pres, Undang-Undang Perkawinan Dan Administrasi Kependudukan,

Kewarganegaraan, (t.t, Permata Press, 2015), 2 

West Virginia 12 16 16

Wisconsin 10 16 18


(37)

28

mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun.14

D. Pernikahan Dini perspektif fikih

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (H}ifz} al-Nasl). Oleh

sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.15

Terkait mengenai Pernikahan dini, dalil hadis yang sering di jadikan

hujjah oleh para Ulama ialah pernikahan Ra>sul Allah dengan ‘A>’ishah dalam

hadis yang di riwayatkan Muslim:

،ﺴﺔﺴﺸِﺎﺴ

ْ ﺴ

:

ْ ﺴﺎﺴ

»

ﺴﺴأﺴو

ِﰊ

ﺴﺴـﺑﺴو

،ﺴﲔِِ

ِّ ِ

ُ ِْﺑ

ﺴﺴأﺴو

ﺴ ﺴ ﺴو

ِﻪْﺴﺴ

ُﷲ

ﻰ ﺴ

ِﱯ ا

ِﺴوﺴﺰﺴـ

ﺴﲔِ ِ

ِ ْ ِ

ُ ِْﺑ

«

١

Dalam hadis ini ‘A<’ishah menyatakan bahwasannya Rasu>l Allah

menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan hidup bersama setelah usianya Sembilan tahun.

Ulama sepakat bahwasannya orang tua boleh menikahkan anaknya yang masih belum ba>ligh dengan sekedar akad tanpa tinggal bersama, beda dengan

      

14 Ibid., 2 

15 Ibra>hi>m, al-Baju>ri>, vol. 2 (Semarang: Toha Putra, t.t), 90 


(38)

29

pendapat Shubra>mah bahwasannya tidak boleh bagi ayah menikahkan anaknya yang belum ba>ligh, harus nunggu ia dewasa dan memberikannya hak memilih.17 Tidak ada qawl satupun yang sependapat dengan Ibn Shubra>mah, Sedangkan yang jadi perbincangan antar ulamak fiqih itu, jika yang menikahkan anak yang masih kecil itu bukanlah ayah dari perempuan yang hendak dinikahkan,

Adapun menurut Ulama fikih Pernikahan ialah yaju>z walaupun tidak di

wa>t}i’ (lain dengan Ibn Shubra>mah) karena halangan dari dua belah pihaknya, seperti masih kecil, atau dikarenakan adanya penyakit, atau juga dikarenakan tidak sanggup melakukan jima>‘ 18

Mengenai usia perempuan yang bisa ditiduri, para Ulama berbeda pandangan mengenai hal ini, menurut Ahmad Ibn Hanba>l dan Abu ‘Ubayd: perempuan yang boleh di-dukhu>l saat usia sudah berusia Sembilan tahun yang mengikuti langsung dari hads ‘A<’ishah, 19

Menurut ’Abu> Hani>fah: Jika Prempuan itu sudah melebihi usia sembilang tahun, tetapi belum kuat / sanggup untuk di dukhu>l  maka kelurganya boleh untuk

mencegahnya. Dan jika perempuan itu belum berusia Sembilan taun tetapi sudah kuat/ sanggup di dukhu>l  maka keluarganya tidak boleh melarangnya.

Menurut Imam Ma>lik perempuan yang dinikahi di usia belum ba>ligh dan

belum dinikahi, maka suami belum berkewajiban untuk menafkahi.

      

17 Ibn Bat}t}a>l, Shrh Shahi>h al-Bakhari> li Ibn Bat}t}a>l juz 7, maktabah al-sha>milah (Riya>d}: Maktabah

al-Rushd), 247 

18 Ibid,. 247  19 Ibid,. 248 


(39)

30

Sedangkan menurut Imam al-Shafi‘i> : jika perempuan hamper berusia

Sembilan tahun tapi sanggup jika di jima>‘ maka nikahkanlah, dan jika belum kuat

untuk melakukan jima>‘maka keluargnya harus melarangnya.20  

Praktek pernikahan anak di usia dini yang marak terjadi di kalangan masyarakat Muslim merupakan konsekuensi pandangan dalam Fiqh yang pada umumnya menganggap sah. Di dalam literatur Islam klasik, sebenarnya tidak disebutkan berapa batas usia dalam sebuah pernikahan. Mus}t{afa> al-Siba>‘i> dalam

’Al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qa>nu>n menyebutkan tiga pendapat ulama tentang

pernikahan anak.21

Pendapat pertama membolehkan secara mutlak pernikahan dini baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Dasarnya adalah surat al-T}ala>q ayat 4, selain

itu yang dijadikan dalil adalah hadis riwayat ‘A<’ishah yang telah penulis cantumkan diatas.

Pendapat kedua membedakan antara pernikahan dini bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Ibn H{azm Al-Z{a>hiri< misalnya hanya membolehkan

pernikahan dini pada anak perempuan karena dalil-dalil yang ada menurutnya hanya tentang anak perempuan, sedangkan analogi anak laki-laki kecil dengan anak perempuan kecil menurutnya tidak boleh.

Pendapat ketiga melarang pernikahan dini secara mutlak baik bagi anak laki-laki maupun bagi anak perempuan. Seorang wali tidak boleh menikahkan anak kecil, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Pernikahan pada usia dini ini batal dan tidak memiliki pengaruh hukum sama sekali. Ini adalah pendapat Ibn

      

20 Ibn Bat}t}a>l, Shrh Shahi>h al-Bakhari>, 247 


(40)

31

Shubra>mah, Abu Bakar al-’A‘s}am dan Uthma>n Al-Batti>. Alasan mereka adalah

surat al-Nisa>’ayat 6

Dalam wacana fiqh, tidak ada batasan usia minimal dalam pernikahan, namaun yang jdi titik fokus utama dari pernikahan itu, bukan sekedar dari usianya saja, melainkan juga harus memandang kematangan dalam kesiapan berkeluarga, yang mana untuk menilai seseorang dari kematengan berfikir dan akalnya bisa diperhatikan ketika usia mencapai lima belas tahun.22

E. Metode Tafsir Tahli>li>

1. Pengertian Tafsir tahli>li>

Tah}li>li> berasal dari bahasa Arab h}allala yuh}allalu tah}li>l yang bermakna membuka sesuatu atau tidak menyimpang sesuatu darinya23 atau bisa juga berarti membebaskan,24 mengurai, menganalisis.25

2. Pengertian Metode Tahli>li>

Tafsir metode tah}li>li> sendiri adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an Mushaf

‘Uthma>ni>.26 Adapun yang memahami metode tafsir ini dengan metode yang

      

22 Mus}t}afa> al-Siba>‘i>, al-Mar’ah bayn. 39 

23 Muhammad Husain al-Dh|ahabi>, al-Isra>i>liya>t fi al-Tafsi>r wa al-Hadi>s} (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1990), 19. 

24 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Jakarta: Amzah, 2007), 120.  25 Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>: Dirasah Manhajiyah Maud}u>iyah,

terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 23. Lihat juga: Mardan, al-Qur’an Sebuah Pengantar (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2010), 17. 

26 Ahmad bin Fa>ris bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah, Juz 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979


(41)

32

digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan dari mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.27

Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat, Muna>sabah / hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, Sabab al-Nuzu>l

(kalau ada), makna global ayat, hukum yang ditarik, yang tidak jarang menghidangkan aneka pendapat para ulama madhab. Ada juga yang menambahkan dengan uraian tentang aneka Qira>’ah, I’ra>b ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistimewaan susunan kata-katanya.28

Dibanding dengan metode tafsir lainnya metode tah}li>li> adalah metode yang paling tua.29 Tafsir ini berasal sejak masa para sabahat Nabi saw. pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya. Dalam perjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh isi al-Qur’an. Karenanya pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat Hijriah (ke-10 M), ahli-ahli tafsir seperti Ibn Ma>jah, al-T{abari> dan lain-lain lalu

      

27 Muhammad bin Mukrim bin Ali Abu al-Fa>dil Jama>luddin bin Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi>, Juz 11

(Beirut: Da>r S{a>dir, 1414 H), 163. 

28 M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 172.  29 Z{ahir bin Awad al-Alma’i, Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> li al-Qur’a>n al-Kari>m (Riya>d}: t.p.,

1404 H), 18. Sebagaimana yang dikutip dari: . Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an, 172. 


(42)

33

mengkaji keseluruhan isi al-Qur’an dan membuat model-model paling maju dari tafsir tah}li>li> ini.30

Dalam pembahasannya, penafsir biasa merujuk kepada riwayat-riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi saw., sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dan termasuk cerita Isra>i>liya>t. Oleh karena pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup kemungkinan penafsirannya diwarnai dengan subjektivitas penafsir, baik latar belakang keilmuan maupun aliran mazhab yang diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecendrungan khusus yang teraplikasi dalam karya mereka.31

Metode tafsir tah}li>li> digunakan sebagian mufassir pada masa lalu dan terus berkembang hingga sekarang. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.32

Metode penafsiran ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan al-Qur’an. Dia menjelaskan kosakata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’ja>z,

      

30 Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>, 24. Lihat juga: M. Quraish

Shihab, Tafsir al-Qur’an Dengan Metode Maudu>’i>: Beberapa Aspek Ilmiyah Tentang al-Qur’an (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an, 1986), 37. Lihat juga: Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68. Bandingkan dengan: Ahmad Syurbasi, Qissaht al-Tafsi>r, terj. Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Kari>m (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), 232. 

31 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui

Dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 378. 

32 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, 57-58. Bandingkan dengan: Abd. Muin

Salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>’i> (Yogyakarta: Pustaka al-Zikra, 2011), 38. 


(43)

34

bala>gah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil shar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.33

Metode ini memiliki beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirnya: ada yang bersifat kebahasaan, Hukum, Sosial Budaya, Filsafat/Sains dan Ilmu Pengetahuan, Tasawuf/Isya>ry, dan lain-lain.34

Pemikir Aljazair kontemporer, Ma>lik Ibn Na>bi‘, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tah}li>li> itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan al-Qur’an,35 sesuatu yang dirasa bukan kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode pefasiran ini karena metode ini menghasilkan gagasan yang beranekaragam dan terpisah-pisah.36

Kitab-kitab tafsir yang menekan uraiannya pada hukum/ fiqh banyak dikritik karena penulisnya terlalu menekan pada pandangan madhhab-nya, sehingga menurut Syaikh Muhammad Abduh, “Mazhab menjadi dasar dan al-Qur’an digunakan untuk mendukungya.” Dengan kata lain al-al-Qur’an dijadikan pembenaran madhhab dan tidak dijadikan petunjuk untuk memperoleh kebenaran.37

      

33 Muhammad Ba>qir al-S{adr, al-Madrasah al-Qur’a>niyah, 7-10 yang dikutip dari: M. Quraish

Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an, 172. 

34 M. Alfatih} Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2005), 42.  35 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Cet. XVII; Bandung: Mizan, 1998), 86. 

36 Abd. Muin Salim, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r Maud{u>’i>, 39.  37 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 379. 


(44)

35

Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufassirnya.38

Para penafsir tidak seragam dalam mengoprasikan metode ini. Ada yang mengurai secara ringkas ada pula yang menguraikannya secara terperinci. Itu semua didasari oleh kecendrungan para penafsir,39 sehingga muncullah berbagai keragaman yang bisa dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tah}li>li> yang jumlahnya sangat banyak,40 dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir yang disebutkan al-Farmawi dalam kitabnya:

a. Al-Tafsir bi al-Ma’s\u>r

b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi

c. Al-Tafsir al-S}u>fi>

d. Al-Tafsir al-Fiqh

e. Al-Tafsir al-Falsafi>

f. Al-Tafsir al-‘Ilmi>

g. Al-Tafsir al-Adabi> al-Ijtima>‘i>41

      

38 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 87 

39 M. Alfatih Suryadilaga, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, 42.  40 M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an , 174.  41 Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>, 24-38. 


(45)

36

Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini, ada yang ditulis sangat panjang, seperti kitab tafsir karya al-’Alu>si, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, dan Ibnu Jari>r al-T{abari>. Ada yang agak sedang, seperti kitab tafsir Imam al-Bayd}a>wi> dan al-Naysabu>ri>. Dan ada pula yang ditulis ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti Tafsi>r Jala>layn karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>ti dan Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.42

Jika diperhatikan pola penafsiran yang diterapkan oleh pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukil di atas, maka terlihat dengan jelas, mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik berbentuk al-Ma’thu>r maupun al-Ra’yi>.

Dijelaskan ayat demi ayat serta surah demi surah secara berurutan, tak ketinggalan keterangan tentang asba>b al-Nuzu>l-nya, demikian pula penafsiran yang diriwayatka dari Nabi saw., sahabat, ta>bi’in, tabi’ ta>bi’i>n, dan penjelasan berbagai ulama lainnya dari berbagai keahlian seperti ahli bahasa, sastra dan sebagainya. Tak terlupakan juga penjelasan tentang korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau korelasi antara surat yang satu dengan yang lainnya.43 Dari ciri-ciri yang didapati tadi sudah bisa diprediksi bahwa kitab-kitab tafsir yang tersebut di atas adalah kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tah}li>li>.

      

42 M. Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur’an , 174.  43 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, 70-71. 


(46)

37

3. Kekurangan dan Kelebihan Metode Tah}li>li>

a. Kelebihan

1) Metode ini banyak digunakan oleh para Mufassir, terutama pada zaman

klasik dan pertengahan, sekalipun ragam dan coraknya bermacam-macam.

2) Penafsiran terhadap ayat dapat dilakukan seluas mungkin, dengan

tinjauan dari berbagai sudut dan aspeknya, sehingga terlihat bahwa satu ayat memiliki cakupan yang sangat luas.

3) Penafsiran terhadap satu ayat dapat dilakukan secara tuntas, baik dari

sudut bahasa, sejarah sebab turunnya, korelasinya dengan ayat yang lain atau surat yang lain, maupun kandungan isinya. Dengan metode ini dapat dikatakan, semua bagian dari ayat dapat ditafsirkan dan tidak ada yang ditinggalkan.

4) Pada saat melakukan penafsiran, mufassir dapat memfokuskan perhatian

kepada satu ayat saja, tanpa harus mencari atau menghubungkan dengan ayat-ayat lain yang membicarakan masalah yang sama, dengan demikian fokus perhatian menjadi terarah.

5) Metode ini dapat memberikan kontribusi terhadap metode-metode tafsir

lain sebagai pijakan dalam menghimpun ayat-ayat yang mengacu pada suatu topik khususnya metode Mawd}u>i> (tematik) dan dapat diibaratkan

sebagai bahan baku bagi tafsir Mawd}u‘i>.44

      

44 Kelebihan-kelebihan ini bisa dibaca pada: Anshori, Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad


(47)

38

b. Kekurangan

1) Metode ini tidak dapat menyelesaikan secara tuntas suatu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutan pada ayat lain pada bagian lain dalam surat lain yang dibahas tidak dapat diselesaikan secara utuh

2) Terkesan agak mengulang-ulang sehingga menghambat perkembangan pemikiran Islam disamping juga akan menghabiskan waktu yang sangat lama.

3) Para mufassir yang muenggunakan metode ini umumnya pasif, karena al-Qur’an hanya ditonjolkan arti h}arfiyah, mencatat sejauh kemampuannya,

membatasi dirinya terhadap pengungkapan arti ayat-ayat al-Qur’an secara terinci.

4) Metode ini sering digunakan oleh mufassir sebagai alat untuk melegitimasi pendapat-pendapatnya sendiri dengan ayat-ayat al-Qur’an, dengan kata lain, melalui metode ini mufassir dapat menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang bisa digunakan untuk memperkuat pendapat pribadinya. Dengan demikian, nilai objektivitas penafsiran menjadi berkurang.

5) Metode ini tidak mampu memberikan jawaban yang tuntas dan menyeluruh terhadap berbagai problem yang dihadapi umat dan tidak banyak memberi rambu-rambu yang dapat mengurangi subjektifitas mufassirnya.45

      


(48)

39

6) Pembahasan yang dilakukan melalui metode ini terasa seakan-akan mengikat generasi berikutnya. Karena penafsirannya bersifat sangat umum dan teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran terhadap persoalan-persoalan khusus yang dialami oleh mufassir di dalam kehidupan masyarakat mereka, akibatnya penafsiran tersebut memberikan kesan seolah-olah itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.

7) Metode ini biasanya menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Ini sebagaimana diungkapkan oleh M. Quraish Shihab dan Muhammad Bagir al-Shadr. Menurut M. Quraish Shihab, metode ini seperti halnya orang prasmanan, bisa lebih santai dan memuaskan penafsirnya, tetapi memang memakan waktu yang lama.46

F. Kaidah Penafsiran

Kaidah penafsiran yang digunakan dalam memahami ayat yang yang terkait ialah, Asba>b al-Nuzu>l, ‘A>m Kha>s}, Muna>sabah, dan Mant}u>q Mafhu>m.

1. Kaidah ’Asba>b al-Nuzu>l

Pengetahuan tentang ’Asba>b al-Nuzu>l merupakan hal penting apabila

hendak memahami al-Qur’an Pengetahuan tentang ’Asba>b al-Nuzu>l merupakan

      


(49)

40

salah satu syarat yang harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkan al-Qur’an di samping ilmu ilmu lainnya.47

Karena dengan mengetahui ’Asba>b al-Nuzu>l akan mengantarkan pada

pengetahuan tentang makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat.48 Selain

itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara’ dan menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat. Ibn Taymiyyah juga menegaskan bahwa mengetahui ’Asba>b al-Nuzu>l akan

mengantarkan pada pengetahuan tentang musabbab.49

a. Pengertian ’Asba>b al-Nuzu>l

Secara terminologis banyak rumusan Asbab al-Nuzul yang telah diformulasikan oleh para ulama Ulumul Quran, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Al-Dharqa>ni>

’Asba>b al-Nuzu>l adalah kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum saat peristiwa itu terjadi.50

2) Ab Shuhbah

’Asba>b al-Nuzu>l diartikan sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi

serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.51

      

47 Al-Dhahabi>, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1976), 267  48 Al-Wah}idi>, ’Asba>b al-Nuzu>l, (Saudi : Da>r al-’Is}la>h}, 1992), 8 

49 Al-Suyu>t}i>, al-‘Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr, tt ), 29 

50 Muhammad al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’an, (Kairo: Da>r al-’Ihya>’ Kutub


(50)

41

3) Manna‘ al-Qat}}a>n

’Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan al-Quran turun berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan Nabi SAW. 4) Al-S{abu>ni>

’Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi mengenai hukum syari’i atau meminta penjelasan yang berkaitan dengan urusan agama.

a. Ruang Lingkup ’Asba>b al-Nuzu>l

Turunnya ayat al-Qur’an yang berdasarkan sebab turunnya terbagi menjadi dua bagian:

1) Ayat-ayat yang turun tanpa didahului oleh sebab-sebab tertentu berupa peristiwa atau pertanyaan.

2) Ayat-ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu secara khusus dalam sebuah peristiwa atau sebuah pertanyaan.52

Pendapat tersebut di atas hampir merupakan konsensus ulama ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Akan tetapi ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa

konteks kesejarahan Arabia pra al-Qur’an dan pada masa al-Qur’an diturunkan merupakan latar belakang makro diturunkannya al-Qur’an

       

51 Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dira>sati al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo:

Maktabah al-Sunnah, 1992), 122 


(51)

42

(sebab turun makro), sementara riwayat-riwayat Asbab al-Nuzul yang ada dalam kumpulan hadis Nabi, merupakan mikronya (sebab turun mikro).53

Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat al-Qur’an memiliki sebab sebab yaang melatarbelakanginya.

b. Seputar ’Asba>b al-Nuzu>l

1) Periwayatan ’Asba>b al-Nuzu>l

Para ulama sangat menghargai periwayatan para sahabat sebagai periwayatan yang tidak disangsikan lagi keberadaanya dengan alasan bahwa dasar periwayatan mereka dengan mendengar langsung dari Rasul. Ulama ahli Hadits menetapkan bahwa seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turunnya wahyu, jika beliau meriwayatkan tentang turunnya suatu ayat tentang ini dan itu, maka periwayatannya temasuk periwayatan hadith marfu>‘

2) ‘Umu>m al-Lafz wa Khus}u>s} al-Sabab

Istilah umum al-Lafazh dan Khusus al-Sabab mengandung empat pengertian yaitu umum, Lafaz, Khusus dan Sabab. Istilah-istilah tersebut secara bahasa berarti:

a) Lafazh yang di dalamnya mencakup seluruh satuan tanpa ada batasan.54

b) Sesuatu yang diucapkan berupa perkataan.55

c) Terputusnya satuan dari perserikatan.

      

53 Al Suyu>t}i>, Al-’Itqan fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, tt ), 29 

54 Abdul Rahman, ’S{u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘idah, (Beirut : Da>r al Nafa’is, 1986), 78   55 Ibnu, Manzhur, Lisan al-Arab, (Mesir: Da>r al-Mis}riyyah , 1986 ), 458 


(52)

43

d) Sesuatu yang dengannya sampai kepada sesuatu yang lain. 3) Ta‘addud al-Sabab56

Ta‘addu al-Sabab adalah adanya beberapa riwayat yang berbeda

tentang sebuah ayat yang turun. Hal yang harus dilakukan adalah dengan meneliti periwayatan-periwayatan tersebut untuk mengetahui periwayatan yang dipegang.

4) Ta‘addud al-Nuzu>l

Kebalikan dari permasalahan di atas adalah apabila terdapat beberapa ayat yang turun karena sebab yang satu. Dalam hal ini sepertinya tidak terdapat permasalahan yang serius karena hal tersebut adalah yang mungkin terjadi.

2. Kaidah ‘A>m Kha>s}

a. Pengertian ‘A<m

Al-‘A<m secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan

secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa Al-‘A<m adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai

dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.57 Adakalanya lafadz umum itu ditentukan dengan lafadz yang telah

disediakan untuk itu, seperti lafadz kullu Jam>i‘dan lain-lain.

Maka yang dimaksud dengan Al-‘A<m yaitu suatu lafadz yang

dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh)

      

56 Abdul Rahman, Op. Cit, 402 


(53)

44

dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.seperti

Al-Rija>l, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.58

Manna‘ Kha>lil al-Qattan mendefinisikan Al-‘A<m sebagai berikut

yaitu lafadz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.59 Adapun Abdul Wahab Khalaf

mendefinisikan Al-‘A<m sebagai berikut yaitu Al-‘A<m ialah lafadz yang

menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu.60

Dari sini bisa disimpulkan bahwa lafadz Al-‘A<m atau umum ialah

lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.

b. Pengertian Kha>s}

Lafadz Kha>s} merupaka lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am memberikan arti umum, yaitu suatu lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang bnyak, maka lafadz Kha>s adalah suatau lafadz yang menunjukan makna khusus.61 Definisi lafadz khas dari para Ulama adalah sebagai berikut:

      

58 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), 184 

59 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, Bogor, 2011),

312 

60 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), 298  61 Mohammad Nor Ikhwan, Memahami Bahasa Al-qur’an,( Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),


(54)

45

1) Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang merupakan kebalikan dari lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.

2) Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang diketahui.

3) Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.62

Jadi yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.63

3. Kaidah Manthu>q Mafhu>m

a. Pengertian Mant}u>qdan Pembagiannya

Secara etimoligi mant}u>q berasal dari bahasa arab nat}aqa yant}uqu

yang artinya berbicara, sedangkan mant}uq isim maf’u>l-nya berarti yang dibicarakan, dan mant}u>q adalah arti yang diperlihatkakn oleh lafad yang diucapkan yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan.64

Dalam kitab Zubdat al-‘it{qa>n fi> Ulu>m al-Qur’an membagi mant}uq

menjadi dua bagian yaitu lafad yang kemungkinan tidak memiliki lebih dari

      

62 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul, 299  63 Manna’ khalil Al-Qat}t}a>n, 319 


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Djamali, Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 1992.

Al-’Alu>si>,Sayyid Muhammad, Ru>h} al-Ma‘a>ni> Fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m we

al-Sab‘u al-Mathani>, Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.

Ahmad, Dampak Sosial Pernikahan Dini Studi Kasus di Desa Gunung

Sindur-Bogor. FDK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.

Al-’Andalusiyy, Abu> Hayya>n, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}, Juz 1, Beirut: Da>r

al-’Ilmiyyah, 1993.

Anggoro,Yoga,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1747 Tentang Perkawinan &

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga, cet I, Jakarta: Visimedia, 2007. 

Anshori, Menafsirkan al-Qur’an dengan Ijtihad, Jakarta: Referensi, 2012.

Arkoun, M., Berbagai Pembacaan al-Qur’an, Jakarta: INIS, 1997.

Ash Shiddiqy, Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, Jakarta:Bulan Bintang,

1965

‘Ashu>r, Ibn,Al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, juz 28, Tu>nas, Da>r al-Tu>nasiyyah, 1984 H.  ‘As}i>, Husain, wa Khita>buh Ta>rikh al-’Umam wa al-Mulk, Beirut: Da>r Kutub

al-Ilmiyyah, 1992.

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh

UHIV, 1998.

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an: Kajian Kritis Terhadap


(2)

Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996 

Bat}t}a>l, Ibn,Shrh Shahi>h al-Bakhari> li Ibn Bat}t}a>l juz 7, maktabah al-sha>milah,

Riya>d}: Maktabah al-Rushd.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam,Jakarta: Ichtiar Baru Van

Houve, 1997. 

Al-Dhahabi>, M. Husayn, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Bayru>t: Da>r Kutub

al-Ha>dithah, 1976. 

Al-Dh|ahabi>, Muhammad Husain,al-Isra>i>liya>t fi al-Tafsi>r wa al-Hadi>s}, Kairo:

Maktabah Wahbah, 1990.

al-Farmawi>, Abd al-Hayy,al-Bida>yat fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>: Dirasah Manhajiyah

Maud}u>iyah, terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara

Penerapannya, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Fauzil Adhim, Mohammad, 2002, Indahnya Pernikahan Dini, Jakarta: Gema Insani

Pers. 

Franz Rosental, The History of at-Tabari, New york: State University of New york

Press, 1989.

al-H}amawi>, Ya‘qu>b, Mu‘jam al-’Udaba>’, Kairo; al-H}alabi>, 1936.

Hasan, Yunus Abidu. Sejarah Tafsir dan Metode {{Para Mufassir, Jakarta: Gaya

Media, 2007.

Ibra>hi>m, al-Baju>ri>, vol. 2, Semarang: Toha Putra, t.t. 

Ibn Fa>ris, Ahmad, bin Zakariya>, Mu’jam Maqa>yi>s al-Lu>gah, Juz 2, Beirut: Da>r


(3)

Ibn Mukrim Muhammad, bin Ali Abu al-Fa>dil Jama>luddin bin Manz}u>r, Lisa>n

al-‘Arabi>, Juz 11, Beirut: Da>r S{a>dir, 1414 H.

Ikhwan , Mohammad Nor, Memahami Bahasa Al-qur’an, Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, 2002

’Isma‘i>l, Muhammad Bakr, Ibn Jari>r waManhajuhu fi al-Tafsi>r, Kairo: Dar

al-Mana>r, 1991. 

al-Ja>ziri>, ‘Abd al-Rah}ma>n,al-Fiqh ‘ala> al-Maz}ahib al-‘arba‘ah, cet. I, Bayru>t: Dar

al-Fikr, 2002.

Jensen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj, Jakarta: Tiara Wecana,

1997.

al-Juwayni>, Mus}t}afa> S}a>wi>, Mana>hij fi> Tafsi>r, Iskandariyah: Mansha’ah al-ma‘a>rif,

t.t.

Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada 

Kurniawan, Ade, Peran Penghulu Dalam Upaya Mencegah Pemalsuan Persyaratan

Administrasi Pencatatan Nikah, Jurnal Inklusif, Cirebon, Nurjati Press.

al-Ma’i>, Z{ahir bin Awad, Dira>sa>t fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> li al-Qur’a>n al-Kari>m,

Riya>d}: t.p., 1404 H. 

Manzhur, Ibnu, Lisan al-Arab, Mesir: Da>r al-Mis}riyyah , 1986. 

Muslim, S}ah}i>h} Muslim, juz 2, Maktabah al-Sha>milah, Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th,

t.t. 


(4)

al-Qat}t{a<n, Manna’ Khalil, {Pembahasan Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta,

1995. 

al-Qaththan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu al-Qur’an, Jakarta: PT. Pustaka Litera

Antar Nusa, 1994. 

Rahman, Abdul, ’Us{u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘idah, Beirut : Da>r al Nafa’is, 1986. 

Rosadisastra, Andi,Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, Jakarta: Amzah,

2007.

Al-Sa‘di>, Ibn Na>s}ir, ‘Abd. Al-Rahma>n, Taysi>r al-Kari>m al-Rahma>n Fi> Tafsi>r

Kala>m al-Manna>n, t.t. Mu’assisah al-Risa>lah, t.t.

al-S}a>lih}, Subi, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Bayru>t: Da>r al-’Ilmi> li al-Malayai>n,

1972. 

Salim, Abd. Muin, Mardan, Acmad Abu Bakar, Metodologi Penelitian Tafsi>r

Maud{u>’i>, Yogyakarta: Pustaka al-Zikra, 2011.

Salimuddin, Tafsir al-Jami’ah, Bandung: Pustaka, 1990.

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005

al-Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. 

Shihab, M. Quraish,Membumikan al-Qur’an Cet. XVII, Bandung: Mizan, 1998. 

Shihab,M. Quraish, Tafsir al-Qur’an Dengan Metode Maudu>’i>: Beberapa Aspek

Ilmiyah Tentang al-Qur’an, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an,

1986.

Shihab M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, ketentuan dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui Dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati,


(5)

Shihab, M. Quraish,Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai

PersoalanUmat,cet. ke-6, Bandung: Mizan, 1997. 

Shihab M. Quraish, TAFSIR MISBAH Pesan, Kesan, dan Keserasian

AL-Qur’an. Jakarta, Lentera Hati, 2002.

al-Siba>‘i>, Mus}t}afa,>al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qa>nu>n, Kairo: Da>r al-Sala>m,

2010.

Al-Sudla>n, S{aleh ibn Gha>nim, Risa>lah fi al-Fiqh al-Muyassar, Arab Sa‘udi:

wuzara>t al-shu’u>n al-‘islamiyyah wa al-‘auqa>f wa al-da’wah wa al-‘irsha>d,

1425 H. 

Surakhmad, Winarno, Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan tehnik, Bandung:

Tarsito, 1998.

Suryadilaga, M. Alfatih} dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Penerbit

TERAS, 2005. 

Al-Suyu>t{i>, Jala>l al-Din dan jala>l al-Din al-Mahalli>, Tafsi>r al-Jala>layn, Arabia: Da>r

Ihya>’ al-Kutub.

Al-Suyu>t}i>, al-‘Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t  Al-Suyu>t}i>, al-‘Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.

Syuhbah, Muhammad Ibn Muhammad Abu, al-Madkhal li Dira>sati al-Qur’a>n

al-Kari>m, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992. 

Syurbasi, Qissah al-Tafsi>r, terj.Zufran Rahma, Study Tentang Sejarah

Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Kari>m, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.

Tim Permata Pres, Undang-Undang Perkawinan Dan Administrasi Kependudukan,


(6)

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:

Djambatan, 1992. 

Ushama, Thamem, Metodologi Tafsir al-Qur’an , Jakarta: Rineka, 2000. 

Al-Wah}idi>, ’Asba>b al-Nuzu>l, Saudi : Da>r al-’Is}la>h}, 1992. 

Yaqu>t, Ab ‘Abd Allah, al-Ru>mi> al-H}amawi>, Mu‘jam al-‘Udaba>’, Bayru>t: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991.

Yulianti, Dw, Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak, Jakarta: PT

Index, 2010. 

Yusuf, Muhammad, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004. 

al-Zarkashi>, Badr al-Di>n, al-Burh}a>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Kairo: Da>r al-’Ih}ya>’

al-Kutub al-‘Arabaiyyah. 

al-Zarqa>ni>, Muhammad, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur’an, Kairo: Da>r al-’Ihya>’

al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1988. 

https://ahmadfarisi.wordpress.com/2015/10/02/sejarah-pernikahan-dini-di-berbagai-belahan-dunia/, Senin 13, Juni, 2016, 00:45 

http://chnm.gmu.edu/cyh/teachingmodules/230?section=primarysources&source