Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH

KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN

LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN

KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah Surabaya


(2)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI GETAH

KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN

LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN

KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Fakultas Syariah dan Hukum

Oleh:

Ade Pertiwi Harahap NIM. C52212095

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) 2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang dilakukan di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung dengan judul “Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara”.ُSkripsi ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalan dua rumusan masalah yaitu: Bagaimana praktik jual beli

getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara? Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara? Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang pengumpulan datanya menggunakan cara observasi, wawancara, dokumentasi, dan terakhir dengan telaah pustaka kemudian diolah dengan cara editing, dan organizing, serta menganalisis dengan menggunakan kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang berkaitan dengan teknik deskriptif analisis. Dengan pendekatan pola pikir deduktif.Hasil penelitian ditemukan bahwa akad jual beli menggunakan sistem dimana pembeli melakukan akad awal yang mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di lapangan petani melakukan kecurangan memasukkan serpihan kayu ke dalam getah karet. Petani mengatakan bahwa getah karet yang ia jual dalam keadaan bersih, sedangkan pembeli mengira bahwa getah karet kering yang ia terima pun dalam keadaan bersih. Adapun jika dianalisis dengan hukum Islam ialah bahwa praktek jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara terdapat tadlis (penipuan) yang dilakukan oleh pihak petani sehingga kecurangan yang dilakukan oleh petani menyalahi akad awal yang telah dilakukan oleh petani dan pembeli karet. Praktek kecurangan yang menyebabkan menyalahi akad awal antara petani dan pembeli ini tidak dibenarkan d alam hukum Islam. Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka seharusnya petani tidak menyalahi akad awal yang sudah disepakati dengan pembeli yaitu petani harus memanen karet murni dan hendaknya pembeli lebih jeli dalam membeli karet, dan menindak tegas petani yang melakukan kecurangan dan menyalahi akad yang telah disepakati.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

SURAT PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRASLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 17

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II KONSEP JUAL BELI DALAM ISLAM ... 24


(9)

1. Pengertian jual beli ... 24

2. Dasar hukum jual beli ... 25

3. Rukun jual beli ... 26

4. Syarat jual beli ... 26

5. Bentuk-bentuk jual beli ... 28

B. Macam-Macam akad jual beli ... 33

1. Definisi akad ... 33

2. Landasan hukum dan akibat hukumnya ... 35

3. Rukun akad ... 37

4. Syarat akad ... 39

5. Batal dan sahnya akad ... 39

6. Berakhirnya akad ... 40

BAB III PRAKTEK JUAL BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN LABUHAN BATU SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA ... A. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian ... 48

1. Keadaan Geografis ... 49

2. Keadaan Sosial Keagamaan ... 49

3. Keadaan Sosial Pendidikan ... 50

4. Keadaan Sosial Ekonomi ... 51

B. Praktek akad jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang ... 52

1. Proses Transaksi Jual Beli Getah Karet ... 53

2. Proses Pelaksanaan Panen Karet ... 54

3. Petani memasukkan serpihan kayu kedalam karet . 56

4. Petani dan Pembeli Menimbang Karet ... 56

5. Pelaksanaan akad awal yang berlawanan dengan praktik yang dilakukan oleh petani ... 57 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUAL

BELI GETAH KARET DI LINGKUNGAN UJUNG LOMBANG KELURAHAN LANGGA PAYUNG KECAMATAN SUNGAI KANAN KABUPATEN


(10)

LABUHAN BATU UTARA PROVINSI SUMATERA SELATAN ...

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

DASAR PUSTAKA ... xviii


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara matrial maupun spiritual selalu

berhubungan dengan orang lain.1 Manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan

harus berinteraksi dengan yang lainnya. Ia memerlukan bantuan orang lain dan

ia juga diperlukan oleh yang lainnya.2 Sehingga demikian, telah menjadi

sunnatulla>h bahwa setiap manusia butuh kerja sama dan pertolongan dari orang lain, tanpa adanya itu mustahil bagi manusia untuk hidup secara normal.

Kerja sama mempunyai unsur take and give, membantu dan dibantu.

Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:

... ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ   ُ  ُُُ

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya.” (Q.S. Al- Ma<idah: 2).3

Dari ayat di atas bisa kita lihat bahwa Islam merupakan agama

Rahmatan lil al‘a>lami>n yang memiliki empat sifat dasar sebagai indikatornya.

1 Ismail Nawawi, Fiqh Mu’a>malah,(Jakarta: Viv Press, 2012), 30.

2 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2013), 54.

3Kementrian Agama Republik Indonesia,

Alquran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 349.


(12)

2

Keempat sifat tersebut adalah Islam sebagai agama kasih sayang, Islam bersifat universal, Islam melarang diskriminasi, dan Islam bersifat

komprehensif.4

Islam memiliki sifat komprehensif karena mencakup semua dimensi atau aspek kehidupan manusia baik yang ritual (mah}d}ah) maupun sosial (mu’a@malah), material dan moral, ekonomi, politik, hukum, sosial,

kebudayaan, keamanan, nasional, dan internasional.5 Di dalam melakukan

kegiatan sosial (mu’a@malah), Islam memiliki prinsip-prinsip mu’a@malah.6

Mu’a@malah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara

manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.7

Muamalah dapat dipahami juga sebagai aturan-aturan hukum Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan dan sosial masyarakat. Dengan demikian manusia tidak lagi melanggar segala bentuk aturan yang ada kaitannya dengan muamalah tersebut. Sehingga apapun bentuk aktivitas manusia di dunia ini senantiasa dalam rangka mengabdikan diri hanya kepada Allah SWT dan sesama manusia, dengan tetap menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ketika manusia hendak membeli, menjual, menyimpan dan meminjam, atau menginvestasikan harta, ia selalu berpegang teguh pada

4 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2014), 18.

5 Ibid., 22.

6 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 7-12.


(13)

3

ketentuan yang ditetapkan Allah SWT tidak memakan uang haram, monopoli, korupsi, mencuri, berjudi, maupun melakukan suap menyuap. Seorang manusia secara tegas menjauhi daerah yang diharamkan Allah SWT

disamping berusaha semaksimal mungkin meninggalkan sesuatu shubhat.8

Shubhat merupakan istilah di dalam Islam yang menyatakan tentang keadaan yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu.

Dalam bermuamalah, manusia dilarang merugikan pihak lain dengan cara yang tidak wajar. Oleh karena itu, Allah SWT melarang memakan harta yang diperoleh melalui jalan yang tidak benar kecuali dengan jalan perniagaaan yang berlaku dengan suka sama suka antara penjual dan pembeli.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nisa@’ ayat 29.

 ُ   ُ   ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ  ُ   ُ   ُ  ُ  ُ



ُُُ ُ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang

kepadamu”. (Q.S. al-Nisa@’: 29)9

Ayat di atas menegaskan bahwa dalam melakukan jual beli harus dengan cara yang benar. Salah satu usaha untuk mempertahankan kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara jual beli. Pada prinsipnya hukum jual beli halal (diperbolehkan) selama tidak melanggar

aturan–aturan shari@’ah Islam. Bahkan usaha perdagangan dianggap mulia

8 Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, ..., 46.

9 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-quran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya,


(14)

4

apabila dilakukan dengan jujur, ama@nah, dan tidak ada unsur tipu menipu

antara satu dengan yang lain dan benar-benar berdasarkan prinsip shari@’ah

Islam.

Jual beli artinya menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap

orang lain atas dasar kerelaan kedua belah pihak.10 Jual beli merupakan

tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan agama Islam. Artinya, semua

aspek dan mekanisme jual beli jelas dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 275.



ُ



ُ



ُ

ُ





ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ



ُ

ُ



ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ



ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ

ُ



ُ

ُ

ُ





ُ

ُ

ُ



ُ



ُ



ُُُ

ُ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah

penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah:

275)11

10Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’I, , (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),

22.


(15)

5

Dalam melaksanakan transaksi jual beli hal penting yang perlu diperhatikan oleh pihak penjual dan pembeli adalah mencari barang yang halal untuk di perjual belikan di lakukan dengan cara yang jujur, bersih dari segala

sifat yang dapat merusak jual beli itu sendiri.12

Dalam jual beli terdapat suatu konsekuensi yaitu penjual memindahkan barang kepada pembeli dan pembeli memindahkan miliknya kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disepakati. Setelah itu masing-masing mereka dapat menggunakan barang yang telah dipindahkan

kepemilikannya sesuai dengan jalan yang dibenarkan oleh sharī’ah Islam.

Proses pemindahan hak melalui jual beli tersebut harus mengandung nilai kesepakatan bersama, keuntungan yang diperoleh salah satu pihak bukan kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, hanya transaksi bisnis yang lepas dari paksaan dan intimidasi, ketidakadilan dan eksploitasi

inilah yang dianggap sebagai transaksi bisnis yang halal.13

Dalam sharī’ah Islam terdapat tata cara jual beli yang wajib diikuti

agar terhindar dari penipuan, pemalsuan, dan akal busuk manusia. Upaya kecurangan dalam jual beli yang berbentuk eksploitasi, pemerasan, monopoli, penipuan maupun bentuk lainnya tidak dibenarkan oleh Islam. Dengan demikian, Islam berdiri pada posisi yang benar dan berperan adil dalam hubungan bisnis terhadap semua pihak. Transaksi yang dilakukan secara kekerasan, kecurangan ataupun kebatilan adalah diharamkan, karena

12 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003), 36.


(16)

6

pelaksanaan jual beli harus berdasarkan prinsip suka sama suka diantara pihak penjual dan pembeli.

Getah karet merupakan salah satu sumber penghasilan utama bagi masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. Masyarakat dalam menampung getahnya

menggunakan tempurung dan getah mengalir keُdalamnya. Kemudian getah

tersebut kering selama 1 hari, sehingga getah karet dalam keadaan kering siap untuk dijual oleh petani kepada pembeli.

Adapun praktik akad jual beli getah karet yang dilakukan petani karet bagi masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan pembeli melakukan akad awal yang mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di lapangan petani memasukkan serpihan-serpihan kayu ke dalam wadah penampungan getah karet tanpa sepengetahuan pembeli. Hal demikian bertujuan agar petani memperoleh keuntungan lebih.

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang praktik jual beli getah karet yang dijalankan oleh petani masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan

Batu Selatan. Dari praktik yang dijalankan, terdapat dugaan sifat taghri>r dan

tadli>s sehingga berdampak pada kualitas dan kuantitas objek akad dan terdapat unsur merugikan bagi salah satu pihak yaitu pihak pembeli. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan judul analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang


(17)

7

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang di atas terdapat beberapa masalah, diantaranya adalah:

1. Praktik jual beli karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai

Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

2. Pembeli menginginkan getah karet yang dijual oleh petani dalam keadaan

murni atau kering

3. Penyebab petani sengaja memasukkan serpihan kayu atau kotoran ke

dalam wadah penampungan getah karet.

4. Ketidak tahuan pembeli bahwasanya petani memasukkan serpihan kayu/

kotoran ke dalam wadah penampungan getah karet.

5. Adanya dugaan bahwasanya praktik yang dilakukan oleh petani

mengandung unsur taghri>r dan tadli>s.

6. Hukum Islam terhadap Praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan

Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Untuk menghindari bias dalam pembahasan selanjutnya, maka penulis perlu untuk membatasi beberapa masalah di atas pada dua masalah inti yaitu:


(18)

8

Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

2. Analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung

Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

C. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan masalah yang telah penulis batasi, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang

Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di

Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa penelitian terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak ada pengulangan penelitian dan duplikasi. Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis menemukan beberapa penelitian terkait akad jual beli getah karet, diantaranya:


(19)

9

Pertama, Marisa Farhana jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2012, dengan judul skripsi ” Praktik

Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim Ditinjau

dari Hukum Islam”.14 Skripsi ini membahas tentang batasan pelaksanaan jual beli lelang atau tender karet di Kecamatan Gelumbang ditinjau dari persfektif hukum Islam dan membahas tentang praktik monopoli harga oleh pembeli. Poin utama skripsi tersebut adalah membahas tentang lelang dan penetapan harga secara sepihak oleh pembeli serta monopoli harga oleh pembeli.

Kedua, Irawati jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Antasari

Banjarmasin pada tahun 2008, dengan judul “Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong”15. Skripsi ini membahas tentang pembeli karet yang memberikan pinjaman uang kepada petani karet. Selanjutnya petani membayar hutang tersebut secara bertahap dengan menjual karet kepada pembeli yang meminjamkan uang.

Ketiga, Haris Maiza Putra, jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016, dengan

judul skripsi ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan

Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan

Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat)”16. Skripsi

ini membahas tentang praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan

14 Marisa Farhana, Praktek Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim

Ditinjau dari Hukum Islam, (Skripsi--UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012).

15 Irawati, Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai

Kabupaten Tabalong, (Skripsi--IAIN Antasari Banjarmasin, 2008).

16 Haris Maiza Putra, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat

Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016).


(20)

10

getah karet. Dalam prakteknya, ketika seorang juragan membeli getah karet dari petani, getah tersebut ditimbang beratnya. Kemudian pembeli getah karet akan mengurangi berat timbangan dengan alasan berat getah tersebut akan berkurang karena di dalam getah tersebut masih mengandung air dan akan berkurang beratnya setelah airnya menyusut. Setelah pembeli mengurangi berat timbangan dengan alasan tersebut petani getah karet akan melakukan tawar menawar berat timbangannya, karena petani tidak mau berat getah karetnya dikurangi terlalu banyak.

Berikut tabel perbedaan penelitian ini dengan judul-judul skripsi diatas:

Nama Irawati Marisa Farhana Haris Maiza

Putra

Ade Pertiwi Harahap Judul Praktik Jual Beli

Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong)

Praktek Jual Beli Karet di

Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Bukik Barisan)

Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara Latar Belakang

Sebagai ilustrasi kasus, di Kecamatan Haruan terdapat orang pedagang karet yang membeli karet dari

masyarakat untuk dijual kembali ke perusahaan karet di

Para peserta lelang atau tender karet adalah para toke karet. Dan para toke karet berkumpul untuk mengikuti lelang tersebut yang menjadi Dalam konteks jual beli karet yang dilakukan masyarakat Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Adapun praktik jual beli getah karet yang dilakukan petani karet bagi masyarakat Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan


(21)

11

Banjarmasin. Kelima pedagang itu adalah A, B, C, D dan E. Pedagang A mempunyai modal yang besar,

memonopoli

pembelian karet dari masyarakat,

sehingga B, C, D dan E tidak dapat membeli /

memperoleh karet dari masyarakat setempat. Cara yang dilakukan A untuk memonopoli pasar adalah dengan memberikan

pinjaman/kredit uang atau barang kepada masyarakat dengan perjanjian dibayar dengan karet.

permasalahan disini adalah tidak semua peserta lelang atau tender karet hadir dalam pelaksanaan lelang. Dan yang dicermati untuk diteliti adalah sejauh mana pemahaman masyarakat akan hal tersebut. Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat menggunakan sistem pengurangan berat timbangan yang dilakukan secara tawar menawar antara pembeli dengan petani getah karet. Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan pembeli melakukan akad awal yang mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di lapangan yang dilakukan oleh petani ada faktor-faktor yang pada hakikatnya tidak diperkenankan untuk dilakukan, karena akan ada pihak-pihak yang dirugikan dari praktik yang dijalankan oleh petani. Dalam praktiknya petani memasukan serpihan kayu ke dalam getah karet sehingga dimisalkan berat satu tempurung yang seharusnya 1 Kg getah murni menjadi 1,3 Kg getah kotor. Sehingga


(22)

12

praktik jual beli getah karet kering yang dilakukan petani tidak seharusnya dilakukan terlebih petani mengatakan bahwa getah karet yang ia jual dalam keadaan bersih, sedangkan pembeli mengira bahwa getah karet kering yang ia terima pun dalam keadaan bersih. Pembeli pada dasarnya tidak mengetahui bahwa petani memasukkan serpihan kayu kedala wadah penampungan getah karet. Rumusan Masalah 1. Bagaimana praktik jual beli karet yang

dilakukan pedagang karet di Kecamatan Haruai Kabupaen Tabalong?

2. Apa alasan dan akibat praktik jual beli karet yang dilakukan pedagang 1. bagaimana pemahaman masyarakat muslim kecamatan gelumbung tentang jual beli lelang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya? 2. bagaimana pelaksanaan jual beli lelang karet di kecamatan 1. Bagaimana praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan getah karet di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh 1. Bagaimana praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara?


(23)

13

karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong?

gelumbung? 3. bagaimana pelaksanaan jual beli lelang karet dalam pandangan hukum Islam? Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik tawar menawar pengurangan berat timbangan getah karet di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara? Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan di kecamatan haruai kabupaten tabalong.

Penelitian dalam skripsi ini bersifat normatif yaitu melalui jual beli lelang yang termasuk penelitian lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field reseach) yang memfokuskan pada kasus yang terjadi di lapangan (Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat) dengan tetap merujuk Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif, yakni tentang analisis hukum Islam terhadap jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.


(24)

14

pada konsep-konsep yang ada.

Analisis Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong) ditinjau dari hukum Islam.

Praktek Jual Beli Karet di

Kecamatan Gelumbung Kabupaten Muara Enim Ditinjau Dari Hukum Islam yaitu dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis.

Tinjauan hukum

Islam terhadap

tawar menawar pengurangan berat timbangan jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai dianalisis dengan al-Quran dan hadis

Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Getah Karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara yang dianalisis dengan nash al-Quran dan Hadis. Kesimpulan Kasus penjual harus

menjual getah karet ke pembeli yang sama karena punya hutang hukumnya boleh selama tidak ada permainan harga karena petani punya hutang. Sedangkan yang ada permainan harga hukumnya haram. Penetapan harga karet yang dilakukan oleh pembeli dirasakan tidak adil oleh pihak penjual (petani). Karena sudah ada timbal balik antara penjual dan pembeli artinya sudah ada kerelaan antara kedua belah pihak maka dalam persfektif hukum islam hukumnya sah.

Praktek jual beli getah karet di Nagari Lubuk Alai sejalan dengan hukum Islam. Karena tidak ada pihak yang dirugikan dalam transaksi ini. Pihak pembeli tidak dirugikan dengan getah karet yang masih mengandung air. Pembeli juga tidak akan rugi ketika berat timbangannya menyusut.

Analisis hukum Islam terhadap praktek jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang

bertentangan dengan hukum islam.


(25)

15

Begitu juga dengan pihak petani, petani yang melakukan tawar menawar jika berat timbangannya terlalu banyak oleh pembeli. Maka hukum jual beli diperbolehkan menurut syara’.

Dengan adanya kajian pustaka di atas, hal ini jelas sangat berbeda

dengan penelitian yang akan penulis lakukan dengan judul “Analisis Hukum Islam terhadap akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi

Sumatera Utara”, dalam penelitian ini penulis ingin memfokuskan tentang

praktik jual beli getah karet yang dilakukan oleh petani dengan memasukannya serpihan kayu atau kotoran kepada getah karet sehingga berimbas pada kuantitas dan kualitas objek akad.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dalam melakukan penelitian ini penulis memiliki tujuan:


(26)

16

Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

2. Untuk memahami analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah

karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara

F. Kegunaan dan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunanaan, baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara umum, kegunaan penelitian yang dilakukan penulis ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:

1. Dari tinjauan teoritis – akademis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, terutama pada bidang fikih muamalah, menambah wawasan mengenai tindakan penjual dan pembeli dalam praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara serta diharapkan menjadi bahan hipotesis bagi penelitian berikutnya.

2. Dari sisi praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan bermuamalah yang sesuai dengan aturan-aturan hukum Islam bagi objek penelitian, serta dapat


(27)

17

dijadikan bahan untuk memperbaiki penerapan praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, yang sesuai dengan hukum Islam.

G.Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memahami beberapa istilah yang ada di dalam penelitian ini, maka penulis memberikan penjelasan atau definisi dari beberapa istilah sebagai berkut:

Hukum Islam: Ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran dan

Hadits serta pendapat ulama yang mengatur tentang akad jual beli yang dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat.

Jual Beli Getah Karet: Zat cair pekat dari batang kayu yang biasanya di jadikan mata pencaharian utama petani di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara, kemudian petani menjualnya dalam keadaan kering.


(28)

18

H.Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif, yakni tentang analisis hukum Islam terhadap akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Untuk menghasilkan gambaran yang sistematis dibutuhkan langkah-langkah yang meliputi: data yang dikumpulkan, sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data dan teknik analisis data.

1. Data yang dikumpulkan

Data yang diperlukan dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah yakni data tentang praktik jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara dan

data yang ada kaitannya dengan hukum Islam serta pandangan ulama’

terhadap praktik jual beli getah karet di lingkungan Ujung Lombang Kelurahan Langga Payung Kecamatan Sungai Kanan kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

2. Sumber data

Data dalam penelitian ini akan didapatkan dari beberapa sumber, antara lain:

a. Sumber Primer


(29)

19

objek yang diteliti baik dari pribadi maupun dari suatu instansi yang mengolah dan untuk keperluan penelitian, seperti dengan melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan

dengan penelitian yang dilakukan.17 yakni keterangan dan data yang

diperoleh dari masyarakat yang melakukan praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara. Diantaranya pembeli, penjual, kepala desa, dan kepala suku.

b. Sumber Sekunder

Sumber Sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber

secara tidak langsung kepada pengumpul data.18 Data sekunder

merupakan data yang memberikan penjelasan terhadap data primer. Data sebagian besar merupakan literatur yang berkaitan dengan konsep

hukum Islam. Data ini bersumber dari al-Qur’an dan Hadist, monografi

desa Ujung Lombang, buku-buku, jurnal atau dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.

1) Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i

2) Rahmat Syafe’I, Fiqih Muamalah

3) Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba>, Gharar dan

Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah

4) Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah

5) Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah

17 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 62.


(30)

20

6) M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena

praktik jual beli yang terjadi menggunakan pengamatan dan

pencatatan19. Penulis akan melakukan observasi tentang fenomena

tersebut pada tanggal 15-20 Oktober 2016 di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara. Pihak-pihak yang menjadi objek observasi penulis antara lain tiga petani, satu di antaranya merupakan kepala petani, dan pembeli getah karet serta beberapa masyarakat tani.

b. Wawancara (Interview) Merupakan metode pengumpulan data dengan

cara bertanya langsung kepada pihak yang terkait dengan masalah yang

akan dibahas.20 Peneliti akan mencoba melakukan wawacara dengan

penjual (diantaranya: Umar Harahap, Sahri, Ahmad Hasibuan, Heni, Guntur) dan pembeli (diantaranya: Ali Nasution, Bangun Purba, Jamil Hasibuan, Soleh Hasibuan) getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara untuk mendapatkan pengetahuan tentang praktik yang dijalankan.

c. Dokumentasi yaitu teknik pengambilan data dengan cara membaca dan

19 Masruhan, Metodologi Penlitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 212.


(31)

21

mengambil kesimpulan dari jual beli dengan akad di awal yang telah terjadi dalam praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun teknik pengolahan data yang digunakan untuk mempermudah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Editing, adalah memeriksa kelengkapan data. Teknik ini digunakan

untuk meneliti kembali data-data yang diperoleh,21 yaitu mengadakan

pemeriksaan kembali data-data tentang praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematika data tentang proses

awal hingga akhir praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

c. Analizing, yaitu tahapan analisis dan perumusan pelaksanaan transaksi

praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

21 Soeratno, Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UUP AMP YKPM,


(32)

22

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu memaparkan data yang terkait dengan masalah yang dibahas yang ditemukan dalam berbagai literatur

dan kesimpulannya diambil logika deduktif yaitu memaparkan masalah–

masalah yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Bab pertama berisi pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, metode penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan kerangka teoritik atau landasan teori tentang jual beli yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini, yang mencakup pengertian jual beli, dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli dan bentuk jual beli yang terlarang, serta manfaat dan hikmah jual beli.

Bab ketiga merupakan penyajian data hasil penelitian yang telah dikumpulkan di lokasi penelitian kemudian dideskripsikan secara objektif mengenai gambaran umum tentang lokasi penelitian dan praktik akad jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.


(33)

23

Bab keempat memuat tentang analisis, yaitu analisis hukum Islam tentang praktik jual beli getah karet di Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan Provinsi Sumatera Utara.

Bab kelima merupakan penutup, yang di dalamnya memuat tentang kesimpulan dan saran-saran.


(34)

BAB II

KONSEP JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM

A. Teori Jual Beli

1. Pengertian jual beli

Jual beli dalam bahasa arab disebut dengan al-bai’. Jual beli

(al-bai‟) secara bahasa merupakan mashdar dari kata ba’a – yabi’u yang

bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata al-ba’

karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskan untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan

penjualan dan pembelian disebut al-bay’ani. Secara bahasa, kata al-bai’

dianggap lawan dari kata assyira’u yang berarti membeli, dengan

demikian, kata al-bai’ berarti penjualan. Menurut kitab Fiqih Maz|hab

Syafi‟i, yang dimaksud dengan jual beli adalah menukarkan barang

dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah pihak1.

Menurut madzhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat


(35)

25

kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu yang dimaksud adalah shighat atau ungkapan ijab dan qabul.

Menurut imam Nawawi dalam kitab Majmu’, jual beli adalah

pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah menyatakan jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan

dimiliki2

Jual beli (menurut B.W) adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang

sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut3.

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau

ketentuan yang telah dibenarkan Syara‟ dan disepakati. Maksudnya ialah

memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang

2 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 69.


(36)

26

ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya

tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara.4

2. Dasar hukum jual beli

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunya landasan yang kuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Terdapat beberapa firman Allah yang membicarakan tentang jual beli:

....





...

Artinya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... (QS. Al Baqarah:275)5







....



Artinya:

“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari rezeki dari Tuhanmu”.(QS.

Al-Baqarah: 198)6

....









...



Artinya:

“... kecuali dengan jalan perdagangan yang didasari suka sama suka di antara Kamu...”(QS. An-Nisa‟:29)7

Dasar hukum jual beli dalam Hadist di antaranya adalah:

Artinya : ”Dari Rifa’an ibn Rafi bahwa Rasulullah SAW. Ditanya

salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling

4 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005), 69.

5 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:Maghfirah Pustaka, 2010), 45.

6 Ibid., 31. 7 Ibid., 83.


(37)

27

baik. Rasulullah ketika itu menjawab. Usaha tangan manusia sendiri

dan setiap jual beli yang diberkahi.” (HR. Al-Bazar dan Al-Hikam)8

3. Rukun jual beli

Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:

1. Ada orang yang berakad atau al-muta’ aqid (penjual dan pembeli);

2. Ada sighat (lafal ijab dan qabul);

3. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut Ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.

4. Syarat jual beli

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukaakan jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:

a. Syarat yang berakad

1) Berakal, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum

berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.

2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya,

seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual, sekaligus pembeli.

b. Syarat yang terkait dengan Ijab Qabul


(38)

28

Para ulama fiqih mengemukakan bahwa syarat ijab dan qabul itu

ialah,

1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.

2) Qabul sesusai dengan ijab

3) Ijab dan qabul itu dilakukan dalam satu majelis.

c. Syarat barang yang diperjualbelikan

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan adalah:

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual

menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu;

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia;

3) Mempunyai hak milik atas barang tersebut;

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang

disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.

d. Syarat nilai tukar (harga barang)

Untuk syarat nilai tukar atau harga barang di antaranya:

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak;

2) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan

barang (al-muqayyadah), maka barang yang dijadikan nilai tukar

bukan barang yang diharamkan syara‟, seperti babi dan khamar.9


(39)

29

3) Syarat jual beli merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dalam

kegiatan jual beli agar transaksi jual beli menjadi sah. Namun, terdapat bentuk lain yang merupakan perkecualian dari jual beli, di mana barang yang diperjualbelikan tidak harus diserahkan ketika akad dan tidak harus ada pada penjual diwaktu transaksi, bentuk lain dari jual beli ini yaitu jual beli salam.

5. Bentuk –bentuk jual beli

Adapun bentuk - bentuk jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain yaitu:

a. Jual beli yang shahih

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang shahih

apabila jual beli tersebut disyari’atkan, memenuhi rukun dan

syarat yang ditentukan, bukan milik orang lain, tidak bergantung

pula pada hak khiyar lagi, jual beli seperti ini dikatakan sebagai

jual beli yang shahih. Misalnya, seseorang membeli sebuah

kendaraan roda empat. Seluruh rukun dan syarat jual beli telah terpenuhi, kendaraan roda empat itu telah diperiksa oleh pembeli dan tidak ada cacat, tidak ada yang rusak, tidak ada manipulasi harga dan harga buku (kwitansi) itupun telah diserahkan, serta


(40)

30

demikian ini hukumnya shahih dan telah mengikat kedua belah

pihak.10

b. Jual beli yang ba>thil

Yaitu jual beli apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya

tidak disyari’atkan, seperti jual beli yang dilakukan oleh

anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang

diharamkan syara’, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.

Adapun jenis-jenis jual beli yang ba>thil adalah:

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqh sepakat

menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau batil.

Misalnya, memperjual belikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun di perut ibunya telah ada.

2) Menjual barang yang tidak boleh diserahkan kepada

pembeli, seperti menjual barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara..

3) Jual beli yang mengandung unsur penipuan bai’ al-gharar ,

yang pada awalnya baik, tetapi dibalik itu semua terdapat unsur-unsur penipuan. Misalnya, memperjualbelikan

10


(41)

31

4) kurma yang ditumpuk, diatasnya bagus-bagus, dan manis,

tapi ternyata di dalam tumpukan tersebut banyak terdapat yang busuk. Termasuk ke dalam jual beli tipuan ini adalah

jual beli al-hashah. Selain itu yang termasuk dalam jual

beli yang mengandung unsur penipuan adalah jual beli al-mula>masah (mana yang terpegang oleh engkau dari barang itu, itulah yang saya jual). Kemudian jual beli almuza>banah (barter yang diduga keras tidak sebanding), misalnya memperjualbelikan anggur yang masih di pohonnya dengan dua kilo cengkeh yang sudah kering, karena dikhawatirkan antara yang dijual dan yang dibeli tidak sebanding.

5) Jual beli benda-benda najis. Seperti babi, khamr, bangkai,

dan darah. Karena semua itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta.

6) Jual beli al-arbun yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan

melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang


(42)

32

dikembalikan, maka uang yang telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual.

7) Memperjual belikan air sungai, air danau, air laut, dan air

yang tidak boleh dimiliki seseorang, karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak bersama umat manusia

dan tidak boleh diperjualbelikan11.

c. Jual beli yang fasid

Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli fasid dengan jual beli yang bathil. Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang diperjualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan barang-barang haram (khamr, babi, darah). Apabila kerusakan pada jual beli itu meyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan fasid. Akan tetapi jumhur ulama tidak membedakan antara jual

beli yang fasid dengan jual beli yang batil. Menurut mereka jual

beli itu terbagi dua, yaitu jual beli yang sahih dan jual beli batil.

Apabila syarat dan rukun jual terpenuhi, maka jual beli itu sah. Sebaliknya, apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak

terpenuhi, maka jual beli itu batal12.

d. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad

11 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000) 122-125.


(43)

33

Transaksi jual beli yang barangnya tidak berada di tempat akad, hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui dengan jelas klasifikasinya. Namun, apabila barang tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah diinformasikan, akad jual beli akan menjadi tidak sah, maka pihak yang melakukan akad dibolehkan untuk memilih menerima atau menolak, sesuai dengan

kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual.13

e. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya

diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka kecuali pada saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang

tersebut dan membahayakan14.

B. Macam-Macam Akad Jual Beli

Dalam jual beli penyebutan akad termasuk pada bagian sigha>t (ija>b

dan qabu>l) sebagai rukun dari jual beli. Sehingga kejelasan akad pada saat

menyatakan transaksi dan pada saat transaksi sangat mempengaruhi keabsahan jual beli tersebut.

13 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta:Pena Pundi Aksara, 2006) 131.


(44)

34

1. Definisi akad

Secara linguistik, akad memiliki beberapa arti, antara lain:15

a. Mengikat (

طْبَرلا

), yaitu :

نْيملْ بمح ْمَْرمط معْمَ

و م نحامي و مةْعنطمق بمانبْل م ي م نلََم ََمح نرنرِْبنب بم َ محمح أ دممي

Artinya:

“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan

yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai

sepotong benda.”

Makna ”ar-rabt{u” secara luas dapat diartikan sebagai ikatan

antara beberapa pihak. Makna linguistik ini lebih dekat dengan makna istilah fiqh yang bersifat umum, yakni keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu, baik keinginan bersifat pribadi maupun keinginan

yang terkait dengan pihak lain.16

b. Sambungan (

م ْقمع

), yaitu :

نسْ ُ ْىنذَلا لنصْوممْلما

بمم ه قِ ثمو مي بمم ه ك

Artinya:

“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”

c. Janji (ُُ دْهَعْلَا), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an :

مْينقََ مْلا أبن ُ مها َننإمي ىمقَ تامي هن ْهمةنب مَْيما ْنمم ىلمب

Artinya :

15 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 44.


(45)

35

“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertaqwa.” (Q.S. Ali Imran: 76)17

Istilah ‘ahdu dalam al-Qur’an mengacu kepada pernyataan

seseorang atau perjanjian, baik dua perjanjian atau lebih yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan

dua buah janji (‘ahdu) atau biasa disebut perikatan (‘aqad).18

Sedangkan menurut istilah, akad memiliki makna khusus,

yang berasal dari lafal al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan

permufakatan alittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan

dengan:

مىلمع ولْو بمقنب وببمْْنإ طبمبنتْرا

م ثمح ت بْثم وعْي رْدمم وهْجمي

نهِلممَ نَ همر

Artinya:

“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan

penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang

berpengaruh pada obyek perikatan.”

Sedangkan beberapa definisi lain menurut Nasroen Haroen adalah19:

1. Menurut Mursyid Al-Hairan, akad merupakan, “pertemuan ijab yang

diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.

17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 193

18 Hendi Suhendi, Fiqh..., 45


(46)

36

2. Menurut Syamsul Anwar, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul

sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya. Kedua definisi di atas memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu

pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga,

tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.20

2. Landasan hukum dan akibat hukumnya

Landasan hukum yang digunakan mengenai kebolehan dalam berakad

disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Ma>idah ayat 1 dan surat Ali Imron ayat

76. Adapun Q.S. al-Ma>idah ayat 1, yang berbunyi:

                                            Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan

bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan

hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(Q.S. al-Ma>idah ayat 1)21

Sedangkan dalam Q.S. Ali Imron ayat 76, yang berbunyi:

20 Ibid., 69.


(47)

37





 









 

Artinya:

“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertakwa.”( Q.S. Ali Imron ayat 76)22

Suatu akad dapat dikatakan sempurna apabila ijab dan qabul telah memenuhi syarat. Akan tetapi adapula akad-akad yang baru sempurna apabila telah dilakukan serah terima obyek akad, tidak cukup hanya

dengan ijab dan qabul saja. Akad seperti ini disebut dengan al-’uqu>d al

-’ainiyyah. Akad seperti ini ada lima macam, yaitu: hibah, ‘a>riyah (pinjam

meminjam), wa>di’ah, qirad{ (perikatan dalam modal), dan rahn (jaminan

hutang). Dan setiap akad mempunyai akibat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad itu bersifat mengikat bagi pihak- pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali disebabkan hal- hal

yang dibenarkan syara’.

Dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Dalam jual beli misalnya, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan uang sebagai hak atau obyek transaksi dan berhak mendapatkan barang. Sedangkan bagi penjual berkewajiban untuk menyerahkan barang dan menerima uang sebagai kompensasi barang.


(48)

38

3. Rukun akad

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Rumah, misalnya, terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya, yaitu fondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan seterusnya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk

sesuatu itu disebut rukun.23

Menurut ulama Hanafiyah, rukun akad itu adalah:

مفتنا ْنمع رمغ بمم أل ك مو

و ببمَنك ْيمح و مربمشنإ ْيمح ولْةني ْننم بمم هممبمقمم مْو قم بمم ْيمح ننْمدامر نإْا نقب

Artinya:

“Rukun akad adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan

dua kehendak atau yang menempati tempat keduanya baik berupa

perbuatan, isyarat, atau tulisan”.24

Sehingga yang dimaksud dengan rukun akad adalah ija>b dan

qabu>l. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab

keberadaannya sudah pasti.25 Adapun ulama-ulama selain Hanafiah

berpendapat bahwa rukun akad itu ada tiga:26

a) Orang yang melakukan akad (‘aqid)

23 Ibid., 95.

24 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Mu’a>malah ..., 114.

25Rachmat Syafe’i, Fiqih Mu’a>malah (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 45.


(49)

39

b) Objek akad (ma’qud alaih)

c) S{igat.

Dalam jual beli misalnya, orang yang melakukan akad adalah penjual dan pembeli, sedangkan objek akadnya adalah barang dan

harga, dan shighatnya adalah ija>b dan qabu>l. Ketiga rukun akad

menurut jumhur ini mengacu kepada pengertian rukun menurut pandangan mereka yaitu sesuatu yang keabsahannya menunggu kepada sesuatu yang lain, walaupun ia bukan bagian dari hakikat

sesuatu tersebut.27

Sedangkan menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun

yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:28

1) Para pihak yang membuat akad (al- ‘aqida>n)

2) Pernyataan kehendak para pihak (s{ighatul ‘aqd)

3) Objek akad (mah{allul ‘aqd)

4) Tujuan akad (maudhu al-‘aqd).

4. Syarat-syarat akad

Masing-masing rukun yang membentuk akad, memerlukan syarat-syarat agar unsur itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Dalam hukum Islam, syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat

27 Ibid. 28 Ibid., 96


(50)

40

terbentuknya akad. Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi

dua syarat terbentuknya akad, yaitu (1) Tamyiz, dan (2) Berbilang.

Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat, yaitu (1) Adanya persesuaian ija>b dan qabu>l, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan (2) Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga, yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) Objek itu dapat diserahkan, (2) Dapat ditentukan, dan (3) Objek itu dapat ditransaksikan. Rukum keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan

shara’.29

5. Batal dan sahnya akad

Suatu perjanjian akad tidak cukup hanya ada secara faktual, tetapi

keberadaannya juga harus sah secara syar’i (yuridis) agar akad tersebut

dapat melahirkan akibat-akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang membuatnya. Suatu akad menjadi sah apabila rukun-rukun dan syaratsyaratnya terpenuhi, dan tidak sah apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi. Madzhab H{anafi mengungkapkan tentang tingkat kebatalan dan keabsahan akad menjadi lima peringkat. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah: akad bath{il (akad yang salah satu atau seluruh

rukunnya tidak terpenuhi dan sifatnya tidak di syari’atkan){{, Akad fasid

29 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Mu’a>malat...,


(51)

41

(akad yang rusak dikarenakan harga barang dan boleh di perbaiki), Akad

mawquf (akad yang masih memiliki keterkaitan dengan hak orang lain).30

6. Berakhirnya akad

Berakhirnya suatu akad ulama fikih menyatakan bahwa suatu

akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal seperti berikut:31

a) Berakhir masa berlaku akadnya, apabila akad tersebut memiliki

tenggang waktu;

b) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu

mengikat;

c) Dalam suatu akad yang mengikat, akad dapat berakhir bila, akad

itu fasid, berlakunya khiyar sharat, khiyar ‘aib, akad yang tidak

dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad, dan telah tercapainya tujuan akad itu secara sempurna;

d) Wafat salah satu pihak yang berakad. Menurut M. Ali Hasan

bahwa walaupun salah satu pihak wafat, maka dapat diteruskan

oleh ahli warisnya, seperti akad sewa-menyewa, gadai (rahn) dan

perserikatan dagang (syirkah). Dengan demikian tidak pihak yang

dirugikan.

30 Ibid.

31 Nasrun Haroen, Fiqh Mu’a>malah ..., 108. Lihat juga di M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi


(52)

42

7. Akad jual beli as-Salam

Salam adalah bentuk masdar dari kata salama. Sedangkan bentuk masdar yang sebenarnya adalah Islam. Salam juga diistilahkan

dengan as-salaf (yaitu pinjaman tanpa bunga)32. Dalam pengertian

lain disebutkan bahwa as-salam dinamai juga dengan as-salaf

(pendahuluan), yaitu transaksi penjualan sesuatu barang yang akan diterimanya dengan pembayaran terlebih dahulu atau pembayaran di

muka (atau pembayaran lebih dulu daripada barangnya).33 Dikatakan

akad jual beli salam karena orang yang memesan menyerahkan harta pokoknya dalam majelis, dan dikatakan salaf karena ia menyerahkan

uangnya terlebih dahulu sebelum menerima barang dagangan.34 Secara

terminologi, salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan

sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan penjual, yang syarat-syarat tersebut di antaranya adalah mendahulukan pembayaran pada waktu di akad majelis (akad

disepakati).35Salam disebut juga dengan forward sale, yaitu jual beli

32 Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Fiqh Empat Madzhab (Jombang: Darul Ulum Press, 2001), 232.

33 M. A. Asyhari, Halal dan Haram, (Gresik: CV. Bintang Remaja, 1989), 371.

34 Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, et al, Al-Fiqhul Muyassar Qismul Muamalat, Mausu’ah

Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Uslu>b Wa>dhih Lil-Mukhtashin wa Gharirihim, Penerjemah Miftahul Khair (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), 137.

35 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,


(53)

43

barang-barang yang diserahkan dikemudian hari sementara

pembayaran dilakukan dimuka.36

Dasar hukum akad jual beli as-Salam dalam al-Qur’an, yaitu

pada Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:







...



Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya.”37

Sedangkan dasar hukumnya dalam As-sunnah, diartikan sebagai

berikut:

”Rasulullah saw datang ke madinah, sementara para sahabat sedang

mengadakan jual beli salam pada kurma untuk dua tahun atau tiga

tahun. Maka Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memberikan

utang maka hendaknya dia memberikannya dalam harga yang jelas,

timbangan yang jelas, sampai masa yang jelas pula”. (HR. Bukhari)38

Kesepakatan ulama (ijma’) akan bolehnya jual beli salam

dikutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua

ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan

36 Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam , (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2009), 62.

37 Ibid.,48

38 Imam Hafidh Abi Abdillah Muhammad Ibnu Ismail Al-bukhari, Shahih Bukhari , (Beirut: Maktabah Asriyah, 1995), 660.


(54)

44

karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia39.

a. Rukun jual beli as-Salam

Dalam kitab Tanwi>r al-Qulu>b fi Mu’a>malati ‘Allam al-

Ghuyub karya Muhammad Amin Al-Kurdi disebutkan bahwa rukun-rukun salam ada lima:

1) Muslim (pembeli/pemesan)

2) Muslam Ilaih (penjual/penerima pesanan)

3) Muslam Fih (barang yang dipesan/yang akan diserahkan)

4) Rasu al-Mal (harga pesanan/modal yang dibayarkan)

5) Shi>ghat Ijab Qabul (ucapan serah terima)

Sedangkan Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun jual

beli pesanan itu hanya Ijab (ungkapan dari pihak pemesan dalam

pemesanan barang) dan qabul (ungkapan pihak produsen untuk

mengerjakan barang pesanan). Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada tiga, di antaranya:

1) Shigat, yaitu ijab dan Qabul

2) ‘Aqidain, (dua orang yang melakukan transaksi), yaitu orang yang

memesan dan orang yang menerima pesanan.


(55)

45

3) Objek transaksi (maqud’alaih), yaitu muslam fih (barang yang

dipesan), dan harga40.

b. Syarat jual beli as-Salam

Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan diantar manusia, menjaga

kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar

(unsur penipuan) dan lain-lain. Ulama-ulama madzhab sepakat bahwa ada enam syarat yang harus dipenuhi agar salam menjadi sah, yaitu:

1) Syarat alat pembayaran (ra’ al-mal)

Hanafiyah mengemukakan enam syarat yang berkaitan dengan alat pembayaran, yaitu:

a. Jenisnya harus jelas, misalnya uang dinar atau dirham.

b. Macamnya harus jelas, apabila di suatu negara terdapat

beberapa jenis mata uang, misalnya dollar Amerika dan dollar Australia.

c. Sifatnya jelas, misalnya bagus, sedang, atau jelek.

c. Mengetahui kadar dari alat pembayaran

d. Alat pembayaran harus dilihat dan diteliti, agar diketahui

dengan jelas baik atau tidaknya.


(56)

46

e. Alat pembayaran harus diserah terimakan secara tunai di

majelis akad sebelum para pihak meninggalkan majelis. Namun beberapa pihak mengijinkan adanya penundaan, ketersediaan pembayaran dalam penundaan tidak dibuat menyerupai hutang. Imam Malik mengijinkan untuk menunda

dua atau tiga hari.41

Sedangkan menurut fatwa DSN-MUI, syarat alat pembayaran ada tiga, yaitu harus diketahui jumlah dan bentuknya, pembayaran dilakukan pada saat kontrak disepakati, dan tidak

boleh dalam bentuk pembebasan hutang42.

2) Syarat maqud ‘alaih (barang/objek)

Ada sepuluh syarat berkenaan dengan barang (objek akad salam),

yaitu:

a) Menjelaskan jenisnya;

b) Menjelaskan macamnya;

c) Menjelaskan sifatnya;

d) Menjelaskan kadar (ukuran)-nya;

e) Barangnya tertangguh;

f) Barangnya ada di pasar;

41 Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics, Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tapi Solusi!

,(Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), 441.


(57)

47

g) Barangnya dapat tergambar jelas ketika dijelaskan; h) Tempat penerimaan barangnya ditentukan;

i) Yang dipertukarkan dari empat kategori barang, yaitu barang yang ditakar, ditimbang, dihitung dan diukur;43

Sedangkan menurut fatwa DSN-MUI, syarat objek akad salam

yaitu:

a) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang b) Harus dapat dijelaskan spesifikasinya

c) Penyerahannya dilakukan kemudian

d) Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

e) Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya f) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis

sesuai kesepakatan44.

Sedangkan akad atas muslamfih harus memenuhi delapan syarat:

a) Menyebutkan jenis dan sifat yang bias membedakan tujuan pemesan. Dengan ketentuan:barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya.

43 Chatibul Umam, Fiqh Empat Madzhab, 239.


(1)

63                                   



Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bat}il, kecuali dengan jalan peniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”. (Q.S. al-Nisa@’: 29)

Jual beli dalam agama islam adalah bagaimana jual beli menjadi ibadah yang diridhoi Allah SWT dan dapat memberikan kemashlahatan kepada masyarakat banyak. Ketenteraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta. surat an-Nisa@’ ayat 29 melarang petani untuk melakukan perbuatan curang petani yang menambahkan serpihan kayu kedalam wadah penampungan getah karet. Hal ini tidak sesuai dengan pesanan pembeli getah karet yang menginginkan getah karet yang akan dipanen oleh petani nantinya adalah getah murni, tanpa ada campuran.

Dapat disimpulkan bahwa praktik jual beli karet di lingkungan Ujung Lombang termasuk jual beli bathil yang dilakukan oleh pihak petani sehingga kecurangan yang dilakukan oleh petani menyalahi akad awal dengan memberikan penjelasan barang yang di jual belikan berbeda dengan keadaan barang atau getah yang semestinya. Praktik kecurangan yang menyebabkan menyalahi akad awal antara petani dan pembeli ini juga terdapat unsur gharar atau ketidakjelasan dalam suatu akad yang tidak dibenarkan dalam hukum Islam.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Jual beli yang menggunakan sistem dimana pembeli melakukan akad awal yang mengharuskan petani untuk memanen getah murni. Sedangkan pada praktik di lapangan petani melakukan kecurangan memasukkan serpihan kayu kedalam getah karet. Petani mengatakan bahwa getah karet yang ia jual dalam keadaan bersih, sedangkan pembeli mengira bahwa getah karet kering yang ia terima pun dalam keadaan bersih.

2. Menurut analisis hukum Islam, praktik jual beli karet di lingkungan Ujung Lombang termasuk jual beli bathil yang dilakukan oleh pihak petani sehingga kecurangan yang dilakukan oleh petani menyalahi akad awal dengan memberikan penjelasan barang yang di jual belikan berbeda dengan keadaan barang atau getah yang semestinya. Praktik kecurangan yang menyebabkan menyalahi akad awal antara petani dan pembeli ini juga terdapat unsur gharar atau ketidakjelasan dalam suatu akad yang tidak dibenarkan dalam hukum Islam.


(3)

65

B. Saran

1. Seharusnya petani tidak menyalahi akad awal yang sudah disepakati dengan pembeli yaitu petani harus memanen karet murni.

2. Hendaknya pembeli lebih jeli dalam membeli karet, dan menindak tegas petani yang melakukan kecurangan dan menyalahi akad yang telah disepakati.

Dengan selesainya skripsi ini, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan penulis berharap semoga apa yang telah ditulis akan menjadi suatu yang bermanfaat bagi penulis dan kemajuan lingkungan Ujung Lombang pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mustaq. 2003. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2012. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Terj.

Harun Zen dan Zenal Mutaqin. Bandung: Jabal.

Al-Bukhari. 1995. Imam Hafidh Abi Abdillah Muhammad Ibnu Ismail. Shahih Bukhari. Beirut: Maktabah Asriyah.

Asyhari. 1989. Halal dan Haram. Gresik: CV. Bintang Remaja.

Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad. 2009. Al-Fiqhul Muyassar Qismul

Muamalat, Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkamal-Fiqhil-Islami Bi Uslub Wadhih Lil-Mukhtashin wa Gharirihim, Terj. Miftahul Khair. Yogyakarta: Maktabah al-Hanif.

az-Zuhaili, Wahbah. al Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1989. Batubara, Sulaiha. Wawancara, 05 November 2016.

Data sensus penduduk Lingkungan Ujung Lombang Kecamatan Sungai Kanan Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Oktober 2016.

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqih MuamalaH. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

dsnmui.or.id/fatwa/dsn2000_5_salam.pdf, 04/04/2000

Farhana, Marisa. 2012. Praktek Jual Beli Karet di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim Ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi pada Program Strata satu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hadi, Sutrisno. 1991. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset. Harahap, Tina. Wawancara, 08 November 2016.

Hasibuan, Eka dkk. Wawancara, 15 November 2016.

Hasibuan, Khusnul. Wawancara, Ujung Lombang, 02 November 2016.

Irawati. 2008. Praktik Jual Beli Karet (Studi Kasus Perdagangan Karet di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong. Skripsi pada Program Strata satu IAIN Antasari Banjarmasin.


(5)

Kepala Desa, Wawancara, Ujung Lombang, Oktober 2016.

Maiza Putra, Haris. 2016. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tawar Menawar Pengurangan Berat Timbangan Getah Karet (Studi Kasus di Nagari Lubuk Alai Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Skripsi pada Program Strata satu UIN Sunan Ampel Surabaya.

Mardani. 2013. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin. 2001. Fiqih Mazhab Syafi’i. Bandung: Pustaka

Setia.

Masruhan. 2013. Metodologi Penlitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka.

Narbuko, Chalid dan Abu Achmadi. 1997. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, Ismail. 2012. Fiqh Mu’a>malah. Jakarta: Viv Press.

Nor, Dumairi. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri.

Remy Sjahdeini, Sutan. 2014. Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek Hukumnya. Jakarta:Kencana Prenada media Group.

Rivai, Veithzal dan Andi Buchari. 2009. Islamic Economics, Ekonomi Syariah Bukan Opsi, Tapi Solusi!. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sitanggang, Idah. Wawancara, Ujung Lombang, 02 November 2016.

Subagyo, Ahmad. 2009. Kamus Istilah Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Subekti. 1989. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media. Umam, Chatibul dan Abu Hurairaah. 2001. Fiqh Empat Madzhab. Jombang:

Darul Ulum .


(6)

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Studi Islam Jilid III: Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.