PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN LIMBAH CAIR

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Industralisasi dianggap sebagai landasan strategi pembangunan karena memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia, namun dibalik dari itu industri juga memberikan dampak terhadap lingkungan, menyebabkan polusi dan degradasi, sehingga dalam mengelola masalah yang berhubungan dengan polusi udara, maupun sumbedaya air membutuhkan biaya yang tinggi pula (Adebayo et al, 2008).

Dampak yang ditimbulkan limbah sangat berfariasi tergantung dari jenis limbah, volume, jenis industri dan penggunaan produk oleh masyarakat, limbah industri merupakan sumber utama yang menyebabkan pencemaran air pada saat ini dan banyak fakta menunjukkan peningkatan polusi setiap tahun terutama oleh Negara-Negara yang maju industrinya, tingkat pembuangan limbah domestik dan industri sangat berfariasi serta jumlah besar yang tidak diproses lebis lanjut menyebabkan kualitas perairan menjadi tidak stabil serta kemampuan badan air tidak mampu mengencerkan terutama limbah cair sehingga ketersedian kuantitas yang cukup dan kuantitas air yang memadai menjadi terancam. Regulasi yang dihasilkan limbah industri mengejar hasil dan keuntungan yang tinggi tanpa memperhatikan kaidah-kaidah keseimbangan dan keberlanjutan ekologi yang pada akhirnya menimbulkan bahaya kesehatan terhadap organisme dan manusia odumosu, 1992. Ogedengbe dan akinbile, 2004. Sangodoin, 1991.

Pengawasan kualitas air di Negara yang berkembang sangat tidak memadai, terutama limbah perkotaan dan limpasan. Penggunaan bahan beracun dan berbahaya seperti logam berat di anak sungai kampala di Uganda yang tidak terkontrol menyebabkan kekurangan oksigen terlarut, meningkatkan kebutuhan oksigen biologis (BOD). Hal ini diakibatkan oleh dua faktor utama yaitu pertama percampuran secara kimiawi dan emisi dari industri dan transportasi dan yang kedua timbal yang bersumber dari industri, pemukiman komersil dan transportasi (K. Sekabira et al, 2010).

Kontribusi pencemaran air tanah merupakan hasil buangan polutan yang tidak terkonrol baik sampah organik maupun anorganik. Pada waktu hujan polutan tersebut akan mengalami infiltrasi ke dalam air tanah secara lateral maupun vertical menyebabkan terjadinya kontaminasi. Limpasan yang banyak mengandung zat polutan yang beracun seperti logam berat memberikan dampak negatif terhadap ekosistem perairan (Forsithe, 2004). Partikel kecil dalam air sangat berperan dalam menyerap beberapa jenis polutan kemudian diendapkan kedasar perairan danau dan sungai, kombinasi banyaknya pertikel yang tercemar membentuk endapan sedimen beracun (Ashworth, 1996).

Tempat pembuangan sampah memberikan kontribusi pencemaran, terbukti dapat menurunkan parameter kualitas perairan diantaranya menurunkan tingkat oksigen terlarut, meningkatkan kebutuhan oksigen biologis dan kimiawi, menurunkan alkalinitas dan pH yang tidak memungkinkan untuk budidaya ikan. Dampak yang paling besar ditemkan pada pagian perairan yang dekat dengan tempat pembuangan yang berhubungan langsung dengan badan perairan, selain itu Tempat pembuangan sampah memberikan kontribusi pencemaran, terbukti dapat menurunkan parameter kualitas perairan diantaranya menurunkan tingkat oksigen terlarut, meningkatkan kebutuhan oksigen biologis dan kimiawi, menurunkan alkalinitas dan pH yang tidak memungkinkan untuk budidaya ikan. Dampak yang paling besar ditemkan pada pagian perairan yang dekat dengan tempat pembuangan yang berhubungan langsung dengan badan perairan, selain itu

2. Tujuan Dan Manfaat

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengkaji literature yang terkait dengan bagaimana pengelolaan limbah yang dihasilkan baik oleh industri, domestik, urbanisasi dan tingkat kesejahteraan. Arkeolog E.W. Haury dalam sebuh artikelnya menyatakan bahwa tingkat sisial budaya sangat berhubungan erat dengan penumpukan sampah yang dihasilkan sebagai symbol dan atau gaya hidup, dalam upaya pemenuhan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan hasil penemuan melalui eksplorasi menggambarkan bahwa perubahan tinggkat kebudayaan klasik dengan gaya hidup yang sederhana sangat kecil atau bahkan tidak menghasilkan limbah yang mengancam sumbedaya perairan, namun sejalan dengan perubahan kemajuan system kebudayaan sebagai indikator penghasil limbah yang sangat kompleks berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan kemakmuran seperti pemenuhan produk domestik bruto, konsumsi energy dan privat konsumsi akhir Bingemer dan Crutzen, 1987; Richards, 1989;. Rathje et al , 1992; Mertins et al , 1999;. US EPA, 1999; Nakicenovic et al,. 2000; Bogner dan Matthews, 2003; OECD, 2004). Maka saat ini setiap Negara berusahan mengurangi libah yang dihasilkan dengan tujuan untuk mendorong kekuatan pertumbuhan ekonomi dan meminimalkan limbah yang dihasilkan.

Tantangan yang dihadapkan Negara-negara maju dan berkembang saat ini adalah bagaimana, menampung, mendaur ulang dan mengatasi peningkatan jumlah yang dihasilkan baik cair maupun padat. Dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah pembentukan pengelolaan limbah yang efisien, efektif dan benar-benar berkelanjutan. Harus lebih ditekankan pada kesehatan masyarakat, keselamatan lingkungan, kobenefit yang diperoleh dari pengelolaan limbah yang efektif, meningkatkan kualitas hidup, mencegah kontaminasi ekosistem secara menyeluruh, melestarikan sumberdaya alam dan memberikan energy yang terbarukan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Perencanaan Pemantauan Kualitas Air

Pemantauan rutin dan penilaian kualitas air merupakan dua hal penting oleh lembaga pengawasan. Data kualitas air yang dikoleksi harus benar-benar dinilai dan dievaluasi, dengan tujuan pengelolaan yang efektif dengan pertimbangan kesehatan manusia dan perlindungan lingkungan. Pemantauan kualitas air yang efektif dan efisien jika benar-benar melaui suatu perencanaan dan diimplementasikan. Perencanaan yang matang harus dilakukan sebelum pengumpulan data untuk memastikan bahwa situs sampling, frekwensi sampling, dan parameter kualitas air disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan.

2.1.1. Koleksi Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air merupakan faktor penting dalam usaha pemantauan dan pengelolaan, beberapa parameter yang diperoleh secara langsung dapat menilai dan memprediksi penyebab terjadinya permasalahan baik atau tidaknya kualitas suatu perairan. Monitoring awal yang dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi kegiatan pada lokasi penelitian yang dapat mempengaruhi kualitas air, misalnya sumber limbah dari manusia maupun hewan ternak, dan kegitan industri serta kegiatan lain yang potensial dapat menghasilkan polutan. Mengalisis parameter penting dilakukan agar dapat mengetahui resiko yang ditimbulkan, potensi yang menimbulkan keresahan publik, dan kemungkinan penyebab permaslahanya dari instalasi pengelolaan limbah sehingga menimbulkan Parameter kualitas air merupakan faktor penting dalam usaha pemantauan dan pengelolaan, beberapa parameter yang diperoleh secara langsung dapat menilai dan memprediksi penyebab terjadinya permasalahan baik atau tidaknya kualitas suatu perairan. Monitoring awal yang dilakukan adalah untuk mendapatkan informasi kegiatan pada lokasi penelitian yang dapat mempengaruhi kualitas air, misalnya sumber limbah dari manusia maupun hewan ternak, dan kegitan industri serta kegiatan lain yang potensial dapat menghasilkan polutan. Mengalisis parameter penting dilakukan agar dapat mengetahui resiko yang ditimbulkan, potensi yang menimbulkan keresahan publik, dan kemungkinan penyebab permaslahanya dari instalasi pengelolaan limbah sehingga menimbulkan

2.1.2. Parameter Fisik

2.1.2.1. Suhu

C akan mematikan terutama pada udang (New, 1990). Perubahan suhu dapat disebabkan dari berbagaai hal diantaranya adalah buangan limbah panas, pangaruh musim harian, bulanan dan tahunan (iklim global). Suhu dapat mempengaruhi oksigen terlarut, penurunan suhu dibawah optimum juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan organisme akuatik. Suhu juga sangat perperan dalam proses fisiologis hewan air, diantaranya berfungsi sebagai pengendali enzimatik dalam untuk menurunkan energi aktivasi, mempercepat reaksi dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya.

0 Kisaran suhu antara 4 0 C dan diatas 35

Dalam beberapa percobaan menemukan bahwa Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar- benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman &

0 Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 18 0 -23 C 0 Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 18 0 -23 C

Suhu adalah variabel lingkungan penting untuk organisme akuatik karena suhu dapat mempengaruhi aktivitas makan ikan, metabolisme, gas (oksigen) terlarut dan proses reproduksi ikan. Kisaran suhu yang optimal

untk pertumbuhan ikan patin adalah 25-30 0 C (Susanto, 2009). Lebih lanjut Ruth dan Reed (2009) menjelaskan bahwa parasit protozoa ―Ich‖ dapat

berkembang dengan cepat disebabkan oleh kualitas air yang jelek khususnya suhu air. Dimana suhu memiliki pengaruh yang besar pada seberapa cepat siklus hidup untuk parasit "Ich" ini. Pada suhu hangat

(75-79 0 F), siklus hidup selesai dalam waktu 48 jam yang berarti perkembangan dan penyebaran dari parasit ini sangat ditentukan oleh

kualitas air terutama suhu dari media pemeliharaan. Suhu air juga sangat mempengaruhi seluruh aktivitas pada proses reproduksi organisme akuatik (OECD, 2006).

2.1.2.2. Padatan Terlarut Total (TDS) dan Padatan Tersuspensi Total (TSS)

Secara fisual padatan tersuspensi total dapat mempengaruhi tingkat ketransparansi dan warna air. Sifat transparan air terkait dengan produktifitas. Transparan yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi. Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi. Padatan terlarut total mencerminkan jumlah kepekatan padatan dalam suatu contoh air. Penentuan padatan terlarut total dapat cepat Secara fisual padatan tersuspensi total dapat mempengaruhi tingkat ketransparansi dan warna air. Sifat transparan air terkait dengan produktifitas. Transparan yang rendah menunjukkan produktivitas tinggi. Cahaya tidak dapat tembus banyak jika konsentrasi bahan tersuspensi tinggi. Padatan terlarut total mencerminkan jumlah kepekatan padatan dalam suatu contoh air. Penentuan padatan terlarut total dapat cepat

Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 µm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan.

Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TDS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin

Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air, buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna perairan.

Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 µm. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian.

2.1.2.3. Kekeruhan dan Kecerahan

Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat Mahida (1993) mendefinisikan kekeruhan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat

Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang seperti danau lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel- partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya sistem osmeregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air.

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikelpartikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).

Dalam Rukaesih (2004) bahwa padatan terlarut yang tinggi biasanya perairan dalam kondisi basa atau pH tinggi. Nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri).

2.1.2.4. Warna Perairan

Pada umumnya warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya dan warna tampak. Menurut Effendi (2003), warna sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut, tetapi juga oleh bahan tersuspensi. Warna perairan timbul disebabkan oleh bahan organik dan anorganik, keberadaaan plankton, humus, dan ion-ion logam seperti besi dan mangan. Oksidasi besi dan mangan mengakibatkan perairan bewarna kemerahan dan kecoklatan atau kehitaman, sedangkan oksidasi kalsium karbonat menimbulkan warna kehijauan. Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Untuk kepentingan estetika dan pariwisata, warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo, sedangkan untuk kepentingan air minum warna air yang dianjurkan adalah

5 –50 unit PtCo (Santika, 1997; Effendi, 2003).

2.1.3. Parameter Kimia

2.1.3.1. pH

Derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asamasam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industri dan rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan.

Ion-ion hidrogen (asam) dan ion-ion hidroksil (basa) keduanya dihasilkan dari pengisian air. dengan demikian, setiap perubahan konsentrasi salah satu ion ini akan membawa perubahan dalam konsentrasi ion lainnya. Karenanya, suatu skala bilangan yang disebut skala pH digunakan untuk mengukur keasaman atau kebasaan air dan bilangan tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen secara tidak langsung. pH di difinisikan sebagai logaritma dari resprokal aktivitas ion hidrogen dan

secara matematis dinyatakan sebagai pH = . pH juga didefinisikan sebagai logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H + ] yang

mempunyai skala antara 0 sampai 14. pH mengindikasikan apakah air tersebut netral, basa atau asam.

pH merupakan variabel kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi sepanjang hari. Pada perairan umum yang tidak dipengaruhi aktivitas biologis yang tinggi, nilai pH jarang mencapai diatas 8,5, tetapi pada tambak ikan atau udang, pH air dapat mencapai 9 atau lebih (Boyd, 2002). Perubahan pH ini merupakan efek langsung dari fotosintesis yang

menggunakan CO 2 selama proses tersebut. Karbon dioksida dalam air bereaksi membentuk asam seperti yang terdapat pada persamaan di bawah

ini : + HCO

3 +H .

Ketika fotosintesis terjadi pada siang hari, CO 2 banyak terpakai dalam proses tersebut. Turunnya konsentrasi CO 2 akan menurunkan

konsentrasi H + sehingga menaikkan pH air. Sebaliknya pada malam hari semua organisme melakukan respirasi yang menghasilkan CO 2 sehingga

pH menjadi turun. Fluktuasi pH yang tinggi dapat terjadi jika densitas plankton tinggi. Tambak dengan total alkalinitas yang tinggi mempunyai fluktuasi pH yang lebih rendah dibandingkan dengan tambak yang beralkalinitas rendah. Hal ini disebabkan kemampuan total alkalinitas sebagai buffer atau penyangga (Boyd, 2002b).

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh

H 2 S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Selain itu, pH juga mempengaruhi nilai BOD 5 , fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo and Best, 1992).

Udang mampu mentolerir pH pada kisaran 7-9. Air yang terlalu asam (pH<6.5) dan air yang terlalu basa (pH>10) dapat merusak insang udang dan mengganggu pertumbuhan. Walaupun udang dapat hidup pada kisaran pH 7-9, tetapi pH sebaiknya dijaga pada kisaran 7.2-7.8. Hal ini berkaitan dengan toksisitas amonia, dimana toksisitas amonia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH. Pada pH kurang dari 7.8 fraksi amonia dalam total amonia nitrogen berkurang sekitar 5% dan pada pH lebih dari 9 sekitar 50% total amonia nitrogen berada dalam bentuk amonia (Van Wyk dan Scarpa, 1999). pH rendah mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi, sedangkan pH tinggi mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen yang rendah. Nilai pH berkisar antara 0-14. Air disebut asam jika pH< 7, netral jika pH 7, dan basa/alkali jika pH> 7 (Van Wyk dan Scarpa, 1999). Pengaruh pH terhadap organisme akuatik menurut Swingle (1969) dalam Boyd (1982) dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 1. Pengaruh pH terhadap Organisme Akuatik

Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses

Tabel 1: Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan

Nilai pH Pengaruh Umum

6.0-6.5

1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan

5.5-6.0

1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak.

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti

3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral 5.0-5.5

1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton dan bentos semakin besar

2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak

4. Proses nitrifikasi terhambat 4.5-5.0

1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton dan bentos semakin besar

2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak

4. Proses nitrifikasi terhambat Sumber : modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003

2.1.3.2. Alkalinitas

Alkalinitas adalah kemampuan air dalam menyangga atau menetralisir asam-asam lemah, walaupun asam lemah atau basah lemah juga sebagai penyebabnya. Penyusun alkalinitas diperairan adalah

bikarbonat (HCO -

3 ), karbonal (CO 3 ), dan hidroksida (OH ) garam dari

asam lemah lain seperti borat (H 2-

2 SO 3 ), silikat (HSiO 3 ), fosfat (HPO 4 dan

2 PO 4 ), sulfide (HS ), ammonia (NH 3 ) juga berkontribusi dalam menyumbanh alkalinitas walaupun dalam jumlah yang sedikit.

Alkalinitas juga didefenisikan sebagai gambaran kapasitas air tuntuk menetlalkan asam atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinrtas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan. Secara khusus, alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan kapasitas menyangga dari ion bikarbonat, dan sampai tahap terlentu terhadap ion karbonat dan hidroksida dalam air. Semakin tinggi alkalinitas maka kemampuan air untuk menyangga lebih tinggi sehingga fluktuasi pH perairan semakin rendah. Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat.

Pada keadaan tertentu terutama pada siang hari ganggang dan lumut dapat menyebabkan turunnya kadar karbondioksida dan bikarbonat. Dalam keadaan seperti ini kadar karbonat dan karbondioksida naik, dan menyebabkan pH larutan larutan naik. Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga perairan sebagai penyangga perairan perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan kedalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam bikarbonat membentuk garam bikarbonat dan akhirnya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan kedalam perairan maka asam tersebut mengkonversi karbonat menjadi bikarbonat menjadi asam karbonat. Hal ini dapat menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total yang tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988).

Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air dan limbah cair bereaksi membentuk endapan hidroksida yang tidak larut. Ion hydrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengatahui kisaran pH yang optimum dalam penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai alkalinitas sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hydrogen yang dilepaskan pada proses koagulan.

Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam menentukan soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan dengan metode pengendapan. Selain itu, alkalinitas merupakan pengendali korosi, juga salah satu faktor yang penting dalam penentuan kemampuan dari limbah secara biologi.

Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh (Ridwan Affandy at al, 2004) menjelaskan bahwa media yang baik untuk mendukung kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm. Beberapa parameter fisik kimia air dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh alkainitas media pemeliharaan sebagai kelangsungan hidup ikan, laju pertumbuhan harian, tingkat konsumsi oksigen, dan tekanan osmotik media dalam pemeliharaan. Kisaran alkalinitas dan kesadahan bagi ikan berkirasa 20-300 ppm, kisaran optimal alkalinitas untuk budidaya ikan secara intensif berkisar 100-150 ppm, selain itu alkalinitas juga berfungsi sebagai penyangga pH, ternyata melalui kalsiumnya penting dalam Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh (Ridwan Affandy at al, 2004) menjelaskan bahwa media yang baik untuk mendukung kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm. Beberapa parameter fisik kimia air dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh alkainitas media pemeliharaan sebagai kelangsungan hidup ikan, laju pertumbuhan harian, tingkat konsumsi oksigen, dan tekanan osmotik media dalam pemeliharaan. Kisaran alkalinitas dan kesadahan bagi ikan berkirasa 20-300 ppm, kisaran optimal alkalinitas untuk budidaya ikan secara intensif berkisar 100-150 ppm, selain itu alkalinitas juga berfungsi sebagai penyangga pH, ternyata melalui kalsiumnya penting dalam

2.1.3.3. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk respirasi, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relative lebih sedikit apabila

dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978). Kandungan oksigen terlarut minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut.

Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami

Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.

2.1.3.4. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod,1973).

Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh

organisme selama organisme tersebut menguraikan bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang diperiksa harus bebas dari udara luar untuk rnencegah kontaminasi dari oksigen yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads suhu 20°C (Sawyer & Mc Carty, 1978).

Penguraian bahan organik secara biologis di alam, melibatkan bermacam-macam organisme dan menyangkut reaksi oksidasi dengan hasil akhir karbon dioksida (CO 2 0) dan air (H 2 O). Pemeriksaan BOD tersebut dianggap sebagai suatu prosedur oksidasi dimana organisme hidup bertindak sebagai medium untuk menguraikan bahan organik menjadi CO 2 dan H 2 O. Reaksi oksidasi selama pemeriksaan BOD merupakan hasil dari aktifitas biologis dengan kecepatan reaksi yang berlangsung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi dan suhu. Karenanya selama pemeriksaan BOD, suhu harus diusahakan konstan pada 20°C yang merupakan suhu yang umum di alam. Secara teoritis, waktu yang diperlukan untuk proses oksidasi yang sempurna sehingga bahan organik

terurai menjadi CO 2 dan H 2 O adalah tidak terbatas. Dalam prakteknya di laboratoriurn, biasanya berlangsung selama 5 hari dengan anggapan bahwa selama waktu itu persentase reaksi cukup besar dari total BOD. Nilai BOD

5 hari merupakan bagian dari total BOD dan nilai BOD 5 hari merupakan 70-80% dari nilai BOD total (Sawyer & Mc Carty, 1978). Penentuan waktu inkubasi adalah 5 hari, dapat mengurangi kemungkinan hasil

oksidasi ammonia (NH 3 ) yang cukup tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa, ammonia sebagai hasil sampingan ini dapat dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga dapat mempengaruhi hasil penentuan BOD. Reaksi kimia yang dapat terjadi adalah :

Oksidasi nitrogen anorganik ini memerlukan oksigen terlarut, sehingga perlu diperhitungkan.

2.1.3.5. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)

Kebutuhan oksigen kimia merupakan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi. COD adalah parameter yang menunjukkan banyaknya senyawa organik yang dapat dioksidasi dalam limbah cair. Senyawa organik tersebut akan dioksidasi oleh reagen

yang merupakan oksidator. COD dinyatakan sebagai mg O 2 /1000 mL larutan sampel. Bahan buangan tersebut dioksidasi oleh kalium bikhromat dalam suasana asam yang digunakan sebagai sumber oksigen ( oxygen

agent ) menjasi gas CO 2 dan H 2 S serta sejumlah ion krom.

Reaksi yang terjadi pada metode refluks sebagai berikut :

Dalam pengukuran nilai COD selalu besar dari nilai BOD karena senyawa anorganik juga bisa ikut teroksidasi selama proses. Kenyataanya hampir semua zat organik (95-100%) dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganant dalam suasana asam. Makin tinggi nilai COD maka semakin tinggi pula oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik pencemar. Nilai COD pada perairan yang normal adalah berkisar <20 mg/L.

Kelebihan pengukuran COD dibandingkan BOD adalah dapat menguji air limbah yang beracun, yang tidak dapat di uji secara BOD karena bakteri akan mati secara membutuhkan waktu pengujian lebih singkat yaitu 3 jam.

2.1.3.6. Salinitas

Salinitas didefenisikan sebagai total konsentrasi dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter. Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektrolit yang larut dalam air tersebut. Semakin tinggi salinitas, semakin tinggi konsentrasi elektrolit. Salinitas dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi organisme akuatik karena pengaruh osmotiknya, ditinjau dari aspek fisiologis, organisme akuatik dapat dibagi menjadi dua kategori sehubungan dengan mekanisme osmolaritas media (salinitas), yaitu Salinitas didefenisikan sebagai total konsentrasi dari semua ion yang larut dalam air, dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter. Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektrolit yang larut dalam air tersebut. Semakin tinggi salinitas, semakin tinggi konsentrasi elektrolit. Salinitas dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi organisme akuatik karena pengaruh osmotiknya, ditinjau dari aspek fisiologis, organisme akuatik dapat dibagi menjadi dua kategori sehubungan dengan mekanisme osmolaritas media (salinitas), yaitu

1990, dan Farraris et al , 1986).

Besarnya konsentrasi salinitas pada suatu perairan tawar seperti sungai dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan bakteri facel. Bakteri fecel bersifat haloter haloteran lemah yaitu hidup pada toleransi salinitas rendah Junidar (1996). Salinitas dapat mempengaruhi tekanan osmositik pada mikroorganisme. Tekanan osmotik terjadi karena akibat dari zat terlarut didalam sel dan diluar sel tidak sama. Umumnya mikroorganisme akan tumbuh dengan baik dalam substrat yang memiliki tekanan yang sedikit lebih rendah dari tekanan osmotik didalam selnya.

Bakteri tidak dapat tumbuh pada salinitas 10%, Aeromonas hydrophyla tumbuh dan perkembang dengan baik pada salinitas 0-4%, dan pada salinitas 5% bakteri ini sudak tidak mampu mengalami pertumbuhan. Sedangkan Bacyllus sp. Memiliki toleransi terhadap salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Aeromonas hydrophyla (Nurlita Annisa Sari

et al, 2010).

2.1.3.7. Logam Berat

Logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis lebih besar dari 5 g/cm 3 Logam berat ialah unsur logam dengan berat

molekul tinggi. Dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Termasuk logam molekul tinggi. Dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah beracun bagi tumbuhan dan hewan, termasuk manusia. Termasuk logam

Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk hidup. Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam berat termasuk dalam kelompok zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam berat yang tidak dapat terurai (non degradable) dan mudah diabsorbsi.

Pengaruh logam berat terhadap organisme melalui bargai jalur diantaranya adalah penyerapan, inhalsi, dan rantai makanan. Dalam ekosistem alami terdapat interaksi antar organisme baik interaksi positif maupun negatif yang menggambarkan bentuk transfer energi antar populasi dalam komunitas tersebut. Dengan demikian pengaruh logam berat tersebut pada akhirnya akan sampai pada hierarki rantai makanan tertinggi yaitu manusia. Logam-logam berat diketahui dapat mengumpul didalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka Pengaruh logam berat terhadap organisme melalui bargai jalur diantaranya adalah penyerapan, inhalsi, dan rantai makanan. Dalam ekosistem alami terdapat interaksi antar organisme baik interaksi positif maupun negatif yang menggambarkan bentuk transfer energi antar populasi dalam komunitas tersebut. Dengan demikian pengaruh logam berat tersebut pada akhirnya akan sampai pada hierarki rantai makanan tertinggi yaitu manusia. Logam-logam berat diketahui dapat mengumpul didalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh untuk jangka

2.1.3.8. Nitrogen

Total nitrogen adalah gambaran nitrogen dalam organik dan ammonia pada air limbah. Total nitrogen juga merupakan penjumlahan dari nitrogen anorganik berupa N-NO 3 , N-NO 2 , dan N-NH 3 , yang bersifat larut; sedangkan nitrogen organik berupa partikulat yang tidak larut dalam air. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya dalam bentuk organik dan oleh bakteri merubahnya menjadi nitrogen ammonia. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat. Nitrat dapat digunakan oleh algae dan tumbuh-tumbuhan lain untuk membentuk protein tanaman (Effendi et al , 2003)

Ammonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH 4 , pada pH rendah. Ammonia dalam air limbah terbentuk karena adanya proses kimia secara alami. Sedangkan nitrit merupakan bentuk nitrogen yang hanya sebagiannya teroksidasi. Nitrit tidak ditemukan dalam limbah yang sudah basi atau lama. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Konsentrasi nitrit diperairan relative sedikit, tidak tetap dan dapat berubah menjadi ammonia atau dioksidasi menjadi nitrit (Ginting et al , 2007).

Nitrat (NO 3 ) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nitrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/L, perairan mesotrofik memiliki konsentrasi antara 1-5 mg/L, dan perairan eutrofik kisaran konsentrasinya berkisar 5-50 mg/L. pada perairan yang menerima limpasan dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrit dapat mencapai 1000 mg/L. Konsentrasi nitrit untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/L (Volenwider et al , 1969, Wetzel, 1975 dan Effendi, 2003).

Sumber ammonia di perairan adalah pemicahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Sumber lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi di atmosfer, limbah industri dan domestik.

Ammonia terukur di perairan berupa ammonia total (NH 3 dan NH +

4 ). Ammonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan ammonium (NH +

4 ) dapat terionisasi. Ammonia bebas (NH 3 ) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksitas ammonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut, pH dan suhu. Amonia jarang di temukan pada perairan yang cukup suplay oksigennya. Sebaliknya pada daerah anaerobik 4 ) dapat terionisasi. Ammonia bebas (NH 3 ) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksitas ammonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut, pH dan suhu. Amonia jarang di temukan pada perairan yang cukup suplay oksigennya. Sebaliknya pada daerah anaerobik

2.1.3.9. Fosfor

Di perairan, unsure fosfor ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik terlarut yakni ortofosfat dan polifosfat dan dalam bentuk senyawa organik yang berupa partikulat. Total fosfor menggambarkan jumlah total fosfor, baik dalam bentuk partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik.

Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral,

[Ca 5 (PO 4 ) 3 F], hydroxylapatite [Ca 5 (PO 4 ) 3 OH], strengite [Fe(PO 4 )2H 2 O], whitockite [Ca 3 (PO 4 ) 2 ], dan berlinite (Al(PO 4 ). Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pupuk juga berkontribusi cukup besar bagi keberadaan fosfor.

misalnya

fluorapatite

Kandungan phodphat yang tinggi dalam perairan menyebabkan suburnya algae dan organisme lainnya atau yang lebih dikenal dengan istila eutrofikasi. Kesuburan tanaman air akan menghalangi kencaran arus air, menghalangi penetrasi cahaya, tingginya dekomposisi bahan organik dan anorganik yang menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut (Ginting et al, 2007).

Kadar forfor yang diperkenangkan untuk kepentingan air minum adalah 0,2 mg/L dalam bentuk fosfat (PO 4 ). Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0.005-0.02 mg/L P-PO 4 , sedangkan pada air tanah sekitar 0.02 mg/L. kadar fosfor total di perairan alami jarang melebihi 1 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992, Boyd et al , 1988).

Berdasarkan kadar total fosfor, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yakni ―perairan dengan tingkat kesuburan rendah, yang memiliki

kadar fosfor total antara 0-0.02 mg/L ‖, ―perairan dengan tingkat kesuburan sedang, yang memiliki kadar fosfor total 0.0021-

0.05 mg/L, dan ―perairan dengan tingkat kesuburan tinggi, yang memiliki kadar fosfor total 0.051-

0.1 (Yoshimura et al, 1969).

2.1.4. Parameter Biologi

Parameter kualitas air secara biologi adalah menggambarkan tentang mekanisme biotik dalam mentolelir kondisi lingkungan. Dalam menganalisis kualitas air secara bilogi sebaiknya dilakukan biomonitong yang meliputi rangkaian proses evaluasi kualitas perairan dengan cara mengukur keberadaan polutan tertentu pada matriks lingkungan maupun didalam kompartemen tubuh organisme tertentu yang dapat memberikan informasi tentang status kualitas suatu ekosisrem. Pengukuran matriks lingkungan dapat dilakukan dengan memperhatikan keanekaragaman, kepadatan, dan pola distribusi suatu organisme dan mengkorelasikan dengan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kestabilan ekosistem, seperti substrat, pH, oksigen terlarut dan lainnya. Selain itu, informasi dari hasil analisis kimia pada kompartemen dalam tubuh organisme Parameter kualitas air secara biologi adalah menggambarkan tentang mekanisme biotik dalam mentolelir kondisi lingkungan. Dalam menganalisis kualitas air secara bilogi sebaiknya dilakukan biomonitong yang meliputi rangkaian proses evaluasi kualitas perairan dengan cara mengukur keberadaan polutan tertentu pada matriks lingkungan maupun didalam kompartemen tubuh organisme tertentu yang dapat memberikan informasi tentang status kualitas suatu ekosisrem. Pengukuran matriks lingkungan dapat dilakukan dengan memperhatikan keanekaragaman, kepadatan, dan pola distribusi suatu organisme dan mengkorelasikan dengan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kestabilan ekosistem, seperti substrat, pH, oksigen terlarut dan lainnya. Selain itu, informasi dari hasil analisis kimia pada kompartemen dalam tubuh organisme

Terkait dengan biomonitoring, tidak hanya terbatas pada evaluasi ekosistem tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamrin (2004) dan Angerer et al. (2006) yang mendefinisikan biomotoring sebagai teknik evaluasi lingkungan terhadap paparan bahan kimia berdasarkan sampling dan analisis jaringan, cairan dan jaringan individu. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diungkapan, maka disimpulkan bahwa biomonitoring adalah penggunaan suatu spesies tertentu yang dapat memberikan informasi terkait dengan status pencemaran lingkungan oleh logam berat tertentu berdasarkan analisis matriks lingkungan, analisis jaringan dan molekul organisme yang terpapar logam berat.