PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh: Stepanus Budi Raharjo NIM : 049114033 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh: Stepanus Budi Raharjo NIM : 049114033 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
Karya yang telah aku susun dengan penuh perjuangan ini, aku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus yang menjadi ANDALAN hidupku
Alm. Bapak Aloysius Yitno Diharjo
&
Alm. Ibu Theresia Mursini di Surga
Semua Keluargaku
Semua sahabat-sahabatku
Motto Hidupku
Hidup Sekali Harus Berarti
karena
Aku Diciptakan-Nya Untuk Menjadi Individu yang Berguna
maka
Aku Harus Selalu Berusaha
untuk
Meraih Kebahagiaan dan Menggapai Semua Mimpiku
buat
KELUARGA
&
SAHABAT
Yang Menjadi Mutiara Hidupku
ABSTRAK PERBEDAAN KECENDERUNGAN BULLYING PADA REMAJA PUTRA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN Stepanus Budi Raharjo
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2008 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecenderungan
bullying pada remaja awal berdasarkan urutan kelahirannya. Remaja adalah usia yang
paling rentan untuk melakukan bullying. Dalam keluarga setiap remaja mendapat perbedaan perlakuan dari orangtua berdasarkan urutan kelahiran mereka. Urutan kelahiran terdiri dari anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Perbedaan perlakuan ini menimbulkan terjadinya karakteristik kepribadian tertentu pada setiap urutan kelahiran. Kepribadian adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bullying.
Bullying terdiri dari tiga aspek yaitu; adanya perbedaan kekuasaan, perilaku menyakiti
yang berulang dan perilaku yang dilakukan dengan sengaja.Subjek penelitian ini berjumlah 129 orang remaja putra yang terdiri dari 43 anak sulung, 43 anak tengah dan 43 anak bungsu. Semua subjek tersebut merupakan remaja yang memenuhi kriteria berikut; berusia antara 13-16 tahun, memiliki dua orang saudara kandung, dan bersekolah di SMP yang terletak di Kabupaten Sleman. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala yaitu skala kecenderungan bullying. Koefisien reliabilitas dari skala ini adalah 0,900.
Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan anava satu jalur adalah F hitung = 2,811 yang lebih kecil dari F tabel = 3,07 serta nilai signifikansinya yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,064. Hal ini menunjukkan hipotesis pada penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
ABSTRACT THE DIFFERENCES OF BULLYING TENDENCY ON BOY TEENAGERS BASED ON THEIR BIRTH ORDER Stepanus Budi Raharjo
Sanata Dharma University Yogyakarta
2008 The aim of this research was to find out the differences of bullying tendency on boy teenagers based on their birth order. Teenagers were the most susceptible group to do bullying behavior. In their family, every teenager gots different treatment from their parents. The parents usually treated them differently according to their order of birth. Different treatment can created certain personality to every order of birth. Birth order consists of the first born, the middle born and the last born. Personality is one of the factors which causes bullying behavior. There are three aspects of bullying, that are the difference of authority, repeated and in purpose violence attitudes.
The subject of this research were about 129 boy teenagers, consist of 43 first born, 43 middle born and 43 last born. The subjects to be observed were based on the writer’s criteria. The criteria are: first, 13-16 years old students; second, they had two siblings and the last, students must Junior High School students in Sleman Regency. The method of data collection was done by giving a scale. The scale of this research was the scale of bullying tendency. The reliability of this scale were 0,900.
The result from processed data with anava was F count = 2,811 less than F table = 3,07. This result showed that hypothesis on this research was refused. It means that there was no difference on bullying tendency seeing from the birth order point of view.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus yang selalu menyertai dan membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih atas perlindungan dan terang pikiran yang selalu Bunda Maria limpahkan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini adalah sebuah proses yang panjang, dimana penulis harus berusaha, bekerja keras dan menghadapi berbagai kesulitan yang ada. Proses yang panjang ini tidak akan selesai bila tidak ada mereka yang membantu. Oleh karena itu, penulis secara tulus ingin mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah berperan dalam proses pengerjaan skripsi ini dan kehidupan penulis:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan dalam perijinan penelitian.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., S.Psi,. M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar memberi arahan, memberi masukan, merevisi skripsi dan memberi semangat yang sangat membantu proses pengerjaan skripsi ini.
3. Ibu Passchedona Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji skripsi.
4. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik yang
5. Bapak Heri dan Ibu Dewa yang telah memberi masukan berkaitan dengan penghitungan statistik sehingga memperlancar pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Ibu dosen yang telah memberi ilmu kepadaku untuk masa depan dan hidup saya.
7. Bapak dan Ibu di SURGA yang selalu mendoakan dan memberkati. Terimakasih atas semua yang boleh saya terima.
8. Kakak-kakak saya: Mas Jefrey, Mbak Yuni, Mas Narto, Mbak Parti, Mbak Santi atas semua dukungan dan biaya kuliah selama ini.
9. Ponakan saya: Yani, Rudi dan Alfon.
10. Saudara angkat saya Bernand, yang membantu mencarikan buku referensi, meskipun gak dapat.
11. Mas Gandung dan Mbak Nanik yang telah membantu kelancaran administrasi akademik selama ini.
12. Pak Gi…yang ramah dan membantu sekali dalam perijinan penelitian.
13. Mas Muji yang sudah berbagi pengalaman menjadi asisten. Mas Doni yang telah meminjami buku-buku.
14. Pak Priyo yang telah menerima di P2TKP.
15. Br. Pius selaku Kepala Sekolah SMPK ST. Aloysius Turi, Para Kepala Sekolah: SMP Kanisius Pakem, SMPN II Turi, SMPN I Ngaglik, SMPK Aloysius Denggung, SMP Kanisius Sleman, SMPN III Turi, Bapak Siswanto selaku guru SMPN II Tempel dan Ibu Yani selaku guru SMPN 4 Sleman yang telah
17. Irai, Andre, Ika, Desy, Tika, Lina, Tiara yang mau membantu mencari data.
18. Teman-teman P2TKP, tempat berbagi koreksian, pekerjaan dan bermain BI---: Desta, AB, Otik, Gothe, Wiwid, Rondang, Badai, Fani, Tina, Vania, Atik, Weni, Lia, Mitha, Wulan, dan yang paling memotivasiku Betty.
19. Badai (pasti berlalu) teman seperjuangan bimbingan.
20. Rm. Yatno & Rm. Eltus atas beasiswanya.
21. Tiara yang sudah membantu menerjemahkan abstrak.
22. Adik-adik CAS CIS yang telah membantu dalam skoring kuesioner : Dik Theo, Natalia, Ningrum, Swilla dan lain-lain.
23. D’Berto, Fendi, Calvin, Oki, Peni, Adit, Satriya, Danur, Wulan, Ruri, Yaya, Jalung yang …….. membantu dengan doa.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca dan bagi ilmu pengetahuan kita.
Penulis Stepanus Budi Raharjo
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v HALAMAN KEASLIAN KARYA ................................................................. vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT ..................................................................................................... viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ......................................... ix KATA PENGANTAR ..................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xvii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................ 7 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
1. Pengertian Bullying .................................................................. 9
2. Kategori Perilaku Bullying ....................................................... 10
3. Aspek-Aspek Bullying ............................................................. 12
4. Kategori Perilaku Bullying ....................................................... 13
5. Pelaku Bullying ........................................................................ 14
6. Dampak Perilaku Bullying ....................................................... 14
B. Urutan Kelahiran .......................................................................... 15
1. Asumsi Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian............ 15
2. Anak Sulung ............................................................................ 17
3. Anak Tengah ............................................................................ 19
4. Anak Bungsu ............................................................................ 20 C. Remaja ..........................................................................................
23 D. Hubungan antara Bullying dengan Urutan Kelahiran pada Remaja ......................................................................................... 25
E. Hipotesis Penelitian ...................................................................... 29
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 30 A. Jenis Penelitian ........................................................................... 30 B. Subjek Penelitian ........................................................................ 30 C. Identifikasi Variabel ................................................................... 30 D. Definisi Operasional ................................................................... 31
1. Urutan Kelahiran ............................................................. 31
F. Alat Pengumpulan Data .............................................................. 34
G. Uji Validitas, Reliabilitas dan Seleksi Aitem ............................. 35
H. Teknik Analisis Data .................................................................. 36
BAB IV. PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................ 37 A. Persiapan Penelitian .................................................................... 37
1. Uji coba skala bullying ................................................... 37
2. Hasil uji coba skala bullying ........................................... 37
3. Uji reliabilitas ................................................................. 38
B. Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 39
C. Hasil Penelitian ........................................................................... 39
1. Deskripsi data penelitian ................................................. 39
2. Uji asumsi ....................................................................... 41
3. Uji hipotesis .................................................................... 42
D. Pembahasan ................................................................................ 43
BAB V. PENUTUP ....................................................................................... 49 A. Kesimpulan ................................................................................. 49 B. Saran ........................................................................................... 49 C. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 52 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 56
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
22 Tabel 2 : Spesifikasi Skala Kecenderungan Bullying Sebelum Ujicoba
34 Tabel 3 : Subjek Try Out
37 Tabel 4 : Spesifikasi Skala Bullying setelah uji coba
38 Tabel 5 : Spesifikasi Skala Bullying untuk penelitian
38 Tabel 6 : Subjek Penelitian
39 Tabel 7 : Hasil Penelitian
39 Tabel 8 : Kriteria Kategori Bullying
41 Tabel 9 : Hasil pengujian Uji Homogenitas
42 Tabel 10 : Hasil penghitungan one way anova
42 Tabel 11 : Homogeneous Subsets
43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Skala Bullying Lampiran B : Skor Penelitian Bullying Lampiran C : Reliabilitas Skala Bullying Lampiran D : Hasil analisis uji normalitas Hasil analisis uji homogenitas Hasil analisis anova
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan tempat bagi anak untuk mempelajari nilai-nilai moral
sejak usia dini. Hubungan yang kurang dekat dengan orangtua membuat anak kurang mengalami proses belajar tentang perbedaan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Setelah anak menginjak usia remaja seringkali mereka tidak memiliki kontrol diri dan mengabaikan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Kartono, 1998), sehingga timbullah bentuk pelanggaran yang dilakukan remaja.
Selain keluarga, sekolah juga memiliki peranan yang penting dalam proses sosialisasi anak. Sekolah dituntut untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk proses pembelajaran dan perkembangan anak. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa di sekolah pun juga terjadi masalah. Bullying adalah salah satu diantara masalah yang ada dan umumnya bersifat tersembunyi (Neser, Ovens, Merwe dan Morodi, 2002).
Remaja mulai melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan mulai mengembangkan kemandirian. Di lain pihak, remaja juga mulai menjalin kedekatan dengan teman sebaya di luar lingkungan keluarga. Teman sebaya dijadikan pedoman dan tolak ukur dalam berperilaku (Diener dan Larson, dalam Hoffman, Paris dan Hall, 1994). tersebut, masa remaja merupakan masa yang penting karena banyak tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Remaja berusaha mencari identitas diri dan menemukan jati dirinya. Remaja mulai mencari otonomi diri, kebebasan dan mengurangi kelekatan dengan orangtua. Selain itu, masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif, reaktif dan temperamental.
Dalam pencarian identitas diri, remaja melakukan serangkaian upaya dan tindakan untuk menunjukkan jati dirinya. Dalam pencarian jati diri tidak sepenuhnya remaja melakukan dengan cara dan tujuan yang positif. Tidak sedikit remaja yang salah dan gagal dalam membentuk jati diri. Begitu pula ketika remaja harus bersosialisasi dengan orang lain, sering pula remaja mengambil tindakan yang salah dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan
bullying .
Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sebuah kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwa bullying sangat mungkin terjadi berulang.
Bullying terbagi menjadi tiga. Pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan
memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya. Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan.
Dalam bahasa pergaulan sering disebut dengan istilah “gencet-gencetan” atau juga senioritas. Selain itu ada bentuk bullying lainnya misalnya siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak dan lainnya.
Dalam sebuah penelitian disebutkan juga bahwa korban mempunyai persepsi jika pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena ia dulu diperlakukan sama, ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapat kekuasaan dan iri hati (Riauskina, Djuwita dan Soesetio, 2005). Menurut Purnama (2007) alasan yang paling utama adalah bahwa pelaku merasa puas apabila ia berkuasa di antara teman- temannya. Selain itu dengan melakukan bullying, ia akan dapat memperoleh sanjungan teman-temannya karena dianggap punya selera humor yang tinggi, keren, serta populer. Pelaku bullying kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Selain itu, juga kerena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi (dalam Aulia, 2007) mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya adalah kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Umumnya dari sekian kasus tersebut 226 terjadi di sekolah.
Kasus bullying salah satunya menimpa Fifi yang duduk di kelas 2 SMP. Fifi rela mengakhiri hidupnya dengan melilitkan kabel televisi ke lehernya lalu fisik melainkan kekerasan terhadap mental yang jarang disadari oleh banyak orang. Kasus serupa menimpa Hendra Saputra, seorang taruna Akademi Kepolisian Semarang. Dia harus kehilangan cita-citanya akibat kekerasan fisik yang dialaminya.
Sejumlah senior di akademi itu melakukan kekerasan di luar batas kewajaran dan akhirnya membuat Hendra harus dirawat selama hampir empat bulan di rumah sakit (Samhadi, 2007). Muhamad Fadhil Harkaputra Sirath siswa SMU 34 yang masih duduk di kelas 1 mengalami penganiayaan oleh kakak kelasnya (Sujadi, 2007).
Dari ketiga kasus di atas, peneliti bermaksud mengemukakan bahwa kasus
bullying terjadi di usia remaja, mulai dari usia remaja awal hingga remaja akhir. Hal
ini seturut dengan pernyataan Milsom dan Gallo (2006) yang menyatakan bahwa perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa kanak- kanak atau di awal masa dewasa.
Menurut Haryana (2007), bullying yang ada di Indonesia dianggap wajar oleh sebagian orang. Sedikit sekali pihak yang menyadari dampak panjang yang ditimbulkan baik bagi para korban ataupun pelaku. Akibatnya bullying terus terjadi dan menimbulkan korban jiwa berkepanjangan.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying.
Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying .
Haryana (2007) menyebutkan bahwa bullying terjadi di kota ataupun di pedesaan dengan perbedaan geografis yang ada. Remaja dan anak-anak umumnya melakukan bullying dalam bentuk fisik, verbal ataupun dalam bentuk pemisahan sosial. Berdasarkan survey yang ada disebutkan jika bullying lebih sering terjadi di lingkungan sekolah.
Greene (2006) menyatakan bahwa bullying adalah salah satu bentuk agresi yang nyata di sekolah dan mendapatkan banyak perhatian di dunia internasional. Hal ini menjadikan kasus bullying di sekolah menarik dan perlu untuk diteliti lebih jauh lagi, terutama berkaitan dengan siapakah yang umumnya menjadi pelaku bullying.
Pelaku bullying umumnya memiliki karakter seperti dominan, berkuasa, disegani oleh orang lain, berjiwa pemimpin (Yayasan Sejiwa, 2008). Karakter tersebut hampir serupa dengan karakter yang ada pada anak sulung jika dihubungkan dengan urutan kelahiran anak dalam keluarga. Selain anak sulung, terdapat juga urutan kelahiran lain yaitu anak tengah dan anak bungsu yang juga memiliki karakter berlainan satu sama lain.
Noviasari (2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara anak sulung, tengah dan anak bungsu dilihat dari kematangan emosionalnya. Hal ini didukung oleh Maslichah (2002) yang dalam penelitiannya berpendapat bahwa perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berakibat panjang terhadap perkembangan kepribadian dan perkembangan kreativitasnya, sehingga terdapat perbedaan yang sangat signifikan jika ditinjau dari urutan kelahiran remaja. Dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya, mungkin sekali remaja melakukan bullying.
Eckstein pada tahun 2000 (dalam Schiller, 2007) melakukan survey terhadap 151 penelitian, dimana hasilnya ditemukan secara statistik bahwa ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Hal ini semakin memperkuat bahwa kepribadian seseorang terkait dengan urutan kelahirannya.
Perlakuan dan pengasuhan dari orangtua menjadikan masing-masing posisi anak memiliki kecenderungan yang berbeda-beda. Anak sulung adalah anak yang diharapkan dan diberi limpahan kasih sayang. Biasanya kerap terbebani dengan keinginan orangtua, sehingga akan memunculkan karakter sebagai anak yang percaya diri, bertanggungjawab, suka menjadi pusat perhatian, kompetitif, otoriter, egois, emosional, perfeksionis, berjiwa pemimpin dan superior (Sulloway, 2007).
Anak tengah adalah anak yang lahir ketika orangtuanya telah siap menjadi orangtua. Orang tua sudah tidak sekhawatir ketika melahirkan anak sulung. Ketika anak bungsu lahir, anak tengah harus melepaskan sebagian perhatian orangtuanya. Karakter dari anak tengah umumnya lebih sering menjaga kedamaian dalam keluarga, mandiri, mediator penghubung dalam keluarga, berjiwa seni, tidak rapi, kurang tegas, kurang terbuka karena tidak memiliki kelekatan seperti anak sulung ataupun anak bungsu.
Anak bungsu seringkali lahir di luar perencanaan. Anak bungsu seringkali diperlakukan dengan manja oleh orangtuanya karena merupakan anak terkecil. Herera dan Zonjanc (dalam Schiller, 2007) mengungkapkan bahwa anak bungsu adalah anak yang kreatif, emosional dan terbuka. Akan tetapi di sisi lain anak bungsu kurang patuh dan tidak bertanggungjawab.
Bertolak dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian guna membuktikan apakah perlakuan dan kebiasaan-kebiasaan yang diterima oleh anak sulung, tengah dan bungsu dari orangtua dan lingkungannya sejak masa kanak- kanak akan mempengaruhi kecenderungan remaja dalam melakukan bullying. Apakah urutan kelahiran tertentu akan menunjukkan kecenderungan bullying yang lebih tinggi atau lebih rendah.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan kecenderungan melakukan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahirannya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra berdasarkan urutan kelahiran.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai perilaku
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat mengetahui perbedaan kecenderungan bullying pada remaja putra dilihat dari urutan kelahirannya.
b. Dengan penelitian ini para pendidik atau guru dapat memantau peserta didiknya apakah melakukan bullying.
BAB II LANDASAN TEORI A. Bullying 1. Pengertian Bullying Menurut Indarini (2007) bullying adalah penggunaan kekuasaan atau
kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Peristiwanya sangat mungkin terjadi berulang.
Pengertian bullying lainnya yang sedikit berbeda dengan pendapat di atas adalah penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik atau psikologis, atau keduanya. Para pelaku umumnya bertindak sendirian atau dalam kelompok kecil (Lipkins, 2008).
Pengertian di atas didukung oleh Papalia et al. (2004) yang menyatakan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri.
Neser et al. (2002) memberikan definisi yang hampir sama dimana bullying adalah perilaku yang disengaja, perilaku menyakiti yang berulang, berupa kata-kata atau perilaku lainnya, seperti mengejek memberi julukan mengancam dan lainnya.
Olweus et al. (dalam Greene, 2006) menyebutkan definisi yang lebih adanya perbedaan kekuasaan antara pelaku dengan korban. Perilaku bisa dikatakan
bullying bila hal itu terjadi secara berulang. Perilaku bullying muncul bukanlah karena hasil provokasi melainkan muncul dari keinginan pelakunya.
Riauskina et al. (2005) memberikan pengertian yang lebih spesifik mengenai bullying di sekolah dimana mereka menyebutkan bahwa school bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa atau siswi lain yang lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Definisi bullying menurut peneliti sendiri adalah penggunaan kekuasaan, kekuatan dengan sengaja secara berulang untuk menyakiti, menyerang seseorang atau sekelompok orang yang lemah dan tidak dapat membela diri, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya.
2. Kategori Perilaku Bullying
Bullying terbagi menjadi tiga bagian, pertama: fisik, seperti memukul, menampar, dan memalak atau meminta dengan paksa apa yang bukan miliknya.
Kedua: verbal, seperti memaki, menggosip, dan mengejek. Ketiga: psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan mendiskriminasikan (Indarini, 2007).
Riauskina et al. (2005) mengatakan bahwa perilaku bullying terdiri dari lima kategori, yaitu: a. Kontak fisik langsung meliputi: memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
b. Kontak verbal langsung meliputi: mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
c. Perilaku non-verbal langsung meliputi: melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
d.
Perilaku non-verbal tidak langsung meliputi: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
e.
Pelecehan seksual meliputi: kadang dikategorikan perilaku agresif fisik atau verbal.
Yayasan Sejiwa (2008) menyebutkan bahwa praktik bullying dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu: a. Bullying fisik: ini adalah jenis bullying yang kasat mata dan dapat dilihat oleh siapa pun karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dengan korbannya. Contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak kaki dan lain-lain.
b. Bullying verbal: jenis bullying ini bisa terdeteksi karena bisa tertangkap oleh c. Bullying mental/ psikologis: ini adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak dideteksi secara cermat.
Contohnya: memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, memelototi dan lain- lain.
3. Aspek-Aspek Bullying
Bullying memiliki tiga aspek yang terkait satu sama lain (Sulhin, 2008 &
Aulia, 2008) yaitu:
a. Perbedaan kekuasaan Pelaku bullying memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban bullying. Perbedaan kekuasaan ini dikarenakan oleh pelaku yang dominan dan umumnya mengajak temannya untuk melakukan bullying. Sedangkan di pihak korban, dia tidak memiliki teman sehigga timbulah tindakan pengeroyokan.
b.
Perilaku menyakiti yang dilakukan berulang-ulang.
Bullying dilakukan dengan dalih humor. Pelaku sering tidak menyadari
bahwa humor yang dilontarkan atau perilakunya merupakan hal yang tidak disukai oleh korbannya bahkan menyakitkan. Karena ketidaksadaran ini menjadikan perilaku tersebut diulang-ulang.
c. Dilakukan dengan sengaja juga karena pelaku merasa marah sebab korban berperilaku tidak sesuai dengan yang diharapkan
4. Faktor Penyebab Bullying
Pelaku bullying (Purnama, 2007) kemungkinan sekedar mengulangi apa yang pernah dilihat atau dialaminya sendiri. Ia menganiaya orang lain karena mungkin ia sendiri dianiaya oleh orang tuanya di rumah. Selain itu dapat juga karena ia pernah ditindas oleh sesama siswa di masa lalunya. Dari sinilah siklus kekerasan akan terus berlanjut, turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Pelaku bullying tidak menyadari bahwa ia telah menjadi seorang pelaku serta tidak mengetahui dampak-dampak buruk yang bisa disebabkan oleh perilaku tersebut.
Riauskina (2005) dan Yayasan Sejiwa (2008) menjelaskan bahwa korban memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena: a. Diawali dengan adanya tradisi inisiasi (hazing) yang akhirnya menurun dari generasi ke generasi selanjutnya b. Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki)
c. Ingin menunjukkan kekuasaan d.
Ingin diakui
e. Ingin menunjukkan eksistensi f.
Senioritas
g. Marah karena korban tidak berlaku sesuai dengan yang diharapkan j. Ikut-ikutan k. Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan). l.
Iri hati ( menurut korban perempuan) 5.
Pelaku Bullying
Menurut Milsom dan Gallo (2006) perilaku bullying semakin memuncak ketika seseorang berada di akhir masa kanak-kanak atau di awal masa dewasa.
Sesuai dengan pendapat Olweus (dalam Banks, 1997) bahwa perilaku bullying paling banyak terjadi di usia remaja.
Berdasarkan penelitian Nansel pada tahun 2001 (dalam Milsom dan Gallo, 2006) disebutkan bahwa laki-laki lebih sering menjadi pelaku ataupun korban
bullying . Hal ini didukung oleh Seals dan Young pada tahun 2003 (dalam Milsom
dan Gallo, 2006) dimana laki-laki secara signifikan lebih sering menjadi pelaku ataupun korban bullying. Selain itu, remaja putra umumnya melakukan bullying yang secara langsung atau kelihatan sehingga lebih mudah untuk diteliti (Batsche & Knoff, 1994; Nolin & Davies, 1995 dalam Banks, 1997).
6. Dampak Perilaku Bullying
Seorang yang menjadi korban bullying akan menjadi anak yang gelisah, kurang popular serta kurang aman dan nyaman. Korban merasakan banyak emosi negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, terancam, namun putus asa dan lebih banyak mengurung diri. Dampak lain yang kurang terlihat namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Sedangkan dampak psikologis yang paling ekstrim adalah kemungkinan gangguan psikologis seperti depresi, ingin bunuh iri, dan gejala stres (Riauskina, 2005 & Hafidzi, 2008).
Menurut Riauskina (2005), dampak dari perilaku bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan
bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan
sakit dada. Bahkan dalam kasus ekstrim dampak fisik bisa mengakibatkan kematian.
Para korban juga memiliki kelemahan dalam pergaulan, tidak mendapatkan dukungan dari guru ataupun teman sebayanya. Mereka ingin pindah sekolah atau keluar dari sekolahnya. Sekalipun mereka masih berada di sekolah itu, prestasi akademik mereka akan terganggu atau menjadi sengaja sering tidak masuk sekolah (Riauskina , 2005 & Hafidzi, 2008).
B. Urutan Kelahiran 1. Asumsi bahwa Urutan Kelahiran mempengaruhi Kepribadian
Menurut Hadibroto dkk. (2002), konsep urutan kelahiran atau birth order bukan didasarkan semata-mata oleh nomer urutan kelahiran menurut diagram keluarga, melainkan yang lebih tepat adalah berdasarkan persepsi psikologis yang
Adkins (2003) memberikan definisi lain mengenai urutan kelahiran. Dia berpendapat bahwa urutan kelahiran didefinisikan sebagai urutan posisi seseorang dari beberapa saudara mereka dalam hal rangkaian kelahiran.
Allport (dalam Syed, 2004) menyebutkan bahwa apa yang individu pelajari tentang diri mereka dalam keluarga mencerminkan bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri dalam lingkungan. Cara individu berinteraksi dengan lingkungan mencerminkan keunikan pribadi mereka, yang juga disebut sebagai kepribadian mereka. Syed (2004) juga menyatakan bahwa pengalaman pertama dalam keluarga memainkan peran yang penting dalam perkembangan kepribadian.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Frank (1996) yang berpendapat bahwa urutan kelahiran anak dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi bagaimana orang tua merawat dan mengasuh mereka. Pengasuhan dan perawatan ini nantinya akan menimbulkan perbedaan kepribadian.
Eckstein (2000) juga mendukung bahwa urutan kelahiran mempengaruhi kepribadian individu, dimana ada 151 penelitian yang secara statistik menyatakan ada hubungan yang signifikan antara urutan kelahiran dan kepribadian. Penelitian ini semakin memperkuat bahwa urutan kelahiran berpengaruh terhadap kepribadian seseorang.
Santrock (1995) menyatakan bahwa perbedaan dalam urutan kelahiran disebabkan oleh adanya variasi dalam interaksi dengan orangtua dan saudara kandung. Hal ini diasosiasikan dengan pengalaman unik pada suatu posisi tertentu
Sulloway (dalam Angela Haris, 2007) meyakini bahwa urutan kelahiran memainkan peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, dimana urutan kelahiran mempengaruhi lima sifat kepribadian yang utama yaitu kecemasan, keterbukaan, sikap berterus terang, keramah-tamahan dan sikap berhati-hati.
Pada relasi saudara kandung juga ditemui sesuatu yang unik. Agresi dan dominansi terjadi lebih besar dalam relasi-relasi saudara kandung yang jenis kelaminnya sama dibandingkan dengan relasi saudara kandung yang jenis kelaminnya berbeda (Santrock, 1995). Selain itu Santrock (1995) juga menyatakan bahwa perlakuan yang berbeda oleh orangtua kepada anak-anak, berpengaruh terhadap bagaimana saudara kandung tersebut cocok satu sama lain. Anak-anak yang diperlakukan relatif sama oleh orang tua cenderung cocok satu sama lain begitu pula sebaliknya.
Menurut Saroglou dan Fiasse (2003), umumnya penelitian mengenai urutan kelahiran hanya membandingkan antara anak sulung dengan anak bungsu, sedangkan anak tengah jarang diikutkan dalam penelitian. Selain itu, disebutkan bahwa jumlah saudara memang perlu dikontrol dalam penelitian mengenai urutan kelahiran.
2. Anak Sulung
Anak sulung (Hadibroto, 2002) adalah anak tunggal hingga tiba saat sulung memiliki perasaan mendalam untuk menjadi superior atau kuat, kecemasan tinggi dan terlalu dilindungi.
Anak sulung mulai menyadari bahwa ia tidak disayangi lagi semenjak memiliki adik. Ia mencoba mengkompensasikan kehilangan tersebut dengan mencari kasih sayang pengganti dalam bentuk-bentuk lain, misalnya perasaan dihormati, dikagumi dan disetujui. Ia bertindak hati-hati untuk tidak menyinggung perasaan orang di sekelilingnya agar tidak sampai kehilangan lagi kasih sayang orangtuanya.
Orangtua memberi tanggungjawab kepada anak sulung untuk menjaga adiknya. Anak sulung belajar bertanggung jawab dan mandiri melalui kegiatan sehari-hari. Mereka memiliki karakter kerap terbebani dengan harapan atau keinginan orangtua dan didorong untuk mencapai standar pendidikan ataupun pekerjaan yang tinggi sebagai representasi orangtua. Salah satunya dengan perlakuan orangtua yang cenderung lebih memperhatikan pendidikan anak sulung, dimana biasanya mereka adalah seorang high achiever. Hal ini menjadikan anak sulung cenderung tertekan.
Di lain sisi anak sulung senang menjadi pusat perhatian, dan dengan perhatian tersebut perkembangan kepribadiannya menjadi lebih baik. Anak sulung secara umum dapat diandalkan, cenderung terikat pada aturan-aturan, dominan, kompeten, konservatif, otoriter, mempunyai pemikiran yang tajam dan lebih sensitif (Alwisol, 2004 & Roslina, 2006). Selain itu Santrock (1995) menambahkan
3. Anak Tengah
Anak tengah yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang masih mempunyai adik. Anak tengah merasa dirinya serba kekurangan dalam segi kemampuan mengerjakan sesuatu dibandingkan kakaknya. Untuk itu dia berusaha menunjukkan prestasi yang lebih baik untuk menarik perhatian orangtuanya.
Situasi yang terabaikan menjadikan anak tengah cenderung mempunyai motivasi tinggi, bisa dalam hal prestasi maupun sosialisasi.
Anak tengah cenderung lebih mandiri dan lebih bebas dari harapan orangtua sehingga dapat membentuk karakternya sendiri. Ia lebih pandai melihat situasi dan aturan yang diterapkan kepadanya lebih longgar sehingga diperbolehkan melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit batasan. Anak tengah suka berteman dan hidup berkelompok sehingga lebih bebas mengekspresikan kepribadiannya yang unik dan menjadi lebih ekspresif. Dia memiliki bakat seni sehingga dalam berpakaian kadang tidak rapi.
Pada tahap tertentu, kepribadian anak tengah dibentuk melalui pengamatannya terhadap sikap kakaknya. Jika sikap kakaknya penuh kemarahan dan kebencian, anak tengah mungkin menjadi sangat kompetitif, atau menjadi penakut dan sangat kecil hati. (Hadibroto dkk., 2002; Alwisol, 2004 & Roslina 2006).
4. Anak Bungsu
Anak bungsu yaitu anak kedua, anak ketiga dan seterusnya yang tidak punya adik lagi (Alam, 2002). Anak bungsu tumbuh menjadi sosok yang merasa serba tidak mampu dalam mengerjakan sesuatu dengan baik. Mereka tergolong anak yang sulit karena mempunyai kakak yang dijadikan model sehingga kerap merasa inferior (rendah diri) dan merasa tidak sehebat kakak-kakaknya. Dengan demikian, anak bungsu berupaya membentengi dirinya dengan mengabaikan sikap kakaknya.
Dalam pengasuhan anak bungsu kerap dibantu orang sekitar, sehingga tidak terlalu sadar dengan potensi dirinya. Anak bungsu cenderung dimanjakan dan mendapat kasih sayang banyak sehingga cenderung tidak dewasa. Mereka hanya diberi sedikit tanggung jawab dan tugas dalam keluarga. Anak bungsu umumnya lebih spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas dan empatik (Alwisol, 2004 ; Roslina, 2006 & Eckstein 2000).
Alfred Adler dalam penelitiannya pada tahun 1920 (dalam Sulloway, 2008) mendalilkan pengaruh urutan anak terhadap kepribadiannya. Ia mengamati, anak-anak sesuai urutan kelahirannya dalam keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda. Pencarian identitas dan perhatian dipengaruhi oleh posisi urutannya. Perbedaan lingkungan yang hadir pada anak pertama, tengah, dan bungsu juga bisa membawa mereka pada kepribadian yang berbeda. Dalam dalilnya disebutkan bahwa dalam menarik perhatian. Kondisi ini membentuk kepribadian mereka berbeda dan mencerminkan usaha mencari perhatian.
Menurut peneliti, anak sulung adalah anak yang superior dan dominan dalam keluarga. Anak sulung ingin menjadi pemimpin bagi adik-adiknya dan menjadi panutan. Kecenderungan ini terkait dengan karakternya yang otoriter. Anak tengah adalah anak yang kurang mendapat kasih sayang seperti anak sulung ataupun anak bungsu. Situasi ini menjadikannya lebih mandiri, lebih bebas dan kreatif. Sebagai kompensasinya anak tengah menjadi lebih suka bergaul dengan teman seusianya. Anak bungsu adalah anak yang mendapat kasih sayang dari berbagai pihak. Kadangkala menjadikan anak bungsu terlihat manja. Hal ini menjadikan anak bungsu kurang mandiri, kurang dewasa dan sedikit mendapat tanggungjawab dari orang yang lebih tua.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai karakteristik anak sulung, anak tengah dan anak bungsu kita dapat menyimak pada tabel ciri kepribadian berdasarkan urutan kelahiran (Alwisol, 2004) di bawah ini:
Tabel 1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
Anak Sulung Anak Tengah Anak Bungsu Situasi Dasar
Menerima perhatian tidak terpecah dari orang tua Turun tahta akibat kelahiran adik dan harus berbagi perhatian
Memiliki model atau perintis, yakni kakaknya Harus berbagi perhatian sejak awal
Memiliki banyak model perhatian, walaupun berbagi, tidak berubah sejak awal Sering dimanja
Dampak Positif
Bertanggungjawab, melindungi dan memperhatikan orang lain Organisator yang baik
Motivasinya tinggi Memiliki interes sosial Lebih mudah menyesuaikan diri dibandingkan kakaknya.
Kompetisi yang sehat Sering mengungguli semua saudaranya.
Ambisius yang realistik
Dampak Negatif
Merasa tidak aman, takut tiba-tiba kehilangan nasib baiknya. Pemarah, pesimistik konservatif, perhatian pada aturan dan hukum Berjuang untuk diterima Tidak kooperatif, sering
Pemberontak dan pengiri permanen, cenderung berusaha untuk mengalahkan orang lain kompetitif berlebihan Mudah kecil hati Sukar berperan sebagai pengikut
Merasa inferior dengan siapa saja Tergantung pada orang lain Ambisi yang tidak realistik Gaya hidup manja
C. Remaja
Utamadi (2007) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa "belajar" untuk tumbuh dan berkembang dari anak menjadi dewasa. Masa belajar ini disertai dengan tugas perkembangan. Istilah tugas perkembangan digunakan untuk menggambarkan harapan masyarakat terhadap suatu individu untuk melaksanakan tugas tertentu pada masa usia tertentu sehingga individu itu dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur dua belas sampai dua puluh satu tahun (Lumansupra, 2008).
Pada masa ini, remaja mengalami perkembangan fisik yang begitu pesat. Remaja mengalami pubertas yang berarti suatu periode di mana kematangan, kerangka dan seksual terjadi secara pesat (Santrock, 1995).
Secara kognitif, remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal, dimana pemikiran mereka menjadi lebih abstrak atau tidak terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikirannya. Remaja sering berpikir tentang ciri-ciri ideal diri mereka sendiri, orang lain dan dunia (Santrock, 1995). Hal ini didukung oleh pendapat Yudhi (2008) yang menyebutkan bahwa remaja dengan citra dirinya mulai menilai diri sendiri dan menilai lingkungannya terutama lingkungan sosial mereka.
Remaja menyadari adanya sifat-sifat sikap sendiri yang baik dan yang buruk. Mereka belajar perilaku manakah yang sesuai dengan standar agama dan lingkungan sosial.
Hal ini juga didukung oleh Dariyo (2004) yang mengatakan bahwa remaja mulai akan melakukan tindakan-tindakan yang menyenangkan orang lain. Tujuannya agar dirinya mudah diterima dalam lingkungan sosialnya. Remaja harus patuh terhadap aturan yang berlaku di masyarakat dan mulai memegang prinsip-prinsip kebenaran.
Remaja juga mengalami perubahan berkaitan dengan kognisi sosial mereka. David Elkind (dalam Santrock, 1995) yakin bahwa egosentrisme remaja memiliki dua bagian: penonton khayalan dan dongeng pribadi. Penonton khayalan ialah keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Perilaku ini misalnya akan mengundang perhatian yang umum terjadi pada remaja. Selain itu ada juga keinginan untuk tampil di depan umum, diperhatikan dan dilihat.