Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2012 - 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah (Witte dan Neel, 1998).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

(Dikutip dari: Mills SE, Histology for Pathology. Lippincolt William and Wilkins; 2007 (3) :439)

2.1.1 Batas-Batas Nasofaring

Dinding anterior dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm.

Dinding superior dan posterior sedikit menonjol, dinding anterior dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding posterior dibentuk oleh fasia


(2)

faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius.

Dinding inferior merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan isthmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial (Gustafson dan Neel, 1989).

Fossa russenmuller yang merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring, merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran karsinoma nasofaring ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial (Witte dan Neel, 1998).


(3)

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu:

1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior

2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis 3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere

Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Witte dan Neel, 1998).

2.1.2 Perdarahan dan Persarafan

Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V) (Ackerman dan Del Regato, 1984).


(4)

2.1.3 Sistem Limfatik Nasofaring

Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran limfe dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran limfe dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari rantai kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottril, 2003).

2.2 Histologi Nasofaring

Ketika lahir, epitel nasofaring tersusun atas epitel kolumner pseudokompleks yang melapisi sebagian besar jalan nafas bagian atas. Seiring dengan bertambahnya usia, area epitel tersebut digantikan oleh epitel skuamous kompleks, sehingga sebelum mencapai umur 10 tahun seluruh mukosa nasofaring kecuali yang melapisi dasar adenoid, telah digantikkan oleh epitel skuamous kompleks. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa perubahan tersebut terjadi tidak di program secara genetik, namun perubahan tersebut merupakan gambaran dari reaksi metaplastik terhadap perubahan lingkungan. Sepanjang dinding nasofaring lateral, tersisa bercak-bercak kecil epitel kolumner pseudokompleks, saling bercampur dengan mukosa skuamous kompleks di regio nasofaring, dimana dua jenis epitel ini bertemu (Witte dan Neel, 1998).

2.3 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller)


(5)

dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher (Gustafson dan Neel, 1989).

2.4Prevalensi Karsinoma Nasofaring

Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina. Di Indonesia, karsinoma nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring (Nasir, 2009).

Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2/100.000 penduduk dengan 13.000 kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3/100.000 penduduk (Adham et al, 2012). Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas (Munir, 2006).

2.5 Etiologi Karsinoma Nasofaring 1. Faktor Genetik

Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik. Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009). Pada keluarga dengan karsinoma nasofaring, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga karsinoma nasofaring. Penelitian di Medan didapati bahwa frekwensi alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma nasofaring adalah gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang


(6)

paling berpotensi menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).

2. Infeksi Virus Epstein - Barr

Salah satu penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr. Sebagian besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi VEB primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel masih belum jelas, replikasi VEB dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-long) (Yenita, 2012).

Selain itu, Virus Epstein-Barr (VEB) juga berperan dalam perkembangan karsinoma nasofaring. Reaktivasi VEB pada sel B sel bisa dipicu oleh produk seluler tumor sel. Sebaliknya, VEB mungkin bertindak sebagai umpan balik untuk promoter tumorgenesis. Reaktivasi VEB dikaitkan dengan peningkatan tingkat sitokin dan faktor pertumbuhan, yaitu, interleukin-6, interleukin-10, mengubah faktor pertumbuhan-β1, dan endotel vascular faktor pertumbuhan, yang dapat berkontribusi terhadap poliferasi sel, sistem gangguan kekebalan tubuh, dan angiogenesis (Guo et al, 2014).

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzoanthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).


(7)

2.6 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Gambar 2.2 Skema Patofisiologi terjadinya Keganasan

(Dikutip dari: Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.)


(8)

2.7 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring

Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium karsinoma nasofaring. Di beberapa negara Asia digunakan penentuan stadium yang dikemukakan oleh Ho pada tahun 1978 (Ho’s system), sementara di Amerika dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC/UICC tahun 2010 (American Cancer Society, 2013).

Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010: Tumor Primer (T)

Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai T0: Tidak terbukti adanya tumor primer Tis: Karsinoma in situ

T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan / kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.

T2: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal

T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / ruang mastikator.

KGB Regional (N)

NX: KGB regional tidak dapat dinilai N0: Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.


(9)

N2: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3: Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavikular:

N3a: Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b: Meluas ke fossa supraklavikular

Metastasis Jauh (M)

M0: Tanpa metastasis jauh M1: Metastasis jauh

Stadium:

 Stadium 0 – Tis, n0, M0

 Stadium I - T1, n0, M0

 Stadium IIA - T2a, n0, M0

 Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), (T2b, N0, M0)

 Stadium III - (T1, N2, M0), (T2a, N2, M0), (T2b, N2, M0), (T3, N0, M0), (T3, N1, M0), (T3, N2, M0)

 Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0)

 Stadium IVB - Setiap T, N3, M0

 Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1

2.8 Gejala Klinis

Karsinoma nasofaring tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga karsinoma nasofaring sering didiagnosis saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant, 2009). Penderita karsinoma nasofaring sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial dan pembesaran kelenjar limfa leher. Lebih dari 40% dari seluruh kasus karsinoma


(10)

nasofring, keluhan adanya tumor di leher ini yang pling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

2.8.1 Gejala Dini

Menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring secara dini merupakan hal yang paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini berupa:

a. Gejala Telinga

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran (Roezin dan Adham, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).

b. Gejala hidung

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin dan Adham, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).


(11)

2.8.2 Gejala Lanjut

a. Limfadenopati Servikal

Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Dapat terjadi unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah angulus mandibula, di dalam otot sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di bawahnya.

b. Gejala Neurologis

Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan kelumpuhan otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral.

Sindroma parafaring/penjalaran secara retroparotidian, akibat tumor menjalar ke belakang secara ekstrakranial dan mengenai saraf kranial posterior yaitu saraf VII sampai XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang menimbulkan sindroma Horner. Parese saraf IX menyebabkan keluhan sulit menelan karena hemiparese otot konstriktor faringeus superior. Parese saraf X menyebabkan gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia, spasme esofagus, gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dispnu, dan hipersalivasi, parese saraf XI menyebabkan atrofi otot trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, parese


(12)

saraf XII menyebabkan hemiparese dan atrofi sebelah lidah, sedangkan saraf VII dan VIII jarang terkena karena letaknya lebih tinggi.

Karsinoma nasofaring juga kadang-kadang menimbulkan gejala yang tidak khas berupa trismus. Gejala ini timbul bila tumor primer telah menginfiltrasi otot pterigoid sehingga menyebabkan terbatasnya pembukaan mulut. Gejala trismus sangat jarang dijumpai tetapi lebih sering terdapat sebagai efek samping radioterapi yang diberikan, sehingga menyebabkan degenerasi serat otot pterigoid dan masseter.

Sakit kepala yang hebat merupakan gejala yang paling berat bagi penderita karsinoma nasofaring, biasanya merupakan stadium terminal dari karsinoma nasofaring. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya (Witte dan Neel, 1998; Ahmad, 2002).

2.8.3 Gejala Metastasis Jauh

Metastasis jauh dari karsinoma nasofaring dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal, dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening supraklavikula (10%). Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa and De Paoli, 2001).

2.9Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring

1. Jenis Kelamin

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dengan ratio perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1 (American Cancer Society, 2013).

Di Sumatera Utara, Indonesia, di dapati bahwa pada Suku Batak jumlah pasien laki-laki dengan perempuan yang menderita karsinoma nasofaring memiliki perbandingan laki-laki 60% dan wanita 40%. Kecenderungan penderita karsinoma nasofaring laki-laki lebih banyak dari perempuan dimungkinkan akibat laki-laki lebih sering beraktifitas diluar rumah sehingga lebih banyak terpapar bahan karsinogen


(13)

(Munir D, 2006). Sedangkan menurut Nasution (2008), kasus karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan didapati penderita laki-laki sebanyak 74% dan perempuan sebanyak 26%.

2. Usia

Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berusia diatas 20 tahun, dengan rentang usia terbanyak antara umur 50-70 tahun. Di Sumatera Utara, didapati bahwa kelompok usia 50-59 tahun. Umur penderita yang paling muda adalah 21 tahun sedangkan yang paling tua 77 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), berdasarkan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan, usia terbanyak adalah pada kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 28 (29.2%) penderita.

3. Faktor Pekerjaan

Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Adanya asap jenis kayu tertentu yang digunakan untuk memasak, seringnya kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, dan asap industri, merupakan hal-hal yang didugan berperan penting dalam terjadinya karsinoma nasofaring. (Soetjipto, 1989).

Menurut penelitian Nasution (2008), pasien terbanyak di Sumatera Utara yang terkena karsinoma nasofaring yang berobat ke RSUP H Adam Malik medan dan RSUP Pringadi medan adalah petani dengan jumlah dengan jumlah 31 (32.3%) kasus, sedangkan guru memiliki jumlah paling sedikit dengan jumlah 1 (1%) kasus. Menurut Munir (2007), di Sumatera Utara, golongan pekerjaan penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah petani dengan 20 (36.3%) kasus, sedangkan yang paling sedikit adalah pegawai swasta dengan 11 (20%) kasus.

4. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga terdahulu yang pernah terkena karsinoma nasofaring akan meningkatnya faktor risiko karsinoma nasofaring. Namun masih belum di ketahui


(14)

secara pasti apakah karena genetik, pola hidup yang serupa, maupun karena keduanya (American Cancer Society, 2013).

Bila ditinjau secara genetika, kerabat pertama, kedua, dan ketiga pasien karsinoma nasofaring memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring. Orang yang memiliki keluarga tingat pertama karsinoma nasofaring memiliki resiko 4 hingga 10 kali terkena karsinoma nasofaring dibanding yang tidak (Guo X et al, 2009).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati bahwa sebanyak 96.9% penderita karsinoma nasofaring memiliki keluarga yang pernah terdiagnosa kanker (Nasution, 2008).

5. Suku dan Bangsa

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi di daerah Asia (suku mongoloid) dibandingkan di daerah Eropa. Sebagai contoh penduduk asli Cina yang berdomisili di Cina Selatan memiliki faktor risiko yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring. Namun apabila mereka berpindah ke daerah dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang lebih rendah maka faktor risiko mereka akan turun, namun tetap lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal tersebut. Serta generasi selanjutnya yang di lahirkan mereka di tempat dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang rendah akan memiliki faktor risiko yang kecil untuk terkena karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2013).

Menurut Lutan dan Zachreini dalam Munir D (2006), di RSUP H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita karsinoma nasofaring ditemukan pada lima kelompok suku, dimana suku yang terbanyak menderita karsinoma nasofaring ialah Suku Batak, yaitu 46.7% dari 30 kasus. Menurut Nasution (2008), suku batak menduduki urutan pertama dengan 56.3% dari kasus yang didapati di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pringadi Medan, sedangkan suku jawa merupakan suku kedua penderita karsinoma nasofaring dengan 29.2% kasus.

6. Konsumsi Ikan Asin

Ikan asin diyakini sebagai salah satu sumber nitrosamin yang memicu terjadinya karsinoma nasofaring. Nitrosamin merupakan bahan kimia yang bersifat karsinogenik dan merupakan mediator yang dapat mengaktifkan virus Epstein-Barr


(15)

sebagai salah satu penyebab karsinoma nasofaring. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan sinar matahari terjadi reaksi biokimia berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin (Munir D, 2006).

Penduduk Asia, dan Afrika Utara, dimana merupakan daerah yang terdapat banyak kasus karsinoma nasofaring, rata-rata penduduknya mengkonsumsi makanan makanan ikan dan daging dengan kadar garam yang tinggi (ikan asin). Namun, di Cina angka kejadian karsinoma nasofaring sudah mulai menurun dengan mulai maraknya makanan khas barat disana (American Cancer Society, 2013).

Mengkonsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 hingga 7,5 kali lebih tinggi untuk terkena penyakit ini dibanding dengan yang tidak mengkonsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengonsumsi makanan fermentasi yang di awetkan. Banyaknya konsumsi nitrosamin dan nitrit yang biasa di dapatkan dari konsumsi daging, ikan, dan sayuran yang di awetkan selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring (Yang X et al, 2005).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 74.54% dari penderita memiliki kebiasaan memakan ikan asin hampir setiap hari sebelum umur 10 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), di Sumatera Utara didapati sebanyak 79.2 % penderita karsinoma nasofaring mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun.

7. Merokok

Merokok telah memberi gambaran sebagai faktor risiko yang cukup berarti untuk terjadinya kanker pada berbagai organ tubuh. Komponen isi rokok, termasuk

nitrosamine dan formaldehyde, juga menunjukkan rokok mempunyai potensi karsinogenik. Menghisap rokok akan memberi pajanan bahan karsinogenik yang ada di dalam rokok secara langsung terhadap nasofaring. Dengan demikian hubungan antara merokok dan karsinoma nasofaring secara biologi cukup dapat diterima (Nasution, 2008).


(16)

Merokok merupakan faktor untuk pertumbuhan tumor, bertindak sebagai mutagen dan merusak DNA yang mengawali timbulnya tumor pada sel epitel normal. Merokok dapat menyebabkan mutasi genetik, sehingga menyebabkan transformasi sel epitel di nasofaring, suatu area berhubungan dengan senyawa yang berpotensial karsinogen pada rokok yang secara langsung melalui inhalasi. Mutasi DNA dapat mempengaruhi resistensi terhadap radiasi dan kemoterapi tetapi dapat meningkatkan metsstsasis jauh yang sering menyebabkan kematian.

Merokok tembakau diketahui dapat menimbulkan efek imunosupresif pada jaringan lokal melalui induksi sitokin dan kemokin pro – inflamasi dan penekanan terhadap antigen. Merokok mempengaruhi berbagai sistem kekebalan tubuh bawaan dan menyebabkan perubahan dalam produksi antibodi, khususnya dalam menanggapi antigen asing pada mukosa pernapasan. Selain itu, paparan berulang asap rokok atau nikotin menyebabkan sel T berespon, dan nikotin yang ditimbulkan oleh imunosupresi sebagai efek langsung terhadap limfosit (Guo et al, 2014).

Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain lama merokok, dalamnya hisapan, usia mulai merokok, dan lain-lain. Berdasarkan lamanya merokok, merokok dapat dikelompokan sebagai berikut; merokok kurang 10 tahun, merokok selama 10-20 tahun, dan merokok selama lebih dari 10-20 tahun. Sedangkan klasifikasi jumlah rokok yang di konsumsi perhari dapat dikelompokan sebagai berikut; ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari), dan berat (diatas 20 batang perhari) (Solak et al, 2005).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 69.8% penderita karsinoma nasofaring memiliki riwayat merokok, dan sebanyak 51% penderita memulai merokok di usia 10-19 tahun (Nasution, 2008).


(17)

2.10 Diagnosis

2.10.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita karsinoma nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologis juga sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofaring (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

2.10.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru.

1. CT Scan Nasofaring, pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan. Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu


(18)

luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial.

2. Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya.

3. Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham, 2005).

b. Pemeriksaan serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik IgG dan IgA penderita karsinoma nasofaring meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (IgA) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (Viral capsis antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedankan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk karsinoma nasofaring tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

c. Biopsi

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidung disebut juga dengan

blind biopsy karena dilakukan tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung, lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.


(19)

Biopsi yang dilakukan melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalu hidung dan ujung dari kateter berada dalam mulut ditarik keluar lalu diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Setelah itu, dengan bantuan kaca laring kita lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca terserbut atau dengan bantuan nasofaringoskop yang dimasukan melalui hidung sehingga masa tumor dapat terlihat dengan jelas. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10% (Roezin dan Adham,2007).

2.11 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk yaitu: radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma nasofaring tidak dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis tengkorak). Karena itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan karsinoma nasofaring. Namun, didapati bahwa sebanyak 30% pasien mempunyai metastasis jauh setelah dilakukan radioterapi definitive primer (Huang et al, 2010).

1. Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar karsinoma nasofaring sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono, 2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005).

Penelitian di Cina melaporkan bahwa radioterapi kepala dan leher dapat menginduksi grave disease. Selain itu, disfungsi tiroid lainnya, termasuk


(20)

hipotiroidisme umumnya ditemukan setelah radioterapi kepala dan leher (Ma et al, 2013).

2. Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi bersamaan radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma nasofaring lokoregional (Blanchard et al, 2015).

Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan karsinoma nasofaring. Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai. Dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan (Wei dan Sham, 2005). 3. Pembedahan

a. Diseksi leher radikal

Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006).

b. Nasofaringektomi

Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakit-penyakit terlokalisir.

Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama


(21)

tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006).

4. Obat-obatan Sitostatika

Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne, Fluorouracyle, methotrexate, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi.

Obat kombinasi dapat diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta sangat penting pada pengobatan karsinoma yang mengalami kekambuhan. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), BCMF (Bleomycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin) (Guigay J et al, 2006).

5. Obat Antivirus

Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying tumor dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006).

2.12 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Nasir, 2009).


(22)

2.13 Pencegahan

Salah satu pencegahan karsinoma nasofaring adalah dengan pemberian vaksinasi. Juga penerangan tentang kebiasaan hidup yang salah, megubah cara memasak dan pilihan makanan, dan menghindari berbagai faktor resiko yang ada. Bisa juga dilakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA (Roezin dan Adham, 2007).

2.14 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun menurut AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7:

Tabel 2.1 Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium Angka Harapan Hidup

I 72%

II 64%

III 62%


(1)

2.10 Diagnosis

2.10.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering menyebabkan penderita karsinoma nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologis juga sering dikeluhkan penderita karsinoma nasofaring (Soetjipto, 1989; Ahmad, 2002).

a. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah (Ahmad, 2002).

b. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas (Lore dan Medina, 2005).

2.10.2 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak dengan posisi lateral, submentovertikal, oksipitosubmental, oksipitofrontal. Foto toraks posisi PA, untuk menilai adanya metastase paru.

1. CT Scan Nasofaring, pada karsinoma nasofaring yang tumbuh secara endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT Scan. Pemeriksaan ini dapat pula mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu


(2)

luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial.

2. Magnetic Resonance Imaging, merupakan sarana pemeriksaan diagnostik terbaru dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan gambar. Berbeda dengan CT Scan, MRI lebih baik dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring yang superfisial maupun profunda, dan membedakan tumor dari jaringan lunak sekitarnya.

3. Bone Scintigraphy, jika dicurigai metastase ke tulang, selajutnya diikuti dengan foto lokal pada tulang yang dicurigai pada bone scintigraph (Wei dan Sham, 2005).

b. Pemeriksaan serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik IgG dan IgA penderita karsinoma nasofaring meningkat sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat (Notopuro et al, 2005). Titer imunoglobulin A (IgA) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (Viral capsis antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedankan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk karsinoma nasofaring tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada karsinoma nasofaring stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator karsinoma nasofaring. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif (Ahmad, 2002).

c. Biopsi

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan dari hidung. Biopsi yang dilakukan melalui hidung disebut juga dengan blind biopsy karena dilakukan tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung, lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.


(3)

Biopsi yang dilakukan melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalu hidung dan ujung dari kateter berada dalam mulut ditarik keluar lalu diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Setelah itu, dengan bantuan kaca laring kita lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca terserbut atau dengan bantuan nasofaringoskop yang dimasukan melalui hidung sehingga masa tumor dapat terlihat dengan jelas. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10% (Roezin dan Adham,2007).

2.11 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk yaitu: radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma nasofaring tidak dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis tengkorak). Karena itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan karsinoma nasofaring. Namun, didapati bahwa sebanyak 30% pasien mempunyai metastasis jauh setelah dilakukan radioterapi definitive primer (Huang et al, 2010).

1. Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar karsinoma nasofaring sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100% (Kentjono, 2003). Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise-hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis (Kentjono, 2003; Wei dan Sham, 2005).

Penelitian di Cina melaporkan bahwa radioterapi kepala dan leher dapat menginduksi grave disease. Selain itu, disfungsi tiroid lainnya, termasuk


(4)

hipotiroidisme umumnya ditemukan setelah radioterapi kepala dan leher (Ma et al, 2013).

2. Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi bersamaan radioterapi secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma nasofaring lokoregional (Blanchard et al, 2015).

Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan karsinoma nasofaring. Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai. Dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan (Wei dan Sham, 2005). 3. Pembedahan

a. Diseksi leher radikal

Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Wei, 2006).

b. Nasofaringektomi

Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakit-penyakit terlokalisir.

Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama


(5)

tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Wei, 2006).

4. Obat-obatan Sitostatika

Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne, Fluorouracyle, methotrexate, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi.

Obat kombinasi dapat diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta sangat penting pada pengobatan karsinoma yang mengalami kekambuhan. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), BCMF (Bleomycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin) (Guigay J et al, 2006).

5. Obat Antivirus

Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying tumor dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006).

2.12 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Nasir, 2009).


(6)

2.13 Pencegahan

Salah satu pencegahan karsinoma nasofaring adalah dengan pemberian vaksinasi. Juga penerangan tentang kebiasaan hidup yang salah, megubah cara memasak dan pilihan makanan, dan menghindari berbagai faktor resiko yang ada. Bisa juga dilakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA-anti EA (Roezin dan Adham, 2007).

2.14 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai ke stadium yag lebih lajut, dimana sudah menimbulkan gejala atau gangguan (biasanya benjolan di leher). Angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam jangka waktu 5 tahun menurut AJCC Cancer Staging Manual edisi ke-7:

Tabel 2.1 Prognosis Pasien Karsinoma Nasofaring Stadium Angka Harapan Hidup

I 72%

II 64%

III 62%