Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologis Ginjal

Terdapat tiga proses pembentukan urin normal untuk membuang sisa-sisa metabolisme, yaitu filtrasi gromerulus plasma, reabsorpsi tubular dan sekresi tubular. Filtrasi gromerulus terdiri atas tiga lapisan sel. Lapisan pertama adalah endotelium kapiler yang biasa disebut fenestra lamina karena terdapat pori-pori dengan diameter 50-100 nm. Lapisan kedua adalah membran basal yang terdiri dari anyaman fibril halus yang tertanam dalam matriks seperti gel dan lapisan ketiga adalah podosit yang merupakan lapisan visceral dari kapsula bowman. Sel-sel darah dan molekul-molekul besar seperti protein yang besar dan protein bermuatan negatif seperti albumin secara tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi gromerulus. Sementara molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif seperti air dan kristaloid sudah langsung tersaring.1,13

Gambar 1. Tiga lapisan sel filtrasi gromerulus: endotel, membran basal dan podosit.14


(2)

Proses selanjutnya adalah resorpsi dan sekresi tubular. Terdapat tiga kelas zat yang difiltrasi didalam gromerulus yaitu elektrolit, non elektrolit dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-) dan fosfat (HPO4-). Sementara non elektrolit yan penting adalah glukosa, asam amino dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein seperti urea, asam urat dan kreatinin.1

Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transport aktif dan pasif. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transpor aktif. K+ dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya dua per tiga dari Na+ yang difiltrasi akan direabsorpsi dalam tubulus proksimal yang kemudian berlanjut hingga ke lengkung henle, tubulus distal dan duktus pengumpul. 1,13

Gambar 2. Resorpsi dan sekresi tubulus disepanjang nefron gromerulus.14

Sebagian besar dari Ca2+dan HPO4- direabsorpsi dalam tubulus proksimal secara aktif sementara air, Cl- dan urea direabsorpsi secara pasif. Dengan berpindahnya sebagian besar ion Na+ yang bermuatan positif, maka ion Cl- yang


(3)

bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi yang netral. Keluarnya sebagian besar ion dan non-elekrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami pengenceran osmotik dan air berdifusi keluar tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif. Rasio konsentrasi urea naik di sepanjang tubulus karena 50% dari urea kembali direabsorpsi. Ion H+, asam organik seperti para-amino-hipofurat (PAH), penicillin dan kreatinin semuanya secara aktif diskresi ke dalam tubulus proksimal.1,13

Sekitar 90% dari HCO3- diresorpsi secara tidak langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+-- H+. H+ yang disekresikan ke dalam lumen tubulus sebagai penukar Na+ akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat gromerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi H2O dan karbondioksida (CO2). H2O dan CO2 akan berdifusi keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut, karbonik anhidrase mengkatalis reaksi H2O dan CO2 dengan membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Selain reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3- ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Proses ini terjadi di dalam nefron dan penting dalam pemekatan urine.1, 13

Terdapat beberapa hormon yang berfungsi mengatur reabsorpsi tubular dan sekresi zat terlarut dan air. Reabsorpsi air dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH), aldosteron mempengaruhi reabsorpsi Na+ dan K+ dan hormon paratiroid (PTH) yang mengatur reabsorpsi Ca++ dan HPO4- di sepanjang tubulus.1,13

2.2 Penyakit Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ vital yang berperan dalam mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit dan mengeksresikan kelebihannya dalam bentuk urin. Ginjal mengeluarkan produk sisa metabolisme seperti urea,


(4)

keratinin, asam urat serta zat kimia asing. Selain itu, ginjal juga mensekresi renin, bentuk aktif vitamin D3 (calcitriol) dan eritropoietin.1

Penyakit ginjal adalah keadaan dimana ginjal tidak bekerja sebagaimana mestinya dengan berbagai sebab. Nefron adalah unit kerja fungsional ginjal. Setiap ginjal memiliki 1 juta nefron yang memiliki struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Kebanyakan penyakit ginjal menyerang nefron dan mengakibatkan nefron kehilangan kapasitas penyaringannya. Kerusakan nefron dapat terjadi secara cepat, namun sebagian besar penyakit ginjal merusak nefron secara perlahan, tanpa gejala dan hanya setelah bertahun-tahun kerusakan terlihat jelas. Berdasarkan lama perkembangannya, penyakit ginjal terbagi atas dua kategori yaitu, gagal ginjal akut dan penyakit ginjal kronik.1,15,16

2.2.1 Gagal Ginjal Akut (GGA)

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak, dalam hitungan jam hingga beberapa hari, yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.2

Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0.5mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea dalam darah sebanyak 10mg/dL/hari dalam beberapa hari.1

2.2.1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu gagal ginjal pre-renal, gagal ginjal intrinsik dan gagal ginjal post-renal.1,2,17

a. Gagal ginjal pre-renal

Gagal ginjal prerenal merupakan gagal ginjal fungsional yang disebabkan oleh hipoperfusi ginjal dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Hipoperfusi ginjal dapat disebabkan oleh hipovalemia, penurunan volume efektif


(5)

intravaskular seperti sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian obat anti inflamasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada sindrom hepatorenal.

b. Gagal ginjal intrinsik

Pada gagal ginjal intrinsik telah terjadi kerusakan hingga ke parenkim dan biasanya merupakan kelanjutan dari gagal ginjal prerenal. Penyebab dari gagal ginjal intrinsik adalah kelainan vaskular seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut. Pada tahap ini, waktu penyembuhan menjadi tertunda hingga 6 minggu.

c. Gagal ginjal post-renal

Pada gagal ginjal postrenal terjadi obstruksi aliran urin dari ginjal baik secara intra-renal maupun ekstra-renal. Obstruksi intra-renal disebabkan oleh deposisi kristal (urat, oksalat, alfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobulin). Obstruksi eksternal dapat terjadi pada pelvis-ureter yang disebabkan oleh obstruksi instrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla), ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan troperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (strikutura). Gagal ginjal postrenal terjadi bila obstruksi akut pada uretra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Diperlukan pengobatan sesegera mungkin karena pada dasarnya gagal ginjal akut bersifat reversibel.

2.2.2 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyakit ginjal kronis merupakan proses patofisologis menurunnya fungsi ginjal secara progresif dan lambat dengan etiologi yang beragam dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Hal ini ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel hingga pada akhirnya tidak mampu lagi bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan menjaga keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh.1 Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama 3


(6)

bulan atau lebih berupa laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (PERMENKES RI No.812 Tahun 2010).18

Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain, seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Penyakit lain yang dapat menyebabkan rusaknya ginjal diantaranya penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus dan scleroderma, kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic kidney disease dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya, toksin kimiawi, glomerulonefritis, pielonefritis kronik, nofrosklerosis benigna, nofrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis, foliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif, hiperparatiroidisme, amiloidosis, obstruksi yang disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat pada pria, infeksi saluran kemih yang berulang, kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal, obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker dan reflux nephropaty.19

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyebab gagal ginjal kronik tersering yang menjalani hemodialisis di Indonesia.2

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes mellitus 18,65%

Obstruksi dan infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%


(7)

2.2.2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus, Penyakit ginjal kronik terbagi atas 5 stadium.19

Tabel 2. Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi gromerulus.19 Stadiu

m Deskripsi

LFG (mL/mnt/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29

5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

a. Stadium 1

Pada stadium ini, terjadi tahap awal kerusakan ginjal dengan kondisi ginjal 90% dari keadaan normal namun ginjal masih dapat mempertahankan fungsi normalnya. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal dan asimtomatis. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pada stadium ini ≥ 90mL/menit/1,73m2, 20

b. Stadium 2

Tidak jauh berbeda dengan stadium 1, pada stadium ini telah terjadi penurunan fungsi ginjal namun tidak terlihat gejala-gejala yang khas. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal ataupun sedikit meningkat. 60-89% ginjal masih berfungsi normal dengan Laju filtrasi Glomerulus (LFG) 60-89 mL/menit/1,73m2.20

c. Stadium 3

Pada stadium ini, laju filtrasi glomerulus ginjal telah menurun hingga 30-59 mL/menit/1,73m2. Stadium ini terbagi atas 2, yaitu stadium 3a (45-59 mL/menit/1,73m2) dan stadium 3b (30-44mL/menit/1,73m2). Pada stadium 3a, penyakit ginjal kronis masih bersifat asimptomatis sehingga banyak penderita masih


(8)

belum menyadari bahwa fungsi ginjal mereka telah mengalami penurunan sementara pada stadium 3b, gejala klinis sudah mulai terlihat seperti hipertensi, penurunan penyerapan kalsium, berkurangnya eksresi fosfat oleh ginjal, peningkatan hormon paratiroid, perubahan metabolisme lipoprotein, berkurangnya penyerapan protein, anemia, hipertrofi ventrikel kiri, retensi garam dan air serta penurunan ekskresi kalium oleh ginjal.20,21,22

d. Stadium 4

Stadium 4 adalah stadium dimana ginjal telah mengalami kerusakan berat dengan laju filtrasi 15-29 mL/menit/1,73m2. Gejala-gejala klinis pada stadium ini mirip dengan gejala pada stadium 3b. Pada stadium ini gejala asidosis metabolik seperti anoreksia, pernapasan kussmul, mual dan kelelahan mulai terlihat seiring dengan memburuknya kondisi ginjal. 20,21,22

e. Stadium 5

Stadium ini disebut dengan gagal ginjal kronis menurut National Service Framework for Renal Service. Dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 15 mL/menit/1,73m2, ginjal dinilai tidak lagi mampu berfungsi normal sehingga membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis untuk menopang kehidupan. Gejala-gejala klinis seperti retensi garam dan air yang mengakibatkan edema dan gagal jantung, anoreksia, mual, pruritus (rasa gatal tanpa penyakit kulit), meningkatnya kadar urea dalam darah serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini disebut dengan sindrom uremik. 20,21,22

2.2.2.2 Patofisiologis Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Tiga penyebab utama penyebab penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan nefropati diabetes, hipertensi dan glomerulonepritis.13 Penyebab lainnya adalah pielonefritis kronik, batu, obstruksi, penyakit ginjal polikistik dan lain-lain.15


(9)

Meskipun stadium dini dan penyebab dari penyakit ginjal cukup bervariasi, tetapi stadium akhir hampir sama semuanya hingga penyebabnya tidak dapat diidentifikasi lagi.1

Pada penyakit ginjal kronik, terjadi pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi sehingga proses penyaringan menjadi tidak lagi normal. Dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, hasil sisa metabolit yang seharusnya dibuang melalui urin mengendap dalam darah dan menyebabkan gejala-gejala yang mempengaruhi sistem organ tubuh.2

2.2.3 Sindrom uremik

Pada penderita penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir atau yang biasa disebut gagal ginjal kronis akan tampak suatu kompleks gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen karena gagal ginjal. Gejala-gejala yang dapat memengaruhi sebagian fungsi dari semua sistem organ tubuh ini menjadi abnormal seperti gangguan biokimia, kelainan kardiovaskular, perubahan pernapasan, perubahan kulit, gangguan pada rongga mulut dan lain-lain disebut dengan sindrom uremik. Pada titik ini, nefron yang masih utuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi dan mempertahankan fungsi ginjal normal. Manifestasi klinis sindrom uremik terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu pengaturan fungsi regulasi yang kacau dan abnormalitas sistem tubuh multipel yang asalnya tidak begitu dapat dimengerti.1,25

Gangguan biokimiawi seperti asidosis metabolik adalah salah satu gejala sindrom uremik dimana kemampuan ginjal untuk mensekresikan H+ terganggu dan mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar biokarbonat (HCO3-) dan


(10)

pH plasma. Gejala seperti anoreksia, mual, lelah dan pernapasan kussmul sering ditemukan pada pasien uremia yang disebabkan oleh asidosis.1,25

Pada sindrom uremik sering disertai dengan kelainan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sekitar 90% hipertensi bergantung kepada volume, retensi air dan natrium dan kurang dari 10% bergantung kepada renin. Kombinasi hipertensi, anemia dan beban sirkulasi yang disebabkan retensi natrium dan air berperan dalam meningkatnya resiko gagal jantung kongestif. Kelainan-kelainan kardiovaskular ini disebabkan oleh ketidak seimbangan K+, Na+, Ca++ dan Mg++.1,25

2.2.3.1 Manifestasi Sindrom Uremik di Rongga Mulut

Gangguan fungsi ginjal, penurunan LFG, akumulasi dan retensi berbagai produk gagal ginjal mengakibatkan berbagai perubahan pada rongga mulut. Statistik menunjukan hampir 90% penderita penyakit ginjal kronik memiliki masalah kesehatan rongga mulut. Halitosis, rasa kecap logam, xerostomia dan stomatitis uremik merupakan kelainan-kelainan yang paling sering dijumpai.7,8,9

Kadar urea pada saliva memiliki korelasi dengan kadar urea pada darah. Meningkatnya kadar urea pada darah mengakibatkan meningkatnya kadar urea pada saliva. Kadar urea tersebut kemudian akan dipecah menjadi amoniak oleh flora normal rongga mulut. Hal ini mengakibatkan halitosis dan rasa kecap logam. Selain itu, perubahan komposisi saliva juga berperan dalam perubahan rasa kecap pada lidah penderita penyakit ginjal kronik.7,8,9,12


(11)

Gambar 3. Stomatitis uremik, lesi hyperkeratosis putih yang terlihat seperti hairy leukoplakia di perbatasan lateral lidah.26

Gambar 4. Stomatitis uremik, pseudomembran keputihan abu-abu pada lidah dan dasar mulut.26


(12)

Gambar 5. Erythemopultaceous.26

Stomatitis uremik merupakan komplikasi oral yang biasa dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan etiologi yang belum diketahui. Stomatitis uremik terbagi atas 4 tipe, yaitu erythemapultaceous, ulseratif, hemoragik dan hiperkeratosis. Stomatitis uremik dapat muncul dalam Erythema pultaceous dengan mukosa merah yang ditutupi eksudat tebal dan pseudomembran, atau dalam bentuk ulserasi yang kemerahan dan pultaceous. Stomatitis uremik biasa muncul pada permukaan ventral lidah dan permukaan mukosa anterior.7,9

Xerostomia pada penderita kemungkinan disebabkan oleh pembatasan asupan cairan, efek samping obat-obatan (biasanya obat-obatan hipertensi), kelainan pada kelenjar saliva dan pernapasan kussmul. Pernapasan kussmul adalah pernapasan yang dalam dan berat yang merupakan reaksi tubuh yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbondioksida sehingga dapat mengurangi keparahan asidosis.1,7,8,9

2.2.4 Pemeriksaan Penyakit Ginjal a. Laju Filtrasi Gromerulus (LFG)

Salah satu indeks fungsi ginjal yang terbaik adalah laju filtrasi glomerulus (LFG). Terdapat banyak cara dalam mengukur LFG, salah satunya adalah uji bersihan inulin yang dianggap merupakan cara paling teliti dalam mengukur LFG. Namun, uji ini jarang dilakukan di klinik karena melibatkan proses infus intra vena


(13)

dengan kecepatan yang konstan dan pengumpulan urin pada saat-saat tertentu dengan kateter.1

Cara lain yang lazim digunakan adalah menggunakan persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan-persamaan ini dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin dan etnis.19,27,28

Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) saat ini lebih sering digunakan dalam mengukur LFG menggantikan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan ini dapat menyesuaikan empat variabel sekaligus yaitu, luas area permukaan tubuh normal (1,73 m2), ras, jenis kelamin dan usia sehingga dapat meminimalisir ketidakakuratan.2,19,27,28

Persamaan MDRD.19

Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah 125 ± 15 mL/menit/1,73m2 sedangkan pada perempuan normal muda normal adalah 110 ± 15

Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah 125 ± 15 mL/menit/1,73m2 sedangkan pada perempuan muda normal adalah 110 ± 15 mL/menit/1,73m2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dinyatakan dalam mL/menit/1,73m2. LFG dapat berkurang seiring bertambahnya usia dan hal ini dianggap normal.1

b. Serum Kreatinin

Konsentrasi serum kreatinin dapat digunakan sebagai petunjuk laju filtrasi glomerulus. Serum kreatinin merupakan indeks yang lebih cermat dibandingkan pemeriksaan urea nitrogen darah dalam menentukan laju filtrasi glomerulus dikarenakan kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot sehingga jarang sekali mengalami perubahan. Konsentrasi serum kreatinin normal adalah 0,7-1,5 mg/dl. Seseorang dapat dikategorikan menderita penyakit ginjal sedang apabila konsentrasi serum kreatinin berada pada nilai 2,5-5,0 mg/dl dan


(14)

dikategorikan menderita gagal ginjal kronik apabila konsentrasi serum kreatinin > 5,0 mg/dl. 1,29

c. Pemeriksaan Urea Nitrogen Darah (BUN)

Konsentrasi nitrogen urea darah (BUN) dapat digunakan sebagai petunjuk LFG. Konsentrasi BUN normal besarnya hanya sekitar 10 hingga 20 mg per 100 mL. Zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya dieksresikan dalam urin. BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh.1

2.2.5 Penanganan Gagal Ginjal Kronik 1. Hemodialisis

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.

Hemodialisis merupakan suatu mesin ginjal buatan yang terdiri dari membran semi permiabel dengan darah di satu sisi dan cairan dialisis disisi lain. Jenis cairan dialisis yang sering digunakan adalah asetat dan biokarbonat.1,2,23

Terdapat dua tipe dasar alat dialisis yang dipergunakan saat ini, yaitu alat analisis lempeng paralel dan capillary dialyzer atau biasa disebut dengan hollow dialyzer. Namun capillary dialyzer merupakan alat dialisis yang paling sering digunakan saat ini.1


(15)

Gambar 6. Capillary dialyzer.24

Suatu sistem dialisis terdiri atas dua sirkuit, yaitu untuk darah dan cairan dialisat. Saat sistem bekerja, darah mengalir dari tubuh penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis kemudian kembali melalui jalur vena. Air yang telah difiltrasi dan dihangatkan hingga sesuai suhu tubuh kemudian dicampur dengan konsentrat hingga terbentuk menjadi dialisat. Dialisat tersebut kemudian dimasukan kedalam alat dialisis, cairan tersebut akan mengalir di luar hollow fiber sebelum akhirnya keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membran dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Pada suatu membran semipermiabel yang di letakan diantara darah penderita pada satu sisi dan dialisat pada sisi satunya, maka substansi yang dapat menembus membran akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.1,23


(16)

Tabel 3. Komposisi dialisat.1

Komponen Jumlah

Na+ 138 – 145 mEq/l

K+ 0 – 4,0 mEq/l

Ca++ 100 – 107 mEq/l

Mg++ 2,5 – 3,5 mEq/l

Cl- 0,4 – 1,0 mEq/l

Asetat 30 – 37 mEq/l

Glukosa 100 – 250 mg/dl

Komposisi dialisat telah diatur hingga mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodbifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum adalah Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kedalam cairan dialisat karena unsur-unsur tersebut tidak ada dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi ke dalam darah, asetat nantinya akan dimetabolisme menjadi bikarbonat oleh tubuh penderita. Hal ini bertujuan untuk mengoreksi asidosis penderita sindrom uremia.1,3,24

Gambar 7. Diagram sistem hemodialis menggunakan capillary fiber.2


(17)

Pada umumnya indikasi gagal ginjal kronik adalah fungsi ginjal kurang dari 15 mL/mnt/1,73m2 namun keadaan pasien tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu gejala seperti keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K+ serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah < 7, anuria berkepanjangan (>5 hari) dan fluid overloaded. Di Indonesia, hemodialisis biasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 hingga 5 jam per sesi.2

2. Diet

Pada penderita gagal ginjal kronik, jumlah nefron yang berfungsi normal kurang dari 10 persen sehingga penderita akan mengalami retensi cairan (edema), kalium, natriumdan fosfor. Zat-zat yang seharusnya dikeluarkan dari dalam tubuh akhirnya menumpuk didalam darah, terutama urea (yang berasal dari pemecahan protein) sehingga blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin akan meningkat. Pada tahap ini, penderita membutuhkan pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. 1,2,30

Pengaturan diet protein akan dimulai dengan pembatasan diet protein pada penderita. Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang diperbolehkan adalah 0,6 g/kgBB/hari.1

Pengaturan diet kalium juga dibutuhkan untuk menghindari terjadinya hiperkalemia pada penderita gagal ginjal kronik seperti menghindari pemberian obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium. Jumlah kalium yang diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq/hari (1-1,5 g/hari).1,2

Asupan natrium yang bebas dapat menyebabkan retensi cairan, edem perifer, edem paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif pada penderita gagal ginjal kronik. Jumlah natrium yang biasa diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g/hari). Penderita akan diinstruksikan untuk mengindari makanan yang mengandung kadar natrium yang tinggi seperti mie instan, makanan kalengan makanan ringan dalam kemasan seperti chips dan creakers dan junk food. 1,2,30


(18)

Asupan cairan juga akan diatur sedemikian rupa. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24 jam + 500 mL. Asupan cairan yang bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem dan toksikasi cairan.1,2,30

2.3 Saliva

2.3.1 Fisiologis Saliva

Saliva merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar saliva yang menjaga kelembaban rongga mulut. Saliva terdiri dari 99% air dan 1 % komponen organik serta anorganik. Komponen organik saliva yaitu protein, secretory IgA, MUC5B, MUC7, amilase, lisozim, laktoferin, staterin, albumin, glukosa, laktat, lipid, asam amino, urea dan amonia. Komponen anorganik saliva yaitu sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat, tiosianat, iodida dan fluor.30 93% saliva disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yaitu kelenjar parotid, submandibular dan sublingual sedangkan 7% lainnya disekresikan oleh beberapa kelenjar saliva minor yang tersebar di mukosa rongga mulut.10,32,33,34

Gambar 8. Letak kelenjar saliva parotis,sublingual, submandibular.34

Saliva memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara dan menjaga kesehatan rongga mulut baik itu jaringan keras maupun jaringan lunak. Beberapa fungsi saliva diantaranya sebagai lubrikasi dan pelidung jaringan lunak rongga


(19)

mulut, menjaga kestimbangan pH rongga mulut dan integrasi enamel gigi, menghambat pertumbuhan bakteri, berperan dalam proses pencernaan dan sensasi pengecapan.32

Sekresi saliva adalah refleks yang dimediasi oleh saraf. Volume dan jenis saliva yang disekresi dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Kelenjar menerima inervasi dari saraf parasimpatis dan simpatis. Refleks melibatkan reseptor aferen dan saraf yang membawa impuls dari stimulasi, central hub serta bagian eferen yang terdiri atas saraf parasimpatik dan simpatik otonom yang secara terpisah menginervasi kelenjar saliva.33,34,35

Pusat saliva parasimpatis terletak pada medula oblongata yang terbagi atas 3 bagian, yaitu superior nuklei salivatorius, inferior nuklei salivarius dan zona intermediet. Bagian superior nuklei (CN VII) terhubung dengan kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual, sedangkan inferior nuklei (CN IX) mempersarafi kelenjar parotid.34,38

Serabut saraf simpatis yang menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis superior dan beriringan dengan arteri yang mensuplai arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah pada kelenjar parotis dan bersama arteri lingualis memberikan suplai darah ke submandibula, serta bersama dengan arteri fasialis yang mensuplai darah ke kelenjar sublingualis. Rangsangan simpatis akan menstimuli reseptor adrenergik menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pada kelenjar saliva menyebabkan jumlah saliva sedikit, lebih kental dan kaya mukus. Berbeda dengan rangsangan parasimpatis yang menstimuli reseptor kolinergik menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan volume saliva lebih banyak dan kaya enzim 33,34,38

2.3.2 Laju Aliran Saliva

Volume dan komponen saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup seseorang. Pada orang dewasa yang sehat, jumlah produksi saliva per hari baik dengan stimulasi ataupun tanpa stimulasi berkisar antara 500 sampai 1500 ml/hari. Rata-rata saliva istirahat yang berada pada rongga mulut adalah 1 ml.


(20)

Jumlah aliran saliva tanpa distimulasi normal berkisar 0,25–0,35 ml/menit, rendah 0,1–0,25 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,1 ml/menit. Sedangkan jumlah aliran saliva dengan stimulasi yang normal berkisar lebih dari 1-3 ml/menit, rendah 0,7-1,0 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,7 ml/menit pada keadaan hiposalivasi.10

Penurunan laju aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan, seperti posisi tubuh, cahaya dan kebiasaan merokok, proses menua, latihan fisik berlebihan, radioterapi, kemoterapi, konsumsi alkohol, berpuasa, penyakit sistemik seperti penyakit ginjal dan penggunaan obat-obatan yang bersifat antikolinergik diantaranya antidepresan, antipsikosis, antihipertensi serta antihistamin.10

2.2.3 pH Saliva

Pada keadaan normal, saliva yang distimulasi memiliki pH berkisar 6,0 – 7,0. Konsentrasi bikarbonat pada saliva bersifat rendah, sehingga suplai bikarbonat kepada kapasitas buffer saliva paling tinggi hanya mencapai 50%. pH saliva akan meningkat bersamaan dengan kenaikan kecepatan sekresi. Selain kapasitas buffer, faktor – faktor lain yang mempengaruhi derajat keasaman diantaranya adalah irama siang dan malam, diet, rangsangan kecepatan sekresi, jenis kelamin, status psikologi, perubahan hormonal, kebersihan rongga mulut maupun penyakit sistemik.10,32,39

2.3.4 Kadar Urea Saliva

Urea merupakan salah satu unsur organik yang terdapat pada saliva. Dalam keadaan normal, kadar urea pada saliva yang tidak distimulasi adalah 3,57 ± 1,26 mmol/L Sedangkan kadar urea pada saliva stimulasi adalah 2,65 ± 0,92 mmol/l. Hidrolisis urea yang berlebihan menjadi amoniak oleh bakteri urease menyebabkan kondisi alkali/basa pada rongga mulut.10,32

2.4 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Saliva

Dokter gigi merupakan bagian dari suatu tim dan berkolaborasi dengan dokter spesialis dalam menangani pasien dengan penyakit ginjal kronik yang


(21)

memiliki manifestasi dirongga mulut untuk mencegah komplikasi sistemik. Dokter gigi akan memberikan konseling seputar kaitan penyakit ginjal kronik yang diderita pasien dengan manifestasi yang terjadi pada rongga mulut. Untuk menangani manifestasi oral yang sering dikeluhkan pasien dokter gigi terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter spesialis sehingga penggunaan obat-obatan seperti antibiotik serta perawatan dental lainnya dapat dilakukan dengan maksimal.6

2.4.1 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Laju Aliran Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, laju aliran saliva yang distimulasi berkisar 0,70 ± 0,32 ml/menit (Bayraktar, dkk). Laju aliran saliva penderita ini berada dibawah nilai normal disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya pembatasan asupan cairan agar tidak membebani kerja ginjal.11

2.4.2 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap pH Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, pH saliva berkisar pada nilai 6,72 ± 0,21 (Karen J Manley, dkk). Peningkatan pH saliva ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi amonia dalam saliva sebagai hasil hidrolisis urea oleh bakteri urease yaitu staphylococcus salivarius dan Actimomyces naeslundii ((NH2)2CO + H2O → CO2 + 2NH3) yang menyebabkan kondisi rongga mulut menjadi basa/alkali. Konsentrasi urea yang meningkat pada penderita gagal ginjal kronik merupakan salah satu manifestasi dari sindrom uremik.1,12,32

2.4.3 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Kadar Urea Saliva

Penderita gagal ginjal kronik pada umumnya mengeluhkan beberapa manifestasi oral seperti rasa kecap logam, halitosis dan manifestasi oral lainnya. Manifestasi oral tersebut disebabkan oleh meningkatnya nilai Kadar urea nitrogen saliva.1,9

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi komposisi saliva salah satunya adalah penyakit sistemik seperti diabetes, penyakit ginjal kronik, dan lain-lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Karen J Maley, dkk (2012)


(22)

menunjukan bahwa terjadi peningkatan komposisi sodium, potassium, bikarbonat, urea, kalsium, fosfat dan zinc pada penderita gagal ginjal kronik dibandingkan kelompok kontrol yang sehat.10,12

Komponen organik saliva disintesis oleh sel sekretori dari kelenjar saliva yang memperoleh nutrisi dari pembuluh darah. Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva yang diproduksi akan dikeluarkan. Cairan dan elektrolit untuk saliva mencapai sel dari sirkulasi darah. Meningkatnya kadar urea nitrogen saliva dipengaruhi oleh meningkatnya kadar urea nitrogen darah. Penelitian yang dilakukan oleh Suresh G, dkk di Guntur, India pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kadar urea darah dengan kadar urea saliva. Peningkatan kadar urea darah disebabkan retensi nitrogen metabolit, seperti urea, yang seharusnya sebagian besar diekskresikan oleh ginjal bersama urin1,33,37

2.5 Spektrofotometer Cahaya Tampak

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Spektofotometer cahaya tampak memakai sumber radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang < 380 nm.

Ketika cahaya dengan panjang berbagai panjang gelombang (cahaya polikromatis) mengenai suatu zat, maka cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja yang akan diserap. Jika zat menyerap cahaya tampak dan UV maka akan terjadi perpindahan elektron dari keadaan dasar menuju ke keadaan tereksitasi. Perpindahan elektron ini disebut transisi elektronik. Atas dasar inilah spektrofotometri dirancang untuk mengukur konsentrasi suatu yang ada dalam suatu sampel. Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang dihamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer atau Hukum Beer.40


(23)

(24)

2.7 Kerangka Konsep

Penderita gagal ginjal kronik (stadium 5)

 Telah menjalani

hemodialisis ≥ 6 bulan.

 GFR < 15

mL/menit/1,73m2

Pengumpulan stimulated

saliva dengan metode spitting

dalam pot saliva

 Sesaat sebelum

menjalani terapi hemodialisis

 2 jam setelah sarapan

pagi

Menggunakan pH meter Pemeriksaan saliva

1 ml saliva dalam wadah dimasukkan ke dalam termos

berisi es

pH saliva normal 6,0 - 7,0

pH saliva

Dibawa ke laboratorium

Preparasi sampel

Persiapan reagent

Pengukuran kadar urea menggunakan spektofotometer cahaya tampak dengan panjang gelombang 340 nm

Kadar normal urea didalam saliva adalah 2,65 mmol/l

Kadar urea saliva Menggunakan

timbangan digital

Kriteria laju aliran saliva dengan stimulasi :

Normal: 1-3 mL/menit Rendah: 0,7-1,0 mL/menit Hiposalivasi: < 0,7 mL/menit


(1)

mulut, menjaga kestimbangan pH rongga mulut dan integrasi enamel gigi, menghambat pertumbuhan bakteri, berperan dalam proses pencernaan dan sensasi pengecapan.32

Sekresi saliva adalah refleks yang dimediasi oleh saraf. Volume dan jenis saliva yang disekresi dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Kelenjar menerima inervasi dari saraf parasimpatis dan simpatis. Refleks melibatkan reseptor aferen dan saraf yang membawa impuls dari stimulasi, central hub serta bagian eferen yang terdiri atas saraf parasimpatik dan simpatik otonom yang secara terpisah menginervasi kelenjar saliva.33,34,35

Pusat saliva parasimpatis terletak pada medula oblongata yang terbagi atas 3 bagian, yaitu superior nuklei salivatorius, inferior nuklei salivarius dan zona intermediet. Bagian superior nuklei (CN VII) terhubung dengan kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual, sedangkan inferior nuklei (CN IX) mempersarafi kelenjar parotid.34,38

Serabut saraf simpatis yang menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis superior dan beriringan dengan arteri yang mensuplai arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah pada kelenjar parotis dan bersama arteri lingualis memberikan suplai darah ke submandibula, serta bersama dengan arteri fasialis yang mensuplai darah ke kelenjar sublingualis. Rangsangan simpatis akan menstimuli reseptor adrenergik menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pada kelenjar saliva menyebabkan jumlah saliva sedikit, lebih kental dan kaya mukus. Berbeda dengan rangsangan parasimpatis yang menstimuli reseptor kolinergik menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan volume saliva lebih banyak dan kaya enzim 33,34,38

2.3.2 Laju Aliran Saliva

Volume dan komponen saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup seseorang. Pada orang dewasa yang sehat, jumlah produksi saliva per hari baik dengan stimulasi ataupun tanpa stimulasi berkisar antara 500 sampai 1500 ml/hari. Rata-rata saliva istirahat yang berada pada rongga mulut adalah 1 ml.


(2)

Jumlah aliran saliva tanpa distimulasi normal berkisar 0,25–0,35 ml/menit, rendah 0,1–0,25 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,1 ml/menit. Sedangkan jumlah aliran saliva dengan stimulasi yang normal berkisar lebih dari 1-3 ml/menit, rendah 0,7-1,0 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,7 ml/menit pada keadaan hiposalivasi.10

Penurunan laju aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan, seperti posisi tubuh, cahaya dan kebiasaan merokok, proses menua, latihan fisik berlebihan, radioterapi, kemoterapi, konsumsi alkohol, berpuasa, penyakit sistemik seperti penyakit ginjal dan penggunaan obat-obatan yang bersifat antikolinergik diantaranya antidepresan, antipsikosis, antihipertensi serta antihistamin.10

2.2.3 pH Saliva

Pada keadaan normal, saliva yang distimulasi memiliki pH berkisar 6,0 – 7,0. Konsentrasi bikarbonat pada saliva bersifat rendah, sehingga suplai bikarbonat kepada kapasitas buffer saliva paling tinggi hanya mencapai 50%. pH saliva akan meningkat bersamaan dengan kenaikan kecepatan sekresi. Selain kapasitas buffer, faktor – faktor lain yang mempengaruhi derajat keasaman diantaranya adalah irama siang dan malam, diet, rangsangan kecepatan sekresi, jenis kelamin, status psikologi, perubahan hormonal, kebersihan rongga mulut maupun penyakit sistemik.10,32,39

2.3.4 Kadar Urea Saliva

Urea merupakan salah satu unsur organik yang terdapat pada saliva. Dalam keadaan normal, kadar urea pada saliva yang tidak distimulasi adalah 3,57 ± 1,26 mmol/L Sedangkan kadar urea pada saliva stimulasi adalah 2,65 ± 0,92 mmol/l. Hidrolisis urea yang berlebihan menjadi amoniak oleh bakteri urease menyebabkan kondisi alkali/basa pada rongga mulut.10,32

2.4 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Saliva

Dokter gigi merupakan bagian dari suatu tim dan berkolaborasi dengan dokter spesialis dalam menangani pasien dengan penyakit ginjal kronik yang


(3)

memiliki manifestasi dirongga mulut untuk mencegah komplikasi sistemik. Dokter gigi akan memberikan konseling seputar kaitan penyakit ginjal kronik yang diderita pasien dengan manifestasi yang terjadi pada rongga mulut. Untuk menangani manifestasi oral yang sering dikeluhkan pasien dokter gigi terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter spesialis sehingga penggunaan obat-obatan seperti antibiotik serta perawatan dental lainnya dapat dilakukan dengan maksimal.6

2.4.1 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Laju Aliran Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, laju aliran saliva yang distimulasi berkisar 0,70 ± 0,32 ml/menit (Bayraktar, dkk). Laju aliran saliva penderita ini berada dibawah nilai normal disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya pembatasan asupan cairan agar tidak membebani kerja ginjal.11

2.4.2 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap pH Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, pH saliva berkisar pada nilai 6,72 ± 0,21 (Karen J Manley, dkk). Peningkatan pH saliva ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi amonia dalam saliva sebagai hasil hidrolisis urea oleh bakteri urease yaitu staphylococcus salivarius dan Actimomyces naeslundii

((NH2)2CO + H2O → CO2 + 2NH3) yang menyebabkan kondisi rongga mulut menjadi basa/alkali. Konsentrasi urea yang meningkat pada penderita gagal ginjal kronik merupakan salah satu manifestasi dari sindrom uremik.1,12,32

2.4.3 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Kadar Urea Saliva

Penderita gagal ginjal kronik pada umumnya mengeluhkan beberapa manifestasi oral seperti rasa kecap logam, halitosis dan manifestasi oral lainnya. Manifestasi oral tersebut disebabkan oleh meningkatnya nilai Kadar urea nitrogen saliva.1,9

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi komposisi saliva salah satunya adalah penyakit sistemik seperti diabetes, penyakit ginjal kronik, dan lain-lain. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Karen J Maley, dkk (2012)


(4)

menunjukan bahwa terjadi peningkatan komposisi sodium, potassium, bikarbonat, urea, kalsium, fosfat dan zinc pada penderita gagal ginjal kronik dibandingkan kelompok kontrol yang sehat.10,12

Komponen organik saliva disintesis oleh sel sekretori dari kelenjar saliva yang memperoleh nutrisi dari pembuluh darah. Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva yang diproduksi akan dikeluarkan. Cairan dan elektrolit untuk saliva mencapai sel dari sirkulasi darah. Meningkatnya kadar urea nitrogen saliva dipengaruhi oleh meningkatnya kadar urea nitrogen darah. Penelitian yang dilakukan oleh Suresh G, dkk di Guntur, India pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kadar urea darah dengan kadar urea saliva. Peningkatan kadar urea darah disebabkan retensi nitrogen metabolit, seperti urea, yang seharusnya sebagian besar diekskresikan oleh ginjal bersama urin1,33,37

2.5 Spektrofotometer Cahaya Tampak

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Spektofotometer cahaya tampak memakai sumber radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang < 380 nm.

Ketika cahaya dengan panjang berbagai panjang gelombang (cahaya polikromatis) mengenai suatu zat, maka cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja yang akan diserap. Jika zat menyerap cahaya tampak dan UV maka akan terjadi perpindahan elektron dari keadaan dasar menuju ke keadaan tereksitasi. Perpindahan elektron ini disebut transisi elektronik. Atas dasar inilah spektrofotometri dirancang untuk mengukur konsentrasi suatu yang ada dalam suatu sampel. Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang dihamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer atau Hukum Beer.40


(5)

(6)

2.7 Kerangka Konsep

Penderita gagal ginjal kronik (stadium 5)

 Telah menjalani

hemodialisis ≥ 6 bulan.

 GFR < 15 mL/menit/1,73m2 Pengumpulan stimulated

saliva dengan metode spitting dalam pot saliva

 Sesaat sebelum menjalani terapi hemodialisis

 2 jam setelah sarapan pagi

Menggunakan pH meter Pemeriksaan saliva

1 ml saliva dalam wadah dimasukkan ke dalam termos

berisi es

pH saliva normal 6,0 - 7,0

pH saliva

Dibawa ke laboratorium

Preparasi sampel

Persiapan reagent

Pengukuran kadar urea menggunakan spektofotometer cahaya tampak dengan panjang gelombang 340 nm

Kadar normal urea didalam saliva adalah 2,65 mmol/l

Kadar urea saliva Menggunakan

timbangan digital

Kriteria laju aliran saliva dengan stimulasi :

Normal: 1-3 mL/menit Rendah: 0,7-1,0 mL/menit Hiposalivasi: < 0,7 mL/menit