Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

(1)

HUBUNGAN KADAR UREA, pH DAN LAJU ALIRAN

SALIVA PADA PENDERITA GAGAL GINJAL

KRONIS DI KLINIK RASYIDA MEDAN

SKRIPSI

Ditujukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

Aryani Agiza Agustian NIM: 100600033

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Biologi Oral Tahun 2015

Aryani Agiza Agustian

Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

viii + 58 halaman

Gagal ginjal kronik merupakan stadium akhir dari penyakit ginjal kronik dimana ginjal sudah tidak mampu menjalankan fungsi fiologisnya sehingga menyebabkan retensi sisa metabolisme di dalam darah. Sebanyak 0,2% penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan masalah kesehatan rongga mulut dan memengaruhi kualitas hidup, salah satunya akibat perubahan sekresi saliva pada penderita. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar urea, pH dan laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan. Jenis Penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Saliva yang diteliti adalah

whole simulated saliva yang diambil dari 29 orang subjek penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi rutin hemodialisis. Subjek diintruksikan mengunyah

parafin wax selama 5 menit dan meludahkan saliva kedalam salivary pot kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kadar urea, pH dan laju aliran saliva. Hasil penelitian ini menunjukan penurunan laju aliran saliva, peningkatan kadar urea saliva dan peningkatan nilai pH saliva yang tidak signifikan. Penelitian ini menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi searah (p<0,05) antara kadar urea dan pH saliva, hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (p<0,05) antara laju aliran dan pH saliva serta laju aliran dan kadar urea saliva. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat korelasi yang signifikan antara kadar urea, pH dan laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik.


(3)

Kata kunci : gagal ginjal kronik, saliva yang distimulasi, laju aliran, pH, kadar urea Daftar rujukan : 45 (1999-2014)


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Laporan hasil penelitian ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji proposal penelitian

Medan, 13 Maret 2015

Pembimbing: Tanda Tangan

Yendriwati, drg., M.Kes. ………..


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 15 Juli 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Yendriwati, drg., M.Kes

ANGGOTA : 1. Rehulina Ginting., drg., M.Si 2. Lisna Unita R., drg., M.Kes


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Nazaruddin, drg., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku Ketua Departemen Biologi Oral FKG USU yang bersedia memberikan masukan dan arahan.

3. Yendriwati, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan, arahan, saran, nasehat dan waktu yang sangat berguna selama penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf pengajar Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi USU : Lisna Unita, drg., M.Kes, Minasari, drg., MM, Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes, Yumi Lindawati, drg., M.Si yang telah memberikan masukan, saran dan semangat selama penulisan skripsi ini.

5. Staf Departemen Biologi Oral, khususnya Kak Dani dan Kak Ngaisah yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama penulisan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Haslinda Z. Tamin, drg., M.Kes., Sp.Pros(K) selaku Dosen Penasehat Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

7. Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH selaku direktur dan dr.Heri selaku staf klinik Rasyida Medan.

8. Drs. Marudut Sinaga selaku kepala laboratorium kimia FMIPA UNIMED dan Bapak Nizam selaku laboran.


(7)

9. Bu Maya fitria yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam rancangan penelitian dan pengolahan data.

Rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada orangtua penulis, ayah Agustian dan ibu Liza Marhaini, adik penulis Albert Agiza atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

Teman-teman terbaik penulis yang telah membantu selama penulisan skripsi, Natasya claudia, Yohanes Dwi Nugroho, Richardo Sinaga, Joseph Dede, Ivan Sitompul, Khairullah, Iqbal Sirait, Dendi Dwirizki, Eka Gandara, Letario Sidabutar, Putri Sitinjak, Muhammad Fauzi, Nurul Annisa, Alby Ridha, Ibrahim Denai, Sulthan Moena, Waldy Siregar, May Fiona, Yosua Sibarani, Johan Damar dan teman-teman stambuk 2010 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu serta keluarga besar HMI Komisariat FKG USU atas bantuan, doa dan dukungan untuk penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan didalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat meberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakulas, pengembangan ilmu dan bagi masyarakat.

Medan, 15 Juli 2015 Penulis,

Aryani Agiza Agustian (NIM.100600033)


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 3

1.3 Tujuan penelitian ... 3

1.4 Hipotesa penelitian ... 4

1.5 Manfaat penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiologis Ginjal ... 5

2.2 Penyakit ginjal ... 7

2.2.1 Gagal ginjal akut ... 8

2.2.1.1 Klasifikasi gagal ginjal akut ... 8

2.2.2 Penyakit ginjal kronik ... 9

2.2.2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik ... 11

2.2.2.2 Patofisiologis penyakit ginjal kronik ... 12

2.2.3 Sindrom uremik ... 13

2.2.3.1 Manfestasi sindrom uremik di rongga mulut ... 14

2.2.4 Pemeriksaan penyakit ginjal ... 16

2.2.5 Penanganan gagal ginjal kronik ... 18

2.3 Saliva ... 22

2.3.1 Fisiologis saliva ... 23


(9)

2.3.4 Kadar urea saliva ... 24

2.4 Pengaruh gagal ginjal kronik pada saliva ... 24

2.4.1 Pengaruh gagal ginjal kronik terhadap laju aliran saliva ... 25

2.4.2 Pengaruh gagal ginjal kronik terhadap pH saliva ... 25

2.4.3 Pengaruh gagal ginjal kronik terhadap kadar urea saliva ... 25

2.5 Spektofotometer cahaya tampak ... 26

2.6 Kerangka teori ... 27

2.7 Kerangka konsep ... 28

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan penelitian ... 29

3.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 29

3.3 Populasi dan sampel ... 29

3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 31

3.5 Variabel penelitian ... 31

3.6 Defenisi operasional ... 32

3.7 Alat dan bahan pemeriksaan ... 33

3.8 Prosedur penelitian ... 34

3.9 Etika penelitian ... 36

3.10 Alur penelitian ... 37

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 39

4.1 Karakteristik umum subjek yang diteliti ... 39

4.2 Laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 41

4.3 pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 42

4.4 Kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 42

4.5 Hubungan laju aliran dan pH saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 42

4.6 Hubungan laju aliran dan kadar urea saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 44

4.7 Hubungan antara kadar urea dan pH saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 45

BAB 5. PEMBAHASAN ... 47

5.1 Karakteristik umum subjek yang diteliti ... 47

5.2 Laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 49


(10)

5.3 pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida

Medan ... 49

5.4 Kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 50

5.5 Hubungan laju aliran dan pH saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 51

5.6 Hubungan kadar urea dan laju aliran saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 51

5.7 Hubungan kadar urea dan pH saliva saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan ... 52

5.8 Hubungan kadar urea saliva dan kadar urea darah ... 52

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

6.1 Kesimpulan ... 54

6.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penyebab gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di

Indonesia ... 10

2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG ... 11

3. Komposisi dialisat ... 20

4. Gambaran karakteristik umum subjek yang diteliti ... 40

5. Hasil pemeriksaan laboratorium subjek sebelum menjalani terapi hemodialisis ... 41

6. Laju aliran saliva yang distimulasi pada penderita GGK ... 41

7. pH saliva yang distimulasi pada penderita GGK ... 42

8. Kadar urea saliva yang distimulasi pada penderita GGK ... 42

9. Hubungan antara laju aliran dan pH saliva pada penderita GGK ... 43

10. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada penderita GGK . 44 11. Hubungan antara kadar urea dan pH saliva pada penderita GGK ... 45


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tiga lapisan sel filtrasi glomerulus ... 5

2. Resorpsi dan sekresi tubulus di sepanjang nefron glomerulus ... 6

3. Stomatitis uremik ... 15

4. Stomatitis uremik ... 15

5. Erythemapultaceous ... 16

6. Capillary dialyzer ... 18

7. Diagram sistem hemodialisis menggunakan capillary filter ... 20

8. Letak kelenjar saliva mayor ... 22

9. Grafik hubungan linear antara nilai rerata laju aliran saliva dengan nilai rerata pH saliva pada penderita GGK ... 43

10. Grafik hubungan linear antara nilai rerata laju aliran saliva dengan nilai rerata kadar urea saliva pada penderita GGK ... 45

11. Grafik hubungan linear antara nilai rerata pH saliva dengan nilai rerata kadar urea saliva pada penderita GGK ... 46


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Landasan Teori 2. Skema Alur Pikir 3. Kuesioner Penelitian

4. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian 5. Surat Persetujuan Komisi Etik Penelitian 6. Surat Keterangan Selesai Penelitian 7. Lembar Hasil Penelitian


(14)

Fakultas Kedokteran Gigi

Bagian Biologi Oral Tahun 2015

Aryani Agiza Agustian

Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

viii + 58 halaman

Gagal ginjal kronik merupakan stadium akhir dari penyakit ginjal kronik dimana ginjal sudah tidak mampu menjalankan fungsi fiologisnya sehingga menyebabkan retensi sisa metabolisme di dalam darah. Sebanyak 0,2% penduduk Indonesia menderita gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan masalah kesehatan rongga mulut dan memengaruhi kualitas hidup, salah satunya akibat perubahan sekresi saliva pada penderita. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kadar urea, pH dan laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan. Jenis Penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Saliva yang diteliti adalah

whole simulated saliva yang diambil dari 29 orang subjek penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi rutin hemodialisis. Subjek diintruksikan mengunyah

parafin wax selama 5 menit dan meludahkan saliva kedalam salivary pot kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa kadar urea, pH dan laju aliran saliva. Hasil penelitian ini menunjukan penurunan laju aliran saliva, peningkatan kadar urea saliva dan peningkatan nilai pH saliva yang tidak signifikan. Penelitian ini menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi searah (p<0,05) antara kadar urea dan pH saliva, hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (p<0,05) antara laju aliran dan pH saliva serta laju aliran dan kadar urea saliva. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat korelasi yang signifikan antara kadar urea, pH dan laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik.


(15)

Kata kunci : gagal ginjal kronik, saliva yang distimulasi, laju aliran, pH, kadar urea Daftar rujukan : 45 (1999-2014)


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik merupakan proses patofisologis menurunnya fungsi ginjal secara progresif, lambat dan ireversibel dengan etiologi yang beragam dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.1 Stadium akhir penyakit ginjal kronik biasa disebut gagal ginjal kronik. Pada tahap ini, ginjal sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan menjaga keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh.1,2

Menurut data National Health and Nutrition Examinations Survey

(NHANES) di Amerika Serikat antara tahun 1999 hingga 2004 menunjukan 16,8% penduduk Amerika Serikat dengan usia diatas 20 tahun menderita gagal ginjal kronik (stadium 5).3 Laporan tahunan United States Renal Data System pada tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan bahwa pada tahun 1980, gagal ginjal kronik ditemukan sebanyak 290 kasus per satu juta penduduk, sementara pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 1.738 kasus per satu juta penduduk. Ini menunjukan telah terjadi peningkatan jumlah penderita hingga 600 persen antara tahun 1980 hingga 2009. Pada akhir tahun 2009, 365.566 penderita gagal ginjal kronik telah menjalani hemodialis di pusat-pusat kesehatan.4

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI tahun 2013, 0,2% penduduk Indonesia didiagnosis menderita gagal ginjal kronik. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat seiring bertambahnya usia. Data ini juga menunjukan bahwa prevalensi gagal ginjal kronik pada laki-laki sebesar 0,3%, lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada perempuan yang sebesar 0,2%.5

Penderita penyakit ginjal kronik pada umumnya tidak menyadari penurunan fungsi ginjal sampai mengganggu aktifitasnya. Penderita biasanya tidak


(17)

diajukan pertanyaan-pertanyaan seputar gejala-gejala yang biasa timbul atau penyakit telah sampai pada stadium akhir.1

Sindrom uremik merupakan suatu gejala komplek yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen dan biasa terjadi pada penyakit ginjal kronik stadium akhir. Gejala-gejala seperti asidosis metabolik, hipertensi, anemia, napas berbau amoniak dan lain sebagainya merupakan gejala umum sindrom uremik.1

Penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir memerlukan terapi pengganti ginjal tetap atau hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi yang dilakukan dengan cara mengalirkan darah kedalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah yang bertujuan untuk menyaring darah seperti saat ginjal masih berfungsi normal. Di Indonesia, hemodialisis biasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 hingga 5 jam per sesi. 1,2

Dokter gigi merupakan bagian dari suatu tim dan berkolaborasi dengan dokter spesialis dalam menangani pasien dengan penyakit ginjal kronik yang memiliki manifestasi di rongga mulut untuk mencegah meningkatnya komplikasi sistemik dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Menurut data statistik, 90% pasien penyakit ginjal kronik mengalami masalah kesehatan rongga mulut atau lesi oral seperti xerostomia, candidiasis, uremic stomatitis, mukosa pucat dan manifestasi oral lainnya.6,7,8 Manifestasi oral tersebut dapat disebabkan oleh sindrom uremik yang merupakan gejala kompleks yang memengaruhi setiap sistem dalam tubuh, seperti asidosis metabolik, poliuria, paru uremik dan lainnya. Urea yang dikeluarkan secara berlebihan pada saliva menyebabkan meningkatnya nilai pH. Urea ini kemudian akan dipecah menjadi amoniak oleh bakteri urease dalam rongga mulut sehingga menyebabkan pasien menderita halitosis, rasa kecap logam serta manifestasi oral lainnya.1,8,9,10

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada saliva penderita gagal ginjal kronik. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan nilai pH dan kadar urea dalam saliva. Dari penelitian yang dilakukan oleh Gulsen Bayraktar, dkk di Istambul,Turki (2009)


(18)

ditemukan penurunan laju aliran saliva. Laju aliran saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis berkisar 0,70 ± 0,32

mL/menit, lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol sehat yang berkisar 1,64 ± 0,45 mL/menit.11 Penelitian lain yang dilakukan oleh Karen J. Manley, dkk di Rumah Sakit Austin Melbourne, Australia (2012) juga mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan kadar urea yang signifikan dalam saliva. Pasien dengan gagal ginjal kronik menunjukan kadar urea yang mencapai 29,42 ± 1,93 mmol/L pada saliva, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sehat yang hanya 7,50 ± 0,64 mmol/l. Selain itu juga ditemukannya peningkatan nilai pH saliva yang signifikan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat. Pada pasien yang menjalani gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, nilai pH saliva adalah 6,98 ± 0,24 sedangkan pada kelompok kontrol yang sehat, nilai pH saliva adalah 6,72 ± 0,21.12

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian, “Hubungan Kadar Urea, pH dan Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan”.

1.2Rumusan Masalah

1. Berapakah kadar urea dalam saliva pada pasien gagal ginjal kronik? 2. Berapakah nilai pH saliva pada pasien gagal ginjal kronik?

3. Berapakah nilai laju aliran saliva pada pasien gagal ginjal kronik?

4. Apakah terdapat hubungan antara kadar urea, laju aliran dan pH saliva pada pasien gagal ginjal kronik?

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kadar urea dalam saliva pada pasien gagal ginjal kronik.

2. Untuk mengetahui nilai pH saliva pada pasien gagal ginjal kronik.


(19)

4. Untuk mengetahui hubungan antara kadar urea, laju aliran dan pH saliva pada pasien gagal ginjal kronik.

1.4Hipotesa Penelitian

Terdapat hubungan antara kadar urea, laju aliran dan pH saliva pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui hubungan kadar urea, pH dan laju aliran saliva penderita gagal ginjal kronik.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi tambahan bagi praktisi kesehatan gigi dan mulut tentang pengaruh gagal ginjal kronik pada saliva.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologis Ginjal

Terdapat tiga proses pembentukan urin normal untuk membuang sisa-sisa metabolisme, yaitu filtrasi gromerulus plasma, reabsorpsi tubular dan sekresi tubular. Filtrasi gromerulus terdiri atas tiga lapisan sel. Lapisan pertama adalah endotelium kapiler yang biasa disebut fenestra lamina karena terdapat pori-pori dengan diameter 50-100 nm. Lapisan kedua adalah membran basal yang terdiri dari anyaman fibril halus yang tertanam dalam matriks seperti gel dan lapisan ketiga adalah podosit yang merupakan lapisan visceral dari kapsula bowman. Sel-sel darah dan molekul-molekul besar seperti protein yang besar dan protein bermuatan negatif seperti albumin secara tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi gromerulus. Sementara molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif seperti air dan kristaloid sudah langsung tersaring.1,13

Gambar 1. Tiga lapisan sel filtrasi gromerulus: endotel, membran basal dan podosit.14


(21)

Proses selanjutnya adalah resorpsi dan sekresi tubular. Terdapat tiga kelas zat yang difiltrasi didalam gromerulus yaitu elektrolit, non elektrolit dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-) dan fosfat (HPO4-). Sementara non elektrolit yan penting adalah glukosa, asam amino dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein seperti urea, asam urat dan kreatinin.1

Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transport aktif dan pasif. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui transpor aktif. K+ dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya dua per tiga dari Na+ yang difiltrasi akan direabsorpsi dalam tubulus proksimal yang kemudian berlanjut hingga ke lengkung henle, tubulus distal dan duktus pengumpul. 1,13

Gambar 2. Resorpsi dan sekresi tubulus disepanjang nefron gromerulus.14

Sebagian besar dari Ca2+dan HPO4- direabsorpsi dalam tubulus proksimal secara aktif sementara air, Cl- dan urea direabsorpsi secara pasif. Dengan berpindahnya sebagian besar ion Na+ yang bermuatan positif, maka ion Cl- yang


(22)

bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi yang netral. Keluarnya sebagian besar ion dan non-elekrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami pengenceran osmotik dan air berdifusi keluar tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif. Rasio konsentrasi urea naik di sepanjang tubulus karena 50% dari urea kembali direabsorpsi. Ion H+, asam organik seperti para-amino-hipofurat (PAH), penicillin dan kreatinin semuanya secara aktif diskresi ke dalam tubulus proksimal.1,13

Sekitar 90% dari HCO3- diresorpsi secara tidak langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+-- H+. H+ yang disekresikan ke dalam lumen tubulus sebagai penukar Na+ akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat gromerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi H2O dan karbondioksida (CO2). H2O dan CO2 akan berdifusi keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut, karbonik anhidrase mengkatalis reaksi H2O dan CO2 dengan membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Selain reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3- ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Proses ini terjadi di dalam nefron dan penting dalam pemekatan urine.1, 13

Terdapat beberapa hormon yang berfungsi mengatur reabsorpsi tubular dan sekresi zat terlarut dan air. Reabsorpsi air dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH), aldosteron mempengaruhi reabsorpsi Na+ dan K+ dan hormon paratiroid (PTH) yang mengatur reabsorpsi Ca++ dan HPO4- di sepanjang tubulus.1,13

2.2 Penyakit Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ vital yang berperan dalam mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa dengan cara filtrasi darah, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit dan mengeksresikan kelebihannya dalam bentuk urin. Ginjal mengeluarkan produk sisa metabolisme seperti urea,


(23)

keratinin, asam urat serta zat kimia asing. Selain itu, ginjal juga mensekresi renin, bentuk aktif vitamin D3 (calcitriol) dan eritropoietin.1

Penyakit ginjal adalah keadaan dimana ginjal tidak bekerja sebagaimana mestinya dengan berbagai sebab. Nefron adalah unit kerja fungsional ginjal. Setiap ginjal memiliki 1 juta nefron yang memiliki struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Kebanyakan penyakit ginjal menyerang nefron dan mengakibatkan nefron kehilangan kapasitas penyaringannya. Kerusakan nefron dapat terjadi secara cepat, namun sebagian besar penyakit ginjal merusak nefron secara perlahan, tanpa gejala dan hanya setelah bertahun-tahun kerusakan terlihat jelas. Berdasarkan lama perkembangannya, penyakit ginjal terbagi atas dua kategori yaitu, gagal ginjal akut dan penyakit ginjal kronik.1,15,16

2.2.1 Gagal Ginjal Akut (GGA)

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak, dalam hitungan jam hingga beberapa hari, yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.2

Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0.5mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea dalam darah sebanyak 10mg/dL/hari dalam beberapa hari.1

2.2.1.1 Klasifikasi Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu gagal ginjal pre-renal, gagal ginjal intrinsik dan gagal ginjal post-renal.1,2,17

a. Gagal ginjal pre-renal

Gagal ginjal prerenal merupakan gagal ginjal fungsional yang disebabkan oleh hipoperfusi ginjal dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Hipoperfusi ginjal dapat disebabkan oleh hipovalemia, penurunan volume efektif


(24)

intravaskular seperti sepsis dan gagal jantung serta disebabkan oleh gangguan hemodinamik intrarenal seperti pada pemakaian obat anti inflamasi non-steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada sindrom hepatorenal.

b. Gagal ginjal intrinsik

Pada gagal ginjal intrinsik telah terjadi kerusakan hingga ke parenkim dan biasanya merupakan kelanjutan dari gagal ginjal prerenal. Penyebab dari gagal ginjal intrinsik adalah kelainan vaskular seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstitial akut. Pada tahap ini, waktu penyembuhan menjadi tertunda hingga 6 minggu.

c. Gagal ginjal post-renal

Pada gagal ginjal postrenal terjadi obstruksi aliran urin dari ginjal baik secara intra-renal maupun ekstra-renal. Obstruksi intra-renal disebabkan oleh deposisi kristal (urat, oksalat, alfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobulin). Obstruksi eksternal dapat terjadi pada pelvis-ureter yang disebabkan oleh obstruksi instrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla), ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan troperitonial, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (strikutura). Gagal ginjal postrenal terjadi bila obstruksi akut pada uretra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Diperlukan pengobatan sesegera mungkin karena pada dasarnya gagal ginjal akut bersifat reversibel.

2.2.2 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyakit ginjal kronis merupakan proses patofisologis menurunnya fungsi ginjal secara progresif dan lambat dengan etiologi yang beragam dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Hal ini ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel hingga pada akhirnya tidak mampu lagi bekerja sebagai penyaring pembuangan elektrolit dan menjaga keseimbangan cairan serta zat kimia tubuh.1 Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama 3


(25)

bulan atau lebih berupa laju filtrasi glomerulus (LFG) yang kurang dari 60mL/menit/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (PERMENKES RI No.812 Tahun 2010).18

Penyakit ginjal kronis dapat muncul karena manifestasi penyakit kronis lain, seperti diabetes mellitus atau hipertensi. Penyakit lain yang dapat menyebabkan rusaknya ginjal diantaranya penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus dan scleroderma, kelainan bawaan pada ginjal seperti polycystic kidney disease dimana terdapat kista berukuran besar di dalam ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya, toksin kimiawi, glomerulonefritis, pielonefritis kronik, nofrosklerosis benigna, nofrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis, foliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif, hiperparatiroidisme, amiloidosis, obstruksi yang disebabkan oleh batu ginjal, tumor, atau pembesaran kelenjar prostat pada pria, infeksi saluran kemih yang berulang, kelainan pada arteri yang memperdarahi ginjal, obat-obatan analgesik dan obat-obatan lainnya seperti obat kanker dan reflux nephropaty.19

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti pada tabel berikut.

Tabel 1. Penyebab gagal ginjal kronik tersering yang menjalani hemodialisis di Indonesia.2

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes mellitus 18,65%

Obstruksi dan infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%


(26)

2.2.2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus, Penyakit ginjal kronik terbagi atas 5 stadium.19

Tabel 2. Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi gromerulus.19 Stadiu

m Deskripsi

LFG (mL/mnt/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29

5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

a. Stadium 1

Pada stadium ini, terjadi tahap awal kerusakan ginjal dengan kondisi ginjal 90% dari keadaan normal namun ginjal masih dapat mempertahankan fungsi normalnya. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal dan asimtomatis. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pada stadium ini ≥ 90mL/menit/1,73m2, 20

b. Stadium 2

Tidak jauh berbeda dengan stadium 1, pada stadium ini telah terjadi penurunan fungsi ginjal namun tidak terlihat gejala-gejala yang khas. Kadar urea dan kreatinin dalam darah normal ataupun sedikit meningkat. 60-89% ginjal masih berfungsi normal dengan Laju filtrasi Glomerulus (LFG) 60-89 mL/menit/1,73m2.20

c. Stadium 3

Pada stadium ini, laju filtrasi glomerulus ginjal telah menurun hingga 30-59 mL/menit/1,73m2. Stadium ini terbagi atas 2, yaitu stadium 3a (45-59 mL/menit/1,73m2) dan stadium 3b (30-44mL/menit/1,73m2). Pada stadium 3a, penyakit ginjal kronis masih bersifat asimptomatis sehingga banyak penderita masih


(27)

belum menyadari bahwa fungsi ginjal mereka telah mengalami penurunan sementara pada stadium 3b, gejala klinis sudah mulai terlihat seperti hipertensi, penurunan penyerapan kalsium, berkurangnya eksresi fosfat oleh ginjal, peningkatan hormon paratiroid, perubahan metabolisme lipoprotein, berkurangnya penyerapan protein, anemia, hipertrofi ventrikel kiri, retensi garam dan air serta penurunan ekskresi kalium oleh ginjal.20,21,22

d. Stadium 4

Stadium 4 adalah stadium dimana ginjal telah mengalami kerusakan berat dengan laju filtrasi 15-29 mL/menit/1,73m2. Gejala-gejala klinis pada stadium ini mirip dengan gejala pada stadium 3b. Pada stadium ini gejala asidosis metabolik seperti anoreksia, pernapasan kussmul, mual dan kelelahan mulai terlihat seiring dengan memburuknya kondisi ginjal. 20,21,22

e. Stadium 5

Stadium ini disebut dengan gagal ginjal kronis menurut National Service Framework for Renal Service. Dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 15

mL/menit/1,73m2, ginjal dinilai tidak lagi mampu berfungsi normal sehingga membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis untuk menopang kehidupan. Gejala-gejala klinis seperti retensi garam dan air yang mengakibatkan edema dan gagal jantung, anoreksia, mual, pruritus (rasa gatal tanpa penyakit kulit), meningkatnya kadar urea dalam darah serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini disebut dengan sindrom uremik. 20,21,22

2.2.2.2 Patofisiologis Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronis merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Tiga penyebab utama penyebab penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan nefropati diabetes, hipertensi dan glomerulonepritis.13 Penyebab lainnya adalah pielonefritis kronik, batu, obstruksi, penyakit ginjal polikistik dan lain-lain.15


(28)

Meskipun stadium dini dan penyebab dari penyakit ginjal cukup bervariasi, tetapi stadium akhir hampir sama semuanya hingga penyebabnya tidak dapat diidentifikasi lagi.1

Pada penyakit ginjal kronik, terjadi pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi sehingga proses penyaringan menjadi tidak lagi normal. Dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, hasil sisa metabolit yang seharusnya dibuang melalui urin mengendap dalam darah dan menyebabkan gejala-gejala yang mempengaruhi sistem organ tubuh.2

2.2.3 Sindrom uremik

Pada penderita penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir atau yang biasa disebut gagal ginjal kronis akan tampak suatu kompleks gejala yang terjadi akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen karena gagal ginjal. Gejala-gejala yang dapat memengaruhi sebagian fungsi dari semua sistem organ tubuh ini menjadi abnormal seperti gangguan biokimia, kelainan kardiovaskular, perubahan pernapasan, perubahan kulit, gangguan pada rongga mulut dan lain-lain disebut dengan sindrom uremik. Pada titik ini, nefron yang masih utuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi dan mempertahankan fungsi ginjal normal. Manifestasi klinis sindrom uremik terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu pengaturan fungsi regulasi yang kacau dan abnormalitas sistem tubuh multipel yang asalnya tidak begitu dapat dimengerti.1,25

Gangguan biokimiawi seperti asidosis metabolik adalah salah satu gejala sindrom uremik dimana kemampuan ginjal untuk mensekresikan H+ terganggu dan mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan kadar biokarbonat (HCO -) dan


(29)

pH plasma. Gejala seperti anoreksia, mual, lelah dan pernapasan kussmul sering ditemukan pada pasien uremia yang disebabkan oleh asidosis.1,25

Pada sindrom uremik sering disertai dengan kelainan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagal jantung kongestif. Sekitar 90% hipertensi bergantung kepada volume, retensi air dan natrium dan kurang dari 10% bergantung kepada renin. Kombinasi hipertensi, anemia dan beban sirkulasi yang disebabkan retensi natrium dan air berperan dalam meningkatnya resiko gagal jantung kongestif. Kelainan-kelainan kardiovaskular ini disebabkan oleh ketidak seimbangan K+, Na+, Ca++ dan Mg++.1,25

2.2.3.1 Manifestasi Sindrom Uremik di Rongga Mulut

Gangguan fungsi ginjal, penurunan LFG, akumulasi dan retensi berbagai produk gagal ginjal mengakibatkan berbagai perubahan pada rongga mulut. Statistik menunjukan hampir 90% penderita penyakit ginjal kronik memiliki masalah kesehatan rongga mulut. Halitosis, rasa kecap logam, xerostomia dan stomatitis uremik merupakan kelainan-kelainan yang paling sering dijumpai.7,8,9

Kadar urea pada saliva memiliki korelasi dengan kadar urea pada darah. Meningkatnya kadar urea pada darah mengakibatkan meningkatnya kadar urea pada saliva. Kadar urea tersebut kemudian akan dipecah menjadi amoniak oleh flora normal rongga mulut. Hal ini mengakibatkan halitosis dan rasa kecap logam. Selain itu, perubahan komposisi saliva juga berperan dalam perubahan rasa kecap pada lidah penderita penyakit ginjal kronik.7,8,9,12


(30)

Gambar 3. Stomatitis uremik, lesi hyperkeratosis putih yang terlihat seperti hairy leukoplakia di perbatasan lateral lidah.26

Gambar 4. Stomatitis uremik, pseudomembran keputihan abu-abu pada lidah dan dasar mulut.26


(31)

Gambar 5. Erythemopultaceous.26

Stomatitis uremik merupakan komplikasi oral yang biasa dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik stadium akhir dengan etiologi yang belum diketahui. Stomatitis uremik terbagi atas 4 tipe, yaitu erythemapultaceous, ulseratif, hemoragik dan hiperkeratosis. Stomatitis uremik dapat muncul dalam Erythema pultaceous dengan mukosa merah yang ditutupi eksudat tebal dan pseudomembran, atau dalam bentuk ulserasi yang kemerahan dan pultaceous. Stomatitis uremik biasa muncul pada permukaan ventral lidah dan permukaan mukosa anterior.7,9

Xerostomia pada penderita kemungkinan disebabkan oleh pembatasan asupan cairan, efek samping obat-obatan (biasanya obat-obatan hipertensi), kelainan pada kelenjar saliva dan pernapasan kussmul. Pernapasan kussmul adalah pernapasan yang dalam dan berat yang merupakan reaksi tubuh yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbondioksida sehingga dapat mengurangi keparahan asidosis.1,7,8,9

2.2.4 Pemeriksaan Penyakit Ginjal a. Laju Filtrasi Gromerulus (LFG)

Salah satu indeks fungsi ginjal yang terbaik adalah laju filtrasi glomerulus (LFG). Terdapat banyak cara dalam mengukur LFG, salah satunya adalah uji bersihan inulin yang dianggap merupakan cara paling teliti dalam mengukur LFG.


(32)

dengan kecepatan yang konstan dan pengumpulan urin pada saat-saat tertentu dengan kateter.1

Cara lain yang lazim digunakan adalah menggunakan persamaan

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan-persamaan ini dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin dan etnis.19,27,28

Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) saat ini lebih sering digunakan dalam mengukur LFG menggantikan persamaan Cockcroft-Gault. Persamaan ini dapat menyesuaikan empat variabel sekaligus yaitu, luas area permukaan tubuh normal (1,73 m2), ras, jenis kelamin dan usia sehingga dapat meminimalisir ketidakakuratan.2,19,27,28

Persamaan MDRD.19

Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah 125 ± 15 mL/menit/1,73m2 sedangkan pada perempuan normal muda normal adalah 110 ± 15

Normalnya, nilai LFG pada laki-laki muda normal adalah 125 ± 15 mL/menit/1,73m2 sedangkan pada perempuan muda normal adalah 110 ± 15 mL/menit/1,73m2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dinyatakan dalam mL/menit/1,73m2. LFG dapat berkurang seiring bertambahnya usia dan hal ini dianggap normal.1

b. Serum Kreatinin

Konsentrasi serum kreatinin dapat digunakan sebagai petunjuk laju filtrasi glomerulus. Serum kreatinin merupakan indeks yang lebih cermat dibandingkan pemeriksaan urea nitrogen darah dalam menentukan laju filtrasi glomerulus dikarenakan kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot sehingga jarang sekali mengalami perubahan. Konsentrasi serum kreatinin normal adalah 0,7-1,5 mg/dl. Seseorang dapat dikategorikan menderita penyakit ginjal sedang apabila konsentrasi serum kreatinin berada pada nilai 2,5-5,0 mg/dl dan


(33)

dikategorikan menderita gagal ginjal kronik apabila konsentrasi serum kreatinin > 5,0 mg/dl. 1,29

c. Pemeriksaan Urea Nitrogen Darah (BUN)

Konsentrasi nitrogen urea darah (BUN) dapat digunakan sebagai petunjuk LFG. Konsentrasi BUN normal besarnya hanya sekitar 10 hingga 20 mg per 100 mL. Zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normalnya dieksresikan dalam urin. BUN dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein tubuh.1

2.2.5 Penanganan Gagal Ginjal Kronik 1. Hemodialisis

Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal dengan tujuan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Hemodialisis terbukti sangat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.

Hemodialisis merupakan suatu mesin ginjal buatan yang terdiri dari membran semi permiabel dengan darah di satu sisi dan cairan dialisis disisi lain. Jenis cairan dialisis yang sering digunakan adalah asetat dan biokarbonat.1,2,23

Terdapat dua tipe dasar alat dialisis yang dipergunakan saat ini, yaitu alat analisis lempeng paralel dan capillary dialyzer atau biasa disebut dengan hollow dialyzer. Namun capillary dialyzer merupakan alat dialisis yang paling sering digunakan saat ini.1


(34)

Gambar 6. Capillary dialyzer.24

Suatu sistem dialisis terdiri atas dua sirkuit, yaitu untuk darah dan cairan dialisat. Saat sistem bekerja, darah mengalir dari tubuh penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis kemudian kembali melalui jalur vena. Air yang telah difiltrasi dan dihangatkan hingga sesuai suhu tubuh kemudian dicampur dengan konsentrat hingga terbentuk menjadi dialisat. Dialisat tersebut kemudian dimasukan kedalam alat dialisis, cairan tersebut akan mengalir di luar hollow fiber sebelum akhirnya keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membran dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Pada suatu membran semipermiabel yang di letakan diantara darah penderita pada satu sisi dan dialisat pada sisi satunya, maka substansi yang dapat menembus membran akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.1,23


(35)

Tabel 3. Komposisi dialisat.1

Komponen Jumlah

Na+ 138 – 145 mEq/l

K+ 0 – 4,0 mEq/l

Ca++ 100 – 107 mEq/l

Mg++ 2,5 – 3,5 mEq/l

Cl- 0,4 – 1,0 mEq/l

Asetat 30 – 37 mEq/l Glukosa 100 – 250 mg/dl

Komposisi dialisat telah diatur hingga mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodbifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum adalah Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kedalam cairan dialisat karena unsur-unsur tersebut tidak ada dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi ke dalam darah, asetat nantinya akan dimetabolisme menjadi bikarbonat oleh tubuh penderita. Hal ini bertujuan untuk mengoreksi asidosis penderita sindrom uremia.1,3,24

Gambar 7. Diagram sistem hemodialis menggunakan


(36)

Pada umumnya indikasi gagal ginjal kronik adalah fungsi ginjal kurang dari 15 mL/mnt/1,73m2 namun keadaan pasien tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu gejala seperti keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K+ serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200 mg/dL, pH darah < 7, anuria berkepanjangan (>5 hari) dan fluid overloaded. Di Indonesia, hemodialisis biasa dilakukan 2 kali seminggu selama 4 hingga 5 jam per sesi.2

2. Diet

Pada penderita gagal ginjal kronik, jumlah nefron yang berfungsi normal kurang dari 10 persen sehingga penderita akan mengalami retensi cairan (edema), kalium, natriumdan fosfor. Zat-zat yang seharusnya dikeluarkan dari dalam tubuh akhirnya menumpuk didalam darah, terutama urea (yang berasal dari pemecahan protein) sehingga blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin akan meningkat. Pada tahap ini, penderita membutuhkan pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. 1,2,30

Pengaturan diet protein akan dimulai dengan pembatasan diet protein pada penderita. Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang diperbolehkan adalah 0,6 g/kgBB/hari.1

Pengaturan diet kalium juga dibutuhkan untuk menghindari terjadinya hiperkalemia pada penderita gagal ginjal kronik seperti menghindari pemberian obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium. Jumlah kalium yang diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq/hari (1-1,5 g/hari).1,2

Asupan natrium yang bebas dapat menyebabkan retensi cairan, edem perifer, edem paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif pada penderita gagal ginjal kronik. Jumlah natrium yang biasa diperbolehkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g/hari). Penderita akan diinstruksikan untuk mengindari makanan yang mengandung kadar natrium yang tinggi seperti mie instan, makanan kalengan makanan ringan dalam kemasan seperti chips dan creakers dan junk food. 1,2,30


(37)

Asupan cairan juga akan diatur sedemikian rupa. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urin dalam 24 jam + 500 mL. Asupan cairan yang bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edem dan toksikasi cairan.1,2,30

2.3 Saliva

2.3.1 Fisiologis Saliva

Saliva merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar saliva yang menjaga kelembaban rongga mulut. Saliva terdiri dari 99% air dan 1 % komponen organik serta anorganik. Komponen organik saliva yaitu protein, secretory IgA, MUC5B, MUC7, amilase, lisozim, laktoferin, staterin, albumin, glukosa, laktat, lipid, asam amino, urea dan amonia. Komponen anorganik saliva yaitu sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, bikarbonat, fosfat, tiosianat, iodida dan

fluor.30 93% saliva disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yaitu kelenjar parotid, submandibular dan sublingual sedangkan 7% lainnya disekresikan oleh beberapa kelenjar saliva minor yang tersebar di mukosa rongga mulut.10,32,33,34

Gambar 8. Letak kelenjar saliva parotis,sublingual, submandibular.34

Saliva memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara dan menjaga kesehatan rongga mulut baik itu jaringan keras maupun jaringan lunak. Beberapa fungsi saliva diantaranya sebagai lubrikasi dan pelidung jaringan lunak rongga


(38)

mulut, menjaga kestimbangan pH rongga mulut dan integrasi enamel gigi, menghambat pertumbuhan bakteri, berperan dalam proses pencernaan dan sensasi pengecapan.32

Sekresi saliva adalah refleks yang dimediasi oleh saraf. Volume dan jenis saliva yang disekresi dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Kelenjar menerima inervasi dari saraf parasimpatis dan simpatis. Refleks melibatkan reseptor aferen dan saraf yang membawa impuls dari stimulasi, central hub serta bagian eferen yang terdiri atas saraf parasimpatik dan simpatik otonom yang secara terpisah menginervasi kelenjar saliva.33,34,35

Pusat saliva parasimpatis terletak pada medula oblongata yang terbagi atas 3 bagian, yaitu superior nuklei salivatorius, inferior nuklei salivarius dan zona intermediet. Bagian superior nuklei (CN VII) terhubung dengan kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual, sedangkan inferior nuklei (CN IX) mempersarafi kelenjar parotid.34,38

Serabut saraf simpatis yang menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis superior dan beriringan dengan arteri yang mensuplai arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah pada kelenjar parotis dan bersama arteri lingualis memberikan suplai darah ke submandibula, serta bersama dengan arteri fasialis yang mensuplai darah ke kelenjar sublingualis. Rangsangan simpatis akan menstimuli reseptor adrenergik menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pada kelenjar saliva menyebabkan jumlah saliva sedikit, lebih kental dan kaya mukus. Berbeda dengan rangsangan parasimpatis yang menstimuli reseptor kolinergik menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan volume saliva lebih banyak dan kaya enzim 33,34,38

2.3.2 Laju Aliran Saliva

Volume dan komponen saliva sangat mempengaruhi kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup seseorang. Pada orang dewasa yang sehat, jumlah produksi saliva per hari baik dengan stimulasi ataupun tanpa stimulasi berkisar antara 500 sampai 1500 ml/hari. Rata-rata saliva istirahat yang berada pada rongga mulut adalah 1 ml.


(39)

Jumlah aliran saliva tanpa distimulasi normal berkisar 0,25–0,35 ml/menit, rendah 0,1–0,25 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,1 ml/menit. Sedangkan jumlah aliran saliva dengan stimulasi yang normal berkisar lebih dari 1-3 ml/menit, rendah 0,7-1,0 mL/menit dan hiposalivasi kurang dari 0,7 ml/menit pada keadaan hiposalivasi.10

Penurunan laju aliran saliva dapat dipengaruhi oleh beberapa keadaan, seperti posisi tubuh, cahaya dan kebiasaan merokok, proses menua, latihan fisik berlebihan, radioterapi, kemoterapi, konsumsi alkohol, berpuasa, penyakit sistemik seperti penyakit ginjal dan penggunaan obat-obatan yang bersifat antikolinergik diantaranya antidepresan, antipsikosis, antihipertensi serta antihistamin.10

2.2.3 pH Saliva

Pada keadaan normal, saliva yang distimulasi memiliki pH berkisar 6,0 – 7,0. Konsentrasi bikarbonat pada saliva bersifat rendah, sehingga suplai bikarbonat kepada kapasitas buffer saliva paling tinggi hanya mencapai 50%. pH saliva akan meningkat bersamaan dengan kenaikan kecepatan sekresi. Selain kapasitas buffer, faktor – faktor lain yang mempengaruhi derajat keasaman diantaranya adalah irama siang dan malam, diet, rangsangan kecepatan sekresi, jenis kelamin, status psikologi, perubahan hormonal, kebersihan rongga mulut maupun penyakit sistemik.10,32,39

2.3.4 Kadar Urea Saliva

Urea merupakan salah satu unsur organik yang terdapat pada saliva. Dalam keadaan normal, kadar urea pada saliva yang tidak distimulasi adalah 3,57 ± 1,26 mmol/L Sedangkan kadar urea pada saliva stimulasi adalah 2,65 ± 0,92 mmol/l. Hidrolisis urea yang berlebihan menjadi amoniak oleh bakteri urease menyebabkan kondisi alkali/basa pada rongga mulut.10,32

2.4 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Saliva

Dokter gigi merupakan bagian dari suatu tim dan berkolaborasi dengan dokter spesialis dalam menangani pasien dengan penyakit ginjal kronik yang


(40)

memiliki manifestasi dirongga mulut untuk mencegah komplikasi sistemik. Dokter gigi akan memberikan konseling seputar kaitan penyakit ginjal kronik yang diderita pasien dengan manifestasi yang terjadi pada rongga mulut. Untuk menangani manifestasi oral yang sering dikeluhkan pasien dokter gigi terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter spesialis sehingga penggunaan obat-obatan seperti antibiotik serta perawatan dental lainnya dapat dilakukan dengan maksimal.6

2.4.1 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Laju Aliran Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, laju aliran saliva yang distimulasi berkisar 0,70 ± 0,32 ml/menit (Bayraktar, dkk). Laju aliran saliva penderita ini berada dibawah nilai normal disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya pembatasan asupan cairan agar tidak membebani kerja ginjal.11

2.4.2 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap pH Saliva

Pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis, pH saliva berkisar pada nilai 6,72 ± 0,21 (Karen J Manley, dkk). Peningkatan pH saliva ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi amonia dalam saliva sebagai hasil hidrolisis urea oleh bakteri urease yaitu staphylococcus salivarius dan Actimomyces naeslundii

((NH2)2CO + H2O → CO2 + 2NH3) yang menyebabkan kondisi rongga mulut menjadi basa/alkali. Konsentrasi urea yang meningkat pada penderita gagal ginjal kronik merupakan salah satu manifestasi dari sindrom uremik.1,12,32

2.4.3 Pengaruh Gagal Ginjal Kronik terhadap Kadar Urea Saliva

Penderita gagal ginjal kronik pada umumnya mengeluhkan beberapa manifestasi oral seperti rasa kecap logam, halitosis dan manifestasi oral lainnya. Manifestasi oral tersebut disebabkan oleh meningkatnya nilai Kadar urea nitrogen saliva.1,9

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi komposisi saliva salah satunya adalah penyakit sistemik seperti diabetes, penyakit ginjal kronik, dan


(41)

lain-menunjukan bahwa terjadi peningkatan komposisi sodium, potassium, bikarbonat, urea, kalsium, fosfat dan zinc pada penderita gagal ginjal kronik dibandingkan kelompok kontrol yang sehat.10,12

Komponen organik saliva disintesis oleh sel sekretori dari kelenjar saliva yang memperoleh nutrisi dari pembuluh darah. Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva yang diproduksi akan dikeluarkan. Cairan dan elektrolit untuk saliva mencapai sel dari sirkulasi darah. Meningkatnya kadar urea nitrogen saliva dipengaruhi oleh meningkatnya kadar urea nitrogen darah. Penelitian yang dilakukan oleh Suresh G, dkk di Guntur, India pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kadar urea darah dengan kadar urea saliva. Peningkatan kadar urea darah disebabkan retensi nitrogen metabolit, seperti urea, yang seharusnya sebagian besar diekskresikan oleh ginjal bersama urin1,33,37

2.5 Spektrofotometer Cahaya Tampak

Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Spektofotometer cahaya tampak memakai sumber radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang < 380 nm.

Ketika cahaya dengan panjang berbagai panjang gelombang (cahaya polikromatis) mengenai suatu zat, maka cahaya dengan panjang gelombang tertentu saja yang akan diserap. Jika zat menyerap cahaya tampak dan UV maka akan terjadi perpindahan elektron dari keadaan dasar menuju ke keadaan tereksitasi. Perpindahan elektron ini disebut transisi elektronik. Atas dasar inilah spektrofotometri dirancang untuk mengukur konsentrasi suatu yang ada dalam suatu sampel. Cahaya yang diserap diukur sebagai absorbansi (A) sedangkan cahaya yang dihamburkan diukur sebagai transmitansi (T), dinyatakan dengan hukum lambert-beer atau Hukum Beer.40


(42)

(43)

2.7 Kerangka Konsep

Penderita gagal ginjal kronik (stadium 5)

 Telah menjalani

hemodialisis ≥ 6 bulan.  GFR < 15

mL/menit/1,73m2

Pengumpulan stimulated saliva dengan metode spitting

dalam pot saliva

 Sesaat sebelum menjalani terapi hemodialisis

 2 jam setelah sarapan pagi

Menggunakan pH meter Pemeriksaan saliva

1 ml saliva dalam wadah dimasukkan ke dalam termos

berisi es

pH saliva normal 6,0 - 7,0

pH saliva

Dibawa ke laboratorium

Preparasi sampel

Persiapan reagent

Pengukuran kadar urea menggunakan spektofotometer cahaya tampak dengan panjang gelombang 340 nm

Kadar normal urea didalam saliva adalah 2,65 mmol/l

Kadar urea saliva Menggunakan

timbangan digital

Kriteria laju aliran saliva dengan stimulasi :

Normal: 1-3 mL/menit Rendah: 0,7-1,0 mL/menit Hiposalivasi: < 0,7 mL/menit


(44)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini ada cross-sectional dengan melakukan observasi atau pengukuran variabel sesaat sebelum melakukan terapi hemodialisis, yaitu subjek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran dilakukan setelah pemeriksaan tersebut.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di: 1. Klinik Rasyida Medan

2. Laboratorium Kimia UNIMED

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan April sampai Juni 2014 yang mencakup pengumpulan sampel, penelitian, pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Klinik Rasyida Medan.

3.3.2 Sampel


(45)

3.3.2.1Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini adalah 29 orang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Klinik Rasyida Medan. Pertimbangan penentuan besar sampel minimum berdasarkan rumus 40 :

Keterangan :

n : jumlah sampel minimal yang dibutuhkan μ0 + μa : selisih rerata

S : standar deviasi

Zα : deviat baku normal untuk α 10%, sehingga Zα = 1,64 Zβ : deviat baku normal untuk β 20%, sehingga Zβ = 0,842

Kemudian dilakukan perhitungan besar sampel dengan S = 0,24 berdasarkan penelitian sebelumnya


(46)

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) pasien ≤ 15 mL/menit/1,73m2. Tanpa menpertimbangkan penyakit etiologi.

2. Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis selama ≥ 6 bulan di Klinik Rasyida Medan.

3. Subjek bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani informed consent.

3.4.2 Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Pasien yang memerlukan terapi hemodialisis sementara karena kondisi penyakit akut.

2. Pasien dengan transplantasi ginjal.

3. Pasien penyakit ginjal kronis yang belum memerlukan terapi hemodialisis.

4. Pasien penyakit ginjal kronis dengan etiologi dari penyakit menular.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel bebas Penderita Gagal Ginjal Kronik

Variabel Terikat 1. Kadar urea dalam

saliva 2. pH saliva

3. Laju aliran saliva Variabel Terkendali

1. Teknik pengambilan saliva

2. Waktu pengambilan saliva

3. Kalibrasi alat

Variabel Tidak Terkendali 1. Oral Hygiene

2. Kebiasaan merokok 3. Kebiasaan menyirih 4. Diet


(47)

3.6 Definisi Operasional 1. Gagal Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis merupakan stadium akhir dari penyakit ginjal kronik dimana ginjal sudah tidak mampu menjalankan fungsi normalnya sehingga membutuhkan terapi pengganti ginjal ditandai dengan LFG ≤15mL/min/1.73m2.

2. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal menggunakan alat dializer dengan proses perpindahan massa berdasarkan difusi antara darah dan cairan dialisis yang dipisahkan oleh membran semi permiabel. Dimana hemodialisis biasa dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik atau pasien dengan kadar ureum >200 mEq/dL.

3. Laju Aliran Saliva dengan Stimulasi

Laju aliran saliva dengan stimulasi adalah jumlah saliva yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dengan rangsangan baik mekanis maupun kimiawi per menit.

normal : 1-3 mL/menit, rendah : 0,7-1,0 mL/menit hiposalivasi : <0,7 mL/menit

4. pH Saliva

pH saliva adalah nilai derajat keasaman saliva yang diukur menggunakan pH meter. Nilai pH normal saliva adalah 6,0 – 7,0.

5. Kadar Urea dalam Saliva

Kadar urea dalam saliva adalah komposisi urea (CO(NH2)2) yang ditemukan didalam saliva. Kadar urea dinyatakan dalam mmol/L. Nilai kadar urea normal dalam saliva dengan stimulasi adalah 2,65 ± 0,92 mmol/L.

6. Teknik Pengambilan Saliva

Teknik pengambilan saliva menggunakan metode spitting, yaitu pengambilan saliva dimana subjek diminta mengunyah permen karet paraffin dan membiarkan saliva tergenang dalam mulut tanpa ditelan lalu meludahkan saliva kedalam pot beberapa kali dalam 5 menit (Bayraktar, et.al).


(48)

7. Waktu pengumpulan saliva

Waktu pengumpulan saliva dilakukan pada pukul 09.00 – 12.00 WIB yaitu dua jam setelah sarapan pagi dan sebelum makan siang (Navazesh).

3.7 Alat dan Bahan Penelitian 3.7.1 Alat Pemeriksaan

1. Salivary collection kit

2. pH meter digital 3. Timbangan digital 4. Spectrophotometer

5. Pipet tetes

6. Termos tempat sampel 7. Handscoon

8. Masker 9. Kertas Tissue

10. Lembar penelitian dan informed consent 11. Rekam medis

3.7.2 Bahan Penelitian

1. Saliva sebagai bahan pemeriksaan 2. Permen karet paraffin (paraffin®) 3. Batu es

4. Glory, Urea Diagnostic Kit


(49)

3.8 Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam enam tahap 1. Pengumpulan data demografi

Pengumpulan data subjek penelitian didapatkan dari buku induk Klinik Rasyida Medan dan rekam medis, yaitu berupa nama, umur, lama menjalani hemodialisis dan riwayat medis.

2. Penandatanganan Informed Consent

Sampel penelitian diberikan penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian, lalu diminta kesediannya menjadi subjek penelitian dengan mengisi dan menandatangani informed consent.

3. Pengumpulan Saliva

Setelah pasien memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi maka subjek penelitian dipersiapkan untuk mengikuti prosedur penelitian. Pengambilan saliva dilakukan pada pukul 09.00 – 12.00 WIB yaitu dua jam setelah sarapan pagi. Selama dua jam tersebut, pasien tidak diperkenankan untuk makan, minum, menyikat gigi dan merokok.

Pasien diminta untuk duduk tegak dan rileks kemudian diinstruksikan untuk mengunyah aktif permen karet paraffin selama 5 menit tanpa menelan saliva. Saliva yang menggenang diludahkan beberapa kali ke pot saliva.

4. Pengukuran Laju Aliran Saliva

Pengukuran laju aliran saliva dimulai dengan pengukuran volume saliva. Pengukuran volume dilakukan dengan cara menyalakan timbangan digital dan timbangan menunjukkan angka 0. Berat pot saliva ditimbang terlebih dahulu. Saliva yang sudah dikumpulkan kemudian di timbang dan dikurangkan dengan hasil timbangan pot saliva kemudian hasil yang diperoleh dinyatakan dalam ml karena berat jenis untuk saliva adalah 1,0 maka 1 gr saliva sama dengan 1 mL saliva. Kemudian nilai volume saliva dibagi dengan lama waktu stimulasi untuk mendapatkan nilai laju aliran saliva. Nilai laju aliran saliva dinyatakan dalam mL/menit.


(50)

5. Pengukuran pH Saliva

pH saliva adalah derajat keasaman dan kebasaan saliva. pH saliva akan diukur menggunakan pH meter digital. Sebelum digunakan, pH meter digital dibersihkan dengan cara mencuci sensor elekroda dibawah air mengalir lalu dikeringkan. Setelah itu, pH meter dicelupkan kedalam larutan buffer untuk proses kalibrasi. pH meter dicelupkan dalam pot berisi saliva hingga sensor elektroda tercelup, lalu diamati derajat pH yang tertera.

6. Pengukuran Urea

Urea Diagnostic Kit. Urea diagnostic kit yang digunakan adalah merek Glory yang telah disertifikasi ISO 9001 ISO 13485. Didalamnya telah terdapat reagen-reagen yang telah dibutuhkan. Reagen 1 adalah buffered urease/GIDH dengan komposisi TRIS buffer 125 mmol/L pH 7.4, 2-oxoglutarate 10 mmol/L, urease>140 U/mL, glutamate dehydrogenease > 120 U/mL, Biocides. Reagen 2 adalah koenzim dengan komposisi NADH 1,50 mmol/L. Urea standar dengan komposisi urea 50 mg/dL (8.3 mmol).

Kadar urea. Olah reagen menjadi working reagent sesuai dengan prosedur yakni dengan mencampurkan 4 mL reagen 1 dan 1 mL reagen 2. Kemudian pre-inkubasi working reagen, sampel dan standard pada suhu 37°C. Siapkan spektrofotometer pada titik absorbsi 0 dengan menggunakan air suling. Hitung perbedaan nilai absorbansi standar dengan cara pipetkan 1 mL working reagentdan 10 μL standard ke dalam cuvet kemudian aduk merata. Lihat absorbansi pada 340 nm kemudian catat nilai masing-masing setelah 30 detik (A1) dan 90 detik (A2) kemudian jumlahkan perbedaan dari absorbansi tersebut. Cara yang sama digunakan dalam mengukur perbedaan absorbansi dari sampel. Pipetkan 1 mL working reagent

dan 10 μL sampel k edalam cuvet kemudian aduk merata. Lihat absorbansi pada 340 nm kemudian catat nilai masing-masing setelah 30 detik (A1) dan 90 detik (A2) kemudian jumlahkan perbedaan dari absorbansi tersebut.


(51)

Maka akan didapatlah kadar urea dengan menggunakan rumus :

mg/dL urea

7. Pengolahan Data

Data kadar urea dan nilai pH saliva pada pasien gagal ginjal dan kelompok kontrol dibagi menjadi dua kelompok. Kemudian seluruh data dimasukan kedalam software statistik di komputer untuk dianalisis.

3.9 Etika Penelitian

Etika penelitian mencakup hal sebagai berikut :

1. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.

2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan. Subjek yang menyetujui akan dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.


(52)

3.10 ALUR PENELITIAN

Pengumpulan data subjek penelitian didapatkan dari rekam medis pasien di Klinik Rasyida Medan

Menyusun kriteria inklusi dan eksklusi berdasarkan maksud dan tujuan penelitian.

Satu hari sebelum penelitian, sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diberi penjelasan tentang maksud penelitian kemudian diintruksikan untuk tidak makan, minum (kecuali air putih), merokok dan menyikat gigi 2

jam sebelum penelitian.

Pada hari penelitian pasien akan dijelaskan kembali tentang maksud penelitian dan menandatangani surat persetuan. Setelah itu, pasien akan ditanyai sesuai

dengan isi kuisioner.

Persiapan sebelum pengumpulan saliva : diposisikan duduk tenang, lalu diinstruksikan mengunyah permen parafin wax selama 5 menit. Kemudian saliva yang tergenang akan diludahkan beberapa kali kedalam salivary pot.

Pot diberi label dan dimasukan dalam termos berisi dry ice dan dibawa ke laboratorium kimia UNIMED

Pengumpulan saliva dilakukan dalam beberapa putaran. Setiap putaran terdiri atas 3 orang subjek.


(53)

Kriteria sekresi saliva yang distimulasi :

●Normal = 1-3 mL/menit ●Rendah = 0,7-1,0 mL/menit menit ●Hiposalivasi= <0,7 mL/menit

Persiapan reagent dan kurva kalibrasi

Analisa kadar urea dengan alat spektofotometer cahaya tampak pada gelombang 340 nm.

Pengumpulan data dan analisis data

Kesimpulan

Kemudian pH saliva diukur menggunakan pH meter digital yang sebelumnya telah dibersihkan dan dikalibrasi pada larutan buffer. pH meter dimasukan dalam pot hingga bagian sensor elektroda tergenang. Biarkan beberapa detik

hingga muncul nilai/derajat pH saliva tersebut. Lalu dinterpretasikan. Pengukuran volume saliva dilakukan dengan cara menyalakan timbangan digital dan timbangan menunjukkan angka 0. Berat pot saliva ditimbang terlebih dahulu. Saliva yang sudah dikumpulkan kemudian di timbang dan dikurangkan dengan hasil timbangan pot saliva kemudian hasil yang diperoleh dinyatakan dalam ml karena berat jenis untuk saliva adalah 1,0 maka 1 gr saliva sama dengan 1 ml saliva. Volume saliva kemudian dibagi dengan jumlah menit pengambilan saliva, dari sana akan didapat nilai laju aliran saliva yang dinyatakan dalam ml/menit.


(54)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ginjal dan Hemodialisis Rasyida Medan pada bulan Juni hingga Agustus 2014. Seluruh sampel yang mengikuti penelitian ini sebanyak 29 orang penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dan telah memenuhi kriteria inklusi yaitu memiliki LFG ≤ 15 mL/menit/1,73m2, telah menjalani terapi hemodialisis selama ≥ 6 bulan dan bersedia menjadi subjek penelitian.

4.1 Karakteristik Umum Subjek Yang Diteliti

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka didapatkan beberapa karakteristik umum subjek yang diteliti (tabel 4). Pada tabel 4 menunjukkan beberapa karakteristik umum sebagai berikut. Jenis kelamin pada penelitian ini dengan frekuensi terbanyak adalah laki-laki (51,7%). Umur subjek dengan frekuensi paling banyak adalah pada kelompok umur lebih dari 51 tahun (62,04%) dan umur subjek dengan frekuensi paling sedikit adalah kelompok umur 31-50 tahun (37,96%) dengan usia paling muda yaitu 31 tahun dan usia yang paling tua yaitu 72 tahun. Sementara itu, etiologi penyebab gagal ginjal kronik (GGK) yang paling sering adalah hipertensi (44,8%) dan yang paling jarang adalah glomeronefritis (3,4%). Seluruh responden (100%) tidak mengidap HIV/AIDS.

Subjek yang menjalani terapi hemodialisis secara teratur sebanyak 27 orang (93,1%). Subjek yang mengikuti anjuran asupan air minum sebanyak 26 orang (89,7%). Subjek yang mengikuti anjuran diet protein sebanyak 28 orang (96,6%)


(55)

Tabel 4. Gambaran karakteristik umum subjek yang diteliti

Karakteristik N %

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 15 14 51,7 48,3 Umur

31 – 51 tahun > 51 tahun

11 18 37,96 62,04 Etiologi GGK Diabetes Hipertensi Glomeronefritis > 2 etiologi

9 13 1 6 31 44,8 3,4 20,7 HIV/AIDS

Bebas HIV/AIDS 29 100

Terapi hemodialisis Teratur Tidak teratur 27 2 93,1 6,9 Mengikuti anjuran

asupan air minum Ya Tidak Lebih banyak Lebih sedikit 26 2 1 89,7 6,9 3,4 Mengikuti anjuran

asupan diet protein Ya Tidak Lebih banyak 28 1 96,6 3,4


(56)

Berdasarkan tabel 5 dapat dideskripsikan bahwa hasil pemeriksaan laboratorium subjek sebelum menjalani terapi hemodialisis adalah sebagai berikut. Rerata nilai urea darah (BUN) pada subjek sebelum menjalani terapi hemodialisis rutin adalah 59,93 ± 2,44 mg/dL, sementara rerata nilai serum kreatinin (Scr) subjek adalah 9,87 ± 0,60 mg/dL dan rerata nilai laju aliran glomerulus (LFG) adalah 4,72 ± 0,84 mL/menit/1,73m2.

Tabel 5. Hasil pemeriksaan laboratorium subjek sebelum menjalani terapi rutin hemodialisis di Klinik Rasyida Medan

Pemeriksaan N Rerata ± SD

Urea darah (BUN) 29 59,93 ± 2,44

mg/dl

Serum kreatinin (Scr) 29 9,87 ± 0,60

mg/dl Laju filtrasi glomerulus (LFG) 29 4,72 ± 0,84

mL/menit/1,73m2

4.2 Laju Aliran Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Pada tabel 6 menunjukkan laju aliran saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik adalah 0,76 ± 0,09 mL/menit. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi penurunan laju aliran saliva yang distimulasi hingga termasuk kedalam kriteria laju aliran saliva rendah (0,7-1,0mL). Nilai normal laju aliran saliva yang distimulasi adalah 1,0-3,0 mL/menit.

Tabel 6. Laju aliran saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan

N Rerata ± SD


(57)

4.3 pH Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Pada tabel 7 menunjukkan pH saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik adalah 7,17 ± 0,23. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi sedikit peningkatan pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik. Nilai normal pH saliva rongga mulut adalah 6,0 – 7,0.

Tabel 7. pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan

N Rerata ± SD

pH saliva 29 7,17 ± 0,23

4.4 Kadar Urea Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Pada tabel 8 menunjukan nilai kadar urea saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik adalah 21,70 ± 0,97 (mmol/l). Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kadar urea saliva yang distimulasi melebihi nilai normal (> 2,65 ± 0,92 mmol/l).

Tabel 8. Kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan

N Rerata ± SD

Kadar urea saliva

(mmol/l) 29 21,70 ± 0,97

4.5 Hubungan Antara Laju Aliran dan pH Saliva Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Hubungan antara laju aliran dan pH saliva diperoleh dengan menggunakan uji Spearman. Pada tabel 9 diperoleh bahwa terdapat hubungan antara laju aliran dan pH


(58)

saliva. Hubungan antara laju aliran dan pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik tersebut menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi yang terbalik (-0,750). Gambar 8 menunjukan hubungan terbalik antara laju aliran saliva dan pH saliva, dimana semakin rendah laju aliran, semakin tinggi pH saliva.

Tabel 9. Hubungan antara laju aliran dan pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan

Korelasi Spearman Laju aliran saliva pH saliva

Laju aliran saliva

r 1 -0,750*

p 0,000

n 29 29

pH Saliva

r -0,750* 1

p 0,000

n 29 29

*)signifikan

Gambar 8. Grafik hubungan linear antara nilai rerata laju aliran saliva dengan nilai rerata pH saliva pada penderita gagal ginjal kronik


(59)

4.6 Hubungan Antara Laju Aliran dan Kadar Urea Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan

Hubungan antara laju aliran dan kadar urea diperoleh dengan menggunakan uji Spearman. Pada tabel 10 diperoleh bahwa terdapat hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik tersebut menunjukan hubungan signifikan dengan korelasi yang terbalik (-0,735). Gambar 9 menunjukan hubungan terbalik antara laju aliran saliva dan kadar urea saliva, dimana semakin rendah laju aliran, semakin tinggi kadar urea saliva.

Tabel 10. Hubungan antara laju aliran dan kadar urea saliva pada penderita gagal ginjal kronik di Klinik Rasyida Medan

Korelasi Spearman Laju aliran saliva

Kadar urea saliva

Laju aliran saliva

r 1 -0,735*

p 0,000

n 29 29

Kadar urea saliva

r -0,735* 1

p 0,000

n 29 29


(1)

didalam saliva. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suresh G, dll di Ashwini Hospitals, Guntur, India pada tahun 2014. Penelitian ini menunjukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan (p<0,05) antara kadar urea darah dengan kadar urea saliva. Pada penelitian ini, nilai kadar urea darah adalah 71,75 ± 23,15 mg/dL dan nilai kadar urea saliva adalah 97,15 ± 34,12 mg/dL atau setara dengan 34,6 ± 12,18 mmol/L. Keduanya berada diatas nilai normal.37

Penurunan fungsi ginjal pada penderita gagal ginjal kronik disebabkan oleh pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus serta proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi sehingga proses penyaringan menjadi tidak lagi normal. Dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, hasil sisa metabolit yang seharusnya dibuang melalui urin mengendap dalam darah dan menyebabkan gejala-gejala yang mempengaruhi sistem organ tubuh. Retensi dari sisa nitrogen metabolit menyebabkan peningkatan kadar urea darah dan berujung pada sindrom uremik, dimana retensi tersebut mempengaruhi sebagian fungsi dari organ tubuh. Komponen organik saliva disintestis oleh sel sekretori kelenjar saliva yang memperoleh nutrisi dari pembuluh darah (arteri karotis eksterna, arteri lingualis dan arteri fasialis). Ketika sel-sel sekretori distimulasi, saliva yang diproduksi akan dikeluarkan melalui sel asinar sehingga meningkatnya k adar urea darah akan menyebabkan peningkatan kadar urea saliva.1,2,33


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini pada saliva yang distimulasi pada penderita gagal ginjal kronik maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Nilai rerata kadar urea saliva adalah 21,70 ± 0,97 mmol/L lebih rendah dibandingkan nilai normal kadar urea saliva (2,65 ± 0,92 mmol/L).

2. Nilai rerata pH saliva adalah 7,17 ± 0,23 lebih tinggi dibandingkan nilai normal laju aliran saliva (6,0-7,0).

3. Nilai rerata laju aliran saliva adalah 0,76 ± 0,09 mL/menit lebih rendah dibandingkan nilai normal laju aliran saliva (1,0-3,0 mL/menit).

4. Terdapat hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (P<0,05) antara laju aliran dan pH saliva dimana semakin rendah laju aliran saliva maka akan semakin tinggi pH saliva. Terdapat hubungan signifikan dengan korelasi terbalik (P<0,05) antara laju aliran dan kadar urea saliva dimana semakin rendah laju aliran saliva maka akan semakin tinggi kadar urea saliva. Terdapat hubungan signifikan dengan korelasi searah (P<0,05) antara kadar urea dan pH saliva dimana semakin tinggi kadar urea maka akan semakin tinggi pH saliva.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek langsung perubahan kadar urea, pH dan laju aliran saliva terhadap kondisi mukosa rongga mulut. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara kadar urea


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Price SA, Wilson LR. Patofisiologis: konsep klinik proses-proses penyakit. Alihbahasa. Brahm U. Jakarta: EGC, 2005: 873-9, 899-900, 913-8, 951.

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006: 570-1, 574-5, 580.

3. Morbidity and Mortality Weekly Report. Prevalence of chronic kidney disease and associated risk factor United States, 1999-2004. (2 Maret 2007) http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm5608a2.htm. (12 Januari 2014).

4. USA National Kidney Urologic Disease Information Clearinghouse. Kidney disease statistic for the USA. NIH Publication 2012; 12-2395: 1-7

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI. Riset dasar kesehatan tahun 2013. Kementerian Kesehatan RI. 2013.

6. Vesterinen M, Leivo T, Honkanen E, Lindqvist C. Oral health and dental treatment with renal disease. Quintance International 2007; 38(3): 211-9.

7. Haider SH, Tanwir F, Momin IA. Oral aspect of chronic renal failure. Pakistan Oral & Dental Journal 2013; 33(1): 87-90.

8. Alamo SM, Esteve CG, Perez MGC. Dental consideration for the patient with renal disease. J Clint Exp Dent 2011; 3(2): 112-9.

9. Greenberg M, Glick M. Burcket’s oral medicine diagnosis and treatment. Ed.10. Hamilton Ontario: BC Decker Inc. 2003: 411-9.

10. Almeida PDV,Gregio AMT, Machado MAN, Lima AAS, Azavedo AR. Saliva composition and functions: acomprehensive review. J Contemp Dent Pract 2008; (9)3:72-80.

11. Bayraktar G, dkk. Oral health and inflammation in patient with end-stage renal failure. Peritoneal dyalisis Int 2009; 29: 472-9.


(4)

12. Manley KJ, Haryono RY, Keast RSJ. Taste changes and saliva composition in chronic kidney disease. Renal Society of Australia J 2012; 8(2): 56-60.

13. Tanner GA, Kidney function. In: Roardes RA, David DR. Medical physiology for clinical medicine. Ed.3. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 391-419.

14. Annonymous.Filtration

membrane.http://courses.washington.edu/conj/bess/filtration/filtration.htm.(13 Januari 2014).

15. Kidney Health New Zealand. The Kidney and Kidney Disease. www.kidney.co.nz/resourses/file/kidney/kidney_and_kidney_disease.pdf.

(20Januari 2014).

16. USH National Kidney Urologic Disease Information Clearinghouse. The kidney and how they work. NIH Publication; 09-3195: 1-8.

17. Mclyntire N. Acute renal failure. In: Thomas N. Renal nursing. China: 2012: 104-13.

18. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan RI no.812/MENKES/PER/VII/2010.

19. Carroll LE. The stages of chronic kidney disease and the estimated glomerular filtration rate. The Journal of Lancaster General Hospital 2006; 1(2): 64-9. 20. The Kidney Foundation in Canada. What is kidney

disease.http://www.kidney.ca/page.aspx?pid=320. (8 April 2014)

21. The CARI Guidelines. Classification of ckd based on evaluation of kidney fuction. Evaluation of Renal Funtion 2005: 1.

22. The Management of CKD Working Group Departemen of Veteran Affairs and Departement of Defence. Va/DoD clinical practice guidelines for management of ckd. 2007: 11-20.

23. Foothe EF, Manley ED. Hemodialysis and peritoneal dyalisis. In: Dipiro JT, dkk. Pharmacotheraphy: a pathophysiology approach. Ed.7. New York: The Mcgraw-Hill Companies Inc, 2008: 103-13.


(5)

24. USA National Kidney Urologic Disease Information Clearinghouse. Treatment methode for kidney failure: Hemodialysis. NIH Publication 2006; 07-4666: 1-9. 25. Glorieux G, Scheper E, Vanholder RC. Uremic toxins in renal failure. Prilozi

Odd Bio Med Nauki 2007; XXVIII: 3-4.

26. Himro. White lesion on oral mucosa. http://dentistryandmedicine. blogspot.com/2011/11/white-lesions-of-oral-mucosa.html. (13Januari 2014) 27. Simon J, Amde M, Poggie ED. Interpreting the estimated glomerular filtration

rate in primary care: benefits and pitfalls. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2011; 78(3): 188-94.

28. Stevens LA, Corresh J, Greene T, Levey AS. Assesing kidney function – measured and estimated glomerular filtration rate. The New England Medical Jurnal 2006; 354(23): 2473.

29. Unita L, Lubis HR. Profil lipid penderita ginjal kronik pada predialisis dan hemodialisis. Majalah Kedokteran Nusantara 2005; 28(2): 163.

30. Indonesia Kidney Care Club. Pengaturan nutrisi untuk penderita ginjal. http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=465. (14 Januari 2014)

31. Hamid MJAA, Dummer CD, Pinto LS, Systemic condition, oral findings and dental management of chronic renal failure patient. Braz, Dent J 2006; 17(2): 166-70.

32. Whelton H. Introduction: the anatomy and physiology of salivary gland.In : WM

Edgar, DM O’Mullane. Saliva and oral health. London: British Dental

Association, 2004: 1-19, 29.

33. Holsinger CF, Bui DT. Anantomy function and evaluation of salivary gland. In: Mayer EN, Ferris RL. Salivary gland disorders. Berlin: Springer Berlin Heildelberg, 2007: 1-13.

34. Catalan AM, Nakamaoto T, Melvin JE. The salivary gland fluid secretion mechanism. The Journal of Medical Investigation 2009; 56: 24-8.

35. Annonymous. Lecture note on anatomy of salivary gland. (21 September 2011).


(6)

36. Garett JR, Ekstrom J, Anderson LC. Neural mechanisms of salivary gland secretion. Basel: Karger, 1999;35-47.

37. Suresh G, Ravi Kiran A, Samata Y, Purnachandrarao Naik N, Vijay Kumar A. Analisis of blood and salivary urea levels in patient under going haemodyalisis and kidney transplant. Journal of Clinical and Diagnostic Research 2014;8(7): 18-20.

38. Ekstrom J, dkk. Saliva and the control of its Secretion. Berlin: Springer Verlag, 2012; 20-42.

39. Wong DT. Salivary diagnostic. USA:Wiley-Blackwell. 2008. 60.

40. Kusnanto MW. Analisis spektroskopi UV-vis penentuan konsentrasi permanganat (KMnO4). http://www.share-pdf.com/8a7bfdda05144b139

1261997884cfbdb/laporan-UV-Vis.htm. (19 April 2014).

41. Bambang Madiyono. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed.4. Jakarta: Sagung Seto, 2011: 359. 42. Bossola M, Tazza L. Xerostomia in patient chronic hemodialysis Nature

Reviews : Nephrology 2012; 8: 176-81.

43. Kaushik A, Reddy SS, Umesh L, Devi BKY, Santana N, Rakesh N. Oral and salivary changes among renal patient undergoing hemodialysis : a cross sectional study. Indian Journal of Nephrology 2013;23(2): 125-9.

44. Wang LJ. Chen CK. The psycological impacts of hemodialysis on patients with chronic kidney disease. In: Polenakovic. Renal failure : the facts, Rijeka: InTech, 2012: 217, 219, 222, 224.

45. Rohleder N, Wolf JM, Maldonado EF, Kirschbaum C. The psychososial stress-induced increase of salivary alpha-amylase is independent of salivary flow rat e.Psychophysiology 2006; 43: 645-6.