EFEKTIVITAS PENGGUNAAN TEKNIK PERMAINAN DALAM BIMBINGAN KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN PERCAYA DIRI SISWA SMA: Penelitian Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung Tahun Ajaran 2010/2011.

(1)

viii

Halaman Persetujuan………... i

Pernyataan………... ii

Abstrak……… iii

Kata Pengantar……… iv

Ucapan Terimakasih……… vi

Daftar Isi……….. viii

Daftar Tabel………. xi

Daftar Gambar………. xiii

Daftar Lampiran……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Identifikasi Masalah………. 8

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian………. 10

E. Asumsi Penelitian …… ………….………. 11

F. Hipotesis……….. 12

G. Manfaat Penelitian………... 12

BABII KAJIAN TEORI BIMBINGAN KELOMPOK, PERMAINAN DAN PERCAYA DIRI SISWA A. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok... 14

1. Pengertian Bimbingan Kelompok... 14

2. Keuntungan Bimbingan Kelompok ... 18

3. Manfaat Bimbingan Kelompok ……… 23

4. Dinamika Kelompok………. 24

5. Prosedur dan Langkah-langkah Bimbingan Kelompok……… 27

B. Konsep Dasar Permainan……… 32

1. Pengertian Permainan ... 32

2. Fungsi dan Manfaat Bermain……… 40

3. Jenis-jenis Permainan ……….. 43

4. Permainan Sebagai Teknik Terapi……… 46

5. Permainan Sebagai Pendekatan Bimbingan………. 49

6. Karakteristik Permainan……… 50

C. Konsep Dasar Percaya Diri………. 52

1. Pengertian Percaya Diri ... 52

2. Sumber Rasa Tidak Percaya Diri……….. 57

3. Aspek-aspek Percaya Diri………. 58

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percaya Diri……….. 61

5. Gejala Tidak Percaya Diri Pada Remaja………... 66


(2)

ix

E. Penyusunan Program Penggunaan Teknik Permainan dalam

Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa.. 76

1. Perencanaan... 76

2. Perancangan... 76

3. Pelaksanaan……….. 78

4. Evaluasi……… 79

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 80

B. Populasi dan Sampel Penelitian... 81

C. Variabel dan Devinisi Operasional... 82

1. Variabel yang Terlibat... 82

2. Devinisi Operasional Variabel... 83

D. Metoda Pengumpulan Data dan Instrumen... 85

1. Pengumpulan data... 85

2. Instrumen Penelitian... 85

a. Pengukuran Butir Pernyataan... 86

b. Kisi-kisi Kuesioner Penelitian... 87

c. Uji Validasi Isi dan Konstruk Instrumen... 88

d. Uji Validasi Instrumen... 89

e. Uji Reliabilitas Instrumen... 91

3. Uji Validasi Program... 93

a. Analisis Rasional... 93

b. Analisis Empirik... 97

4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 104

a. Persiapan... 104

b. Pelaksanaan... 104

E.Metoda Analisis Data... 107

a. Uji Normalitas... ... ... ... 107

b. Uji Efektivitas... ... ... ... 107

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... ... ... ... 109

1. Gambaran Umum Tingkat Percaya Diri... 109

2. Gambaran Masing-masing Aspek Percaya Diri... 111

3. Gambaran Masing-masing Aspek Percaya Diri Sebelum dan Sesudah Intervensi... 119

4. Program Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa... 127

5. Efektivitas Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa... 169

a. Pengujian Asumsi Statistik... 169

b. Pengujian Hipotesis... 170


(3)

x

2. Profil Percaya Diri Siswa Sebelum dan Sesudah Intervensi.... 175 3. Program Penggunan Teknik Permainan dalam Bimbingan

Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa... 181 4. Efektivitas Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan

Kelompok Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa... 182 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan... ... ... ... 188 B. Rekomendasi... ... ... ... 189 DAFTAR PUSTAKA


(4)

xi

Halaman 2.1 Perbedaan Bimbingan Kelompok dengan Konseling Kelompok………… 3.1 Rancangan Penelitian………... 3.2 Variabel Penelitian... 3.3 Kisi-kisi kuesioner Penelitian... 3.4 Hasil uji coba Validitas Instrumen Percaya Diri... 3.5 Hasil Uji Statistik Sampel Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol……….

3.6 Hasil Uji Independen Sampel Tes Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol……….

3.7 Hasil Group Statistik Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol……… 3.8 Hasil Uji Independen Sampel Tes Skor Gain Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol………... 4.1 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa... 4.2 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Bertingkahlaku Sebelum diberikan Treatmen... 4.3 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Mengekspresikan Emosi Sebelum diberikan Treatmen... 4.4 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Spiritual Sebelum diberikan Treatmen... 4.5 Profil Percaya Diri Siswa Pada Kelompok Kontrol... 4.6 Profil Percaya Diri Siswa Pada Kelompok Eksperimen... 4.7 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Bertingkahlaku Setelah diberikan Treatmen... 4.8 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Mengekspresikan Emosi Setelah diberikan Treatmen... 4.9 Profil Tingkat Percaya Diri Siswa Pada Aspek Percaya Diri dalam

Spiritual Setelah diberikan Treatmen... 4.10Profil Indikator Percaya Diri Siswa Kelas XI SMA Laboratorium

(percontohan) UPI Bandung……… 4.11Rata-rata Percaya Diri Siswa Pada Kelompok Kontrol... 4.12Rata-rata Percaya Diri Siswa Pada Kelompok Eksperimen... 4.13Rata-rata Gain Skor Percaya Diri Siswa Secara Umum Pada Kelompok Eksperimen dan Kontrol……….. 4.14Rata-rata Gain Masing-masing Aspek Secara Umum Pada Percaya Diri

Siswa………...

4.15Gambaran Percaya Diri Pada Setiap Aspek dan Indikator……… 4.16Rencana Operasional Program………

4.17Pengembangan Tema………….……….

4.18Hasil Uji Normalitas Pretes dan Postes pada Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol ………..

4.19Hasil Uji Statistik Sampel Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol………. 22 80 83 87 90 98 98 99 100 111 113 114 117 118 118 120 121 122 123 125 125 126 126 134 160 165 170 170


(5)

xii

Kontrol……….

4.21Hasil Group Statistik Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol……….

4.22Hasil Uji Independen Sampel Tes Skor Gain Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol………...

171 172 173


(6)

xiii

Halaman 3.1Rancangan Kuasi Eksperimen ...

3.2 Prosedur Penelitian………

81 106


(7)

xiv

1. Lampiran 01 Satuan Layanan Bimbingan ………. 196

2. Lampiran 02 Dokumentasi Penelitian………. 238

3. Lampiran 03 Hasil Pengolahan dan Analisis Data………. 245

4. Lampiran 04 Evaluasi Intrumen Program……….. 284

5. Surat Keterangan Penelitian……… 287

6. Surat Keterangan Bimbingan……….. 289


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia menuju kepribadian mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekitarnya. Berkaitan dengan Pendidikan, Musaheri (2007 : 48) mengungkapkan,” pendidikan dalam arti luas merupakan bantuan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk mengembangkan dan memfungsionalkan rohani (pikiran, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) manusia dan jasmani (pancaindera serta keterampilan-keterampilan) manusia agar meningkat wawasan pengetahuannya”. Jadi pendidikan tidak cukup terfokus pada aspek kognitif bahkan aspek non kognitif juga perlu mendapatkan perhatian karena kedua aspek ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan peserta didik. Pendidikan kognitif mengembangkan aspek intelektual, sedangkan aspek non kognitif membantu mengembangkan sikap dan keterampilan termasuk kepercayaan diri.

Maslow seorang psikolog terkenal (dalam Fika Widiastuti: 2009; 6) mengatakan bahwa “percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri sendiri. Sementara itu, kurang percaya diri dapat menghambat pengembangan potensi diri. Jadi orang yang kurang percaya diri akan menjadi seseorang yang pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan ragu-ragu untuk menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain”. Dapat dikatakan orang yang percaya diri adalah orang yang mandiri, yaitu


(9)

mampu untuk melakukan sesuatu dengan sendiri tanpa tergantung sepenuhnya pada orang lain. Memiliki percaya diri sangat berpengaruh dalam melakukan sosialisasi karena adanya kemampuan untuk mengenal, menghadapi bermacam-macam karakter orang, menginterpretasikan dan memberikan tanggapan yang tepat terhadap berbagai situasi sosial, serta mampu memadukan kebutuhannya sendiri dengan harapan orang lain atas dirinya. Suarni (2006: 133) menyatakan bahwa, dalam kehidupannya perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala yang bersumber dari dalam diri siswa seperti; perhatian, kecerdasan, motivasi, sikap, berpikir, ingatan, percaya diri, minat, bakat serta kepribadian. Faktor eksternal meliputi masyarakat, keluarga dan sekolah. Pendidikan itu dilakukan dalam tiga tempat untuk saling melengkapi, masyarakat selain berperan sebagai pemberi masukan dalam mengembangkan pendidikan, juga membantu menyediakan sarana dan prasarana belajar, sedangkan keluarga berperan sebagai peletak dasar bagi anak-anak. Keluarga merupakan faktor yang sangat penting dalam pembentukan watak manusia. Selain sebagai sumber pendidikan utama, keluarga juga sebagai tempat manusia melakukan interaksi sosial yang pertama dan nantinya ia mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan masyarakat. Selain keluarga sebagai tempat pendidikan anak, sekolah berperan melanjutkan pendidikan keluarga dengan memberi pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan akademis dan non akademis. Dalam UU Standar Pendidikan Nasional RI No: 20 / 2003 Bab I Ketentuan Umum ayat 2 tentang sitem Pendidikan tertera bahwa, ”semua proses pendidikan itu bertujuan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk


(10)

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara”.

Kenyataan di lapangan dalam proses belajar sering timbul berbagai permasalahan, seperti prestasi siswa yang kurang memuaskan, kurangnya keaktifan dan rendahnya minat siswa dalam pelajaran, gugup ketika harus berbicara di depan kelas, cenderung tergantung pada orang lain, misalnya saat mengerjakan tes selalu meminta bantuan orang lain, kebiasaan siswa mencontek, kurangnya percaya diri siswa dalam menghadapi ujian. Permasalahan ini merupakan bagian dari rendahnya kepercayaan diri siswa di sekolah. Kurang percaya diri adalah problem yang rumit dan sulit, merupakan konflik pribadi yang ditandai dengan perasaan tidak berharga, tidak diterima oleh orang lain dan merasa dirinya lebih rendah dari orang lain. Setiap orang yang memiliki rasa rendah diri memiliki dua cara untuk bereaksi menutupi rasa rendah dirinya yaitu dengan menyerah dan konpensasi. Menyerah berarti rasa rendah diri dianggap sebagai perbaikan terhadap kepercayaan diri sendiri yang dapat dicapai, sedangkan kompensasi disini mengambil berbagai bentuk salah satunya adalah kompensasi langsung yaitu menutupi rasa rendah diri dalam hal kekurangan yang ada pada dirinya (Angelis, 2003; 15). Apabila siswa yang memiliki percaya diri rendah tidak diantisipasi dengan metoda yang sesuai akan berdampak terhadap aspek perkembangan dalam hal interaksi sosial di lingkungan sekolah maupun masyarakat serta siswa akan selalu merasa ragu untuk melakukan sesuatu.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Kuswanto, pada siswa kelas II di SLTP 1 Mejobo Kudus Tahun Pelajaran 1999/2000, tentang kepercayaan


(11)

diri siswa melalui bimbingan pribadi dengan teknik kelompok memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sandra Dewi Mariana Jurusan Bimbingan dan Konseling Universitas Pancasakti Tegal pada Siswa Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Pagejugan Kabupaten Brebes Tahun Pelajaran 2008/2009. Hasil yang diperoleh terhadap penggunaan konseling kelompok untuk meningkatka kepercayaan diri sebesar 65% hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konseling kelompok efektif digunakan untuk meningkatkan percayaan diri siswa.

Dapat dikatakan percaya diri memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena percaya diri merupakan suatu proses pengembangan diri, ini dapat diperoleh bagi seseorang yang betul-betul mau dengan segala kemampuan dan kreatifitasnya untuk tampil sebagai sosok yang penuh percaya diri. Memang tidak mudah sekalipun telah memiliki motivasi yang kuat maka perlu diupayakan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan baik dan tentunya kebiasaan baik ini akan selalu berdampingan dengan percaya diri yang bisa dijadikan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar dengan baik. Artinya semakin tinggi percaya diri siswa untuk mau aktif dan kreatif dalam belajar maka semakin baik pula dalam melakukan kegiatan belajar. Demikian juga sebaliknya semakin rendah percaya diri siswa untuk mau mengunggulkan diri dalam belajar maka aktifitas belajarnyapun akan semakin rendah. Ini menunjukkan bahwa percaya diri sangat penting untuk dikaji dalam penelitian, sebab dengan mengetahui percaya diri siswa dalam belajar berarti peneliti secara dini telah menyusun upaya pembinaan yaitu


(12)

dengan memberikan bantuan berupa layanan yang sifatnya menumbuh kembangkan semangat dan percaya diri siswa dalam belajar.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan percaya diri siswa, apakah melalui bimbingan di sekolah maupun ekstrakurikuler. Berdasarkan informasi yang didapat dari siswa ketika peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan siswa di kelas XI IPA pada saat melakukan praktek lapangan di SMA Laboratorium UPI Bandung, upaya yang telah dilakukan oleh sekolah selama ini terkait dengan peningkatan percaya diri siswa belum begitu dirasakan oleh siswa, bahkan guru bimbingan dan konseling yang memegang kelas XI IPA pun mengatakan, bahwa secara umum pemberian layanan bimbingan konseling di sekolah disesuaikan dengan hasil ITP (Inventori Tugas Perkembangan) dan DCM (Daftar Cek Masalah) yang diperoleh dari masing-masing kelas. Akan tetapi usaha yang dilakukan tersebut tidak berhasil secara maksimal karena anak tetap menampakkan perilaku yang tidak percaya diri. Ketidak berhasilan tersebut kemungkinan diakibatkan karena penanganan yang kurang tepat sasaran sehingga permasalahan yang sebenarnya dari siswa tersebut tidak ditangani dengan baik.

Berdasarkan pemikiran tentang percaya diri siswa tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengangkat tema percaya diri sebagai bidang kajian. Untuk itu peneliti bermaksud menerapkan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

Kegiatan bimbingan kelompok yang dibentuk juga dapat membuat anggotanya lebih menghargai pendapat orang lain, dan lebih berani mengungkapkan pendapatnya secara bertanggungjawab. Apa yang disampaikan dalam bimbingan kelompok diharapkan lebih mengena


(13)

mengingat bentuk komunikasi yang dijalani bersifat multi arah. Bimbingan kelompok dalam penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan percaya diri siswa, melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, sikap yang menunjang diwujudkanya tingkah laku yang lebih efektif. Permainan merupakan cara bagi anak untuk memeperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu, melalui permainan ini akan menumbuhkan anak untuk melakukan eksplorasi, melatih imajinasi, memberikan peluang untuk berinteraksi dengan teman disekitarnya, mengambangkan kemampuan berbahasa, kata-kata, serta membuat belajar yang dilakukan sebagi proses belajar yang sangat menyenangkan. Melalui kegiatan bermain dapat melatih siswa baik secara kognitif, afektif dan psikomotor. Mengingat banyaknya manfaat yang dimunculkan dari permainan-permainan, berikut beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pentingnya bermain dalam aktivitas pembelajaran diantaranya:

Ahman, dkk (1998) melakukan penelitian tentang efektivitas bermain peran sebagai model bimbingan dalam mengembangkan keterampilan sosial anak berkemampuan unggul. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, tes kemampuan akademik, pemeriksaan psikologis dan sosiomatri. Penemuan penelitiannya menunjukkan bahwa model bermain peran efektif untuk dijadikan model bimbingan dalam mengembangkan keterampilan sosial anak berkemampuan unggul. Dalam dimensi proses, bermain peran telah membantu siswa memperoleh pengalaman yang berharga melalui aktivitas interaksional dengan teman-temannya. Anak belajar memberikan masukan atas peran orang lain, dan menerima masukan dari orang lain. Di samping dapat menimba


(14)

pengalaman mengenai cara-cara menghadapi masalah, melalui bermain peran, para siwa dapat melatih diri menerapkan prinsip-prinsip demokratis, sedangkan dari dimensi produk, bermain peran dapat diharapkan dapat mereduksi bahkan menyembuhkan kebiasaan anak mencontek.

Solehuddin, dkk (1997) menyatakan bahwa meski tidak berorientasi kepemerolehan tujuan tertentu, guru mempercayai kalau bermain memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan fisik dan perilaku motorik serta perkembangan sosial, aktivitas anak. Sebagian kecil dari mereka juga mempercayai kalau bermain memiliki nilai positif bagi perkembangan kognisi dan kesiapan belajar anak.

Yustiana (1999) melakukan penelitian tentang pengalaman belajar awal yang bermakna bagi anak melalui aktivitas bermain, dengan subjek peneliti siswa SD kelas rendah (1, 2, dan 3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan implementasi bermain dalam proses belajar bernuansa bimbingan menstimulasi siswa mengembangkan dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Aktualisasi potensi berbentuk prestasi dan kemampuan mental (perilaku baru) sebagai dampak pengiring. Melalui implementasi aktivitas bermain siswa belajar secara bermakna, siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan akademik tetapi juga keterampilan psikologis yang dibutuhkan pada tahap perkembangan dan tingkatan pendidikan yang lebih tinggi. Pemilihan bentuk dan jenis permainan yang digunakan dalam kegiatan layanan sangat bergantung pada kepekaan perilaku yang diharapkan terjadi pada siswa serta kreativitas guru dalam memanfaatkan fasilitas yang ada.


(15)

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cucu Sutisna (2010) tentang peningkatan kepercayaan diri siswa melalui strategi layanan bimbingan kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bimbingan kelompok efektif digunakan untuk meningkatkan percaya diri siswa.

Justine Howard (2010) salah satu tokoh psikologi di Open University/Mc Graw Hill dalam jurnalnya tentang “Game Techniques in improving the understanding, planning and practicing self-confidence” artinya; Teknik permainan dalam meningkatkan pemahaman, perencanaan dan melatih kepercayaan diri, mengatakan bahwa kepercayaan diri pada siswa dapat ditingkatkan melalui permainan, karena melalui permainan akan dapat membentuk sebuah dinamika kelompok yang efektif.

Berdasarkan beberapa hasil peneliti terdahulu, maka posisi pada penelitian ini sebagai bentuk penguatan yaitu dengan menguji kembali keefektivan permainan dalam meningkatkan percaya diri siswa, sebagai bentuk perbandingan dengan teori sebelumnya.

Menyadari begitu banyak maanfaat yang diperoleh setelah melaksanakan permainan, maka peneliti memfokuskan pada penggunakan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa kelas XI SMA Laboratorium UPI Bandung Tahun Ajaran 2010/2011.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang disusun dinyatakan bahwa percaya diri adalah hal yang sangat penting bagi remaja/siswa. Berdasarkan pra penelitian diperoleh data bahwa hampir 50% siswa kelas XI kurang percaya diri. Gejala yang


(16)

nampak yaitu; siswa menunjukkan rasa takut, malu, kebiasaan mencontek, kecemasan dalam menghadapi sesuatu yang berpengaruh terhadap emosi yang dimiliki siswa dan tidak bersemangat pada saat mengikuti pelajaran di kelas. Hal ini dapat dilihat dari perilaku siswa yang nampak pada kesehariannya dalam mengikuti kegiatan belajar di kelas seperti; jika diberikan tugas pekerjaan rumah sering tidak di kerjakan, pada saat diberikan kesempatan untuk bertanya terhadap materi atau tugas yang dibahas mereka lebih banyak diam, dan tidak ada usaha bersaing dengan teman di kelas. Perilaku yang dimunculkan oleh para siswa adalah pencerminan dari mereka yang kurang memiliki rasa percaya diri dalam belajar sehingga akan berdampak terhadap nilai yang diperolehnya dalam belajar

Salah satu tujuan layanan bimbingan dan konseling di SMA ialah membantu siswa untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pencapaian tugas perkembangan, yakni tugas perkembangan pada masa remaja. Adanya kesulitan yang dialami siswa SMA dalam mencapai tugas perkembangannya alasannya karena pelayanan bimbingan dan konseling yang telah diberikan guru pembimbing di sekolah selama ini belum banyak membantu. Permasalahan ini bukan hanya disebabkan dari tenaga pelaksana itu sendiri melainkan lebih banyak disebabkan oleh isi, proses, dan teknik layanan yang diberikan guru pembimbing. Apakah layanan bimbingan yang diberikan guru telah sesuai atau belum dengan kebutuhan dan harapan siswa. Tugas perkembangan pada masa SMA yang dikatakan sebagai masa remaja meliputi pencapaian dan persiapan yang berhubungan dengan masa dewasa yaitu mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dan mencapai tingkah laku sosial yang bertangung jawab, dengan melakukan suatu interaksi di dalam kelompok mereka akan dapat mengembangkan dirinya sendiri.


(17)

Jika suasana dalam kelompok dikelola dengan baik kemungkinan hal itu akan berkontribusi positif terhadap perkembangan diri remaja khususnya. Dengan demikian layanan bimbingan dan konseling dapat memanfaatkan situasi kelompok ini sebagai media untuk memberikan bantuan kepada siswa.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalah tersebut di atas, maka peneliti menggunakan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa. Adapun rumusan masalahnya yaitu:

a. Profil percaya diri siswa kelas XI SMA Laboratorium percontohan UPI Bandung.

b. Gambaran percaya diri siswa sebelum dan sesudah diberikan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

c. Program penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

d. Efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

D. Tujuan Penelitian.

Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Profil percaya diri siswa kelas XI SMA Laboratorium percontohan UPI

Bandung.

b. Gambaran percaya diri siswa sebelum dan sesudah diberikan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.


(18)

c. Program penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

d. Efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa.

E. Asumsi Penelitian.

Adapun asumsi yang melandasi penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri eksplorasi segala kemampuan dalam diri (Maslow, 1970: 245).

2. Bimbingan kelompok sebagai bentuk khusus dari layanan bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bimbingan dan konseling yang khas, karena dalam proses kegiatannya dilaksanakan lebih dari dua orang, demikian juga dalam aspek pertemuan tatap muka yang tergabung dalam suatu kelompok.

3. Bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis, artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan dan kemampuan tertentu pada anak (Plato dan Aristoteles)

4. Saat permainan dipandang sebagai suplemen yang bermanfaat untuk digunakan sesekali dalam rangka penguatan dan pengukuhan pembelajaran, permainan-permainan dapat dapat menduduki posisi yang tepat dalam peranannya sebagai “pembantu“ pencapaian tujuan program (Nandang Rusmana, 2009:21).


(19)

F. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan asumsi dasar di atas, maka dapat dikemukakan perumusan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Penggunaan Teknik Permainan dalam Bimbingan Kelompok Efektif Untuk Meningkatkan Percaya Diri Siswa Kelas XI SMA Laboratorium percontohan UPI Bandung Tahun Ajaran 2010/2011. Hipotesis statistiknya adalah Ho: β = 0 dan H1: β ≠ 0

G. Manfaat Penelitian

Signifikansi penelitian yang dimaksud dalam hal ini adalah manfaat atau kegunaan hasil penelitian yang ditemukan, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaat yang teoritis berkaitan dengan pengembangan teori dan konsep tentang bimbingan dan konseling, khususnya dalam pelaksanaan bimbingan kelompok, sedangkan manfaat praktis berkaitan dengan hasil penelitian adalah untuk mendukung dan memfasilitasi konselor sekolah atau guru pembimbing untuk menjalankan tugas-tugasnya.

1. Manfaat Teoritis.

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori tentang dasar-dasar dan landasan konseptual penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Dalam jangkauan lebih luas penelitian ini memberikan kontribusi terhadap khazanah keilmuan dan memberikan wawasan bagaimana memberikan intervensi


(20)

bimbingan dan konseling khususnya dalam pelaksanaan permainan dalam kelompok.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, jika dalam penelitian penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok sebagai pendekatan yang efektif digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa, maka penelitian ini akan memberikan sumbangan sebagai salah satu pendekatan teknik konseling sebagai alternatif untuk mendukung kerja guru pembimbing atau konselor sekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling kelompok.


(21)

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG

BIMBINGAN KELOMPOK, PERMAINAN DAN PERCAYA DIRI SISWA

A. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok 1. Pengertian Bimbingan Kelompok

Kelompok merupakan suatu sistem interaksi yang berpotensi menyediakan atau memenuhi kebutuhan individu untuk: a) memiliki dan diterima, b) pertukaran pengalaman, c) kesempatan kerjasama, dan d) disahkan melalui umpan balik diantara anggota kelompoknya maka dari itu wajar jika seorang konselor dituntut untuk membangun kelompok yang kondusif bagi para anggotanya, sehingga mendorong anggota kelompok lainnya untuk mengembangkan buah pikiran dalam satu kelompok.

Marvin Shaw (Myer; 1996:314, dalam Rustianti 2008;11) mengungkapkan bahwa kelompok adalah dua atau lebih yang dalam waktu beberapa lama (bukan hanya sesaat) saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas tampak bahwa salah satu ciri umum yang harus dimiliki kelompok adalah adanya interaksi dan saling mempengaruhi antara anggota kelompok. Kaitannya dengan bimbingan, seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa pengertian bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan atau pertolongan kepada individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan, dan menyusun rencana sesuai


(22)

dengan konsep diri sendiri dan tuntutan dari lingkungannya, maka pengertian bimbingan kelompok sebagai berikut:

Bimbingan kelompok merupakan suatu sistem pemberian layanan bantuan yang amat baik untuk membantu mengembangkan kemampuan pribadi, pencegahan, dan menangani konflik-konflik pribadi dan pemecahan masalah (Rohman Natawijaya (1987), Larabec dan Terres (1984), (1984), Bazda (1984) dalam Suherman (2003:9), dalam Rustianti (2008:11).

Istilah bimbingan kelompok dalam pengertian yang sederhana adalah bimbingan yang diterapkan terhadap sekelompok individu, di samping istilah bimbingan kelompok seringkali dikaitkan dengan bagian dari program bimbingan dan dilaksanakan dalam rangka bimbingan belajar dari individu-individu siswa, dengan bimbingan dari konselor atau pembimbingnya.

Secara konseptual dan praksis layanan bimbingan meliputi dua layanan, yaitu layanan bimbingan individual dan bimbingan kelompok. Bimbingan individual diartikan sebagai hubungan timbal batik antara seorang konselor dengan klien untuk mencapai pemahaman tentang dirinya sendiri, dalam hubungannnya dengan permasalahan, perkembangan, dan pengambilan keputusan dirinya untuk saat ini dan saat yang akan datang.

Gazda (1984: 6)mengungkapkan bahwa;

“Group Guidance was organized to prevent the development of problems. The content included educational-vocational-personalsosial information not otherwise systematically taught in academic courses”

Sukardi (2002: 48) menjelaskan bahwa: Layanan bimbingan kelompok adalah layanan yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara


(23)

bersama-sama memperoleh bahan dari narasumber tertentu (terutama guru pembimbing atau konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupan sehari-hari baik individu sebagai pelajar, anggota keluarga, dan masyarakat serta untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Wingkel (2004: 71) mengatakan bahwa “bimbingan adalah proses

membantu orang perorang dalam memahami dirinya sendiri dan

lingkungannya”, selanjutnya dinyatakan bahwa “kelompok berarti kumpulan dua orang atau lebih”.

Pendapat lain mengatakan bimbingan kelompok merupakan bantuan terhadap individu yang dilaksanakan dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok dapat berupa penyampaian informasi maupun aktifitas kelompok membahas masalah-masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. Bimbingan kelompok dilaksanakan dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kecil (2-6 orang), kelompok sedang (13-20 orang), dan kelompok kelas (20-40 orang). Juntika Nurhisan (2006; 24 ).

Bimbingan kelompok merupakan teknik bimbingan yang menggunakan pendekatan dalam upaya member bantuan kepada individu. Yang dimaksud dengan pendekatan kelompok adalah penggunaan situasi interaksi sosial-psikologis yang terjadi dalam kelompok untuk keperluan pencapaian tujuan bimbingan.

Berdasaran definisi dari para ahli tersebut, dapat diambil beberapa karakterristik bimbingan, yakni :


(24)

a. Bimbingan adalah usaha pemberian bantuan

b. Bimbingan diberikan pada orang-orang dari berbagai rentang usia c. Bimbingan diberikan oleh tenaga ahli

d. Bimbingan bertujuan untuk perbaikan kehidupan orang yang dibimbing, yaitu untuk : 1) mengatur kehidupan sendiri, 2) mengembangkan atau memperluas pandangan, 3) menetapkan pilihan, 4) mengambil keputusan, 5) memikul beban kehidupan, 6)menyesuaikan diri, dan 7) mengembangkan kemampuan.

e. Bimbingan dilaksankan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi f. Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan secara keseluruhan.

Dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik tersebut dapatlah dirumuskan makna dari istilah bimbingan, yaitu suatu upaya memfasilitasi individu (siswa) agar memperoleh pemahaman dan pengarahan diri yang diperlukan untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkunag sekolah, keluarga maupun masyarakat, sehingga akhirnya mereka dapat mengembangkan dirinya secara optimal.

Dalam pelaksanaannya kegiatan bimbingan dapat dilakukan secara individual dan kelompok. Dalam situasi tertentu dimana suatu masalah tidak dapat ditangani secara individual, situasi kelompok dapat dimanfaatkan untuk menyelenggarkan layanan bimbingan bagi siswa. Sasaran utama dalam bimbingan kelompok pada hakekatnya sama dengan sasaran dalam bimbingan pada umumnya yaitu individu. Individu yang dimaksud bisa beriupa individu sebagai bagian dari kelompok atau semua individu yang


(25)

tergabung dalam kelompok. Bimbingan kelompok menggunakan situasi kelompok sebagai media untuk memberikan layanan bantuan kepada individu. Berdasarkan pemaparan tersebut, bimbingan kelompok dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota belajar berpartisifasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap maupun keterampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau upaya pengembangan pribadi.

2. Keuntungan Bimbingan Kelompok

Ada beberapa keuntungan yang mendukung diselenggarakannya bimbingan kelompok, yakni sebagai berikut (Rochman Nanawidjaja, 1986 : 105-106) :

a. Bimbingan kelompok lebih bersifat efektif dan efisien

b. Bimbingan kelompok dapat memanfaatkan pengaruh-pengaruh seseorang atau beberapa orang individu terhadap kelompok lainnya c. Dalam bimbingan kelompok terjadi saling tukar pengelaman di antara

para anggotanya yang dapat berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku individu

d. Bimbingan kelompok dapat merupakan awal dari konseling individual, sehingga bimbingan kelompok dapat dimanfaatkan untuk mempersiapkan individu yang akan mendapat layanan konseling


(26)

e. Bimbingan kelompok dapat menjadi pelengkap dari teknik konseling individual, dalam arti sebagai layanan tindak lanjut dari konseling individual

f. Bagi kasus-kasus tertentu, bimbingan kelompok dapat digunakan sebagai substitusi, yakni dilaksanakan karena kasus tidak dapat ditangani dengan tenik lain

g. Dalam bimbingan kelompok terdpat kesempatan untuk mnyegarkan watak/ pikiran.

Winkel dan Hastuti (2006; 565-566) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok dijenjang pendidikan menengah atas mempunyai manfaat, baik bagi tenaga bimbingan professional sendiri maupun bagi siswa. Adapun kegunaan bimbingan kelompok adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan bagi pembimbing

1) Mendapatkan kesempatan untuk mengontrak dengan banyak siswa sekaligus dia menjadi terkenal.

2) Menghemat waktu dan tenaga dalam kegiatan, yang dilakukan dalam suatu kelompok, misalnya memberikan informasi yang memang dibutuhkan oleh siswa.

3) Memperluas ruang geraknya, lebih-lebih bila jumlah tenaga professional (guru pembimbing di sekolah hanya satu atau dua orang).


(27)

b. Kegunaan bagi siswa.

1) Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi, sehingga mereka memutuskan untuk berwawancara secara pribadi dengan konselor atau guru pembimbing.

2) Lebih rela menerima dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa teman-temannya sering menghadapi persoalan, kesulitan dan tantangan yang kerap kali sama, lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam kelompok.

3) Diberi kesempatan untuk mendiskusikan sesuatu secara bersama, dengan demikian mendapat latihan untuk bergerak dalam suatu kelompok, yang akan dibutuhkan selama hidupnya, lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat bila dikemukakannya oleh seorang teman.

4) Tergolong untuk mengatasi masalah yang dirasa sulit untuk dibicarakan secara langsung dengan konselor atau guru pembimbing, misalnya karena malu atau bersifat pemalu.

Selanjutnya James L Muro & Terry Kottman (dalam Ediya Permana: 2009;22) mengemukakan bahwa keuntungan bimbingan dan konseling kelompok adalah sebagai berikut;

a. Membantu anggota kelompok untuk mengetahui dan memahami dirinya sendiri maupun orang lain untuk membantu proses mencari identitas. b. Menjadikan pemahaman diri dan penerimaan diri.


(28)

c. Mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan interpersonal agar orang tersebut mampu melaksanakan tugas-tugas perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

d. Meningkatkan pengembangan diri, pemecahan masalah, dan keterampilan mengambil keputusan, dan kemampuan tersebut dapat digunakan dalam interaksi sosial.

e. Mengembangkan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang dapat meningkatkan tanggungjawab perilaku seseorang.

f. Pribadi yang utuh, selaras antara pikiran dan rasa, mengatakan apa yang dia maksud.

g. Saling menolong antar anggota

Kegiatan utama bimbingan kelompok bagi siswa, seperti yang dikemukakn oleh olusakin 2008 (dalam Ediya Permana : 2009;23), adalah sebagai berikut;

a. To provide students a means of sharing information on topics such as carrer information, study skllis, and other common challenges.

b. To help students develop skllis for program such as peer

helping, peer tutoring and conflict resolutions/management.

c. To help students develop knowledge and learn personal

management and social skllis such coping with feelings,

dealing with peer pressure, goal -setting, problem-solving, and communication skllis.

Bimbingan kelompok memiliki sifat yang beragam, mulai dari yang

bersifat informative sampai pada yang sifatnya teurapeutik. Sedangkan dalam prakteknya, bimbingan kelompok dapat dilakukan melalui berbagai teknik seperti diskusi, simulasi, latihanm karyawisata, homeroom program, dan sosiodrama.


(29)

Dalam mengupayakan pemberian bantuan yang optimal bagi siswa, penting bagi konselor membedakan penggunaan bimbingan kelompok dan konseling kelompok. Berkut ini adalah perbedaan antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok ditinjau dari beberapa aspek.

Tabel 2.1

Perbedaan Bimbingan Kelompok dengan Konseling Kelompok

Aspek Bimbingan Kelompok Konseling Kelompok

Tujuan dan Fungsi - Pencegrah masalah - Pengembangan Pribadi

- Pemecahan masalah pribadi - Pencegahan masalah

- Pengembangan pribadi Jumlah Angggota 2 – 15 anggota 2 – 7 anggota

Karakteristik Anggota

Heterogen - homogen Homogen Bentuk Kegiatan Permainan - Instruksional Transaksional

Peran Pembimbing Fasilitator - Tutor Fasilitator - Teurapis Peran Anggota Aktif membahas topik yang

relevan dan bermanfaat bagi pencegahan masalah atau pengembangan pribadi

Aktif membahas masalah prtibadi serta bergai dalam memecahkan masalahorang lainatau dalam upaya pengembangan pribadi anggota

Suasana Interaksi - Interaksi multiarah

- Aktif bernuansa intelektual, pencerahan dan pendalaman

- Interaksimulti arah

- Aktif bernuansa intelektual, afeksional dan emosional Teknik yang

digunakan

Sosio - edukasional Psiko - edukasional Sifat dan Materi

Pembicaraan

- masalah umum (melebar) - tidak memuat rahasia pribadi

- masalah pribadi

(mendalam)

- Memuat rahasia pribadi

Lama dan

Frekuensi Kegiatan

Sesuai dengan tingkat pemahaman anggota tentang topic masalah

Sesuai dengan tingkat ketuntasan pemecahan masalah individual anggota Evaluasi Keterlibatan, pemahaman isi

dan dampak terhadap anggota kelompok

Keterlibatan, kedalaman dan dampak terhadap ketuntasana pemecahan masalah individual anggota


(30)

3. Manfaat Bimbingan Kelompok

Bimbingan kelompok sebagai suatu system interaksi antar individu yang mempermudah pertumbuhan dan perkembangan bahkan memecahkan permasalahan individu, memiliki sifat keterbukaan yang luas bagi anggotanya untuk memahami diri sendiri, orang lain, lingkungan dengan segala karakteristik dan tuntutannya, serta dorongan untuk merasa bermanfaat bagi lingkungannya.

Manfaat bimbingan kelompok menurut Dewa Ketut Sukardi (2008: 67) yaitu : 1) melalui bimbingan kelompok memberikan kesempatan yang luas untuk berpendapat dan membicarakan berbagai hal yang terjadi disekitarnya, 2) memiliki pemahaman yang obyektif, tepat, dan cukup luas tentang berbagai hal yang mereka bicarakan, 3) menimbulkan sikap yang positif terhadap keadaan diri dan lingkungan mereka yang berhubungan dengan hal-hal yang mereka bicarakan dalam kelompok, 4) menyusun program-program kegiatan untuk mewujudkan penolakan terhadap yang buruk dan dukungan terhadap yang baik, 5) melaksanakan kegiatan-kegiatan nyata dan langsung untuk membuahkan hasil sebagaimana yang mereka programkan semula.

Winkel & Sri Hastuti (2004: 565) juga menyebutkan manfaat layanan bimbingan kelompok adalah: 1) mendapat kesempatan untuk berkontak dengan banyak siswa, 2) memberikan informasi yang dibutuhkan oleh siswa, 3) siswa dapat menyadari tantangan yang akan dihadapi, 4) siswa dapat menerima dirinya setelah menyadari bahwa teman-temannya sering


(31)

menghadapi persoalan, kesulitan dan tantangan yang kerap kali sama, 5) lebih berani mengemukakan pandangannya sendiri bila berada dalam kelompok, 6) diberikan kesempatan untuk mendiskusikan sesuatu bersama, 7) lebih bersedia menerima suatu pandangan atau pendapat bila dikemukakan oleh seorang teman daripada yang dikemukakan oleh seorang konselor.

Menurut beberapa pendapat para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa manfaat dari layanan bimbingan kelompok adalah dapat melatih siswa untuk dapat hidup secara berkelompok dan menumbuhkan kerjasama antara siswa dalam mengatasi masalah, melatih siswa untuk dapat mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain dan dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat berkomunikasi dengan teman sebaya dan pembimbing.

4. Dinamika Kelompok

Dalam kegiatan bimbingan kelompok dinamika bimbingan kelompok sengaja ditumbuhkembangkan, karena dinamika kelompok adalah hubungan interpersonal yang ditandai dengan semangat kerja sama antar anggota kelompok, saling berbagi pengetahuan, pengalaman dan mencapai tujuan kelompok. Hubungan yang interpersonal inilah yang nantinya akan mewujudkan rasa kebersamaan di antara anggota kelompok, menyatukan kelompok untuk dapat lebih menerima satu sama lain, lebih saling mendukung dan cenderung untuk membentuk hubungan yang berarti dan


(32)

bermakna di dalam kelompok. Dinamika kelompok merupakan jiwa yang menghidupkan dan menghidupi suatu kelompok.

E d . E Ja c o bs , H a rv i i l , R o be r t L Ma ss o n ( 1 9 9 3 : 3 2) mendeskripsikan dinamika kelompok sebagai suatu bidang terapan yang dimaksudkan untuk peningkatan pengetahuan tentang sifat/ciri kelompok, hukum perkembangan, interelasi dengan anggota, dengan kelompok lain, dan dengan anggota yang lebih besar. Selanjutnya Jacobs dkk (dalam Wibowo, 2005: 62) menyatakan bahwa dinamika kelompok mengacu kepada sikap dan interaksi pemimpin serta anggota kelompok. Dinamika kelompok sebagai kekuatan operasional suatu kelompok akan memicu adanya proses kelompok dalam melakukan pertukaran semangat dan interaksi diantara anggota dan pemimpin kelompok.

Menurut Prayitno (1995: 22), faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kelompok antara lain tujuan dan kegiatan kelompok; jumlah anggota; kualitas pribadi masing-masing anggota kelompok; kedudukan kelompok; dan kemampuan kelompok dalam memenuhi kebutuhan anggota untuk saling berhubungan sebagai kawan, kebutuhan untuk diterima, kebutuhan akan rasa aman, serta kebutuhan akan bantuan moral.

Kehidupan kelompok dijiwai oleh dinamika kelompok yang akan menentukan gerak dan arah pencapaian tujuan kelompok. Dinamika kelompok ini dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok memanfaatkan dinamika kelompok sebagai media dalam upaya membimbing anggota kelompok dalam mencapai tujuan.


(33)

Dinamika kelompok unik dan hanya dapat ditemukan dalam suatu kelompok yang benar-benar hidup. Kelompok yang hidup adalah kelompok yang dinamis, bergerak dan aktif berfungsi untuk memenuhi suatu kebutuhan dan mencapai suatu tujuan.

Dalam bimbingan kelompok, dengan memanfaatkan dinamika kelompok, para anggota kelompok mengembangkan diri dan memperoleh keuntungan lainnya. Arah pengembangan diri yang dimaksud terutama adalah dikembangkan kemampuan-kemampuan sosial secara umum yang selayaknya dikuasai oleh individu yang berkepribadian mantap. Keterampilan berkomunikasi secara efektif, sikap tenggang rasa, memberi dan menerima toleransi, mementingkan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan sikap demokratis, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial seiring dengan kemandirian yang kuat, merupakan arah pengembang pibadi yang dapat dijangkau melalui diaktifkannya dinamika kelompok itu. Melalui dinamika kelompok, setiap anggota kelompok diharapkan mampu tegak sebagai perorangan yang sedang mengembangkan kediriannya dalam hubungan dengan orang lain. Ini tidak berarti bahwa kedirian seseorang lebih ditonjolkan daripada kehidupan kelompok secara umum. Dinamika kelompok akan terwujud dengan baik apabila kelompok tersebut, benar-benar hidup, mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai, dan membuahkan manfaat bagi masing-masing anggota kelompok, juga sangat ditentukan oleh peranan anggota kelompok.


(34)

5. Prosedur dan Langkah-langkah Bimbingan Kelompok

Tidak ada langkah-langkah baku yang dapat diterapkan dalam bimbingan kelompok. Langkah-langkah dalam bimbingan kelompok ditentukan oleh orientasi teoritis yang menjadi dasar penerapan model. Dalam hal ini yang menjadi dasar penerapan bimbingan kelompok yaitu model konseling kelompok yang dikemukakan oleh Gladding (1995). Menurut Gladding (1995) ada empat langkah utama yang harus ditempuh dalam melaksanakan konseling kelompok, yaitu : 1) langkah awal (Beginning a Group); 2) langkah Transisi (The Transition Stage in a Group); 3) langkah kerja (The working Stage in a Group); dan 4) langkah terminasi (Termination of a Group). Menurut Galadding (1999) empat langkah konseling yang dikemukakannya selaras dengan langkah-langkah dinamika kelompok dari Tuckman, yakni forming, storming, norming, performing, dan enjourning.

a. Tahap Awal (Beginning a Group)

Menurt Gladding (1999) langkah awal konseling (beginning) parallel dengan langkah pembentukan kelompok (forming) dari Tuckman. Dalam pelaksanaan pembetukan kelompok konselor perlu mempertimbangkan : 1) tahapan-tahapan pembentukan kelompok (step in the forming stage); 2) tugas-tugas pembentukan kelompok (task of beginning group); 3) potensi masalah pembetukan kelompok(resolving potenstial group in forming); 4) prosedur pembentukan kelompok (useful procedures for beginning stages of agroup).


(35)

1) Tahapan-tahapan pembentukan kelompok

Pembentukan kelompok merupakan tahap yang peling penting dalam proses konseling kelompok. Menurut Gladding (1999) keberhasilan dalam melakukan pembentukan kelompok akan sangat menentukan efektivitas konseling. Oleh karena itu konselor perlu melaksanakan pembentukan kelompok dengan langkah-langkah dan tahapan yang akurat, sistematis dan berkesinambungan. Menurut Gladding (1999) ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melaksanakan proses pembentukan kelompok yakni: a) mengembangkan alasan-alasan pembentukan kelompok (developing a rationale for the group); b) menentukan format teoritis (deciding on a theoretical format); c) menentukan kerangka kerja (practical cobsideration); d) melakukan publikasi kelompok (publizing the goup); dan e) melakukan persiapan latihan (pretraining) dan f) melakukan seleksi anggota dan pendamping kelompok (selection of members and leaders).

2) Tugas-tugas pembentukan kelompok

Menurt Gladding (1999) tugas pertama dalam memulai kelompok adalah para anggota kelompok melakukan kesepakatan tentang permasalahan apa yang akan dibahas. Pada intinya, permasalahan yang diangkat sebagai focus konseling bersumber dari kecemasan yang ditampilkan oleh anggota kelompok. Meskipun permasalahan yang diangkat adalah masalah individual, namun karena akan dipecahkan secara bersama-sama maka masalah itu perlu menjadi masalah bersama. Target


(36)

kedua yang akan dicapai dalam sesi awal konseling adalah menetapkan tujuan dan melakukan kontrak. Selanjutnya para anggota kelompok perlu menetapkan aturan sebelum dan selam proses kelompok berlangsung. Aturan ini merupakan pedoman bertindak anggota kelompok dalam melakukan proses konseling.

3) Potensi masalah pembentukan kelompok

Masalah anggota kelompok yang mungkin dijumpai adalah adanya tipologi dan strereotype individual anggota kelompok yang beragam. Menurut Kline dalam Gladding (1999), topologi orang yang dijumpai dalam kelompok adalah :a) manipulators; b) resisters; c) monopolizers; d) silences members; e) user of sarcasems; dan f) focuse on other.

4) Prosedur pembentukan kelompok

Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dalam proses pembentukan kelompok, konselor hendaknya melakukan upaya merumuskan prosedur yang tepat dalam melakukan proses awal konseling. Menurut Gladding (1999) sesungghnya tidak ada satu cara atau metode yang tepat yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang berkenaan dengan awal konseling. Secara umum, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pegangan dalam memuali suatu kelompok, yaitu : a) kerjasama (joining), b) kesepadanan (linking); c) menghentikan atau memutuskan pembicaraan (Cutting Off); d) lebih menjelaskan (drawing Out); e) memperjelas maksud (Clarifying the Purpose).


(37)

b. Tahap Transisi (Transition Stage)

Tahap transisi adalah periode kedua pasca pembentukan kelompok dan merupkan tahap awal sebelum memasuki tahap kerja. Di dalam konseling kelompok biasanya berlangsung 12-15 sesi, tahap transisi ini kira-kira memakan waktu 5-20 % dari keseluruhan proses konseling. Masa transisi ditandai dengan adanya tahapan forming dan norming. Tahap storming atau disebut juga periode pancaroba/ kacau balau adalah masa terjadinya konflik dalam kelompok. Konflik dalam kelompok tejadi karena adanya kekhawatiran anggota kelompok dalam memasuki proses konseling. Biasanya kekhawatiran muncul karena kelompok enggan untuk bergerak dari ketegangan primer (kekakuan ssat berada dalam sitausi yang asing) menuju ketegangan sekunder (konflik dalam kelompok).

Kegagalan dalam dalam mengatasi tahap kacau balau ini akan berakibat pada terhentinya proses konseling. Oleh karena itu menurut Gladding (1999) konselor perlu mengatasinya dengan upaya sebagai berikut :

1) Peningkatan hubungan anggota Kelompok

Dalam rangka meningkatkan hubungan anggota kelompok konselor perlu mengembangkan kepemimpinan dan menunjukan kekuasaan yang terbuka dan asertif.

2) Resistensi

Resistensi didefinisikan sebagai perilaku kelompok untuk menghindari daerah yang tidak nyaman dan situasi konflik. Resistensi biasanya


(38)

meningkat pada awal periode kekacauan. Bentuk resistensi ada dua jenis yaitu resistensi langsung dan resistensi tidak langsung.

3) Task Processing

Menurut Gladding (1995) cara atau metode yang dapat digunakan untuk membantu anggota kelompok mengatasi kekacauan adalah : a) mengatai perasaan mereka dengan memotivasi untuk berinterkasi secara terbuka dan bebas; b) menyadarkan anggota bahwa kekacauan dalam kelompok merupakan hal yang wajar; c) meminta umpan balik dari anggota mengenai kondisi mereka sat ini dan apa yang mereka piker perlu dilakukan.

Tahap berikutnya pada masa transisi adalah norms and norming. Menurut Gladding (1995) tahap norms and Norming dibagi ke dalam tiga tahap yakni; 1) Peer Relationship; 2) Task Processing; 3) Examining Aspects of Norming; d) Promoting Norming; e) Results of Norming. Selama periode norming beberpa perubahan penting terjadi dalam hubungan antar teman. Interaksi antar teman ini dapat digambarkan melalui : 1) idenifikasi; 2) variabel eksistensial; 3) harapan; 4) kooperasi; 5) kolaborasi; dan 6) kohesi.

c. Tahap Kerja (Performing Stage)

Perhatian utama dalam tahap kerja adalah produktifitas kinerja. Masing-masing anggota kelompok terfokus pada peningkatan kualitas kerja untuk mencapai tujuan individu dan kelompok. Ada tiga cara untuk mencapai produktivitas yang tinggi di antarannya adalah : 1) saling memuji keunggulan


(39)

masing-masing anggota kelompok; 2) role playing; 3) home work (pekerjaan rumah).

Beberapa strategi yang dapat digunakan untuk dalam fase kerja ini di antaranya adalah : 1) Modeling, 2) Exercise, 3) Group observing group, 4) Brainstorming, 5) Nominal-group technique, 6) Synectics, 7) Written projection, 8) Group processing.

d. Tahap Terminasi (Termination Stage)

Menurut glading (1995) tahap terminasi adalah tahap yang tidak kalah pentingnya dengan tahap pembentukan kelompok. Dalam pembentukan kelompok, setiap anggota kelompok berusaha untuk saling mengenal dan memahami karakteristik masing-masing anggota kelompok; dalam tahap terminasi anggota kelompok mencoba untuk mengenal dan memahami lebih dalam lagi. Tahap terminasi dalam konseling kelompok dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu : 1) Preparing for Termination, 2) Effect of Terminaton on Individual, 3) Premature Termination, 4) Terminationof Group Sessions, 5) Terminationof a Group, 6) Problem inTreminations, 7) Folow-up Session

B. Konsep Dasar Permainan 1. Pengertian Permainan

Definisi tentang bermain telah menjadi perdebatan di kalangan para ahli sejak 50 tahun yang lalu, akan tetapi sampai saat ini tidak ada satupun definisi yang dapat diterima secara universal. Mitchel & Mason (1948, dalam Dockett & Fleer, 2000 dalam Masnipal, 2008: 56) mencatat selama


(40)

tahun 1948 mendapat 30 definisi dari pengarang yang sama. Sejak saat itu definisi-definisi tersebut terus mengalami perubahan. Kedua para ahli tersebut bahkan pernah menbandingkan definisi puluhan definisi dari para ahli, antara lain dari Scashore, Freobel, Hall, Groos, Dewey, akan tetapi dari definisi-definisi tersebut mengimplikasikan perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan bermain. Kesulitan dalam

mendefinisikan karena kata “bermain (play)” digunakan dalam berbagai

cara. Namun demikian, setidaknya bermain mengandung unsur mental state, menekankan sikap dari bermain, menggunakan bahasa, bentuk komunikasi, dan playfulness (Dockett & Fleer, 2000 dalam Masnipal, 2008: 56). Saracho & Spodek (dalam Masnipal, 2008: 57), menawarkan beberapa kreteria bermain, yaitu (1) bahwa bermain didorong oleh kepuasan dalam kegiatan dan tidak teratur; (2) para pemain beraktivitas lebih dari sekedar pencapaian tujuan yang bersifat spontanitas; (3) bermain tejadi dengan objek yang dekat (familiar); (4) kegiatan bermain dalat menjadi nonliteral; (5) bermain bebas dari aturan dari outside dan aturan dapat dimodifikasi oleh pemain, dan (6) bermain membutuhkan perjanjian aktif antar pemain.

Permainan merupakan metode yang sesuai untuk belajar keterampilan sosial, karena dengan permainan diciptakan suasana yang santai dan menyenangkan, dengan suasana yang santai dan menyenangkan tersebut maka akan dapat mempermudah dalam memecahkan masalah,


(41)

mengambil keputusan, merencanakan sesuatu dan berkomunikasi dengan baik dalam arti memperkuat kepribadian.

Istilah bermain merupakan konsep yang tidak mudah untuk dijabarkan. Di dalam Oxford English Dictionary, tercantum sebanyak 116 definisi tentang bermain. Salah satu contoh, ada ahli yang mengatakan bermain sebagai kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan (Piaget, 1951). Tetapi, ahli lain membantah pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan dilakukan semata-mata demi kesenangan, melainkan ada sasaran lain yang ingin dicapai, yaitu prestasi tertentu. Banyak keterangan yang simpang siur dan saling bertentangan. Karena itu, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai bermain,

perlu memandang bermain sebagai “tali” yang merupakan untaian serat

dan benang-benang yang terjalin menjadi satu (mayke, 2001).

Selanjutnya bermain game menurut Serok dan Blom dalam (Nandang Rusmana, 2009 : 04) menyebutkan bahwa bermain game pada intinya bersifat sosial dan melibatkan belajar dan mematuhi peraturan, pemecahan masalah, disiplin diri, dan control emosional serta adopsi peran-peran pemimpin dan pengikut yang semuanya merupakan komponen-komponen penting dalam bersosialisasi.

Bertolak dari pendapat Serok dan Blom diatas maka dalam permainan terdapat dinamika kelompok yang sering digunakan dalam proses pembelajaran, sebab dalam bermain akan mengembangkan cara belajar berdasarkan aktivitas atau bergerak aktif secara fisik dengan


(42)

memanfaatkan indra sebanyak mungkin dan membuat seluruh tubuh, pikiran terlibat dalam proses belajar.

Bermain dapat dikatagorikan sebagai media pembelajaran dan pengembangan perilaku sosial anak karena permainan menurut Russ (Nandang Rusmana, 2009 : 13-14) bahwa bermain akan memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup tanpa harus merasa jenuh ketika dalam prosesnya mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang baru tersebut.

Sependapat dengan Vigotsky, Wisberg (1995) dan Faud Hasan (1988) dalam Suherman (2008 : 192) menyatakan dalam proses pembelajaran pengembangan perilaku kognitif dan akademis harus dipromosikan dalam seting pengarahan tidak langsung atau bermain agar anak tidak hanya mengikuti tetapi memahami makna. Bagi anak dunia bermain merupakan pengalaman yang berdampak sebagai proses belajar.

Vygotsky mendefinisikan bermain sebagai “...children’s creation of

imaginary situations, which derive from real life tensions”. Mellou, 1994 (dalam Solehuddin, 2004). Selanjutnya Vygotsky mengemukakan dua cirri utama bermain. Pertama, semua aktivitas bermain representasional menciptakan situasi imajiner, kedua, bermain representasional memuat aturan-aturan berperilaku yang harus diikuti oleh anak. Berikut ini pemaparan singkat mengenai pengaruh bermain terhadap perkembangan anak menurut Vygotsky.


(43)

a. Pengaruh bermain terhadap nalar. Bermain fantasi membantu untuk memisahkan antara makna dari objek-objek.

b. Pengaruh bermain terhadap imajinasi dan kreativitas. Dalam bermain imajinatif, anak dapat memasuki suatu dunia fantasi dan melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukannya dalam kehidupan nyata.

c. Pengaruh permainan terhadap memori. Suasana bermain dapat menghasilkan ingatan yang lebih baik.

d. Pengaruh bermain terhadap bahasa. Bermain fantasi yang melibatkan interaksi dengan orang lain.

e. Pengaruh bermain terhadap perilaku sosial. Dalam bermain anak melatih pengendalian diri yang merupakan suatu prasyarat untuk dapat berperilaku sosial yang positif.

Dalam kegiatan bermain, kegiatan ini akan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan interaksi sosial yang lebih luas dengan teman sebayanya, dengan guru dan pihak yang ada di tempat mereka belajar.

Andang Ismail, (2006:14) mengatakan bermain bermakna sebagai

kegiatan anak yang “menyenangkan dan dinikmati” (pleasurable and

enjoyable). Susanna Millar (1972) berpandangan yang kurang lebih sama, kegiatan bermain perlu dilihat sebagai salah satu perilaku yang menyeluruh pada manusia dan dibutuhkan penelitian yang sistematis (mayke, 2001).


(44)

Pada dasarnya bermain memiliki dua pengertian yang harus dibedakan. Bermain menurut pengertian pertama dapat berakna sebagai

sebuah aktivitas yang murni mencari kesenangan tanpa mencari “menang

-kalah”(play). Sedangkan yang kedua disebut sebagai aktivitas bermain

yang dilakukan dalam rangka mencari kesenangan dan kepuasan, namun

ditandai dengan adanya pencarian “menang-kalah” (games). Dengan

demikian, pada dasarnya setiap aktivitas bermain selalu didasarkan pada perolehan kesenangan dan kepuasan sebab fungsi utama bermain adalah untuk relaksasi dan menyegarkan kembali (refreshing) kondisi fisik dan mental yang berada di ambang ketegangan.

Sehubungan dengan bermain dapat bermakna sebagai play dan games, maka perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menarik definisi adalah proses yang menyebabkan berlangsungnya aktivitas tersebut. Pada pengertian pertama, bermain sebagai play bisa jadi merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang tanpa melibatkan kehadiran orang lain sehingga total kesenangan dan kepuasan itu datang dari diri sendiri. Sedangkan pihak lain yang terlibat dapat merupakan unsur penghibur saja. Contoh dari aktivitas bermain sebagai play adalah bermain “konstruktif” atau

“destruktif”, dan “melamun”.

Pada pengertian kedua, bermain sebagai games, kesenangan, dan kepuasan yang diperoleh seseorang harus melibatkan kehadiran orang lain. Tanpa hadirnya pihak kedua (sebagai lawan), maka games tidak akan terjadi sebab games hanya akan berlaku jika ada unsur sportifitas, aturan,


(45)

dan menang-kalah. Artinya, seseorang akan memperoleh kesenangan dan kepuasan setelahnya mampu mengungguli atau menaklukan pihak lawan. Dengan demikian bermain sebagai games merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memperoleh kesenangan dan kepuasan setelahnya mengungguli kemampuan lawan mainnya.

Bermain juga dapat digunakan sebagai terapi, hal ini sesuai dengan pendapat Nandang Rusmana (2009:17-18) menyatakan bahwa bermain

“merupakan agen perubahan kognitif, afektif dan interpersonal konselor

dapat mengamati atau melihat ekpresi perubahan kognisi, afeksi dan interpersonal pada saat bermain. Sebagaimana di jelaskan oleh Kate Wilson, dkk (1992 : 08), bahwa :

Play therapy is diraected towards helping a child who has experienced a particular painful or traumatic event to work through and gain mastery over the feelings engendered by it.

Pemanfaatan permainan dalam bimbingan perlu memperhatikan beberapa hal, seperti yang dikemukakan oleh Axline (Muro & Kottman, 1995) yang menjelaskan delapan keterampilan dasar yang berpusat pada anak dengan menggunakan pendekatan non-direktif dalam terapi bermain (play therapy) yaitu sebagai berikut :

a. Terapis harus menciptakan suasana hangat, hubungan yang bersahabat dengan anak, dimana rapport yang baik dapat berkembang sesegera mungkin.


(46)

c. Terapis harus menjaga suasana keterbukaan yang memberikan kemudahan bagi anak untuk bebas mengeksplorasi dan menyatakan perasaannya.

d. Terapis harus waspada terhadap setiap perasaan anak dan merefleksikannya dengan cara yang tepat agar dapat membantu anak dalam memahami dirinya sendiri.

e. Terapis harus senantiasa menghargai kemampuan yang dimiliki oleh anak untuk dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri jika memungkinkan. Anak bertanggung jawab untuk membuat keputusannya sendiri dan kemungkinan untuk memilih melakukan suatu perubahan perilaku atau tidak.

f. Terapis tidak diperkenankan mengarahkan proses terapi. Anaklah yang memimpin dan terapis mengikuti.

g. Terapis tidak diperbolehkan untuk mempercepat proses terapi. Proses terapi dilakukan secara berangsur-angsur, terapis tidak boleh mengubah proses tersebut.

h. Terapis seyogyanya tetap pada batasan-batasan mana yang perlu dilakukan untuk melokalisasi terapi pada kenyataan yang sebenarnya dan untuk mengembalikan tenggung jawab pada anak itu sendiri yang akan digunakan oleh anak dalam membangun hubungan dengan yang lainnya.


(47)

2. Fungsi dan Manfaat Bermain

Freud (Muro & Kottman, 1995) meyakini bahwa nilai manfaat dari bermain adalah sangat membantu dalam membangun hubungan dengan siswa. Bentuk-bentuk permainan yang didesaign sedemikian rupa mampu mengajak para peserta didik menumbuhkan sikap-sikap sosial kepada sesamanya.

Sebagaimana diketahui penggunaan bermain sebagai media terapi yang telah memiliki akar sejarah yang panjang hal ini telah dijelaskan menurut Rus (2003) dalam Nandang Rusmana (2009 : 07) bermain memiliki beberapa fungsi :

a. Sebagai media ekpresi : dengan bermain anak dapat mengekpresikan masalah dan konflik yang dialaminya, dengan permainan konselor dapat mengamati beberapa hal diantaranya :

1) Proses kognisi : kemampuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena secara logis, mengembangkan gagasan, tema cerita, mentransformasi obyek-obyek biasa kedalam obyek-obyek representasi, dan berfantasi.

2) Proses afektif : kemampuan untuk mengekpresikan keadaan senang, sedih, mengekpresikan tema-tema afeksi, mengatur emosi dan modulasi afeksi, serta sebagai integrasi kognisi afeksi.

3) Proses interpersonal : pengembangan rasa empati, representasi diri dan komunikasi.


(48)

4) Proses pemecahan masalah, dalam bermain anak diajarkan cara-cara mengatasi masalah dan mengatasi konflik.

b. Merupakan alat komunikasi antara klien dan terapis karena dalam permainan dapat menumbuhkan ras empati dan mempermudah proses hubungan interpersonal anak.

c. Dapat mempertinggi pemahaman dan mempelancar proses konseling karena anak dapat mengalami langsung berbagai bentuk pengalaman-pengalaman dalam memecahkan konflik terhadap dirinya maupun teman sebayanya.

Dalam buku Cerdas dan Cemerlang, Prof. Joan Freeman dan Prof Utami Munandar (1996) menyebutkan bahwa beberapa ahli Psikologi dan Sosiologi mengemukakan pandangan mengenai manfaat bermain yang di antaranya sebagai berikut :

a. Sarana untuk membawa anak ke alam bermasyarakat. Dalam suasana permainan mereka saling mengenal, saling menghargai satu dengan lainnya dan dengan perlahan-lahan tumbuhlah rasa kebersamaan yang menjadi landasan bagi pembentukanperasaan social.

b. Untuk mengenal kekuatan sendiri. Anak-anak yang sudah terbiasa bermain dapat mengenal kedudukannya di kalangan teman-temannya, dapat mengenal bahan atau sifat-sifat benda yang mereka mainkan. c. Untuk memperoleh kesempatan mengembangkan fantasi dan

menyalurkan kecenderungan pembawaannya. Jika anak laki-laki dan anak perempuan diberi bahan-bahan yang sama berupa kertas-kertas,


(49)

perca (sisa kain), gunting, tampaknya mereka akan membeuat sesuatu yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa anak laki-laki berbeda bentuk-bentuk permainannya dengan permainan anak perempuan. d. Dapat melatih untuk menempa emosi. Ketika bermain-main mereka

mengelami bermacam-macam perasaan. Ada anak yang menikmati suasana permainan itu, namun sebaliknya ada anak lain yang merasa kecewa. Hal ini diumpamakan seperti halnya seniman yang sedang menikmati hasil-hasil karya seni sendiri.

e. Untuk memperoleh kegembiraan, kesenangan dan kepuasan. Suasana kegembiraan dalam permainan dapat menjauhkan diri dari perasaan-perasaan rendah, misalnya perasaan-perasaan dengki, rasa iri hati, dan sebagainya.

f. Melatih diri mentaati peraturan yang berlaku. Mereka menaati peraturan yang berlaku dengan penuh kejujuran untuk menjaga agar tingkat permainan tetap tinggi (Zulkifli, L :2001).

Mengingat pentingnya faedah bermain seperti yang telah dikemukakan di atas, pendidik hendaknya membimbing dan memimpin jalannya permainan itu agar jangan sampai menghambat perkembangan fantasi. Yang dibutuhkan anak bukannya alat-alat permaianan yang lengkap melainkan tempat dan kesempatan utnuk bermain.


(50)

3. Jenis-Jenis Permainan

Menurut Nandang Rusmana (2009 : 14) bahwa ada beberapa jenis permainan yang dapat digunakan dalam proses bimbingan kelompok :

a. Game Keterampilan fisik

Game keterampilan fisik dapat dibagi menjadi 1) game otot kasar yang mencakup tag, game bola sederhana, dan relay races. Game pergerakan aktif tidak cocok untuk terapi karena keterbatasan ruang cenderung menyebabkan individu menjadi lebih hiperaktif, kendati demikian permainan ini dapat membantu mengontrol control diri yang lebih besar melalui kondifikasi yang seimbang. 2) Game otot halus yang mencakup tiddlywinks, pic-up stix, perfection, ooperation, darts, penny hockey. Game ini sangat kompetitif sehingga bermanfaat untuk menilai control implus dan tingkat integritas kepribadian.

b. Game strategi

Hasil dari game strategi pada dasarnya tergantung pada kemampuan-kemampuan kognitif para peserta. Banyak game strategi dibawa kedalam ruangan seperti connect four, catur, damdaman, uno, permainan kartu dan trouble.

c. Game untung-untungan

Game untung-untungan mencakup papan bingo, roulette, candyland dan chutes and ladders. Game ini memiliki nilai terapi karena dapat menetralisir superioritas orang dewasa dalam intlektualitas, pengalaman dan kemampuan.


(51)

Menurut Andi Yudha (2009 : 80-85) jenis-jenis permainan dikatagorikan sebagai berikut :

a. Permainan Edukatif

Permainan berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan kecerdasan anak, merangsang berbagai kemampuan dasar anak, mendapatkan stimulasi yang beragam, melatih konsep-konsep dasar, melatih ketelitian dan ketekunan, merangsang kreativitas dan melatih menyelesaikan masalah seperti permainan puzzle, adapun jenis permainan eduktif sebagai berikut :

1). Permainan Konstruktif : permianan menggunakan balok-balok, lego, kayu, pasir, kertas, batu atau kaleng-kaleng.

2). Permainan Motorik : permainan dengan bola, loncat talli, ayunan, panjatan, merangkak dan senam.

3). Permainan ilusi : permainan seperti kuda-kudaan, buaya-buayaan, ular-ularan dan mobil-mobilan.

4) Permainan Intlektual : seperti bermain boneka, masak-masakan, drama, dongeng atau cerita, musik dari kaleng, main air, main tebak-tebakan, menari, dan menggunting.

5). Permainan Kompetisi (games) : seperti perlombaan-perlombaan panjat pinang, lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba bakiak, sepak bola dan lain sebagainya, permainan ini akan mendorong adanya kerjasama, sportivitas anak, serta memperkaya pengalaman sosial anak.


(52)

b. Permainan Rekreatif

Permainan rekreatif merupakan permainan tradisional yang banyak melatih kepekaan fisik, mental dan juga mengembangkan kemampuan kerjasama dan sportivitas dan memperkaya pengalaman sosial serta moral anak. Contoh : gobak sodor, banteng, petak umpet, engklek.

c. Permainan Informatif

Perkembangan teknologi termasuk dalam permainan yang berkembang saat ini, tentu tidak dapat diabaikan walaupun permainan ini tetap dibatasi agar anak tidakselalu terpaku pada layar televise atau computer. Mengingat hal tersebut maka untuk permainan informatif ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1) Selektif : pilihan softwere yang sesuai dengan usia anak.

2) Kesempatan : berikan kesempatankepada anak untuk belajar dan berinteraksi dengan computer secara baik.

3) Awas efek : cahaya yang terlalu terang dan pandangan yang terlalu dekat akan mengganggu indra anak.

4) Keamanan : perhatikan dari bahaya listrik saat anak bermain. 5) Kenyamanan : sediakan kursi atau tempat duduk yang sesuai

dengan kondisi anak.

Permainan informatif yang akhir-akhir ini sangat digemari anak-anak adalah playstation, permainan informatif ini kurang dapat meningkatkan rasa sosial anak justru lebih mengarahkan anak untuk


(53)

bersifat individual. Maka pilihan permainan informatif yang betul-betul sesuai dengan usia anak.

4. Permainan Sebagai Teknik Terapi

Proses bermain telah digunakan oleh para terapis untuk menimbulkan perubahan, sekalipun caranya tidak sistematik. Proses-proses kognitif, afektif dan interpersonal dari bermain dapat mempermudah kemampuan-kemampuan adaptif, seperti berfikir kreatif, pemecahan masalah, penanganan dan perilaku sosial anak. Kemampuan-kemampuan adaptif ini penting bagi penyesuaian diri anak dan bermain menjadi hal yang paling efektif dengan menargetkan proses-proses yang spesifik.

Andang Ismail (2006: 23) mengatakan bahwa bermain dapat merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang dapat menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan, maupun mengembangkan imajinasi anak. Sehingga, melalui bermain anak dapat mengungkapkan sikapnya yang negatif atau positif terhadap orang lain. Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan para peserta didik. Dengan bermain secara alamiah anak akan bisa menemukan dan mengenali lingkungannya, oranglain, dan dirinya sendiri. Lebih dari itu, bermain juga dapat meningkatkan kecerdasan anak untuk berfikir, memiliki keterampilan motorik, berjiwa seni,sosial, serta berparadigma religius.


(54)

Menurut Russ 2004 (dalam Nandang Rusmana: 2009 ; 17) bahwa intervensi terapi bermain dapat memiliki dua tipe umum, yaitu 1) intervensi sebagai medium untuk berubah artinya proses bermain dalam terapi digunakan untuk menimbulkan perubahan, misalnya, ekspresi emosi dalam bermain, 2) intervensi yang memperkuat proses bermain, misalnya, anak-anak yang mengekspresikan emosi yang tidak terkontrol, maka melalui pengembangan kemampuan bercerita dan kemampuan naratif dapat membantu anak mengatur emosinya. Bermain itu penting bagi perkembangan anak maupun dalam psikoterapi anak. Bermain melibatkan kepura-puraan, penggunaan fantasi dan khayalan, dan penggunaan simbolisme. Russ 2000 (dalam Nandang Rusmana 2009 : 17) menyatakan bahwa bermain pura-puraan adalah suatu perilaku simbolik yang dilakukan dengan perasaan dan intensitas emosional, sehingga afeksi itu terjalin dengan bermain pura-pura.

Menurut Elizabeth B. Hurlock 1999 (dalam Andang Ismail: 2006 ; 29) menyatakan bahawa, bermain merupakan proses terapi hal tersebut dikarena adanya bebrapa pengaruh yang ditimbulkan dari bermain, seperti halnya :

a. Perkembangan fisik. Bermain aktif penting bagi anak untuk mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuhnya. Bermain juga berfungsi sebagai penyalur tenaga yang berlebihan, yang bila terpendam terus akan membuat anak tegang, gelisah, dan mudah tersinggung.

b. Dorongan berkomunikasi. Agar dapat bermain dengan baik bersama anak lain, anak harus belajar berkomunikasi.


(55)

c. Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam. Bermain merupakan sarana bagi anak untuk menyalurkan ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka. d. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan.

e. Sumber belajar. Bermain memberi kesempatan untuk mempelajari berbagai hal yang tidak diperoleh anak dari belajar di rumah ataupun di sekolah.

f. Rangsangan bagi kreativitas.

g. Perkembangan wawasan diri. Dengan bermain anak mengetahui tingkat kemampuan dibandingkan teman bermainnya. Ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata.

h. Belajar bersosialisasi, sehingga mampu belajar bagaimana membentuk hubungan sosial dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.

i. Standar moral, dimana anak memahami sebuah nilai-nilai baik dan buruk.

j. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin

k. Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan, dari hubungan dengan anggota kelompok teman sebaya dalam bermain, anak belajar bekerja sama, murah hati, jujur, sportif dan disukai orang.


(1)

operasional (action plan); 10) pengembangan tema dan satuan layanan; serta 11) evaluasi.

4. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan mengenai penggunaan teknik permainan ini terlihat dari hasil uji t dua sampel independen yang di dapat hasil skor rata-rata kelompok eksperimen yang diberikan intervensi berupa penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok hasilnya lebih besar jika dibandingkan dengan skor rata-rata kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi dengan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa program intervensi penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok dapat meningkatkan percaya diri siswa kelas XI SMA Laboratorium (percontohan) UPI Bandung tahun ajaran 2010/2011 ini terbukti bahwa pada setiap aspek percaya diri yang diteliti baik aspek percaya diri dalam bertingkahlaku, percaya diri dalam mengekspresikan emosi, dan percaya diri dalam spiritual mengalami peningkatan prosentase yang signifikan setelah diberikan intervensi penggunaan teknik permainan dalam meningkatkan percaya diri siswa. Artinya treatmen yang dibeikan sudah bagus dan tepat dalam pemilihan sampel.

B. Rekomendasi

Pada penelitian ini telah diujicobakan mengenai penggunan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa. Untuk dapat menerapkan penggunaan teknik permainan dalam


(2)

bimbingan kelompok ini dalam pembelajaran terutama terkait percaya diri siswa, perlu diperhatikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling.

Penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan percaya diri siswa. Karena dengan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok yang telah dilakukan peneliti pencapaian peningkatan percaya diri siswa secara keseluruhan terbukti lebih baik, artinya penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok dapat dijadikan sebagai bentuk perpaduan dalam memberikan layanan bimbingan kepada siswa. Oleh karena itu guru bimbingan dan konseling diharapkan dapat;

a. Menerapkan pola bimbingan yang baru yaitu dengan memadukan bimbingan kelompok dengan teknik permainan dengan tujuan dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan tidak hanya menggunakan teknik ceramah dan tanya jawab.

b. Untuk menerapkan teknik permainan ini hendaknya konselor terlebih dahulu paham terhadap permainan itu sendiri agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan lancar.

2. Bagi Pihak Sekolah

Bagi pihak sekolah SMA Laboratorium (Percontohan) UPI Bandung, berdasarkan hasil penelitian tentang efektivitas penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri dapat


(3)

digunakan sebagai masukan untuk menyusun program di sekolah dalam pembinaan siswa yang terkait dengan percaya diri melalui berbagai jenis bentuk permainan, sehingga penanaman berperilaku siswa, beremosi, serta keyakinan siswa bisa semakin dikendalikan.

3. Bagi para Peneliti Selanjutnya.

Bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian terkait dengan penggunaan teknik permainan dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan percaya diri siswa disarankan untuk;

a. Mengkaji kompetensi guru bimbingan dan konseling serta penguasaan terhadap teknik permainan.

b. Mengkaji pola bimbingan yang telah dilakukan oleh sekolah atau instansi dimana penelitian itu nanti dilakukan.

c. Siswa lebih percaya diri ketika ia mendapatkan penghargaan yang positif dari lingkungannya, sehingga untuk peneliti selanjutnya ditekankan agar mengkaji bagaimana bentuk penghargaan yang telah dilakukan oleh guru BK, serta pihak sekolah dalam menumbuhakn percaya diri siswa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), (2007), Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, Departemen Pendidikan Nasional.

Ahman, (1998). Bermain Peran Sebagai Model Bimbingan Dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Berkemampuan Unggul. (hasil penelitian), Bandung: IKIP

Angelis, 2003. Confidence (Percaya Diri) Sumber Sukses dan Kemandirian. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ardana, I Kt. 2003. Sikap Terhadap Perilaku Spiritual Para Siswa SMU Negeri di Kabupaten Klungkung (Tahun 2002/2003). Tesis Program Pascasarjana, IKIP Singaraja.

Creswell John, 2005. Eucational Research. University of Nebraska: Person Education.

Dananjaya, Utomo. (2011). Media Pembelajaran Aktif. Penerbit Nuansa: Bandung. Gunarsa (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK

Gunung Mulia.

Gladding, Samuel. (1995). Group Work A CounselingSpecialty. United States of America: Prentice Hall Inc

Hidayat Rahman (2008). Efektivitas Terapi Bermain Kelompok dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Pada Remaja Awal Panti Asuhan Muhammadiyah Malang_Skripsi: Fakultas Psikolgi Muhammadiyah Malang

Hudi Rahmad . (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya

Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP

Muhammadiah Surakarta

http://myshandy.multiply.com/journal. (06 Agustus 2010)

Juntika Achmad, 2006. Bimbingan dan Konseling. Bandung: Refika Aditama.

Justine Howard (2010). Game Techniques in improving the understanding, planning and practicing self-confidence. Open University/Mc Graw Hill Jacobs, et-al. (1993). Group Counseling Strategies and Skills.. California: Brooks

Cole Publishing Company.

Lositosari Dwi. (2007). Keefektivan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kepercayaan diri Siswa Yang Tidak Naik Kelas. Skipsi. Malang: FIP UNM


(5)

Natawidjaja Rochman, (a) 1986. Pendekatan-pendekatan dalam Penyluhan Kelompok I. Bandung: Diponegoro

Natawidjaja Rochman, (b) (1997). Penelitian Tindakan. Himpunan tulisan. Bandung: IKIP

Nurhidayat. (2009). Permeblajaran Melalui Diskusi Kelompok dalam Upaya

Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika. Skipsi. Surakarta: FKIP

Muhammadiah Surakarta

Permana Ediya (2009)..Program Bimbingan Kelompok Dengan Pendekatan Halaqah

(Mentoring) Untuk Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri

Remaja_Tesis Magister pada FBP UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Prayitno, (a) (1995). Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok(Dasar dan Profil). Padang: Ghalia Indonesia

Prayitno, (b) (2003). Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Padang: Ghalia Indonesia

Ridwan Rustianti, (2008). Program Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kemampuan Interpersonal Siswa. Tesis: SPS BK UPI Bandung.

Rusmana, Nandang, (a) (2009). Permainan (Game & Play). Bandung : Rizki.

Rusmana, Nandang, (b) (2009). Konseling Kelompok Bagi Anak Berpengalaman Traumatis. Bandung : Rizki.

Suarni, Ketut (2006). Perkembangan Peserta Didik_Modul : Jurusan Bimbingan dan Konseling IKIP Negeri Singaraja.

Sudrajat, Dadang, (2008). Program Pengembangan Self-Efficacy Bagi Konselor di SMA Negeri se-Kota Bandung_Tesis : SPS BK UPI Bandung.

Suherman. 2008. Konsep dan Aplikasi Bimbingan dan Konseling. Jurusan PPB UPI Suherman, AS, Uman (2009). Manajeman Bimbingan dan Konseling. Bandung:

Rezki

Sukardi. Dewa Ketut, (a) (2002). Proses Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta: PT.Rineka Cipta

Sukardi. Dewa Ketut, (b) (2008). Bimbingan dan Konseling Di Sekolah. Jakarta: PT.Rineka Cipta

Surniwi, Nengah (2002). Kesulitan Belajar Dalam Bidang Matematika ditinjau dari Kepercayaan Diri_Skripsi. BK FIP IKIP Negeri Singaraja


(6)

Silvana Clark (2002). .Langkah-langkah Terapi Mengmbangkan Kepercayaan Diri Anak. Jakarta :PT Alex Media Komputindo

Solehuddin, Muhammad, (a) (1997). Pengimplementasian Aktivitas Bermain di Taman Kanak-kanak. (hasil penelitian), Bandung: IKIP

Solehuddin, Muhammad,(b) (2008). Konsep Petugas Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah AtasBeserta Tugas dan Kompetensinya dalam Konsep dan Aplikasi Bimbingan dan Konseling. Jurusan Psikologi Pendidikan Bimbingan, FIP, Universitas Pendidikan Indonesia.

UU RI. No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Banbung : Citra Umbara. Wilson, Kate, dkk. (1992). Play Therapy A Non-directive Approach For Children

and Adolescents. Tokyo : Baillere Tindal

Widiastuti Fika. (2009). Kontribusi Konsep Diri dan Rasa Percaya Diri TerhadapKemampuan Bersosialisasi pada Masa Pueral Dikalangan Remaja; Singaraja_Bali: FIP Undiksha

Winkel,W.S, (a) (2004).Bimbingan Dan Penyuluhan Di Sekolah Mengenah.Jakarta: PT.Gramedia

Winkel W.S. dan M.M. Sri Hastuti, (b) (2006). Bimbingan dan Konseling di

Instritusi Pendidikan. Media Abadi : Yogyakarta.

Yustiana, Yusi. (1999). Pengelaman Belajar Awal Yang Bermakna Bagi Anak Melalui Aktivitas Bermain. Tesis UPI Bandung: tidak diterbitkan