MENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIK SISWA MTS MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING BERBASIS MASALAH KONTEKSTUAL.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika mempunyai peranan yang penting dalam menata dan mengelola kehidupan bersama sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini bisa dilihat dari betapa banyak dan beragamnya profesi serta hal-hal yang bisa dipilih sebagai bidang pengabdian hidup berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan matematika. Misalnya: ahli statistik, dokter, ilmuwan, peneliti, guru, ekonom, insinyur, ekolog, dan masih banyak profesi yang lainnya. Tetapi hal itu dapat terwujud apabila matematika tak hanya dipahami sebatas pada keterampilan berhitung, namun jauh lebih dalam dari itu, yaitu pada logika bernalar.

Berkaitan dengan pentingnya penalaran, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), secara tegas menyebutkan salah satu tujuan diberikannya matematika di tingkat SMP/MTs yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika (Depdiknas, 2006).

Sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) pada tahun 2000, standar matematika sekolah meliputi standar isi atau materi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran


(2)

dan pembuktian (reasoning and proof), koneksi (connection), komunikasi (communication), dan representasi (representation).

Penalaran merupakan unsur yang penting dalam pembelajaran matematika, hal ini sejalan dengan pendapat Soedjadi (dalam Trisnadi, 2006) yang menyatakan bahwa matematika sebagai salah satu ilmu dasar, baik aspek terapannya maupun aspek penalarannya mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Didukung pula oleh pendapat Baroody (dalam Dahlan, 2004) yang mengungkapkan bahwa penalaran dapat secara langsung meningkatkan hasil belajar siswa, yaitu jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri, maka siswa akan lebih mudah memahami konsep.

Berkaitan dengan pentingnya penalaran dalam matematika, NCTM (2000: 262) merekomendasikan bahwa tujuan pembelajaran penalaran pada kelas 6-8 (setingkat SMP/MTs) adalah agar siswa dapat (1) menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan, (2) merumuskan generalisasi dan konjektur hasil observasi keteraturan, (3) mengevaluasi konjektur, dan (4) membuat dan mengevaluasi argumen matematik.

Namun, keadaan di lapangan belumlah sesuai dengan yang diharapkan. Wahyudin (dalam Dwirahayu, 2005) menyatakan salah satu penyebab lemahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika adalah kurangnya kemampuan bernalar. Hal ini disebabkan pembelajaran matematika yang dilakukan di


(3)

SMP dan SMA tidak banyak memperdalam logika atau penalaran. Siswa lebih sering diberi soal-soal perhitungan dengan menggunakan algoritma yang ada tanpa adanya kebebasan menjawab. Kurangnya penggunaan kemampuan bernalar dalam menyelesaikan masalah matematika menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupannya.

Laporan hasil studi Henningsen Stein, (1997); Peterson, (1998); Mullis, dkk, (2000) mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya belum memfokuskan pada pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Suryadi, 2005: 65). Hal ini didukung oleh studi lain yang dilakukan oleh Priatna (2003) dan Somatayana (2005) khususnya tentang kemampuan penalaran siswa menyimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematik siswa masih tergolong rendah.

Untuk menghasilkan komunitas matematika yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kemampuan penalaran matematika dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: 1) pemberian penalaran yang dimulai sejak usia dini (Baroody, 1993); 2) dalam pembelajaran guru hendaknya berusaha agar siswa tidak hanya terampil mengaplikasikan konsep atau rumus saja, tetapi lebih didorong ke arah pencapaian tingkat penalaran yang lebih tinggi (Sumarmo, 1997); dan 3) soal-soal yang diberikan beragam dan soal non-rutin yaitu masalah yang tidak dikenal oleh siswa, yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema atau dalil (Mullis, et.al, 2003).

Pembelajaran akan berhasil jika diawali dengan membangun pemikiran siswa. Misalnya siswa diberikan permasalahan yang tidak asing lagi dalam pemikirannya


(4)

artinya permasalahan yang diberikan pernah mereka alami, sehingga siswa berupaya untuk mencari dan menemukan jawabannya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya.

National Research Council merangkum bahwa guru yang efektif adalah guru yang dapat menstimulasi siswa belajar matematika. Penelitian pendidikan matematika menawarkan sejumlah bukti bahwa siswa akan belajar matematika secara baik ketika mereka mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Untuk memahami apa yang mereka pelajari mereka harus bertindak dengan kata kerja mereka sendiri menembus kurikulum matematika: menguji, menyatakan, mentransformasi, menyelesaikan, menerapkan, membuktikan, dan mengomunikasikan. Hal ini pada umumnya terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, terlibat dalam diskusi, membuat presentasi, dan bertanggung jawab dengan yang mereka pelajari sendiri (Turmudi, 2008: 70).

Melalui pembelajaran yang diawali dengan masalah, siswa belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif, namun harus aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Siswa juga dituntut untuk terampil bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari sumber, mencari berbagai cara alternatif untuk mendapatkan solusi, dan menentukan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah.

Masalah kontekstual digunakan sebagai sumber awal pemunculan konsep sekaligus sebagai obyek penerapan matematika. Melalui masalah kontekstual yang dihadapi, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat matematis atau model


(5)

matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip yang akan dipelajari. Pemberian masalah pada proses awal pembelajaran ini diharapkan dapat membuat siswa aktif berpikir sejak awal dan siswa sendiri yang berusaha membangun konsep yang akan dipelajari.

Dengan menyelesaikan masalah, diharapkan siswa dapat menemukan konsep atau pengetahuan yang baru bagi dirinya. Bruner (dalam Dahar, 1996: 103) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Demikian pula Ruseffendi (1991: 329) menyatakan bahwa metode penemuan adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.

Hal ini didukung pula oleh pendapat Dahar (1996: 103) yang menyatakan bahwa secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Penemuan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, penemuan tanpa bimbingan dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu


(6)

berhari-hari atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri.

Dalam pembelajaran penemuan terbimbing, guru sebagai fasilitator, membimbing siswa dimana ia diperlukan. Siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat 'menemukan' konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

Untuk meningkatkan penalaran matematik, dibutuhkan persepsi dan sikap yang positif terhadap matematika, dan merupakan salah satu tujuan pelajaran matematika di sekolah, yaitu agar para siswa: Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006). Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1991).

Tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit siswa yang memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang sangat membosankan, menyeramkan, bahkan menakutkan. Banyak siswa yang berusaha menghindari mata pelajaran tersebut. Ausubel dan Bisher (dalam Karso dan Suherman, 1993) mengemukakan akibat yang dapat timbul jika memaksakan siswa mempelajari suatu bahan yang sulit dicerna oleh siswa, yaitu: 1) tidak saja akan gagal dalam belajar, tapi juga akan membenci dan menghindari pelajaran yang berkenaan dengan materi


(7)

tersebut, 2) biasanya mengalami frustasi dan mungkin pula mengembangkan sifat negatif terhadap kemampuan tersebut.

Oleh karena itu, perubahan proses pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Upaya yang dapat dilakukan guru untuk menimbulkan sikap positif siswa terhadap matematika salah satunya adalah dengan cara mengaitkan materi matematika yang diajarkan dengan situasi nyata, penyampaian materi matematika agar dapat menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan tunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya. Materi harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa, dimulai dengan cara-cara informal melalui pemodelan sebelum dengan cara formal.

Dengan memperhatikan uraian di atas, penulis mengajukan sebuah studi tentang kemampuan penalaran matematik siswa melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual, yang dilaksanakan di Madrasah Tsanawiyah, dan diberi judul “Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik Siswa MTs Melalui Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing Berbasis Masalah Kontekstual”.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian yang telah dituangkan pada latar belakang masalah, maka masalahnya mengarah pada peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa MTs. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(8)

1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)?

2. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual?

3. Bagaimana sikap siswa terhadap matematika, pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi obyektif mengenai kemampuan penalaran matematik siswa melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual. Secara rinci, tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk menelaah perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).

2. Untuk menelaah kualitas peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa MTs melalui pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual.


(9)

3. Untuk melihat sikap siswa terhadap matematika, dan terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian yang akan dilaksanakan melalui studi eksperimental ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap berbagai pihak terutama:

1. Bagi siswa, dengan mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa, motivasi dan sikap siswa terhadap matematika, serta memperoleh pengalaman yang baru dalam belajar.

2. Bagi guru matematika, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuannya terhadap alternatif model pembelajaran yang memungkinkan untuk diterapkan sebagai upaya meningkatkan kemampuan penalaran matematik. 3. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan sebagai rujukan dalam

penulisan selanjutnya. E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)”.


(10)

F. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan persepsi tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah-istilah yang digunakan, yaitu:

1. Kemampuan penalaran matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan logik, memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik.

2. Metode penemuan terbimbing merupakan kegiatan pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan, dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Guru sebagai fasilitator, membimbing siswa dimana ia diperlukan. Siswa didorong untuk berpikir sendiri, menganalisis sendiri, sehingga dapat menemukan konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

3. Masalah kontekstual adalah masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada pada alam pikiran siswa atau situasi yang memuat masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa. Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel, dan lain-lain). Soal seperti ini tidaklah sekedar berkaitan dengan konteks kehidupan keseharian, tetapi juga dapat sesuatu yang


(11)

fiktif namun dapat dijangkau oleh akal manusia, ataupun sesuatu yang kontekstual secara matematika

4. Metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual adalah kegiatan pembelajaran yang diawali dengan memberikan masalah kontekstual kepada siswa, dengan menyelesaikan masalah kontekstual siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru bagi dirinya. Guru membimbing siswa dimana ia diperlukan. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

5. Pembelajaran biasa (konvensional) adalah pembelajaran yang menggunakan metode ceramah atau ekspositori. Pembelajaran konvensional biasanya diawali dengan guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas dan siswa mendengarkan penjelasan guru, kemudian siswa diberi contoh-contoh soal yang diselesaikan oleh guru dan terakhir siswa diberi soal-soal latihan.

6. Peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus:

Gain Ternormalisasi (g) =

pretes skor ideal skor

pretes skor postes skor

− −

dengan kriteria indeks gain berdasarkan kategori Hake (Meltzer, 2002) sebagai berikut: g ≥ 0,7 Tinggi

0,3 < g < 0,7 Sedang


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penemuan Terbimbing A.1. Pengertian

Amin (dalam Supriyadi, 2000) menyatakan bahwa kegiatan “discovery atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan, dan sebagainya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip.

Bruner (dalam Dahar, 1996: 103) menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.

Dalam belajar penemuan, seseorang memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasi informasi-informasi, sehingga mendapatkan pengetahuan baru. Dalam pembelajaran Penemuan Murni, Maier (1995: 8) menyebutnya sebagai “heuristik“, apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa itu sendiri. Menurut Bruner (dalam Markaban, 2006: 9), penemuan adalah


(13)

suatu proses, suatu jalan atau cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.

Berbeda dengan Penemuan Murni, Penemuan terbimbing dipandu dan dibimbing oleh guru sehingga siswa mampu menemukan. Beberapa alasan mengapa Penemuan Murni tidak efektif, oleh Markaban (2006: 9) dikatakan bahwa metode penemuan murni kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Disamping itu, penemuan tanpa bimbingan dapat memakan waktu berhari-hari dalam pelaksanaannya atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, begitu pula jalannya penemuan. Jelas bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri.

Pada penemuan terbimbing, siswa dihadapkan kepada situasi dimana ia bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi, dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu


(14)

siswa agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas siswa dan membantu mereka dalam 'menemukan' pengetahuan yang baru tersebut. Perlu diingat bahwa memang metode ini memerlukan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan tetapi hasil belajar yang dicapai tentunya sebanding dengan waktu yang digunakan. Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Metode pembelajaran ini bisa dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok.

A.2. Tujuan

Markaban (2006) menyatakan secara umum ada empat tujuan yang hendak dicapai dalam belajar penemuan :

a. Melalui keterlibatan dalam belajar penemuan, siswa mempelajari beberapa prosedur dan aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan dalam menggambarkan sesuatu diluar dirinya.

b. Siswa akan mengembangkan perilaku dan latihan strategis yang digunakan dalam problem-solving, inquiri dan penelitian.

c. Belajar penemuan membantu siswa mengembangkan kemampuannya menganalisis, mensintesis dan menilai informasi secara rasional.


(15)

d. Adanya intrinsic reward, seperti ketertarikan mempelajari tugas, dan kepuasan menemukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk belajar matematika secara lebih efektif dan efisien di dalam kelas.

Selain itu, dapat dikemukakan beberapa tujuan spesifik yang mudah diamati dari belajar penemuan :

a. Dalam belajar penemuan, siswa memiliki kesempatan menjadi lebih terlibat aktif dan siswa semakin meningkatkan tingkat partisipasinya dalam kelas pada saat strategi penemuan digunakan guru

b. Melalui strategi penemuan, siswa belajar menemukan pola baik dalam situasi konkret maupun abstrak dan belajar menyisipkan sejumlah informasi dari data yang diberikan.

c. Siswa akan belajar memformulasikan strategi bertanya terarah dan menggunakannya untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat dalam penemuan.

d. Belajar penemuan dapat membantu siswa mengembangkan cara belajar bersama/kelompok secara efektif, berbagi informasi, mendengar dan memanfaatkan ide-ide orang lain.

e. Terdapat beberapa fakta yang mengindikasikan bahwa keterampilan, konsep dan prinsip-prinsip belajar penemuan bermakna bagi siswa dan diingat dalam waktu yang lama.

f. Keterampilan belajar akan mudah ditransfer pada kegiatan belajar baru dan menggunakannya dalam situasi yang lain


(16)

A.3. Strategi Penemuan

Dalam Penemuan terdapat dua strategi yang dapat digunakan, yaitu: Strategi Penemuan Induktif dan Strategi Penemuan Deduktif.

1. Strategi Penemuan Induktif.

Strategi Penemuan Induktif memiliki karakteristik yaitu berawal dari yang spesifik kemudian digeneralisasikan. Dalam menggunakan strategi ini, siswa menggunakan intuisi (sebagian logika) untuk memformulasikan sebuah bentuk umum berdasarkan pengamatannya terhadap sifat-sifat yang dimiliki atau ditemukan dalam angka-angka yang saling berhubungan, teknik-teknik atau metode problem-solving.

Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum, kita buat kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin terjadi. Sebuah argumentasi dengan induktif dapat ditandai sebagai suatu kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari kejadian atau contoh Oleh karena itu, guru sebaiknya memilih, menetapkan sebelumnya konsep atau prinsip yang telah terbukti kebenarannya sehingga memudahkan membimbing siswa dalam menemukan.


(17)

2. Strategi Penemuan Deduktif

Strategi penemuan deduktif memiliki karakteristik yaitu berawal dari bentuk umum kemudian ke hal yang khusus. Pada saat strategi ini digunakan siswa menggunakan logika (sebagian intuisi) untuk memformulasikan ide-ide abstrak dan bentuk umum lainnya, kemudian contoh dan aplikasi diberikan. Oleh karena ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, maka kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Berarti dengan strategi penemuan deduktif, kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dari pembelajaran.

A.4. Langkah–langkah dalam Penemuan Terbimbing

Agar pelaksanaan penemuan terbimbing ini berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut (Markaban, 2006).

a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.

b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan sejauh


(18)

yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS. c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya. d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut di atas diperiksa

oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.

e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.

f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.

Kelebihan dari penemuan terbimbing adalah sebagai berikut: a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan. b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan) c. Mendukung kemampuan problem solving siswa.

d. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

e. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukannya.


(19)

A.5. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan

• Pertanyaan, masalah atau situasi yang menantang (membingungkan) dapat diberikan untuk memotivasi aktivitas siswa yang mengarah kepada penemuan.

• Algoritma dan keterampilan matematis dapat dianalisis untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip dasar matematika.

• Setiap penemuan hendaknya dimulai dengan informasi yang diketahui kemudian diproses tahap demi tahap sehingga menemukan informasi baru dan bentuk umum.

• Guru memikirkan dengan mantap, konsep apa yang akan ditemukan.

• Strategi penemuan jangan terlalu sering digunakan, karena memerlukan waktu yang relatif banyak.

• Tidak semua materi dapat disajikan dengan metode penemuan secara baik.

• Bila siswa mendapat kesulitan membuat generalisasinya, guru harus memberi bantuan. Guru bisa menggunakan berbagai teknik penyajian materi penemuan dengan menggunakan gambar, dialog ataupun pola.

• Jangan terlalu mengharapkan semua siswa menemukan setiap konsep yang kita minta untuk mencarinya.

• Memperoleh generalisasi atau kesimpulan yang benar adalah hasil yang paling akhir dan untuk mengetahui bahwa kesimpulan itu benar maka harus dilakukan pemeriksaan (pengecekan).


(20)

Agar proses penemuan yang dilakukan siswa dapat berjalan ke arah penemuan konsep yang diinginkan, Wintarti (dalam Laily, 2007: 23) mengisyaratkan pada guru agar memiliki keterampilan:

1. Mengetahui kapan memberikan suatu sentuhan (rangsangan)

2. Mengetahui petunjuk-petunjuk apa yang tepat untuk diberikan kepada siswa tertentu.

3. Mengetahui apa yang tidak perlu dikatakan kepada siswa (tidak memberikan jawaban kepada siswa).

4. Mengetahui bagaimana membaca perilaku siswa pada saat mereka bekerja menghadapi tantangan dan bagaimana merancang suatu situasi pembelajaran bermakna dengan memperhitungkan perilaku tersebut.

5. Mengetahui kapan pengamatan, hipotesis, atau eksperimen menjadi bemakna. 6. Mengetahui bagaimana memberikan toleransi terhadap keragu-raguan. 7. Mengetahui bagaimana menggunakan kesalahan-kesalahan konstruktif.

8. Mengetahui bagaimana membimbing siswa sehingga mereka memberikan kekuasaan kontrol atas eksplorasi siswa namun tidak berarti kehilangan kontrol atas kelas.

A.6. Tahap-tahap Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing

Tahap-tahap penggunaan metode penemuan dalam pembelajaran menurut Amien (dalam Zulkifli, 2005) dapat diuraikan sebagai berikut:


(21)

1. Tahap pertama adalah diskusi

Pada tahap ini guru memberikan masalah kontekstual kepada siswa untuk didiskusikan secara bersama-sama. Tahap ini dimaksudkan untuk memberikan masalah kepada siswa tentang materi yang akan dipelajari.

2. Tahap kedua adalah proses

Pada tahap ini siswa mengadakan kegiatan laboratorium atau menganalisis langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS) guna membuktikan sekaligus menemukan konsep yang sesuai dengan konsep yang benar.

3. Tahap ketiga adalah tahap pemecahan masalah

Setelah siswa mengadakan kegiatan laboratorium, siswa diminta untuk membandingkan hasil kerjaan yang mereka lakukan pada kegiatan laboratorium dengan siswa yang lainnya, sehingga menemukan konsep yang benar tentang masalah yang diselesaikan.

A.7. Contoh Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing

Pembelajaran pada materi aljabar untuk kelas 8, penemuan terhadap topik sifat-sifat matematika pada “jam” aritmatika. Prinsip tentang sistem aritmatika modulo 12, kemampuan awal yang harus dimiliki siswa yaitu operasi matematika, komutatif, asosiatif, distributif, identitas penjumlahan dan perkalian, dan invers. (Bell, 1978: 248)


(22)

Kegiatan Pendahuluan

Guru mengingatkan siswa dengan berdiskusi dan tanya jawab tentang konsep-konsep matematika yang telah mereka pelajari yaitu operasi matematika, komutatif, asosiatif, distributif, identitas dan invers dari penjumlahan dan perkalian.

Strategi Pembelajaran

Guru mengawali diskusi kelas dengan mengajukan gambar “Jam” di depan kelas, seperti gambar di bawah ini.

Dan guru menjelaskan bahwa angka 12 pada jam standar diganti dengan angka 0, sehingga jam aritmatika tersebut memuat invers dari penjumlahan yaitu 0.

Untuk meyakinkan bahwa siswa mengetahui cara menjumlahkan dan mengalikan modulo 12 pada angka-angka dalam “Jam”, guru dapat merangsang siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: (1) berapakah 3 + 9 ?, (2) berapakah 9 + 7 ?, (3) berapakah 4 × 8 ?, (4) berapakah 11 × 9 ?, pastikan bahwa setiap siswa mengerti aturan dari jam aritmatika, bahwa hanya angka-angka yang ada dalam jam saja yang digunakan, yaitu 0, 1, 2, ..., 11, dan ketika hasil dari

5 11

0

6

2

9

1

3

4 7

10


(23)

perhitungan lebih dari 11 maka dilanjutkan 0, 1, dan seterusnya. Seperti jam, tidak ada angka 14 atau 27 pada sistem aritmatika ini.

Siswa dibagi ke dalam kelompok yang terdiri dari tiga atau empat orang, berilah masing-masing kelompok dengan lembar kerja, dan meminta kepada setiap kelompok untuk mengisi dan melengkapi lembar kerja dengan bekerja sama dalam kelompok, jelaskan kepada siswa bahwa mereka harus mengerjakan sendiri dalam kelompoknya tanpa bantuan langsung dari guru tetapi apabila ada kesulitan dalam menyelesaikan lembar kerja tersebut maka guru akan membantu.

LEMBAR KERJA SISWA

1. Isilah tabel penjumlahan dan perkalian dari “Jam” aritmatika di bawah ini.

+ 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 × 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

0 0

1 1

2 2

3 3

4 4

5 5

6 6

7 7

8 8

9 9

10 10

11 11

2. Apakah kamu melihat pola pada salah satu tabel di atas?

3. Apakah angka-angka pada jam aritmatika sama untuk penjumlahan? Dan untuk perkalian? Mengapa?


(24)

4. Cek kembali tabel yang telah kamu buat!

5. Apakah ada identitas penjumlahan pada jam aritmatika? Identitas perkalian? Jika ada, apakah angka tersebut?

6. Apakah penjumlahan bersifat komutatif? Perkalian bersifat komutatif? Bagaimana caramu mengetahuinya?

7. Apakah penjumlahan bersifat asosiatif? Perkalian bersifat asosiatif? Mengapa? 8. Apakah penjumlahan berdistribusi terhadap perkalian? Apakah perkalian

berdistribusi terhadap penjumlahan? Berikan alasan untuk jawabanmu.

9. Apakah setiap “Jam” memiliki angka invers penjumlahan? Buatlah daftar yang memuat pasangan angka pada “Jam” yang merupakan invers penjumlahan.

10. Apakah setiap “Jam” memiliki angka invers perkalian? Buatlah daftar yang memuat pasangan angka pada “Jam” yang merupakan invers perkalian.

11. Dapatkah kamu menemukan konsep-konsep lain dalam jam aritmatik? Kegiatan Penutup

Sebagai Pekerjaan Rumah (PR) guru dapat menyuruh siswa menemukan aritmatika modulo 3 dan modulo 4 dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama pada Lembar Kerja di atas.

Evaluasi terhadap keberhasilan pembelajaran ini yaitu siswa dapat melengkapi tabel Lembar Kerja dan Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan.


(25)

B. Masalah Kontekstual

Masalah kontekstual adalah masalah atau soal-soal berkonteks kehidupan nyata (kontekstual) yang konkret atau yang ada pada alam pikiran siswa (Wardhani, 2004). Masalah-masalah itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau cerita, bahasa lambang, benda konkret atau model (gambar, grafik, tabel, dan lain-lain).

Sabandar (2008) menyatakan bahwa soal – soal kontekstual dimaknai secara umum sebagai suatu situasi yang memuat masalah yang dapat dijangkau oleh pikiran siswa . Hal ini dimaksudkan agar siswa segera terlibat dalam proses belajar. Soal seperti ini tidaklah sekedar berkaitan dengan konteks kehidupan keseharian, tetapi juga dapat sesuatu yang fiktif namun dapat dijangkau oleh akal manusia, ataupun sesuatu yang kontekstual secara matematika.

Masalah-masalah yang diberikan oleh guru diharapkan dapat diselesaikan dengan menggunakan lebih dari satu cara atau strategi serta melibatkan lebih dari satu aktifitas berpikir tingkat tinggi. Sehingga siswa merasa tertarik dan sadar akan betapa kayanya cara dalam matematika dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Berdasarkan peluang yang disediakan oleh soal kontekstual bagi terbentuknya pengetahuan matematika, soal-soal kontekstual memuat konteks yang bertingkat dimulai dengan menyajikan terjemahan dari soal matematika yang disajikan dalam bentuk teks, menyajikan kesempatan bagi terjadinya matematisasi, serta memberikan peluang bagi siswa untuk menemukan konsep baru dalam matematika. Dengan disediakannya soal-soal kontekstual seperti ini maka peluang untuk siswa menemukan kembali (reinvention) gagasan-gagasan matematika menjadi lebih baik.


(26)

Pada pembelajaran biasa (konvensional) masalah atau soal kontekstual juga digunakan dalam pembelajaran, namun biasanya hanya pada bagian akhir pembelajaran sebagai contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang telah dipelajari. Sementara pada pembelajaran matematika yang kontekstual, masalah atau soal-soal kontekstual digunakan sebagai sumber awal pemunculan konsep sekaligus sebagai obyek penerapan matematika. Melalui masalah atau soal-soal kontekstual yang dihadapi, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip yang akan dipelajari. Pemberian masalah pada proses awal pembelajaran ini diharapkan dapat membuat siswa aktif berpikir sejak awal dan siswa sendiri yang berusaha membangun konsep yang akan dipelajari.

Menurut Polya (dalam Budhi, 2005: 2) ada 4 langkah yang perlu dilakukan dalam proses pemecahan masalah, yaitu:

1. Memahami masalah. Apakah kita mengetahui yang dicari atau ditanya? Apakah soal dapat disajikan dengan cara lain? Apakah informasi cukup untuk dapat menyelesaikan soal? Apakah kita dapat menggambar sesuatu yang dapat digunakan sebagai bantuan? Dan lain sebagainya.

2. Menyusun suatu strategi. Temukan hubungan diantara data yang tidak diketahui. Pernahkah anda melihat ini sebelumnya?

3. Melaksanakan rencana. Periksa tiap langkah. Apakah kita dapat melihat bahwa masing-masing langkah itu benar? Bisakah kita buktikan bahwa langkah itu benar?


(27)

4. Memeriksa kembali. Kaji kembali hasil yang didapatkan. Bisakah kita memeriksa hasil itu? Bisakah kita memeriksa argumennya? Bisakah kita melihatnya secara sekilas saja? Bisakah kita menggunakan hasilnya, atau metode itu untuk suatu masalah yang lain?

C. Kemampuan Penalaran Matematik

Penalaran adalah proses berfikir yang dilakukan dengan satu cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat individual. Tetapi dapat juga sebaliknya, dari hal yang bersifat individual menjadi kasus yang bersifat umum (Suherman dan Winataputra, 1993).

Shurter dan Pierce (dalam Dahlan, 2004: 21) menyatakan bahwa penalaran (reasoning) merupakan suatu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan, pentransformasian yang diberikan dalam urutan tertentu untuk menjangkau kesimpulan.

Penalaran matematika merupakan suatu kebiasaan otak seperti halnya kebiasaan yang lain harus dikembangkan secara konsisten menggunakan berbagai macam konteks, mengenal penalaran dan pembuktian merupakan aspek-aspek fundamental dalam matematika (Turmudi, 2008: 59). Logika penalaran akan membimbing kita menemukan arah dan tujuan dari suatu problem dan sekaligus bisa merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan terarah untuk mencapai arah tujuan tersebut (Alisah, 2007: 157).


(28)

Dari uraian di atas, maka penalaran merupakan proses berfikir atau kebiasaan otak untuk mencapai kesimpulan logis dari suatu masalah berdasarkan fakta dan sumber yang relevan serta bisa merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan terarah dalam mencapai kesimpulan tersebut.

Ada dua macam penalaran dalam matematika yaitu penalaran induktif (induksi) dan penalaran deduktif (deduksi). Penalaran induktif, sebagai contoh ketika setiap siswa atau setiap kelompok siswa diminta untuk: 1) Membuat lingkaran dengan jari-jari berbeda-beda. 2) Membuat sudut pusat yang besarnya tertentu yang menghadap busur AB. 3) Membuat sudut keliling yang menghadap busur yang sama. 4) Mengukur besar sudut pusat dan sudut keliling. 5) Membandingkan besar atau ukuran kedua sudut tersebut. 6) Menyimpulkan, berdasar hasil teman atau kelompok lain bahwa hubungan besar sudut pusat dan besar sudut keliling jika menghadap busur yang sama.

Dengan demikian, telah terjadi proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi khusus yang sudah diketahui menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum (general). Sehingga, jelaslah bahwa induksi merupakan suatu kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasar beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Di dalam ilmu pengetahuan, proses tersebut dikenal dengan metode eksperimental (scientific method), sedangkan di matematika disebut dengan penalaran induktif dan hasilnya masih disebut dugaan (conjectures).


(29)

Jacobs (1982) menyatakan: Penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar dengan menggunakan logika. Jika penalaran induktif merupakan proses berpikir dari khusus ke umum, maka penalaran deduktif merupakan proses berpikir dari bentuk yang umum (berupa aksioma atau postulat) ke bentuk yang khusus.

Menurut The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2003 ( Mullis, et. Al., 2003) penalaran matematika meliputi kecakapan logis dan berfikir sistematis. Penalaran tersebut meliputi penalaran intuitif dan induktif yang berdasarkan pada pola-pola dan aturan-aturan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah non-rutin. Masalah non-rutin adalah masalah yang tidak dikenal oleh siswa, yang prosedur penyelesaiannya memerlukan perencanaan, tidak sekedar menggunakan rumus, teorema atau dalil. Masalah non-rutin tersebut memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi untuk menyelesaikannya dibandingkan dengan menyelesaikan masalah yang sebelumnya telah dipelajari. Masalah non-rutin tersebut mungkin murni matematika atau mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Kedua tipe masalah non-rutin tersebut, meliputi transfer pengetahuan dan keterampilan ke dalam situasi baru, dan interaksi antar keterampilan bernalar.

Pemberian penalaran yang dimulai sejak usia dini memberikan banyak keuntungan, khususnya bagi pembelajaran matematika di masa depan anak. Baroody (dalam Hasanah, 2004) menemukan beberapa keuntungan apabila anak diperkenalkan dengan penalaran, yaitu:


(30)

1. Anak-anak perlu diberi kesempatan dan teratur untuk menggunakan keterampilan bernalar dan melakukan pendugaan. Pengalaman yang nyata dalam melihat pola, memformulasi dugaan tentang pola yang telah diketahui dan mengevaluasinya bersifat lebih informatif, sehingga dapat menolong siswa lebih memahami proses yang disiapkan pada doing mathematics dan eksplorasi dari matematika.

2. Mendorong siswa dalam melakukan Guessing. Sering siswa merasa takut dan cemas apabila ia ditanya oleh gurunya dan ia tidak mengetahui secara pasti apa jawaban yang diajukan kepadanya. Kecemasan atau ketakutan dalam pembelajaran matematika merupakan hal yang paling sering dialami oleh siswa, akibatnya dapat diduga bahwa siswa menjadi malas untuk belajar matematika. 3. Menolong siswa memahami nilai balikan negatif (negative feedback) dalam

memutuskan suatu jawaban. Anak perlu untuk memahami bahwa tebakan yang salah dapat menghilangkan kemungkinan yang pasti dari berbagai pertimbangan lebih jauh dan dapat melihat informasi yang tak bernilai (invaluable). Anak juga perlu untuk menghargai bahwa keefektifan dari suatu tebakan tergantung pada banyaknya kemungkinan yang dapat dihilangkan.

4. Secara khusus dalam matematika, anak harus memahami bahwa penalaran intuisi, penalaran induktif dan pendugaan, serta pembuktian logis atau penalaran deduktif memainkan peranan yang penting, mereka harus menyadari atau dibuat sadar bahwa intuisi merupakan dasar untuk kemampuan tingkat tinggi dalam matematika dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Anak juga harus ditolong untuk dapat memahami bahwa intuisi diperlukan secara substansif dalam membuat


(31)

contoh, mengumpulkan data dan dalam menggunakan logika deduktif. Selain itu, anak juga perlu untuk memahami bahwa penemuan pola dari berbagai contoh yang luas selalu terdapat suatu kemungkinan ditemukannya suatu kekecualian, sehingga dapat dijustifikasi suatu pola dan pada akhirnya dapat dibuktikan secara deduktif.

Sumarmo (dalam Dwirahayu, 2005) mengungkap beberapa indikator penalaran matematik pada pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat: 1. Menarik kesimpulan logik,

2. Memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, 3. Memperkirakan jawaban dan proses solusi,

4. Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, 5. Menyusun dan menguji konjektur,

6. Merumuskan lawan contoh (counter example),

7. Mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, 8. Menyusun argumen yang valid, dan

9. Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematik.

D. Pembelajaran Biasa (Konvensional)

Pembelajaran biasa disebut juga pembelajaran konvensional atau pembelajaran tradisional. Menurut Ruseffendi (1991: 74) pembelajaran secara konvensional (biasa) pada umumnya mempunyai kekhasan tertentu, lebih


(32)

mengutamakan hasil daripada proses dan pengajaran yang berpusat pada guru. Selanjutnya Ruseffendi (1991: 290) mengungkapkan bahwa metode ekspositori sama dengan cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai pada pengajaran matematika. Berdasarkan pendapat tersebut, yang dimaksud dengan pembelajaran biasa adalah pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori secara klasikal.

Ruseffendi (1991: 290) menyatakan bahwa gambaran sepintas mengenai pembelajaran biasa yaitu diawali oleh guru memberikan informasi, kemudian menerangkan suatu konsep, siswa bertanya, guru memeriksa, apakah siswa sudah mengerti atau belum, memberikan contoh soal penerapan konsep, selanjutnya siswa diminta untuk mengerjakan soal di papan tulis. Siswa bekerja secara individual atau bekerja sama dengan teman sebangku. Selanjutnya siswa mencatat materi yang diterangkan dan terakhir diberikan soal-soal pekerjaan rumah.

Gambaran langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada pembelajaran biasa adalah sebagai berikut :

1. Guru menjelaskan indikator pembelajaran, memotivasi, mengingatkan materi prasyarat dan menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran.

2. Guru menjelaskan mengenai pola/aturan/dalil tentang suatu konsep/topik yang dipelajari sehingga siswa memahami konsep/topik tersebut.

3. Guru memberikan contoh penerapan konsep, memberi latihan untuk dikerjakan di papan tulis atau di buku siswa. Saling bertanya antara siswa, antara guru dan siswa dalam menyelesaikan soal.


(33)

4. Guru membimbing siswa agar memahami cara menyelesaikan contoh-contoh soal (soal biasa dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari) yang diberikan, dimulai dari contoh yang mudah hingga contoh soal yang sulit.

5. Guru memberikan soal-soal latihan pada siswa untuk dikerjakan di rumah.

Dari gambaran pembelajaran tersebut tampak bahwa guru mengawali pembelajaran dengan menjelaskan indikator dan mempersiapkan siswa untuk memasuki pembelajaran dengan materi yang baru, dan mengingatkan kembali pada pengetahuan yang telah dimiliki siswa yang menjadi prasyarat dari materi yang akan disampaikan. Selanjutnya guru menyampaikan materi/bahan ajar. Pada tahap ini guru seharusnya memberi informasi yang jelas dan spesifik pada siswa, sehingga diperoleh dampak yang positif terhadap proses belajar siswa. Tahap selanjutnya guru memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan latihan soal. Pada tahap ini guru akan mendapat masukan mengenai keberhasilan belajar siswa. Kemudin guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan atau keterampilan yang dipelajarinya pada kehidupan sehari-hari. Dan yang terakhir guru mengecek kemampuan siswa dan memberikan umpan balik.

E. Sikap Siswa Terhadap Matematika

Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara berbeda-beda,


(34)

mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian, sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika.

Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa pendapat, antara lain Ruseffendi (1991), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (dalam Shadiq, 2008) siswa yang hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika yang secara perlahan menurun.

Menurut Ruseffendi (1991) siswa yang memiliki sikap positif terhadap matematika memiliki ciri antara lain mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, menyelesaikan tugas dengan baik, berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas rumah dengan tuntas dan selesai pada waktunya, dan merespons dengan baik tantangan yang datang dari bidang studi itu.

F. Hasil Penelitian yang Relevan

Dahar (1996: 103) menyatakan bahwa secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Bruner (dalam Dahar, 1996:103) bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri


(35)

untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.

Turmudi (2008: 70) mengungkapkan untuk memahami apa yang siswa pelajari mereka harus bertindak dengan kata kerja mereka sendiri menguji, menyatakan, mentransformasi, menyelesaikan, menerapkan, membuktikan, dan mengomunikasikan. Hal ini sesuai dengan indikator-indikator kemampuan penalaran matematik, dan pada umumnya kemampuan-kemampuan tersebut terjadi ketika siswa belajar dalam kelompok, terlibat dalam diskusi, membuat presentasi, dan bertanggung jawab dengan yang mereka pelajari sendiri

Pada pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing, siswa dapat menemukan konsep-konsep dalam matematika diawali dengan masalah. Masalah atau soal-soal kontekstual digunakan sebagai sumber awal pemunculan konsep sekaligus sebagai obyek penerapan matematika. Melalui masalah kontekstual yang dihadapi, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara, alat matematis atau model matematis sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip yang akan dipelajari.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurkholis (2003) terhadap siswa kelas III SMP pada topik trigonometri, menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan metode penemuan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan cara biasa.

Penelitian yang dilakukan oleh Melwina (2003) terhadap siswa kelas II SMP pada topik persegi dan persegi panjang secara umum menyimpulkan bahwa


(36)

kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode penemuan berkembang menuju ke arah berpikir matematik tingkat tinggi, tingkat II akhir, yaitu siswa dapat menetapkan rumus yang akan digunakan untuk memecahkan persoalan yang diberikan. Respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan metode penemuan juga positif.

Begitu pula penelitian yang dilakukan Kurnia (2004) menemukan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran berdasarkan masalah dengan metode penemuan lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan cara biasa. Studi yang dilakukan Priatna (2003) pada siswa kelas 3 SLTP Negeri di kota Bandung menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan penalaran dan kemampuan pemahaman matematik siswa.

Trisnadi (2006) menemukan bahwa kemampuan generalisasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penemuan terbimbing dalam kelompok lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran matematika dengan cara biasa, dan sikap siswa positif terhadap pembelajaran penemuan terbimbing, matematika dan belajar kelompok.

Hasil penelitian yang dilakukan Suriadi (2006) menyimpulkan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan discovery yang menekankan aspek analogi menunjukkan pemahaman matematik relasional secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara biasa. Aspek analogi yang dimaksud yaitu menghubungkan dua hal yang berlainan berdasarkan


(37)

keserupaannya dan berdasarkan keserupaan tersebut ditarik kesimpulan sehingga dapat digunakan sebagi penjelas atau sebagai dasar penalaran.

Beberapa hasil penelitian di atas memberikan gambaran awal kepada peneliti bahwa siswa yang pada umumnya masih kurang dalam hal kemampuan matematika memerlukan suatu metode belajar yang lebih mengaktifkan siswa, dan salah satu metode belajar tersebut adalah metode penemuan terbimbing. Oleh karena itu, diduga bahwa proses kegiatan belajar matematika yang akan dikembangkan, dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa khususnya untuk siswa MTs.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, dengan tujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan sebab-akibat tersebut dengan cara memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada kelompok eksperimen dan menyediakan kelompok kontrol untuk perbandingan. Dengan bentuk desain kelompok kontrol pretes–postes, desain penelitian yang dilakukan adalah The Randomized Pre-test Pos-test Control Group Design (Fraenkel, Wellen, 1993: 248). Dipilih dua sampel kelas yang homogen secara acak, dan kepada mereka disajikan pembelajaran yang berbeda.

Adapun desain penelitiannya adalah sebagai berikut: Kelas Eksperimen : A O X O Kelas kontrol : A O O Dimana : A : Pemilihan sampel secara acak

O : Observasi pretes / postes

X : Perlakuan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual.


(39)

Penelitian ini melibatkan interaksi, partisipasi, dan kolaborasi antara peneliti dan siswa. Peneliti dalam hal ini sekaligus berperan sebagai guru pada siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen, siswa diberi perlakuan khusus, berupa pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual, sementara kelas kontrol tidak diberikan perlakuan khusus dengan kata lain menggunakan pembelajaran biasa.

Pengukuran/observasi kemampuan penalaran matematik siswa dilakukan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Pengukuran sebelum diberikan perlakuan (pretes) bertujuan untuk melihat apakah terdapat kesetaraan kemampuan awal kedua kelompok terhadap kemampuan penalaran matematik.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini adalah studi eksperimen yang dilaksanakan di MTs Sirnamiskin Bandung dengan populasi keseluruhan siswa-siswi kelas VII semester 2 tahun pelajaran 2008/2009.

Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Randomized Cluster Sampling, artinya memilih secara acak dari kelompok-kelompok atau cluster (kelas-kelas) yang ada dalam populasi. Keseluruhan populasi terdiri dari empat kelas yaitu kelas VII-1, VII-2, VII-3, dan VII-4. Dari empat kelas ini dipilih dua kelas secara acak kelas. Cara acak bertujuan agar setiap anggota populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi anggota sampel, dan agar pemilihan sampel ini terhindar dari hal-hal


(40)

yang bersifat subyektif atau rekayasa. Dengan demikian, data yang diperoleh lebih bersifat obyektif atau apa adanya.

Pemilihan dilakukan dengan cara mengundi, dan pilihan jatuh pada kelas VII-3 dan VII-4. Dari kedua kelas ini dipilih lagi secara acak untuk menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan undian terpilih kelas VII-3 dengan jumlah siswa 32 orang sebagai kelompok eksperimen dan kelas VII-4 dengan jumlah siswa 29 orang sebagai kelompok kontrol.

C. Instrumen Penelitian

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan tiga macam instrumen penelitian, yaitu: tes kemampuan penalaran matematik berbentuk uraian, angket skala sikap siswa dengan model skala Likert dan lembar observasi terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual yang diberikan.

C.1. Tes Kemampuan Penalaran Matematik a. Penyusunan Tes

Tes kemampuan penalaran matematik yang digunakan berbentuk uraian, dengan maksud untuk melihat proses pengerjaan yang dilakukan siswa agar dapat diketahui sejauhmana siswa mampu melakukan penalaran matematik.

Penyusunan tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi yang mencakup kompetensi dasar, indikator, aspek yang diukur beserta skor penilaiannya dan nomor


(41)

butir soal. Setelah membuat kisi-kisi soal, dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawabannya dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal.

Bahan tes disesuaikan dengan indikator-indikator kemampuan penalaran matematik yang digunakan pada penelitian ini, yaitu menarik kesimpulan logik, memberikan penjelasan dengan model, fakta, sifat-sifat dan hubungan, memperkirakan jawaban dan proses solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik pada pokok bahasan Segitiga.

Adapun pemberian skor untuk soal-soal penalaran mengikuti pedoman dari Cai, Lane, dan Jakabcsin, Ansari (dalam Ratnaningsih, 2003). Adalah seperti berikut:

Tabel 3.1

Pemberian Skor Soal Penalaran Matematik

Respon Siswa terhadap Soal Skor

Tidak ada jawaban/Menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan/Tidak ada yang benar

0

Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 1 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 2 Semua aspek pertanyaan dijawab dengan lengkap/jelas dan benar 3

Adanya sebuah pedoman pemberian skor dimaksudkan agar terjadinya sebuah hasil yang obyektif karena pada setiap langkah jawaban yang dinilai pada jawaban siswa selalu berpedoman pada patokan yang jelas sehingga mengurangi kesalahan pada penilaian.


(42)

b. Analisis Tes

Untuk memperoleh perangkat tes yang memenuhi kriteria tes yang baik, maka sebelum digunakan, tes yang telah disusun dikonsultasikan validitas isi (content validity) dan validitas mukanya (face validity) kepada sesama peneliti untuk mendapatkan masukan, baru kemudian kepada pembimbing. Validitas isi suatu tes artinya ketepatan tes tersebut ditinjau dari segi materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai tes tersebut merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai (Suherman, 2001). Validitas muka disebut juga validitas bentuk soal atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan tafsiran lain. Validitas lain yang harus diperiksa adalah validitas empiris yaitu validitas yang diperoleh dengan melalui observasi atau pengalaman empirik, menggunakan kriteria untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas yang dibuat melalui perhitungan korelasi.

Validitas ini diketahui setelah perangkat tes diujicobakan. Setelah mendapat masukan tentang validitas tes pada beberapa soal dilakukan revisi seperlunya. Selanjutnya tes diuji cobakan dan dianalisis validitas empiriknya, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukarannya. Perangkat tes diujicobakan pada siswa kelas 2 (VIII) SMP Negeri 3 Cugenang Cianjur. Setelah dilakukan pemeriksaan dan pemberian skor terhadap jawaban siswa, maka kegiatan selanjutnya adalah menganalisa tes berdasarkan skor jawaban yang diperoleh. Berikut adalah hasil


(43)

analisis validitas empiriknya, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran dari tes.

1) Analisis Validitas Tes

Klasifikasi koefisien validitas menurut Guilford (Suherman dalam Putri, 2006) adalah:

Tabel 3.2.

Klasifikasi Koefisien Validitas Nilai rxy Interpretasi

0,90 < rxy ≤ 1,00 0,70 < rxy ≤ 0,90 0,40 < rxy≤ 0,70 0,20 < rxy≤ 0,40 0,00 < rxy≤ 0,20

rxy ≤ 0,00

Sangat tinggi Tinggi (baik) Sedang (cukup) Rendah Sangat rendah Tidak valid

Gambaran hasil perhitungan signifikasi dan derajat validitas butir soal dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3.

Perhitungan Validitas Tes Penalaran Matematik No. Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi

1.a 0.640 Sedang Signifikan

1.b 0.856 Tinggi Sangat Signifikan

1.c 0.648 Sedang Signifikan

1.d 0.794 Tinggi Sangat Signifikan

2.a 0.685 Sedang Signifikan

2.b 0.762 Tinggi Sangat Signifikan

3 0.599 Sedang Signifikan

4 0.674 Sedang Signifikan

5 0.664 Sedang Signifikan


(44)

Dari 10 soal yang digunakan untuk menguji kemampuan penalaran matematik tersebut berdasarkan kriteria validitas tes dari Guilford diperoleh 7 soal yang mempunyai validitas sedang, dan 3 soal sisanya yang mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya tidak semua soal mempunyai validitas yang baik. Begitu juga kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas terlihat 7 soal yang signifikan dan 3 soal lainnya sangat signifikan.

2) Analisis Reliabilitas Tes

Klasifikasi koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman dalam Putri, 2006) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4.

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Nilai

r

11 Interpretasi

r11< 0,20 0,20 ≤ r11< 0,40 0,40 ≤ r11 < 0,70 0,70 ≤ r11 < 0,90 0,90 ≤ r11 1,00

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dapat menggunakan rumus Alpha, tetapi disini penulis langsung menggunakan program Anates V4 seperti pada perhitungan validitas soal dan hasilnya dapat dilihat pada lampiran. Dari hasil perhitungan didapat nilai korelasi

r

11 = 0,89 untuk soal


(45)

reliabilitas tes dari Guilford maka dapat dikatakan bahwa soal tes penalaran matematik secara keseluruhan memiliki reliabilitas yang tinggi.

3) Analisis Daya Pembeda

Menentukan Daya Pembeda (DP) dari tiap soal. Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi atau pandai (termasuk dalam kelompok unggul) dengan siswa yang berkemampuan rendah atau kurang (termasuk kelompok asor). Sebuah soal dikatakan memiliki daya pembeda yang baik jika siswa yang pandai dapat mengerjakan dengan baik dan siswa yang berkemampuan kurang tidak dapat mengerjakannya dengan baik. Proses penentuan kelompok unggul dan kelompok asor ini adalah dengan cara terlebih dahulu mengurutkan skor total setiap siswa mulai dari skor tertinggi sampai dengan yang terendah (menggunakan perhitungan dengan AnatesV4) yang dapat dilihat dalam lampiran. Dari hasil perhitungan tersebut dapat langsung dilihat daya pembeda dari tiap butir soal.

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan menurut To (dalam Putri, 2006) adalah sebagai berikut:

Negatif – 10% = sangat buruk, harus dibuang 10% – 19% = buruk, sebaiknya dibuang

20% – 29% = agak baik, kemungkinan perlu direvisi 30% – 49% = baik


(46)

Dari hasil perhitungan, diperoleh daya pembeda tiap butir soal yang kemudian diinterpretasikan dengan klasifikasi daya pembeda dari To, yang secara terinci disajikan pada Tabel 3.5. dibawah ini:

Tabel 3.5.

Daya Pembeda Tiap Butir Soal Penalaran Matematik No. Soal Daya Pembeda Interpretasi

1.a 45,83 Baik

1.b 54,17 Sangat Baik

1.c 37,50 Baik

1.d 50,00 Sangat Baik

2.a 45,83 Baik

2.b 58,33 Sangat Baik

3 41,67 Baik

4 45,83 Baik

5 50,00 Sangat Baik

6 37,50 Baik

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes penalaran matematik yang terdiri dari 10 soal tes, terdapat empat soal yang memiliki daya pembeda yang sangat baik yaitu soal nomor 1b, 1d, 2b, dan 5, dan terdapat enam soal yang daya pembedanya baik yakni soal nomor 1a, 1c, 2a, 3, 4, dan 6.

4) Analisis Tingkat Kesukaran Soal

Tingkat kesukaran soal adalah peluang menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu, yang biasanya dinyatakan dengan indeks atau


(47)

persentase. Semakin besar persentase tingkat kesukaran maka semakin mudah soal tersebut.

Klasifikasi interpretasi untuk tingkat kesukaran soal yang digunakan menurut To (dalam Putri, 2006) adalah:

0% – 15% = sangat sukar 16% – 30% = sukar 31% – 70% = sedang 71% – 85% = mudah 86% –100%= sangat mudah

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan AnatesV4, diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal yang rangkumannya secara terinci disajikan pada Tabel 3.6 berikut ini:

Tabel 3.6.

Tingkat Kesukaran Tiap Butir Soal Penalaran Matematik No. Soal Tingkat Kesukaran (%) Interpretasi

1.a 56,25 Sedang

1.b 68,75 Sedang

1.c 64,58 Sedang

1.d 25,00 Sukar

2.a 52,08 Sedang

2.b 58,33 Sedang

3 29,17 Sukar

4 47,92 Sedang

5 50.00 Sedang

6 39,58 Sedang

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal yang mengukur kemampuan penalaran matematik siswa yang terdiri dari 10 soal tes, terdapat dua soal yang


(48)

memiliki tingkat kesukaran sukar yaitu soal nomor 1d dan nomor 3; dan delapan soal lainnya memiliki tingkat kesukaran yang sedang.

5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes

Kesimpulan dari semua perhitungan analisis hasil uji coba soal tes penalaran matematik disajikan secara lengkap pada Tabel 3.7 di bawah ini:

Tabel 3.7.

Rekapitulasi Analisis Hasil Uji coba Soal Tes Penalaran Matematik No.

Soal

Interpretasi Validitas

Interpretasi Tingkat Kesukaran

Interpretasi Daya Pembeda

Interpretasi Reliabilitas

1.a Sedang Sedang Baik

Tinggi

1.b Tinggi Sedang Sangat Baik

1.c Sedang Sedang Baik

1.d Tinggi Sukar Sangat Baik

2.a Sedang Sedang Baik

2.b Tinggi Sedang Sangat Baik

3 Sedang Sukar Baik

4 Sedang Sedang Baik

5 Sedang Sedang Sangat Baik

6 Sedang Sedang Baik

Pada tabel 3.7. didapat tiga soal yang memiliki kriteria validitas sedang, yaitu soal nomor 1.b, 1.d, dan 2.b. Kemudian, soal nomor 1.d dan 3 memiliki tingkat kesukaran sukar , dan selebihnya sedang. Daya pembeda dari sepuluh soal kemampuan penalaran matematik diperoleh empat soal mempunyai daya pembeda


(49)

sangat baik, yaitu soal nomor 1.b, 1.d, 2.b, dan 5. Secara keseluruhan, soal tes kemampuan penalaran matematik pada materi Segitiga memiliki Reliabilitas yang tinggi, sehingga semua soal yang menjadi instrumen pada penelitian ini dapat digunakan.

C.2. Skala Sikap Siswa

Skala sikap siswa dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap sikap siswa. Sikap siswa tersebut berkenaan dengan sikap siswa terhadap matematika dan terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual. Skala sikap ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert dengan empat option. Dengan demikian, menurut Suherman (2003) pemberian skor untuk setiap pernyataan adalah 1 (STS), 2(TS), 3(S), 4(SS) dan sebaliknya untuk pernyataan negatif diberikan skor 1 (SS), 2(S), 3(TS), 4(STS). Ke empat option ini berguna untuk menghindari sikap ragu-ragu untuk tidak memihak pada suatu pernyataan yang diajukan. Pernyataan skala sikap ini terdiri atas pernyataan-pernyataan positif dan negatif. Hal ini dimaksudkan agar siswa yang menjawab tidak asal-asalan karena suatu kondisi pernyataan yang monoton, sehingga membuat siswa cenderung malas berpikir. Menuntut agar siswa membaca dengan lebih teliti atas pernyataan yang diajukan, sehingga hasil yang diperoleh dari pengisian siswa terhadap skala sikap diharapkan lebih akurat.

C.3. Lembar Observasi

Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran langsung mengenai aktivitas siswa selama proses berlangsungnya pembelajaran. Dari hasil


(50)

observasi ini akan diperoleh data yang dijadikan bahan evaluasi, dan data ini bersifat relatif, karena dapat dipengaruhi oleh keadaan dan subjektivitas pengamat. Pedoman observasi berguna untuk mengarahkan observer dalam mengumpulkan data sesuai dengan yang diharapkan, sehingga data yang terkumpul akan mengena pada sasarannya.

Adapun dalam penelitian ini, dalam melakukan observasi setiap tindakan yang diambil yaitu aktivitas belajar siswa pada kelas eksperimen. Lembar observasi digunakan pada kelas eksperimen karena indikator-indikator pengamatan yang dikembangkan dibuat khusus untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran berdasarkan masalah dengan metode penemuan terbimbing dalam aspek kemampuan penalaran matematik.

D. Prosedur Penelitian

Prosedur pada rencana penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi masalah dan tujuan penelitian 2. Penyusunan instrumen dan bahan ajar

3. Melakukan uji coba instrumen

4. Menganalisis hasil uji coba instrumen 5. Melakukan perbaikan instrumen

6. Melakukan observasi di sekolah tempat penelitian dilaksanakan untuk menentukan kelas paralel yang mempunyai kemampuan setara untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.


(51)

7. Melakukan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan awal siswa terhadap materi yang akan diberikan sebelum perlakuan dilaksanakan.

8. Melaksanakan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berdasarkan masalah kontekstual di kelas eksperimen dan pembelajaran biasa di kelas kontrol 9. Melakukan observasi pada kelas eksperimen di setiap pembelajaran.

10. Melakukan tes akhir (postes) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

11. Memberikan angket siswa sesudah pembelajaran selesai pada kelas eksperimen. 12. Menganalisis data dan membuat kesimpulan.

13. Menuliskan laporan penelitian.

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data nilai pretes kemampuan penalaran matematik kelas eksperimen dan kelas

kontrol.

2. Data nilai postes kemampuan penalaran matematik kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Data skala sikap kelas eksperimen.

4. Data hasil observasi pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual.

Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan adalah uji kesamaan dua rata-rata, dan perhitungan dilakukan dengan menggunakan


(52)

Microsoft Office Excel dan Software SPSS 13,0 for Windows dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menghitung statistik deskriptif skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain yakni skor terendah, skor tertinggi, rata-rata, dan simpangan baku.

2. Menguji normalitas skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain dengan uji non- parametrik One-Sample Kolmogorov-Smirnov pada taraf konfidensi 95%.

3. Menguji homogenitas varians dengan uji Levene dalam One-Way Anova atau dalam Independent sample t-test pada taraf konfidensi 95%.

4. Menguji hipotesis penelitian dengan uji kesamaan dua rata-rata pada taraf konfidensi 95%. Jika data normal dan homogen, menggunakan statistik uji-t dengan Independen sample t-test, apabila data berdistribusi tidak normal, maka pengujiannya menggunakan uji non-parametrik untuk dua sampel yang saling bebas pengganti uji-t yaitu uji Mann-Whitney.

5. Untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran matematik siswa antara sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan menggunakan rumus:

Gain Ternormalisasi (g) =

pretes skor ideal skor pretes skor postes skor − −

dengan kriteria indeks gain berdasarkan kategori Hake (Meltzer, 2002) seperti pada Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Kriteria Skor Gain Ternormalisasi Skor Gain Interpretasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 < g < 0,7 Sedang


(53)

Untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan penalaran matematik kelompok eksperimen lebih menyebar dibanding kelompok kontrol perlu diuji secara statistik.

Uji normalitas data skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kemampuan penalaran matematik siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan hipotesis:

H0 : Data berasal dari populasi berdistribusi normal H1 : Data berasal dari populasi tidak berdistribusi normal Dengan kriteria: tolak H0 jika P value < α

2 1

(Trihendardi, 2005: 245)

Uji homogenitas antara dua varians pada skor pretes, skor postes, dan skor N-Gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, menggunakan uji Levene dengan rumusan hipotesis:

H0 : ( 2 1

σ ) = (σ22) Varians populasi skor kedua kelompok homogen H1 : (

2 1

σ )≠(σ22) Varians populasi skor kedua kelompok tidak homogen Keterangan : σ12 = Varians skor kelompok eksperimen;

σ22= Varians skor kelompok kontrol;

Dengan kriteria: tolak H0 jika P Value <α (Trihendardi, 2005: 158).

Jika data berdistribusi normal dan homogen, uji kesamaan rata-rata skor postes dan N-Gain antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol menggunakan uji dua pihak, untuk menguji rumusan hipotesis:


(54)

H0 : µ1=µ2 : Tidak ada perbedaan rata-rata gain penalaran matematik siswa

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

H1 : µ1≠µ2 : Terdapat perbedaan rata-rata gain penalaran matematik siswa

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Keterangan : µ1 = rerata kelompok eksperimen;

µ2 = rerata kelompok kontrol

Dengan kriteria pengujian dua arah: tolak H0 jika P Value< α 2 1

.

6. Pengolahan data hasil pengisian angket skala pendapat siswa terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual. Pemberian skor untuk tiap option sikap siswa terhadap pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing melihat bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaan positif, maka skornya dimulai dari 4 bila menjawab SS, skor 3 bila menjawab S, skor 2 bila menjawab TS dan skor 1 bila menjawab STS. Sedangkan pertanyaan yang bernilai negatif, maka skornya dimulai dari 1 bila SS, skor 2 bila menjwab S, skor 3 bila menjawab TS dan skor 4 bila menjawab STS. Penulis tidak menggunakan option Netral (N) untuk menghindari jawaban aman dan mendorong untuk keberpihakan.

Kemudian mencari skor netral butir skala sikap, membandingkan skor sikap siswa untuk setiap item, indikator, dan klasifikasi skala sikap dengan sikap netralnya, untuk melihat kecenderungan sikap siswa. Sikap siswa dikatakan


(55)

positif jika skor sikap siswa lebih besar dari sikap netralnya, sebaliknya disebut negatif jika skor sikap siswa lebih kecil dari skor netralnya.

7. Pengolahan data dari lembar observasi dilakukan dari hasil penilaian yang dilakukan pada setiap aspek kegiatan siswa dalam lembar observasi tersebut dinyatakan secara kualitatif dalam lima kategori penilaian, yaitu Sangat Kurang (SK), Kurang (K), Cukup (C), Baik (B), dan Sangat Baik (SB). Data kualitatif hasil pengamatan tersebut dikonversikan menjadi data kuantitatif. Kategori Sangat Kurang (SK) diberi skor 1, kategori Kurang (K) diberi skor 2, kategori Cukup (C) diberi skor 3, kategori Baik (B) diberi skor 4, dan Sangat Baik (SB) diberi skor 5. Setelah itu dari 5 kali pertemuan hasil observasi dicari rata-ratanya dan dipersentasekan.


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan dalam bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

2. Kemampuan penalaran matematik siswa yang mendapatkan pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual memiliki kualitas peningkatan sedang.

3. Sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual adalah positif.

B. Saran-Saran

Berdasarkan dari kesimpulan dan temuan lainnya terhadap pembelajaran dari penelitian ini maka diperoleh beberapa saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan terhadap penggunaan pendekatan pembelajaran


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan dalam bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran

matematik antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.

2. Kemampuan penalaran matematik siswa yang mendapatkan pembelajaran

matematika dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual memiliki kualitas peningkatan sedang.

3. Sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode penemuan

terbimbing berbasis masalah kontekstual adalah positif.

B. Saran-Saran

Berdasarkan dari kesimpulan dan temuan lainnya terhadap pembelajaran dari penelitian ini maka diperoleh beberapa saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan terhadap penggunaan pendekatan pembelajaran


(2)

matematika atau bahkan untuk penelitian lebih lanjut. Saran atau rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil temuan, pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing

berbasis masalah kontekstual dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran di sekolah untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematik siswa dan guru dapat berperan sebagai motivator, fasilitator dan manajer di kelas.

2. Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing berbasis masalah kontekstual

dapat digunakan oleh guru dalam upaya untuk menumbuhkan sikap positif siswa terhadap matematika, dengan cara mengaitkan materi dengan situasi nyata dan menunjukkan bahwa matematika banyak kegunaannya.

3. Bagi peneliti yang hendak melakukan penelitian dengan metode penemuan

terbimbing berbasis masalah kontekstual, hendaknya melakukan penelitian pada populasi yang lebih besar yang terdiri dari beberapa sekolah agar hasilnya dapat digeneralisasikan secara lebih luas lagi.


(3)

92

DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir (2002). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Teori Van Hiele Berbantuan Komputer. Prosiding Konferensi Nasional Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Ahmad (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SLTP dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Alisah, E. dan Dharmawan, E. P. (2007). Filsafat Dunia Matematika. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.

Bell, F. H. ((1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). United States of America: Brown Company Publisher.

Budhi, W.S. (2005). Langkah Awal Menuju Ke Olimpiade Matematika. Jakarta: CV. Ricardo.

Browning, G. 2006. Emergenetics. Tap into the New science of Success. New York: Harper Collins Publishers.

Cooney, D. (1975). Dynamics Of Teaching Secondary School Mathematics. U.S.A.: Houghton Mifflin Company

Dahar, R.W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Dahlan, J. A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi. Bandung: UPI. (Tidak dipublikasikan)


(4)

Dwirahayu, G. (2005). Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Analogi terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Hasanah, A. (2004). Mengembagkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah yang Menekankan pada Representasi Matematik. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Karso dan Suherman, E. (1993). Matematika dan Matematika Sekolah. Dalam Suherman dan Winataputra. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

Krismanto, Al. (2003). Berbagai Teknik, Model Dan Strategi Dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas

Laily, A.H. (2007). Pendekatan Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa Mengaplikasikan Konsep Matematika. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Maier, H. (1995). Kompendium Didaktik Matematika; Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Markaban. (2006). Model pembelajaran Matematika Dengan Penemuan Terbimbing. Yogyakarta: Depdiknas

Melwina, R. (2003). Penggunaan Metode Penemuan pada Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi Untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Skripsi. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Mullis, I.V.S. et. al. (2003). TIMMS. Assessment Frameworks and Specifications 2003. Trend in Mathematics and Science Study. The International Study Center Bortox College, Lynch School of Education

National Council of Teacher of Mathematics (2000). Principles and Standards for Schools Mathematics. Reston, VA: NCTM


(5)

94

Nurkholis, E. (2003). Penerapan Metode Penemuan pada Pokok Bahasan Trigonometri dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Skripsi. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Pranata, O.H. (2007). Pembelajaran Berdasarkan Tahap Belajar Van Hiele untuk Membantu Pemahaman Siswa Sekolah Dasar dalam Konsep Geometri Bangun Datar. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Purniati, T (2004). Pembelajaran Geometri Berdasarkan Tahap-tahap Awal Van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan) Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung:

Depdikbud Dikjen Dikti.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sabandar, J. (2007). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model.

[Online]. Tersedia:

http://www.ditnaga-dikti.org/ditnaga/files/PIP/mat-inovatif.pdf (6 April 2009)

Shadiq, F. (2008). Bagaimana Cara Guru Memanfaatkan Faktor Sikap dalam Pembelajaran Matematika? [Online]. Tersedia: http://fadjarp3g.files. wordpress. com/2008/12/08-afektif_limas_1.pdf (6 April 2009)

Sudjana, N dan Ibrahim. (2004). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Suhendra. (2005). Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Kelompok Belajar Kecil untuk Mengembangkan Kemampuan Siswa SMA pada Aspek Problem Solving Matematika. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Suherman, E. dan Winataputra, U. (1993). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.


(6)

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: UPI (tidak diterbitkan) Suriadi. (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Discovery yang Menekankan

Aspek Analogi Untuk Meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Trihendardi, C. (2005). Step by Step 13 Analisis Data Statistik. Yogyakarta: ANDI Trisnadi, A. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Generalisasi

Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Penemuan dalam Kelompok. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika. Jakarta: Leuser Cita Pustaka.

Wardhani, S. (2004). Pembelajaran Matematika Kontekstual di SMP. [Online].

Tersedia: http://p4tkmatematika.com/web/index2.php?option=comcontent

&do_pdf=1&id=139 (11 April 2009)

Zulkifli. (2005). Pembelajaran Pemantulan Cahaya Berbasis Penemuan untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Penalaran Siswa SMA. Tesis. Bandung: UPI (tidak diterbitkan)


Dokumen yang terkait

Pengaruh metode penemuan terbimbing (guided discovery method) dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran adaptif siswa kelas xi IPA: penelitian quasi eksperimen di SMAN 5 Kota Tangerang Selatan

6 70 244

Penggunaan bahan ajar berbasis penemuan terbimbing untuk meningkatkan kemampuan penalaran induktif matematis siswa

1 8 197

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KREATIVITAS MATEMATIK ANTARA SISWA YANG MENDAPAT PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING BERBASIS MASALAH OPEN-ENDED DENGAN SISWA YANG MENDAPAT PEMBELAJARAN EKSPOSITORI.

0 1 54

Perbandingan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematik Antara Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Penemuan Terbimbing.

1 5 63

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMA MELALUI PEMBELAJARAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENEMUAN TERBIMBING.

0 0 43

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING.

0 5 32

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENEMUAN TERBIMBING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP.

0 0 45

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING.

0 1 40

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIK DAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA SMP DENGAN METODE PENEMUAN TERBIMBING.

1 4 9

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK SISWA SMU MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.

0 1 40