89003595 Jurnal Demokrasi Dan Ham Vol9 No1 2011

DAFTAR ISI

Inggrid Galuh Mustikawati

11 Perjalanan Penegakan HAM Di ASEAN dan Peran Indonesia Dalam Mendukung Keberlanjutan AICHR

Mutiara Pertiwi

35 Understanding The Current ASEAN: The Competing Articulations of Order Behind The ASEAN Charter

Tatat Sukarsa

59 Kelembagaan ASEAN Dan Isu Lingkungan di Asia Tenggara

Jusmaliani

83 Komunitas ASEAN Dalam Masyarakat Dunia: Agenda Kerja Indonesia

Dean Y. Affandi 105 Kesiapan Usaha Kecil Menengah di Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA dan Pasar Tunggal ASEAN 2015

Bawono Kumoro 123 Resensi Buku: ASEAN di Tengah Dinamika Regional dan Global Bawono Kumoro 123 Resensi Buku: ASEAN di Tengah Dinamika Regional dan Global

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center vii

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol. 9 No. 1, 2011 “Peranan Indonesia Dalam Kepemimpinan ASEAN 2011”

Sejak tahun 2007, negara-negara di kawasan Asia Tenggara telah menegaskan komitmennya untuk memperkuat demokrasi, good governance, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tekad itu dinyatakan dalam The ASEAN Charter yang ditandatangani para pemimpin ASEAN di Singapura tahun 2007.

ASEAN mempunyai peranan yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan ekonomi, sosial, hukum dan lainnya bagi masyarakat ASEAN melalui kehidupan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya. Peranan yang strategis itu haruslah diusahakan secara bersama diantara negara ASEAN sehingga bisa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat ASEAN.

Sebagai salah bentuk adanya kesetaraan dan demokrasi, kepemimpinan ASEAN selalu berganti setiap setahun sekali. Tahun 2011 ini, Indonesia mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN. Pertanyaannya adalah apa peranan yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Ketua ASEAN yang baru untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi di kalangan negara ASEAN, sebagaimana Sebagai salah bentuk adanya kesetaraan dan demokrasi, kepemimpinan ASEAN selalu berganti setiap setahun sekali. Tahun 2011 ini, Indonesia mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN. Pertanyaannya adalah apa peranan yang bisa dilakukan Indonesia sebagai Ketua ASEAN yang baru untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi di kalangan negara ASEAN, sebagaimana

dinyatakan dalam The ASEAN Charter? Sebagai pemimpin ASEAN, Indonesia mempunyai tugas dan tanggung

jawab dalam mensukseskan agenda-agenda ASEAN diantaranya KTT ASEAN, ASEAN+1, ASEAN+3 dan persiapan East Asian Summit. Dari sisi substansi, berbagai permasalahan yang menumpuk di ASEAN juga harus bisa diselesaikan dengan baik. Indonesia mempunyai peranan yang strategis untuk mengarahkan dan menggerakkan ASEAN: ke arah mana dan bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada akan bisa diselesaikan dengan baik baik secara bilateral maupun multulateral.

Dalam Edisi Vol 9 No. 1 tahun 2011, Jurnal Demokrasi dan Ham memuat beberapa tulisan yang terkait dengan ASEAN dan peran serta Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. Tulisan pertama membahas perjalanan penegakan HAM di ASEAN dengan memberikan penekanan pada pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Tulisan kedua mengkaji masalah proses pembentukan ASEAN Charter dan permasalahan yang terkait dengan perbedaan konsep dan konsep yang dominan dalam pembuatan ASEAN Charter. Tulisan ketiga membahas masalah kerusakan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara ASEAN, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Tulisan keempat mengkaji berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjalankan kepemimpinannya pada 2011 ini, terutama dikaitkan dengan maslah integrasi ekonomi. Agenda kerja kepemimpinan Indonesia sebagai ketua ASEAN juga dibahas terutama yang terkait dengan tantangan global. Tulisan kelima mengkaji masalah usaha kecil dan menengah (UKM) dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN dan juga ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Edisi ini juga dilengkapi dengan resensi buku: ‘ Asean Di Tengah Dinamika Regional Dan Global’.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center ix

Hormat Kami, Jurnal Demokrasi dan HAM, 2011

The Habibie Center

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 11

PERJALANAN PENEGAKAN HAM DI ASEAN DAN PERAN INDONESIA DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN AICHR

Inggrid Galuh Mustikawati

Researcher at the Habibie Center Email: inggridgm@gmail.com

Abstract

The purpose of this paper is to give an overview of human rights enforcement in the region of Southeast Asia. The establishment of ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) as the starting point of human rights concern in Southeast Asia has led a contradictive point of view. For those who see the form of AICHR as a significant progress has argued that AICHR was a new breakthrough in Southeast Asia to answer critics from international community over the human rights enforcement. Yet, pessimistic view also emerged due to its skepticism over AICHR’s focus of work, namely promoting human rights only, it can not work beyond that. Furthermore, the role of Indonesia to support the work of AICHR still continues because Indonesia has a confidence in term of voicing human rights and democracy issues. At the conclusion, this paper explains several challenges in human rights enforcement in ASEAN countries.

Kata kunci: AICHR, ASEAN, konflik, HAM

I. Pendahuluan

Menginjak 62 tahun peringatan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), saat ini penegakan HAM mendapatkan dukungan kuat dari sistem konstitusi dan hukum di sebagian besar negara-negara di dunia seiring dengan meluasnya pemahaman dan penerapan nilai- nilai demokrasi. Secara berkala, permasalahan penegakan HAM juga menjadi perhatian khusus baik itu dari kalangan akademisi, media massa, praktisi hukum dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengingat kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM semakin meluas dan terbuka. Sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Universal HAM, bahwa deklarasi tersebut dimaksudkan sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat akan berusaha mengajarkan dan memberikan pendidikan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara- negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah- wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka (Mukadimah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, 1948). Dengan demikian, adanya Deklarasi HAM ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun pedoman bagi setiap orang maupun setiap negara dalam bertindak mengedepankan pentingnya aspek penegakan HAM.

Meskipun proliferasi instrumen HAM internasional berkembang begitu pesat sejak dideklarasikan pada 10 Desember 1948, tapi komitmen atas pengimplementasian Deklarasi Universal HAM mengalami krisis ketika berbagai kasus pelanggaran HAM muncul secara konsisten dan hampir terjadi setiap hari baik dilakukan oleh kelompok tertentu maupun oleh pemegang kekuasaan. Pada dasarnya Deklarasi Universal HAM adalah instrumen non-binding yang telah menjelma menjadi 8 instrumen HAM utama internasional yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi para negara anggota

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 13

(Kontras, 2008). Tidak hanya proses ratifikasi yang harus dilakukan oleh setiap negara anggota, namun adalah sebuah kewajiban untuk

mengimplementasikan instrumen-instrumen tersebut ke dalam kebijakan legislasi, yudisial dan administrasi.

Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, penegakan HAM menjadi perhatian khusus terutama bagi negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Peningkatan eskalasi kekerasan yang terjadi di negara-negara anggota ASEAN beberapa tahun terakhir mendorong pembentukan Komisi HAM ASEAN. Hal ini juga sejalan dengan komitmen negara-negara ASEAN untuk menjadikan penegakan HAM sebagai norma dan nilai bersama (common values) sebagaimana tercantum dalam Piagam ASEAN. Di samping itu, pembentukan Komisi HAM ASEAN secara tidak langsung juga bisa menjadi sebuah solusi efektif terhadap sejumlah permasalahan HAM yang dihadapi negara-negara anggota ASEAN khususnya terkait dengan permasalahan melemahnya peran dan citra ASEAN sebagai akibat dari ketidakmampuan lembaga regional tersebut dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM (Dirgantara, 2010). Meskipun banyak pihak yang meragukan komitmen ASEAN dalam mewujudkan Komisi HAM ASEAN, namun langkah ini dinilai

sebagai sebuah permulaan signifikan dalam rangka menegakkan HAM.

Tulisan ini bermaksud untuk memberikan deskripsi mengenai perjalanan penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara, khususnya pada negara anggota ASEAN dengan memberikan penekanan pada pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan perjalanannya dalam menunjukkan eksistensi institusi tersebut. Lebih lanjut penulis memaparkan peran Indonesia dalam penegakan HAM dan dukungan terhadap AICHR. Sebagai penutup, penulis menjabarkan tantangan- tantangan yang dihadapi oleh penegakan HAM di ASEAN.

II. Penegakan HAM di ASEAN

Dengan komposisi mayoritas negara sedang berkembang, ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967. Pada awalnya, pembentukan ASEAN ditujukan sebagai respon terhadap Perang Dingin dan ancaman komunisme di kawasan Asia Tenggara. Seiring dengan perkembangan kepentingan dan desakan masyarakat internasional, isu penegakan HAM menjadi isu penting dan integral di ASEAN. Pergeseran kepentingan ASEAN ini disebabkan oleh diakuinya ASEAN

sebagai aktor yang signifikan di kancah internasional. Pergeseran orientasi paradigma ASEAN dari pendekatan yang berpusat pada

negara ke arah pendekatan yang berorientasi pada masyarakat menjadi karakter baru dari ASEAN seiring dengan bergabungnya Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), dan Kamboja (1999).

Sepanjang kiprahnya dalam penegakan HAM, setiap negara-negara anggota ASEAN memiliki sikap berbeda dalam menangani segala persoalan terkait penegakan HAM di masing-masing negara. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang berbeda-beda yang secara tidak langsung mempengaruhi interpretasi masing-masing negara mengenai masalah HAM. Dengan demikian kebebasan berekspresi dan berpendapat disikapi berbeda-beda oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Belum lagi dengan masih melekatnya prinsip nonintervensi dan konsensus dalam proses pengambilan keputusan sehingga ruang gerak untuk menegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara menjadi terbatas.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa isu penegakan HAM menjadi isu penting, seiring peningkatan kesadaran global terhadap masalah demokrasi, lingkungan hidup, perdagangan bebas, dan terorisme. Untuk itu, komitmen kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN di tingkat regional sangat diperlukan. Pernyataan bersama para Menteri Luar Negeri ASEAN di Singapura pada Juli 1993, Deklarasi ASEAN Inter Parliamentary Organization (AIPO)

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 15

mengenai HAM di Kuala Lumpur pada Agustus 1993, keikutsertaan seluruh negara anggota ASEAN dalam Konferensi Dunia mengenai HAM di Wina 1993, dan pembentukan suatu mekanisme HAM regional adalah contoh dari serangkaian komitmen yang dimiliki oleh negara anggota ASEAN untuk memajukan isu penegakan HAM (Dirgantara, 2010).

Terkait dengan gagasan pembentukan mekanisme HAM regional, Working Group for an ASEAN Human Rights Mechanism merupakan sebuah kelompok pemerhati HAM di kawasan Asia Tenggara, mendukung dan memberikan komitmen yang tinggi untuk mengembangkan gagasan tersebut. Hal ini juga tidak terlepas dari

dukungan kerjasama dengan lembaga pemerintah dan LSM di bidang HAM. Dalam ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-31 di Manila tahun 1998, kelompok kerja informal nonpemerintah berkumpul untuk mekanisme HAM ASEAN. Dengan keberadaan mekanisme ini diharapkan persepsi negara-negara ASEAN mengenai HAM beserta upaya-upaya penegakan HAM dapat lebih dipahami oleh pihak luar dan kerjasama ASEAN di bidang penegakan dan perlindungan HAM dapat ditingkatkan (Joint Communique The 31st ASEAN Ministerial Meeting, 1998).

Sejumlah kasus pelanggaran HAM baik itu pada tingkat internal maupun antar negara-negara ASEAN menjadi tantangan riil untuk

dapat ditangani oleh lembaga regional tersebut. Konflik yang terjadi di sebagian besar negara-negara anggota ASEAN telah menyisakan

catatan penting terhadap pelanggaran HAM dan seringkali mendapat kecaman dari komunitas internasional. Berikut gambaran sejumlah konflik dan pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan Asia Tenggara:

(1) Konflik internal yang berkepanjangan di Myanmar berimplikasi pada banyaknya pelanggaran HAM

yang terjadi terhadap penduduk sipil. Operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar sejak November 2010 di Myanmar Timur telah

menyebabkan puluhan ribu penduduk etnis Karen mengungsi ke perbatasan Myanmar- Thailand (Republika, 2010). Dengan tujuan untuk menggalang dukungan politik, pemerintah Mynmar menginginkan belasan kelompok etnis untuk bergabung dalam proses politik. Namun terjadi penolakan yang dilakukan oleh sebagian besar kelompok etnis tersebut karena tidak adanya lagi kepercayaan terhadap pemerintah yang berkuasa. Akibatnya pemerintah Myanmar melakukan

pengabaian aspek kemanusiaan terhadap penduduk sipil. Salah satu LSM pemerhati masalah HAM, Human Rights Watch (HRW) menekan pimpinan ASEAN untuk mendukung terbentuknya sebuah komisi internasional untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hukum dan HAM di Myanmar namun sayangnya dari 16 negara yang mendukung pembentukan komisi internasional tersebut tidak ada satupun dari negara-negara di Asia (HRW, 2011).

tindakan

(2) Permasalahan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang dipicu oleh klaim masing- masing pihak akan kepemilikan kuil Preah Vihear setelah United Nation Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) menetapkannya sebagai warisan dunia,

(3) Kekerasan dan intimidasi yang pasang surut melalui aksi penembakan maupun pengeboman terjadi di Thailand Selatan (Pattani Darussalam) antara Melayu Pattani dengan pemerintah pusat

Thailand. Konflik separatisme yang terjadi di Thailand Selatan ini terkait keinginan tiga propinsi di Thailand Selatan untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Thailand. Ketiga

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 17

propinsi tersebut merupakan minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas thailand yang

memeluk Budha. Sebenarnya konflik separatisme ini terjadi disebabkan oleh perlakuan tidak adil pemerintah pusat Thailand terhadap eksistensi kelompok muslim di Thailand Selatan.

(4) Kasus genosida berupa kejahatan kemanusiaan pada era Pol Pot di Kamboja dengan berlarutnya proses peradilan dan sejumlah permasalahan pelanggaran HAM lainnya.

(5) Konflik antar-etnis juga kerap terjadi sebagai bentuk diskriminasi rasial

dan adanya pemberlakuan internal security act di Malaysia, (6)

Konflik internal yang berkepanjangan juga terjadi di Filipina yang melibatkan konflik antara

pemerintah pusat dengan bangsa Moro-Mindanao yang menuntut untuk merdeka, memisahkan diri dari pemerintahan Filipina, dan hingga saat ini proses perdamaian di Moro-Mindanao masih berlarut-larut, belum menemukan kata sepakat,

(7) Konflik horizontal dan vertikal di Indonesia yang cenderung terjadi secara sporadis sebagai

akibat dari persoalan kebijakan publik, identitas, efektivitas penegakan hukum, tata kelola pemerintahan yang buruk, dan perebutan sumber daya alam/ekonomi (LIPI, 2011). Kasus Papua

dapat dilihat sebagai contoh konflik vertikal yang berkepanjangan dan tidak sedikit memakan

korban jiwa. Daerah yang kaya sumber daya alam ini seperti tidak pernah puas dengan kebijakan nasional sehingga potensi separatisme sangat kuat. Papua termasuk dalam daerah di mana tingkat kemiskinan penduduknya sangat tinggi disamping kemampuan tata pemerintahan lokal (governability) yang sangat rendah. Di samping

itu, konflik komunal antarsuku di wilayah ini sangat sering terjadi. Persoalan identitas (etnis,

agama dan kebangsaan) dan perebutan sumber daya alam sangat kompleks mewarnai konflik-

konflik di daerah ini. Kasus yang turut menjadi keprihatinan atas pelanggaran HAM di Indonesia

adalah penyerangan terhadap kelompok agama tertentu dengan menghalalkan kekerasan atas nama agama. Lebih lanjut, kasus pelanggaran HAM yang baru-baru ini terjadi terkait persoalan penembakan TNI AD terhadap sejumlah warga yang disebabkan oleh sengketa tanah dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) di Kabupaten Kebumen (Republika, 2011). Serangkaian kekerasan ini membuat negara ini terlihat sebagai bangsa tak bertuan, di mana pembiaran terhadap kekerasan terjadi.

Dalam upaya penegakan HAM, peran ASEAN sangat diharapkan untuk dapat mengambil langkah memperjuangkan aspirasi masyarakat ASEAN secara adil. Dengan demikian, kemampuan diplomasi masing-masing negara ASEAN menjadi instrumen penting untuk melaksanakan penegakan HAM. Diplomasi suatu negara bersumber pada kepentingan nasional dari negara tersebut yang bertujuan untuk menjaga komitmen negara anggota ASEAN akan pentingnya penegakan HAM sebagaimana tercantum dalam

Piagam ASEAN yang telah diratifikasi pada akhir tahun 2008. Mengutip pernyataan dalam pembukaan (preambule) Piagam ASEAN, negara-negara ASEAN diamanatkan untuk mematuhi penghormatan dan perlindungan HAM dan kebebasan fundamental di kawasan Asia Tenggara. Pernyataan ini secara eksplisit dijabarkan dalam salah satu

prinsip ASEAN, Pasal 2 ayat (2i) Piagam ASEAN:

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 19

“Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial,”

Prinsip ini mengisyaratkan bahwa ASEAN harus berperan nyata dalam menjaga kesinambungan kawasan ASEAN dalam menegakkan HAM. Untuk mendukung upaya itu, Pasal 14 Piagam ASEAN menegaskan mengenai Komisi HAM ASEAN:

1. “Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak- hak asasi dan kebebasan fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia ASEAN.

2. Badan Hak Asasi Manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri ASEAN.”

Selain Piagam ASEAN, negara anggota ASEAN juga memiliki Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) yang ditandatangani di Bali tahun 1976. Melalui perjanjian ini, negara-negara anggota ASEAN menyepakati code of conduct atau aturan perilaku dalam pelaksanaan hubungan kerjasama antar negara anggota ASEAN yang mengesampingkan kekerasan dan mengedepankan cara-cara damai dan penghormatan terhadap HAM dalam penyelesaian konflik di antara negara anggota ASEAN.

III. Signifikansi Keberadaan AICHR di Kawasan Asia Tenggara

Dalam rangka mewujudkan tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN, pembentukan komisi HAM di tingkat regional adalah suatu keharusan. Jika dulu isu HAM di ASEAN hanya ditekankan untuk memajukan HAM maka saat ini aspek perlindungan HAM menjadi suatu bagian dari pembentukan komisi HAM ASEAN. Dengan adanya aspek perlindungan HAM sebagai landasan kerja komisi HAM ASEAN,

maka korban pelanggaran HAM diberi ruang untuk memperjuangkan penyelesaian kasusnya di tingkat regional. Hal ini menciptakan kondisi adanya kemungkinan para pelaku pelanggaran HAM yang lolos dari jerat hukum di negara mereka tidak bisa lolos di tingkat regional dengan adanya Komisi HAM ASEAN tersebut (Sasmini, 2009).

Pada hakikatnya, pembentukan Komisi HAM ASEAN merupakan langkah yang signifikan terhadap penguatan nilai-nilai HAM untuk diterapkan di kawasan ASEAN. Lebih lanjut, pembentukan

Komisi HAM juga membuka peluang yang lebih besar akan perbaikan implementasi dan penegakan HAM di ASEAN. Untuk itu, pada bulan Oktober 2009 ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dibentuk berdasarkan Pasal 14 Piagam ASEAN. Mengacu pada Term of Reference (ToR) AICHR, tujuan dari pembentukan Komisi HAM ASEAN ini adalah:

(1) Untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar dari warga anggota ASEAN,

(2) Untuk menjaga hak bangsa-bangsa ASEAN agar dapat hidup dalam damai, bermartabat dan sejahtera,

(3) Untuk mewujudkan tujuan organisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam yakni menjaga stabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dan kerja sama antara anggota ASEAN,

(4) Untuk mempromosikan HAM dalam konteks regional dengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, dan agama masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban,

(5) Untuk meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkat nasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan dan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 21

melindungi HAM, dan (6)

Untuk menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAM lainnya, dimana anggota ASEAN menjadi pihak.

Mengacu pada poin keempat ToR AICHR, Komisi HAM ASEAN ini memiliki berbagai macam fungsi dalam menegakan HAM di ASEAN, diantaranya merumuskan upaya pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN melalui edukasi, pemantauan, diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional, mendorong negara anggota ASEAN

untuk menerima dan meratifikasi instrumen HAM internasional, mendukung implementasi secara utuh atas instrumen ASEAN terkait

penegakan HAM, menyediakan pelayanan konsultasi, dialog dan bantuan teknis atas setiap permasalahan HAM di ASEAN dengan melibatkan LSM dan stakeholders lain serta melakukan penelitian atas penegakan HAM di ASEAN.

Peresmian Komisi HAM ASEAN ini dilaksanakan di Hua Hin, Thailand, di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-

15 yang dihadiri oleh seluruh anggota komisi yang berjumlah 10 orang. Adapun anggota AICHR adalah perwakilan dari masing-masing negara anggota ASEAN yakni Dr. Sriprapha Petcharamesree dari Thailand yang ditetapkan sebagai Ketua AICHR, Om Yentieng (Kamboja), Rafendi Djamin (Indonesia), Bounkeut Sangsomsak (Laos), Awang Abdul Hamid Bakal (Malaysia), Kyaw Tint Swe (Myanmar), Rosario

G. Manalo (Filipina), Richard Magnus (Singapura) dan Do Ngoc Son (Viet Nam). Sayangnya, sebagai langkah awal, pembentukan AICHR ini masih bertujuan untuk mempromosikan isu-isu terkait penegakan HAM, belum memasuki ranah perlindungan HAM.

Lebih lanjut, pembentukan komisi HAM ASEAN ini bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat negara-negara anggota ASEAN memiliki

komitmen yang bervariasi dalam menyikapi pembentukan komisi tersebut. Myanmar dapat dikatakan sebagai negara dengan komitmen paling lemah terhadap penegakan dan perlindungan HAM. Sementara itu, Indonesia, Thailand dan Filipina mengakui bahwa masing- masing negara tersebut memiliki komitmen kuat atas penegakan dan perlindungan HAM. Sedangkan Malaysia dan Singapura menunjukkan posisi di tengah-tengah. Meskipun pemenuhan hak sipil warga negara seringkali dibatasi, namun pemenuhan hak ekonomi dan sosial dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan Indonesia dan Filipina (Fitria, 2009).

Pembentukan Komisi HAM ASEAN ini memiliki karakteristik khusus dan berbeda jika dibandingkan dengan komisi HAM di kawasan lain. Pertama, pembentukan Komisi HAM di kawasan lain didasarkan pada instrumen hukum yang khusus dan kuat seperti Konvensi Amerika atas HAM (The American Convention on Human Rights), sementara pembentukan Komisi HAM ASEAN hanya didasarkan pada salah satu prinsip dari Piagam ASEAN sehingga diperlukan aturan lain yang mengatur mekanisme instrumen hukum yang lebih teknis. Untuk itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 Piagam ASEAN, Menteri Luar Negeri ASEAN diberikan mandat untuk memformulasikan ToR AICHR sebagai kerangka acuan pelaksanaan kegiatan Komisi HAM ASEAN tersebut. Kedua, dengan melihat landasan pembentukannya, AICHR bukanlah badan atau komisi independen karena AICHR dibentuk oleh pemerintah, di mana keanggotaannya merupakan perwakilan dari negara-negara anggota ASEAN sehingga AICHR bergerak mewakili pemerintah.

Hal ini berbeda dengan kebanyakan badan HAM di wilayah lain yang terbentuk dan bertindak atas dasar kapasitas individu atau kelompok di luar pemerintahan. Ketiga, terkait dengan keanggotaan AICHR, hanya dua perwakilan negara (Indonesia dan Thailand) dari

10 perwakilan negara ASEAN yang ditunjuk melalui pemilihan yang terbuka dan umum. Perwakilan dari negara-negara ASEAN lainnya secara langsung ditunjuk oleh pemerintahannya masing-masing.

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 23

Sebagaimana tertuang dalam ToR AICHR ayat 5.2 bahwa keanggotaan AICHR merupakan perwakilan dari masing-masing negara ASEAN yang ditunjuk oleh pemerintah. Keberadaan AICHR merupakan

langkah signifikan bagi awal kesamaan persepsi dari masing- masing negara anggota ASEAN atas penegakan HAM di kawasan Asia

Tenggara. Selama tahun 2010, AICHR telah melaksanakan sejumlah pertemuan

untuk melakukan sosialisasi dan dukungan dari komunitas internasional, seperti kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan dari Presiden Barrack Obama, disamping sejumlah pertemuan dengan United Nations Development Programme (UNDP), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), LSM internasional bidang HAM dan beberapa institusi lainnya (Sukarsa, 2011). Hingga Februari 2011, pertemuan AICHR telah dilakukan sebanyak empat kali dengan serangkaian agenda untuk penguatan penegakan HAM. Dalam pertemuan ini, setiap perwakilan negara anggota ASEAN sepakat untuk menjadikan tahun 2011 sebagai tahun pengimplementasian kerja AICHR untuk mempromosikan dan melindungi HAM di ASEAN, serta mengedepankan kontribusi ASEAN agar lebih berorientasi pada masyarakat. Pertemuan yang dipimpin oleh perwakilan Indonesia, Rafendi Djamin, dinilai cukup strategis mengingat dalam pertemuan tersebut AICHR menetapkan beberapa agenda dan prioritas kegiatan pada tahun 2011 yaitu (1) Penyusunan ASEAN Declaration on Human Rights, (2) Penguatan sekretariat AICHR, dan (3) Mendorong interaksi AICHR dengan masyarakat sipil (Pertemuan keempat AICHR, 2011). Lebih terperinci, dalam pertemuan tersebut telah disepakati dan dibahas beberapa agenda diantaranya disepakatinya Pedoman Operasional AICHR, pembentukan drafting team untuk penyusunan ASEAN Declaration on Human Rights, mempertimbangkan penyusunan ToR studi tematik atas Corporate Social Responsibility (CSR), HAM dan migrasi, dan agenda tindak lanjut berbagai usulan engagement AICHR dengan ASEAN partners dan ASEAN sectoral bodies. AICHR juga mempersiapkan workshop dan paper mengenai isu-isu terkait hak perempuan dan anak di kawasan Asia Tenggara (Press Release of the Fourth ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights,

10-13 februari 2011). Sebagaimana telah disebutkan diatas, landasan dasar pembentukan

AICHR tidak terlepas dari acuan Piagam ASEAN dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama tetapi kedua instrumen tersebut belum

pernah sama sekali digunakan untuk menyelesaikan konflik antar negara anggota ASEAN. Bukan karena tidak ada konflik di negara-

negara ASEAN, melainkan karena masih rendahnya rasa saling percaya di antara negara anggota. Selama ini, negara-negara ASEAN yang berkonflik lebih memilih penyelesaian secara bilateral atau menyerahkan penyelesaian persoalan kepada lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda (Kompas, 2011).

Sebagai contoh, pada tahun 1996, Indonesia dan Malaysia bersengketa mengenai masalah Pulau Sipadan dan Ligitan sehingga kedua negara membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Internasional. Berbeda lagi dengan kasus Filipina yang mengundang Organisasi Konperensi Islam (OKI) di tahun 1990-an untuk menyelesaikan

konflik di Mindanao Selatan. Pelibatan lembaga internasional oleh Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam penyelesaian konflik menjadi inspirasi bagi Kamboja untuk menyelesaikan konfliknya.

Dalam waktu yang singkat, Kamboja meminta bantuan dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) di New York, Amerika Serikat. Langkah cepat Kamboja melaporkan permasalahan perbatasan ke Dewan Keamanan PBB tentu saja memunculkan kekhawatiran bahwa penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja akan diselesaikan atas bantuan pihak eksternal di luar ASEAN. Ancaman atas melemahnya peran dan citra ASEAN kembali dipertanyakan jika DK PBB mengabulkan permintaan Kamboja agar PBB membantu penyelesaian konflik perbatasannya dengan Thailand. Signifikansi ASEAN untuk turut serta berperan dalam kancah internasional menjadi dipertanyakan jika untuk urusan konflik internal regional saja tidak berhasil. Sebagai pemegang

kepemimpinan ASEAN di tahun 2011 ini, Indonesia nampaknya

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 25

dalam menyelesaikan konflik antar-negara anggota ASEAN.

IV. Peran Indonesia dalam Mendukung AICHR

Dalam lingkup negara-negara ASEAN, Indonesia termasuk negara yang memiliki kepercayaan tinggi dalam hal menyuarakan masalah HAM dan demokrasi. Bagi Indonesia, Komisi HAM ASEAN dapat menjadi salah satu instrumen penguatan peran diplomasi Indonesia berbasis kekuatan norma (normative power) di kawasan Asia Tenggara (Dirgantara, 2010). Sejak era reformasi, pemerintah Indonesia

memang terlihat gencar melakukan ratifikasi instrumen-instrumen HAM karena isu penegakan HAM telah menjadi pilar penting dalam

proses kehidupan politik di Indonesia. Lebih lanjut, HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian, komitmen tinggi Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan HAM tercermin dalam berbagai keterlibatan baik di tingkat nasional, regional maupun dalam forum- forum PBB. Ada beberapa indikasi atas keberhasilan penegakan HAM di Indonesia pasca-Orde Baru, seperti adanya kebebasan pers dan kebebasan berserikat untuk mendirikan partai politik, organisasi massa dan LSM. Selain itu pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2000 terjadi amandemen kedua konstitusi yang turut menyertakan pasal-pasal mengenai HAM dan pembuatan Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sejumlah instrumen HAM pokok telah diratifikasi, diantaranya: (1) Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan UU

No. 59 Tahun 1958), (2) Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan/ Convention of Political Rights of Women (diratifikasi dengan UU No. 68 tahun 1958),

(3) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of

Discrimination Against Women (diratifikasi dengan UU No.

7, 1984), (4) Konvensi Hak Anak/ Convention on the Rights of the Child

(diratifikasi dengan Keppres No. 36, 1990),

a. Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan prostitusi Anak, dan Pornografi Anak/Optional Protocol to the Convention on the rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution

dan Child Pornography (ditandatangani pada tanggal

24 September 2001),

b. Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata/Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict (ditandatangani pada 24 September 2001),

(5) Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun serta Pemusnahnya/Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weapons and on their Destruction

(diratifikasi dengan Keppres No. 58, 1991), (6) Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam

Olahraga/International Convention Againts Apartheid in Sports (diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993),

(7) Konvensi Penghapusan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia/Convention Against Torture (diratifikasi dengan UU No. 5, 1998),

(8) Konvensi orgnisasi Buruh Internasional No. 87, 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi/International Labour Organisation (ILO) Convention No. 87, 1998 Concerning Freedom Association and Protection on the Rights to Organise (diratifikasi dengan UU No. 83 tahun 1998),

(9) Konvensi Internasional penghapusan Segala Bentuk

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 27

Diskriminasi Rasial/International Convention on the Elimination of All forms of Racial Discrimination (diratifikasi dengan UU No. 29, 1999),

(10) Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan terorisme/International Convention for the Supression of the Financing Terrorism (ditandatangani pada 24 September 2001),

(11) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/International Covenant on Economy, Social, and

Culture Rights (diratifikasi dengan UU No. 11, 2005), dan (12) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil-Politik/ International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi dengan UU No. 12, 2005).

Dalam perjalanan proses ratifikasi sejumlah instrumen HAM ini tentunya mengalami banyak hambatan. Proses ratifikasi Konvensi

Anti-Penyiksaan (CAT) dilakukan setelah adanya tekanan dari komunitas internasional atas adanya dugaan penyiksaan yang terjadi sekitar proses jajak pendapat Timor Timur tahun 1999. Demikian pula untuk ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) dilakukan setelah dunia internasional mengecam dugaan terjadinya kekerasan rasial pada peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Sebagai pengemban jabatan pemimpin ASEAN tahun 2011 ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk dapat menyelesaikan

konflik Thailand dan Kamboja sebagai upaya untuk mempertahankan citra baik ASEAN di mata dunia internasional. Di bawah kepemimpinan Indonesia, ASEAN memperlihatkan sikap yang proaktif dalam menyikapi perkembangan situasi keamanan khususnya dalam konteks konflik sengketa perbatasan Thailand dan Kamboja. Selang satu hari setelah konflik meletus, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy dengan menemui Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Nam Hong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya untuk mendapatkan informasi dari pihak

pertama. Lalu, bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri Thailand dan Menteri Luar Negeri Kamboja, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa berangkat menuju New York, Amerika Serikat, untuk memberikan pertimbangan dan masukan mengenai peran ASEAN

dalam menyelesaikan konflik internal. Langkah ini terbukti efektif dengan stabilnya kembali wilayah konflik di perbatasan Thailand dan Kamboja. Meskipun wilayah kawasan konflik seluas 4,6 km 2 tersebut

masih tegang, tetapi para tentara yang bertugas dapat menahan diri untuk tidak kembali angkat senjata (Kompas, 2011).

Sikap proaktif yang diambil oleh Indonesia sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan pada tingkat kawasan sehingga dapat menghindari intervensi secara langsung oleh DK PBB. Meskipun demikian, keterlibatan DK PBB tetap dibutuhkan dalam rangka mendukung upaya Indonesia selaku Ketua ASEAN (Kompas, 2011). ASEAN yang selama ini terkesan sunyi senyap dan seringkali hanya bertindak sebatas mengeluarkan pernyataan setiap kali terjadi

konflik antarnegara anggota, kini menunjukkan langkah yang lebih maju dengan mengantisipasi perluasan konflik dan menghindari terjadinya pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara.

Dengan posisi sebagai pemimpin ASEAN tahun 2011, Indonesia diharapkan mampu untuk memaksimalkan peran dalam mendukung pengembangan AICHR sebagai lembaga regional bidang HAM. Salah satu kendala yang dihadapi oleh AICHR sehingga belum optimal ruang lingkup kerjanya adalah terkait dengan permasalahan ketersediaan sumber daya, seperti tidak adanya sekretariat regional maupun staf yang mendukung kerja Komisi ASEAN. Belum lagi persoalan keterbatasan dukungan politik dari negara anggota ASEAN. Namun, sejalan dengan capaian positif Indonesia di bidang HAM saat ini, Indonesia semestinya mampu menciptakan AICHR yang lebih responsif terhadap serangkaian isu pelanggaran HAM di kawasan Asia Tenggara. Terkait dengan rencana perumusan Deklarasi HAM ASEAN, Indonesia dapat mengambil peran untuk memastikan agar hal itu dapat selesai tepat waktu dan menjadi instrumen yang sejalan

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 29

dengan semangat universalitas HAM serta memiliki kekuatan untuk merespon situasi HAM di kawasan Asia Tenggara (Tempointeraktif, 2011).

V. Tantangan Penegakan HAM di ASEAN

Di samping pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara yang menggambarkan variasi pemulihan akibat krisis ekonomi global, persoalan penegakan HAM yang krusial di masing-masing negara anggota ASEAN turut menjadi perhatian masyarakat internasional. Sejalan dengan proses pematangan komisi HAM ASEAN, sejumlah kritik dan kontradiksi pun bermunculan. Namun, paling tidak AICHR memiliki fungsi strategis karena masyarakat ASEAN memiliki perangkat “tambahan” untuk menjamin pemenuhan HAM mereka. Dengan kata lain, keberadaan AICHR hanya sebatas pelengkap (complement), bukan pengganti (substitute) dari mekanisme penegakan HAM nasional di masing-masing negara anggota ASEAN (hukumonline, 2009).

Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara ASEAN adalah pelaksanaan kesepakatan ataupun persetujuan yang telah dicapai. Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjasama antar negara-anggota ASEAN selama ini. Khusus untuk pelaksanaan kerjasama Komisi HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang dicapai semestinya dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, perlu diberikan prioritas dan momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN untuk mensosialisasikan dan mempromosikan nilai penting isu penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara sesuai dengan kerangka kerjasama ASEAN di bidang HAM. Meskipun demikian, belum masuknya aspek pemantauan dalam cakupan kerja AICHR menggambarkan belum sempurnanya cakupan kerja Komisi HAM ASEAN ini. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan bagi AICHR untuk mengembangkan cakupan kerja AICHR sehingga aspek

pemantauan nantinya bisa menjadi bagian integral dalam cakupan kerja AICHR.

Dalam pandangan sejumlah LSM pejuang HAM, keberadaan AICHR bisa menjadi otokritik internal terhadap sejumlah persoalan seperti kekerasan, pengekangan hak-hak sipil-politik, impunitas, tidak terpenuhinya hak-hak dasar ekonomi/sosial/budaya, dan masalah migrasi dan buruh migran di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana dikemukakan oleh Kontras bahwa AICHR lebih produktif sebagai mekanisme koreksi internal di kawasan ASEAN bila para pemimpinnya membuka diri terhadap keterlibatan aktif masyarakat sipil, termasuk komunitas korban. Semestinya hal ini bisa berjalan dengan baik mengingat orietasi ASEAN yang telah beralih pada masyarakat (people-oriented). AICHR dipandang sebagai komisi yang masih berkembang, dalam arti bahwa mandat AIHCR diharapkan akan diperluas pada masa mendatang hingga bisa menjadi instrumen bagi korban khususnya untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka (Politik Indonesia, 2010).

Dari 14 fungsi AICHR yang ada, hanya ada tiga fungsi yang bisa dikategorikan sebagai fungsi proteksi. Fungsi pertama adalah individual complain. Fungsi ini dapat dikatakan bersifat terselubung karena mekanisme perlindungan HAM di ASEAN menolak individual complain, yaitu pengaduan pelanggaran HAM seperti yang kita kenal di tingkat nasional, seperti pengaduan individual complain ke Komnas HAM atau Komnas Perempuan. Fungsi individual complain ini ditolak oleh negara-negara ASEAN lain. Fungsi proteksi AICHR kedua yang eksplisit adalah review for countries situation atau pembahasan situasi HAM di negara-negara anggota. Dalam hal ini, AICHR tidak diperkenankan untuk melakukan proses review, dengan dalih telah dilakukan oleh lembaga review tingkat dunia, maka tidak perlu lagi untuk dibahas di tingkat ASEAN sehingga pada akhirnya konsensus yang dicapai adalah penolakan terhadap fungsi review tersebut. Fungsi proteksi AICHR ketiga yang juga sangat eksplisit adalah country situation yang menurut Indonesia bukan dalam konteks promosi,

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 31

melainkan investigasi pencarian fakta. Tiga fungsi proteksi inilah yang masih diperjuangkan oleh Indonesia namun belum berhasil.

Proses diplomasi yang dijalankan oleh delegasi Indonesia dalam memperjuangkan penegakan HAM di ASEAN masih belum mengubah posisi satu lawan sembilan sehingga jalan kompromi menjadi solusi yang tepat. Kompromi itu melahirkan apa yang disebut sebagai deklarasi politik pendirian AICHR sekaligus merupakan titik tolak dari visi yang akan dijalankan oleh AICHR. Deklarasi ini merupakan sebuah pernyataan politik dari para pemimpin ASEAN. Poin ini menjadi modal yang sangat besar bagi Indonesia untuk terus menuntut agar review pertama yang akan dilakukan pada lima tahun mendatang adalah untuk memperkuat fungsi-fungsi proteksi AICHR yang belum mempunyai kekuatan untuk membahas situasi HAM negara-negara anggota (Djamin, 2010).

Terkait dengan penyelesaian konflik perbatasan Thailand dan Kamboja, ASEAN bisa mengadopsi kesuksesan Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam pada kurun waktu 1988-1989. Ketika itu, Indonesia berhasil memfasiltasi dan melakukan mediasi terhadap kedua negara yang sedang bermusuhan untuk duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Hasilnya, Vietnam menarik pasukan dari

Kamboja dan situasi damai pun tercipta. Pola penyelesaian konflik ini sangat dimungkinkan untuk diaplikasikan pada kasus konflik

perbatasan Thailand dan Kamboja mengingat kedua negara tersebut sudah menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan konflik perbatasan melalui mediasi ASEAN. Pertemuan informal menteri

luar negeri ASEAN di Jakarta pada 22 Februari 2011 bisa digunakan untuk menentukan modalitas perundingan dan menentukan apakah pembahasan perlu dibawa ke pertemuan high council sebagaimana disebutkan di dalam Piagam ASEAN. Jika selama ini ASEAN belum pernah mengimplementasikan pertemuan high council maka sekarang merupakan saat yang tepat. Jika dipandang perlu, ASEAN dapat membuat “Peace Keeping Operation” yang berasal dari pasukan

militer maupun sipil negara-negara ASEAN sendiri untuk diterjunkan di daerah konflik. Dengan demikian, sudah saatnya bagi ASEAN untuk

tidak meletakkan setiap konflik yang terjadi di bawah karpet dan setiap negara anggota ASEAN dibiarkan mencari jalan keluar sendiri dalam menyelesaikan konflik perbatasan. Sekarang saatnya ASEAN bersikap proaktif dan menunjukkan kredibilitas sebagai organisasi kerjasama regional yang memang dibutuhkan negara-negara anggota

menuju terbentuknya Komunitas ASEAN 2015 (Kompas, 2011).

Usaha promosi dan perlindungan HAM yang dilakukan AICHR tidak semata dibebankan pada institusi AICHR sendiri karena penegakan HAM adalah kerja semua pihak. Untuk itu dukungan dari pemerintah, media, akademisi, LSM bidang HAM dan organisasi kemasyarakatan sangat dibutuhkan dalam membangun koordinasi untuk mendukung upaya sosialisasi kerja AICHR. Keberadaan AICHR juga diharapkan dapat mengangkat isu-isu kemanusiaan yang selama ini tidak terwadahi dengan baik khususnya dalam kontek hubungan antar negara-negara ASEAN seperti isu buruh migran, perebutan sumber daya alam di perbatasan dan sebagainya. Menjadikan AICHR sebagai wadah yang kompeten dalam menegakkan HAM bukan hanya sekedar platform, namun dengan kerja sama semua pihak, penguatan fungsi kerja AICHR dapat terwujud di kemudian hari.

-oooOooo-

Daftar Pustaka

Antara News. 2009. AICHR dan Penguatan Perlindungan HAM di ASEAN. www.antaranews.com (Diakses pada 3 Mei 2011). ASEAN Community Indonesia. 2011. Pertemuan Ke-4 ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. http:// www.aseancommunityindonesia.org (Diakses pada 5 Mei

2011). ASEAN Secretariat. Piagam ASEAN. http://www.aseansec.org/AC-

Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.9, No.1 2011 The Habibie Center 33

Dirgantara, Igor. 2010. Pembentukan ASEAN Intergovernmental on Human Right (AICHR) dan Komitmen Indonesia dalam Penegakan HAM dan Demokrasi di Asia Tenggara. http:// oseafas.wordpress.com (Diakses pada 7 Mei 2011).

Djamin, Rafendi. 2010. Pelanggaran HAM di ASEAN: AICHR Tidak diperbolehkan melakukan Review. http://www. tabloiddiplomasi.org (Diakses pada 9 Mei 2011).

Fitria. 2009. Questioning the Prospect of Upholding Human Rights in Southeast Asia in the Coming Five Years. Postscript Vol. VI, No.

5, September-Oktober. Hukum Online. 2009. Menlu ASEAN Sepakati TOR Pembentukan Komisi HAM Regional. http://www.hukumonline.com (Diakses pada 8 Mei 2011).

Human Rights Watch (HRW). 2005. ASEAN: Reject Burma as Regional Group’s Chair. www.hrw.org (Diakses pada 14 Juni 2011).

Joint Communique The 31st ASEAN Ministerial Meeting (AMM) Manila, Philippines, 24-25 Juli 1998. http://www.aseansec.org/698. htm (Diakses pada 3 Mei 2011).

Kompas. 2011. Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja. http:// nasional.kompas.com (Diakses pada 8 Mei 2011).

Kontras. 2008. Evaluasi Penegakan HAM: Catatan Peringatan 60 Tahun Deklarasi Universal HAM. http://www.kontras.org (Diakses pada 30 April 2011).

Kontras. 2011. Mukadimah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi

Manusia. www.kontras.org (Diakses pada 2 Mei 2011). LIPI. 2011. Kerangka Pencegahan konflik di Indonesia, Draft Penelitian. Politik Indonesia. 2010. AICHR bisa Menjadi Otokritik Internal ASEAN.

http://www.politikindonesia.com (Diakses pada 7 Mei 2011).

Press Release of the Fourth ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. 10-13 Februari 2011. http://www.aseansec. org/25872.htm (Diakses pada 7 Mei 2011)

Republika. 2011. Terkait Bentrok TNI AD dan Warga, Komnas HAM selidiki Puslatpur Kebumen. www.republika.co.id (Diakses

pada 15 juni 2011). Republika. 2010. 20 Ribu Warga Mynmar Lari ke Thailand. www. republika.co.id (Diakses pada 15 Juni 2011). Sasmini. 2009. Menanti Pembentukan Badan HAM ASEAN. http://

sasmini.staf.uns.ac.id/2009 (Diakses pada 30 April 2011). Sukarsa, Tatat. 2011. Indonesia’s Leadership in ASEAN 2011: Political

Perspective and Human Rights. Postscript Vol. VIII No. 1, Januari-February.

Tempointeraktif. 2011. Komisi HAM ASEAN Minta Indonesia Maksimalkan